Nurmala bersandar di kepala ranjang sembari mengusap perutnya yang masih rata. Sudah ada makhluk kecil yang tak pernah ia inginkan tumbuh di sana. Ia masih tak percaya bisa menikah dengan orang yang sudah merusak hidupnya. Nurmala menghela nafas berat, ia tak mau terus-terusan larut dalam kesedihan."Ini untukmu.” Lamunan Nurmala buyar karena Alfian yang tiba-tiba berdiri di sampingnya menjulurkan sebuah kartu berwarna hitam. “Kamu bisa beli apa pun dengan kartu ini,” lanjut Alfian."Aku nggak butuh itu." Nurmala membuang muka ke samping."Maaf, tapi aku tidak menerima penolakan." Alfian menarik tangan Nurmala, lalu menjejalkan Black Card itu ke tangannya."Kamu nggak apa-apa kan, kutinggalkan kerja?" tanya Alfian."Iya." Itu lebih baik pikir Nurmala. Berada di dekat Alfian hanya membuat Nurmala merasa sesak napas."Kalau butuh sesuatu, kamu bisa minta tolong sama Bi Puput. Aku sudah minta dia untuk menjagamu.""Iya," jawab Nurmala singkat. Ia masih memalingkan muka dari Alfian"Nant
“Kapan ‘sih dia pulang. Ini sudah malam banget.” Nurmala berjalan ke sana kemari di teras rumah menunggu kepulangan Alfian dengan gelisah tapi sampai sekarang pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Pria itu sudah berjanji untuk mengantarnya ke kos-kosan Ratna, padahal sekarang sudah jam 9 malam, tapi Alfian tak kunjung pulang. Berulang kali dihubungi, tapi panggilan teleponnya tidak aktif."Dasar tukang ingkar janji. Ini sudah terlalu malam untuk ke kosan Ratna. Ratna pasti sudah kebingungan cariin aku. Tahu gitu aku berangkat sendiri tadi." Nurmala tak bisa memberi kabar pada Ratna karena tidak punya nomornya, semua ini karena hp miliknya dirusak Alfian."Nak, ini sudah malam. Kenapa masih berdiri di luar, nanti bisa masuk angin loh,” Bi Puput merasa cemas melihat sejak tadi menunggu Alfian."Aku nunggu Alfian, Bi. Dia janji mau nganter aku ke tempat temanku. Aku mau ngambil barang-barangku di kosan, tapi dari tadi ditungguin Si Alfian nggak datang-datang. Tahu gitu'kan ak
Alfian tertegun, sindiran tajam dari Nurmala membuatnya tersinggung, meski apa yang Nurmala katakan benar tetap saja Alfian merasa sakit hati, apalagi Alfian sudah bertanggungjawab menikahinya. Yang membuat Alfian semakin kesal, Nurmala berani menghunuskan tatapan tajam padanya, padahal Alfian adalah suaminya. "Kenapa menatapku seperti itu? Mau lagi?" tanya Alfian sebab Nurmala masih menatapnya dengan sinis."Aku tidak sudi melayanimu." Nurmala memutar mata jengah, ingin sekali ia menyumpal mulut Alfian yang los tanpa sensor. Apa dia tidak malu berkata seperti itu pada Nurmala."Aku suamimu. Aku bisa menyentuhmu kapanpun aku mau." Alfian tersenyum sarkas."Enak saja. Di dalam surat perjanjian, kontak fisik dilarang." Nurmala kembali menatap Alfian dengan sinis. Jangankan melayani Alfian, berdekatan dengannya saja sudah membuat Nurmala risih dan merinding.“Mulai sekarang kamu tidak boleh dekat dengan lelaki manapun.”“Apa urusanmu?”“Jelas itu urusanku. Kamu istriku.”“Cuma istri sem
“Langit sudah mendung. Kayaknya bentar lagi bakal hujan, deh. Kamu nggak mau mampir dulu di kos-kosanku? Kalau langsung pulang, kamu bakal kehujanan, loh.”“Nggak, Na. Takut ada fitnah. Kapan-kapan saja kalau ada Nurmala aku bakal mampir. Oya, di sebelah mana kamar kos-mu?" tanya Firman."Kamar nomor 7, di sana." Ratna menunjuk kamar yang pintunya terbuka. Firman mendongak mengikuti arah telunjuk Ratna. "Loh, pintu-nya ke buka," seru Ratna kegirangan. “Kayaknya Nurmala udah pulang, deh.” Senyum di bibir Ratna mengembang dengan lebar.Senyum bahagia mengembang di bibir Firman, akhrinya dia bisa berjumpa lagi dengan wanita yang sangat dicintainya. "Gimana, ya, kalau Firman tahu Nurmala sedang hamil?" gumam Ratna dalam hati dengan perasaan cemas. “Apa Firman mau menerima Nurmala yang lagi hamil anak orang lain.”Firman segera turun dari motornya, kemudian berlari kecil menuju kamar kos Ratna. Senyum di bibir Firman terus mengembang sepanjang ia berlarian. Ia sudah tidak sabar ingin ber
Alfian mengambil tas besarnya dan mengambil semua pakaian dari dalam lemari Nurmala, lalu memasukkannya ke dalam tasnya.Nurmala duduk di samping Ratna, ia lebih tenang setelah puas menangis. Mereka bicara saling berbisik. Tentu saja hal itu membuat Alfian geram dan makin penasaran dengan perbincangan mereka berdua, apalagi dua wanita itu sesekali meliriknya."Ayo Nur, makan. Ini terang bulan istimewa dari orang yang istimewa, tadi Firman beli ini di warung langganan kalian, katanya kangen sama kamu," Ratna sengaja mengompori Alfian, supaya Alfian tahu jika masih ada pria berhati tulus yang mau menerima Nurmala apa adanya. Semua itu ia lakukan supaya Alfian tidak bersikap semena-mena pada sahabatnya.Ratna tak ada niat sedikitpun untuk menawari Alfian minuman dan terang bulan pemberian Firman. Kalaupun ditawari, Alfian tidak akan sudi menyentuh makanan pemberian dari Firman. Usai mengemasi semua barang-barang Nurmala, Alfian memilih bermain Hp sembari menunggu hujan reda."Hmmm, enak
"Aku nabrak mobil, Mbak. Kerusakannya sangat parah. Yang punya mobil minta ganti rugi. Kalau nggak, aku bakal dilaporin ke polisi." jawab Azizah diselingi dengan isak tangis."Kok bisa sih, Za?" Nurmala panik, dia juga bisa merasakan ketakutan yang di rasakan oleh adiknya."Tadi aku berangkat sekolah buru-buru, Mbak. Karena takut telat, aku ngebut.""Memangnya orangnya minta ganti rugi berapa?" tanya Nurmala."Ti-tiga puluh juta, Mbak," jawab Azizah terbata. Ia ragu Nurmala bisa membantunya, tapi ia juga takut masuk penjara."APA?" pekik Nurmala, sepertinya dia salah dengar. “Berapa kamu bilang?”"Tiga puluh juta, Mbak." Azizah mengulang jawabannya lebih jelas."Ya ampun, Za. Kok banyak banget, sih!" Nurmala merasa sesak mendengar nominal yang sangat besar untuk ganti rugi, dia bingung harus mencari uang sebanyak itu kemana? Sedangkan mahar pernikahan dari Alfian sudah Nurmala gunakan untuk menutupi hutang orang tuanya. Dia tak memiliki keberanian untuk meminta uang sebanyak itu pada
"Uang 50 juta tidak akan bisa menebus kesalahanku padamu. Maafkan aku, kamu pantas membenciku tapi tolong jangan takut padaku, karena aku tidak akan menyakitimu lagi. Kalau kamu membutuhkan apapun, katakan padaku. Aku akan membantumu, apapun itu," ucap Alfian dengan tulus, sejujurnya ia tak tega melihat Nurmala yang sangat bersedih setelah kehilangan Firman.Mata Nurmala berkaca-kaca, sekuat tenaga menahan titik-titik bening di matanya yang siap meluncur kapan saja. Jujur saja, sejak kejadian itu hidup Nurmala tak pernah bisa hidup dengan tenang. Hatinya terus gelisah, tapi mau bagaimana lagi, meski Alfian sudah meminta maaf tetap tidak akan mengubah segalanya.***1 minggu telah berlalu, Alfian baru saja pulang dari kantornya setelah malam sudah larut, ketika hendak membuka pintu kamarnya, Alfian mendengar suara tawa Nurmala. Setelah sekian lama, baru kali ini Alfian kembali mendengar suara tawa Nurmala. Ia sangat penasaran apa yang bisa membuat wanita itu tertawa.Alfian membuka sed
"Nggak," jawab Nurmala kemudian membuang muka. Kurang buruk apa lagi nasib Nurmala, memiliki suami yang mencintai wanita lain dan akan menceraikan Nurmala setelah menikah, bahkan Nurmala harus kehilangan anak pertamanya."Ow." Alfian tak memberi jawaban, menurutnya apa pun yang Alfian lakukan di luar sana tidak berpengaruh apa pun pada Nurmala.***Malam hari, Alfian yang tiduran di atas sofa merasa gelisah. Sejak tadi dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri, penasaran dengan rahasia yang disembunyikan oleh Nurmala. Sejak tadi hatinya tergelitik ingin tahu isi hp Nurmala.Kenapa Nurmala membutuhkan uang sebanyak 50 juta dan kenapa waktu itu Nurmala menangis? Hal itu membuat Alfian terus menerus memikirkannya dan merasa tak tenang. Alfian tidur dengan posisi menyamping, memperhatikan punggung Nurmala yang berangsur naik turun.Alfian beranjak dari sofa lalu mencari keberadaan hp Nurmala, ia membuka laci dan menggeledahnya tapi nihil hp itu tidak ada di sana. Alfian juga mencari ke dal
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana