Tolong beri komentar kritik dan saran di tentang novel ini supaya saya bisa berkarya lebih baik. Komentar kalian bisa menjadi pendukung dan rating yang bagus untuk saya. Terima kasih untuk semua perhatiannya.
Alfian tak tega melihat Nurmala menangis tersedu-sesu, gadis itu menangis hingga tubuhnya bergetar. Alfian memang pendosa, tapi tidak akan pernah membiarkan Nurmala membunuh darah dagingnya. "Ini. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah." Alfian berusaha membangun kepercayaan di hati Nurmala. Dia memberikan tissue yang ada di atas dasboard mobil pada Nurmala. Nurmala menangis sembari mengambil beberapa lembar tissue lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ini tuh gara-gara kamu. Gara-gara kamu hidupku berantakan, hidupku jadi hancur gara-gara kamu," cerca Nurmala dengan suara bergetar. "Ok, aku minta maaf. Aku tahu, kesalahanku sangat fatal. Jadi bagaimana?" Alfian memutar punggungnya hingga posisinya menghadap Nurmala. Nurmala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menggelengkan kepala. "Aku bingung.” Suaranya terdengar serak. "Jadi kamu mau melahirkan anak kita?" Alfian merasa aneh akan menjadi seorang ayah dari seorang pembantu. "Oh, shit
Setelah selesai makan, Alfian membawa Nurmala keluar dari restoran dan masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam mobil terasa canggung karena kedua insan itu sama-sama bungkam. Alfian mengemudikan mobilnya, sesekali melirik Nurmala yang sejak tadi hanya diam memandangi jalanan di depan dengan tatapan kosong."Selama ini kamu tinggal di mana?" Alfian mulai membuka suara untuk mengikis keheningan di antara mereka."Di rumah," jawab Nurmala singkat."Iya, daerah mana?" tanya Alfian lagi. Ia sedikit gemas melihat sikap Nurmala. Andaikan tidak sedang mengambil hatinya, Alfian pasti sudah menyentil kening Nurmala."Nggak tahu." Jawab Nurmala jutek, lalu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil.Alfian mengamati Nurmala dengan seksama, gadis itu terlihat begitu pucat dan lesu. "Kamu masih pusing, Nur?"Nurmala hanya mengangguk pelan. Alfian mulai menepikan mobil dan berhenti di tepi jalan, lalu mengambil obat di dashboard mobil yang ia dapat dari Dokter tadi. Alfian mengupas bungkusnya, kem
Alfian bertujuan membawa Nurmala ke supermarket untuk membeli kebutuhan ibu hamil dan pakaian untuk Nurmala, tapi urung ia lakukan karena Nurmala mengeluh sakit kepala, maka Alfian memutuskan untuk membiarkan Nurmala istirahat di rumah, sekaligus mengurungnya karena takut Nurmala melarikan diri.“Aku mau ke butik sebentar, setelah itu aku pulang. Kamu jangan ke mana-mana, tunggu aku di rumah.”“Mana bisa aku pergi kalau kamu mengurungku. Di mana kunci rumahnya, aku mau pulang?” tanya Nurmala disela tangisnya.“Maaf, tapi kuncinya aku bawa.” Ujar Alfian sembari memilih beberapa pakaian wanita.“Cepat pulang, aku takut sendirian.”“Iya, iya. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya.” Alfian menutup pintunya secara sepihak.Nurmala duduk di sudut kamar yang menurutnya merupakan tempat teraman dibanding tempat lainnya. Nurmala menangis tersedu-sedu karena masih belum terbiasa sendirian di tempat asing. Apalagi di rumah pria yang sudah merenggut kehormatannya. Perbuatan Alfian masih menyisakan
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nurmala Angraini Binti Muhammad Faruk dengan mas kawin tersebut, Tunai," ucap Alfian dengan mantap.Para saksi serempak mengucapkan kata, "Sah." Lantunan doa pun menggema memenuhi ruangan rawat Ayu.Nurmala tak kuasa membendung air mata saat para saksi mengucapkan kata 'Sah', berulangkali Nurmala menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Harusnya Firmansyah Aditama yang duduk di sampingnya untuk melafadzkan kalimat ijab kabul disaksikan oleh keluarganya. Harusnya rasa terharu karena rasa bahagia yang memenuhi hati Nurmala, bukan rasa sesak tersemat di dada yang merajai hatinya. Hatinya sakit setiap mengingat Firman, nama pria itu masih bertahta di hati Nurmala. Kenangan indah bersama Firman masih menguasai pikirannya."Mas Firman, apakah kamu juga sama patah hatinya denganku?" Nurmala memejamkan mata, tangannya memegangi dada yang begitu sesak hingga sulit untuk bernafas. Cinta yang sudah bertahun-tahun mereka rajut, harus kandas karena
Nurmala bersandar di kepala ranjang sembari mengusap perutnya yang masih rata. Sudah ada makhluk kecil yang tak pernah ia inginkan tumbuh di sana. Ia masih tak percaya bisa menikah dengan orang yang sudah merusak hidupnya. Nurmala menghela nafas berat, ia tak mau terus-terusan larut dalam kesedihan."Ini untukmu.” Lamunan Nurmala buyar karena Alfian yang tiba-tiba berdiri di sampingnya menjulurkan sebuah kartu berwarna hitam. “Kamu bisa beli apa pun dengan kartu ini,” lanjut Alfian."Aku nggak butuh itu." Nurmala membuang muka ke samping."Maaf, tapi aku tidak menerima penolakan." Alfian menarik tangan Nurmala, lalu menjejalkan Black Card itu ke tangannya."Kamu nggak apa-apa kan, kutinggalkan kerja?" tanya Alfian."Iya." Itu lebih baik pikir Nurmala. Berada di dekat Alfian hanya membuat Nurmala merasa sesak napas."Kalau butuh sesuatu, kamu bisa minta tolong sama Bi Puput. Aku sudah minta dia untuk menjagamu.""Iya," jawab Nurmala singkat. Ia masih memalingkan muka dari Alfian"Nant
“Kapan ‘sih dia pulang. Ini sudah malam banget.” Nurmala berjalan ke sana kemari di teras rumah menunggu kepulangan Alfian dengan gelisah tapi sampai sekarang pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Pria itu sudah berjanji untuk mengantarnya ke kos-kosan Ratna, padahal sekarang sudah jam 9 malam, tapi Alfian tak kunjung pulang. Berulang kali dihubungi, tapi panggilan teleponnya tidak aktif."Dasar tukang ingkar janji. Ini sudah terlalu malam untuk ke kosan Ratna. Ratna pasti sudah kebingungan cariin aku. Tahu gitu aku berangkat sendiri tadi." Nurmala tak bisa memberi kabar pada Ratna karena tidak punya nomornya, semua ini karena hp miliknya dirusak Alfian."Nak, ini sudah malam. Kenapa masih berdiri di luar, nanti bisa masuk angin loh,” Bi Puput merasa cemas melihat sejak tadi menunggu Alfian."Aku nunggu Alfian, Bi. Dia janji mau nganter aku ke tempat temanku. Aku mau ngambil barang-barangku di kosan, tapi dari tadi ditungguin Si Alfian nggak datang-datang. Tahu gitu'kan ak
Alfian tertegun, sindiran tajam dari Nurmala membuatnya tersinggung, meski apa yang Nurmala katakan benar tetap saja Alfian merasa sakit hati, apalagi Alfian sudah bertanggungjawab menikahinya. Yang membuat Alfian semakin kesal, Nurmala berani menghunuskan tatapan tajam padanya, padahal Alfian adalah suaminya. "Kenapa menatapku seperti itu? Mau lagi?" tanya Alfian sebab Nurmala masih menatapnya dengan sinis."Aku tidak sudi melayanimu." Nurmala memutar mata jengah, ingin sekali ia menyumpal mulut Alfian yang los tanpa sensor. Apa dia tidak malu berkata seperti itu pada Nurmala."Aku suamimu. Aku bisa menyentuhmu kapanpun aku mau." Alfian tersenyum sarkas."Enak saja. Di dalam surat perjanjian, kontak fisik dilarang." Nurmala kembali menatap Alfian dengan sinis. Jangankan melayani Alfian, berdekatan dengannya saja sudah membuat Nurmala risih dan merinding.“Mulai sekarang kamu tidak boleh dekat dengan lelaki manapun.”“Apa urusanmu?”“Jelas itu urusanku. Kamu istriku.”“Cuma istri sem
“Langit sudah mendung. Kayaknya bentar lagi bakal hujan, deh. Kamu nggak mau mampir dulu di kos-kosanku? Kalau langsung pulang, kamu bakal kehujanan, loh.”“Nggak, Na. Takut ada fitnah. Kapan-kapan saja kalau ada Nurmala aku bakal mampir. Oya, di sebelah mana kamar kos-mu?" tanya Firman."Kamar nomor 7, di sana." Ratna menunjuk kamar yang pintunya terbuka. Firman mendongak mengikuti arah telunjuk Ratna. "Loh, pintu-nya ke buka," seru Ratna kegirangan. “Kayaknya Nurmala udah pulang, deh.” Senyum di bibir Ratna mengembang dengan lebar.Senyum bahagia mengembang di bibir Firman, akhrinya dia bisa berjumpa lagi dengan wanita yang sangat dicintainya. "Gimana, ya, kalau Firman tahu Nurmala sedang hamil?" gumam Ratna dalam hati dengan perasaan cemas. “Apa Firman mau menerima Nurmala yang lagi hamil anak orang lain.”Firman segera turun dari motornya, kemudian berlari kecil menuju kamar kos Ratna. Senyum di bibir Firman terus mengembang sepanjang ia berlarian. Ia sudah tidak sabar ingin ber