Alfian menuruni anak tangga seraya menenteng tas kerja, tak sengaja berpapasan dengan Ayu begitu sampai di lantai dasar.
"Ma," Alfian menyapa Ayu. Namun, wanita yang sudah melahirkannya itu malah membuang muka seolah tak melihat Alfian yang berdiri di ujung tangga. Senyuman hangat yang biasa Alfian dapatkan dari Ayu, kini tak lagi ada.
Suasana pagi tak sehangat biasanya. Amarah kedua orang tua Alfian masih membara tak kunjung sirna.
Alfian akui ia memang bersalah, kesalahan yang ia buat sangat fatal, tapi semua itu ia lakukan di luar kesadarannya karena pengaruh minuman alkohol. Alfian tak pernah memaksa satupun wanita untuk ditiduri kecuali Nurmala.
Entah setan apa yang telah merasukinya hingga melakukan perbuatan bejat tersebut. Lebih baik Alfian pergi ke kantor menyibukkan diri dengan pekerjaan, daripada melihat wajah cemberut keluarganya.
Alfian bergegas pergi, langkahnya terhenti di ruang tamu, ketika berpapasan dengan asisten rumah tangganya. "Tolong buang sprei yang ada lantai kamarku. Aku tidak mau melihatnya lagi."
"Iya, Den." Setelah mendapat jawaban dari art-nya, Alfian pun pergi.
Alfian membuka pintu utama, dan mendapati seorang pria berwajah manis berdiri di depan pintu.
"Kamu siapa?" tanya Alfian.
"Nama saya Firman," jawab Firman dengan sopan.
"Ada perlu apa?" tanya Alfian sembari melihat jam di pergelangan tangannya agar pria yang berdiri di hadapannya tahu bahwa Alfian tak memiliki banyak waktu untuknya.
"Saya mau bertemu dengan Nurmala. Ada perlu penting."
Mata Alfian memicing mendengar nama gadis itu disebut-sebut. Ia memindai Firman dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan tatapan menyelidik penuh penilaian. Firman berwajah manis, badannya tinggi dengan dada yang bidang, kulitnya putih bersih seperti orang Korea.
"Ada hubungan apa kau dengan Nurmala?" tanya Alfian penasaran.
"Saya calon suaminya."
Alfian menghela nafas panjang sambil memijat pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Kenapa ia harus menodai kesucian gadis yang sudah memiliki calon suami? Apakah Nurmala sudah menceritakan perbuatan bejatnya pada pria yang berdiri di hadapannya ini? Namun, melihat sikap tenang yang Firman tunjukkan, Alfian merasa pemuda ini tidak tahu apa-apa mengenai perbuatannya pada calon istrinya, tapi kenapa wajah Firman terlihat muram? Bahkan, matanya nampak sembab.
"Nurmala sudah tidak bekerja di rumah ini lagi. Dia udah pergi dari sini." Alfian berucap seolah tak pernah terjadi apapun antara dirinya dan Nurmala.
"Apa?" Firman tersentak kaget, "Sejak kapan?" Firman panik, dan bingung harus mencari Nurmala kemana lagi.
"Sejak hari ini," jawab Alfian dengan santainya.
"Tapi kenapa?" kening Firman berkerut penuh kekecewaan. Firman menghela nafas panjang, dari gestur tubuhnya terlihat sangat jelas jika dirinya sedang gelisah.
"Mana aku tahu." Alfian pura-pura bodoh sambil mengangkat kedua bahunya.
"Maaf, kalau boleh tahu. Dia pergi kemana?"
"Tidak tahu, dia tidak mengatakan akan kemana sebelum pergi. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, lebih baik kamu pergi. Aku mau pergi ke kantor, sudah telat."
"Baik, maaf sudah mengganggu waktu anda." Ucap Firman sembari mengangguk dengan punggung sedikit membungkuk.
"Hemm," Alfian hanya berdehem.
Firman pergi menjauh dari rumah Alfian dengan putus asa, sejak semalam ia terus memikirkan Nurmala dengan perasaan yang hancur. Ia bingung harus mencari Nurmala kemana lagi.
Alfian memandangi punggung Firman hingga hilang di balik pagar. Ia merasa kasihan pada Firman karena sudah merenggut kesucian calon istrinya. "Kasihan sekali dia harus dapat bekasku."
***
"Ratna."
Seorang pria turun dari motor memanggil Ratna. Pemuda itu membuka helm, lalu menghampiri Ratna yang baru selesai berbelanja di depan kosannya.
"Ada apa?" tanya Ratna begitu pemuda itu berhadapan dengannya.
"Gadis yang tinggal di kosan kamu siapa?" Tadi pagi, pemuda itu melihat Nurmala yang baru selesai mandi masuk ke dalam kamar kosan Ratna.
"Oh, dia temanku," jawab Ratna. "Namanya Nurmala."
"Nama yang cantik, secantik orangnya."
"Nggak usah gombal." Ratna menepuk lengan Farel. Pemuda itu hanya tertawa.
"Dia emang cantik, kok. Udah punya pacar belum?" tanya Farel.
"Tanya aja sendiri sama orangnya," jawab Ratna.
"Yang penting janur kuning belum melengkung, kan?" sahut Farel. Pemuda itu bernama Farel. Kamar kosannya ada di seberang kosan putri.
"Nggak, janurnya masih lurus. Selurus tiang bendera."
"Masih ada lowongan, dong! Nih, buat dia. Titip salam, ya! Dari Farel, tetangga depan." Pemuda itu menyerahkan bingkisan berisi kue pada Ratna.
"Buat aku mana?" Ratna memasang wajah cemberut sembari menerima pemberian dari Farel.
"Minta saja sama Nurmala. Kalau dikasih, ya, syukur Alhamdulillah."
"Iiih, dasar pelit, pilih kasih. Mentang-mentang temenku cantik dibaikin, kalau aku dicuekin." Selama menyewa kos-kosan di sini, Farel tak pernah memberinya apa pun kecuali senyuman, sedangkan Nurmala yang baru saja tinggal di kosannya langsung mendapat hadiah dari Farel.
"Iya, lah. Modal PDKT, biar jalan mulus."
"Ih, modus." Ratna kembali menepuk bahu Farel.
***
Di kantor, Alfian tak bisa fokus dalam bekerja. Ia menutup laptop dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saat matanya mulai terpejam, bayangan kesakitan dan jeritan pilu Nurmala bermunculan menghantuinya. Alfian meraup wajahnya dengan kasar, sejak semalam ia tak bisa tidur dengan tenang.
Sepulang dari kantor, Alfian dan teman-temannya pergi ke Club malam, mereka menikmati minuman haram bersama. Berpesta untuk kesialan Alfian. Hatinya hancur setelah menodai pembantunya sendiri, dan lebih sial lagi semua anggota keluarganya menjauhinya.
"Mau kutemani have fun malam ini?" Satu wanita malam bergelayut manja di lengan Alfian, sementara jari telunjuknya menelusuri dadanya yang bidang.
"Aaaaahhhh, pergi." Alfian mendorong wanita itu hingga terjungkal ke lantai. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" teriak Alfian dengan berang, matanya sudah merah karena mabuk.
Wanita itu menatap Alfian dengan nyalang. Roy menggelengkan kepala, lalu membantu wanita itu berdiri, kemudian mengusirnya. "Sudah pergi sana."
"Jangan minum terus, Al. Kamu sudah mabuk," ujar Andra. Ia merasa heran melihat Alfian, saat mabuk karakter Alfian bisa berubah drastis.
"Bukan aku yang salah, dia yang datang ke kamarku menawarkan diri. Kalau dia nggak masuk kamarku, semua itu nggak akan terjadi. Dia yang salah, bukan aku." Alfian mulai meracau tidak karuan.
"Dia ngomong apa 'sih?" Roy bertanya pada Andra. Namun, Andra hanya mengendikkan bahu.
Walaupun mabuk, Alfian tak pernah hilang kendali. Ia selalu menolak ajakan wanita malam tapi entah kenapa melihat Nurmala gairahnya membuncah. Yang ada di kepalanya hanya ingin menyalurkan hasratnya pada gadis itu.
Alfian sudah memberikan uang yang cukup besar sebagai permintaan maafnya, tapi gadis itu malah marah dan menamparnya. Itu sungguh mengusik harga dirinya.
"Udah Al, kamu udah mabuk berat. Lebih baik kamu pulang." Roy mengambil botol di genggaman tangan Alfian.
"Aku masih betah di sini. Jangan ikut campur." Tolak Alfian, lalu merampas minuman haram itu dari tangan Roy.
Alfian kembali meneguk minuman haram itu, belum sampai minuman itu masuk ke kerongkongannya, Andra ikut merampas botol di tangan Alfian hingga cairan haram itu berceceran membasahi pipi, dan kemeja yang dikenakan Alfian.
"Sialan, kau." Alfian mencengkram kerah kemeja Andra.
Andra menarik tangan Alfian dari lehernya, lalu memapahnya menuju pintu. Roy membantu membopong tubuh Alfian yang berjalan sempoyongan menuju parkiran mobil.
"Berat banget, sih," keluh Roy. Sepanjang jalan Alfian terus meracau tidak jelas.
"Kalau bunuh orang nggak dosa, udah kubunuh tuh, laki. Sahabat sialan, berani dia menusukku dari belakang," Alfian meracau sambil menunjuk-nunjuk udara.
"Hah, mabuk tapi masih ingat dosa nih anak," Roy mencibir Alfian.
"Dia benar-benar gila. Patah hati bisa membuat orang sholeh sepertinya jadi pendosa," ejek Andra setelah berhasil memasukkan Alfian ke dalam mobil lalu menutup pintunya.
"Segitu cintanya dia sama Vanessa."
"Udahlah, cinta itu memang buta." Kedua sahabat Alfian masuk ke dalam mobil, kemudian membawa Alfian ke apartemen Roy. Tak mungkin mereka membawa pulang Alfian ke rumahnya, yang ada Lukman akan marah besar.
"Silahkan dipilih, ini menunya." Nurmala menyerahkan menu makanan pada pengunjung restoran."Saya pesan Rice Bowl Beef Teriyaki, untuk minumnya Lemonade," pinta tamu restoran usai memilih menu makanannya. "Apa ada yang mau di pesan lagi, Tuan?" tanya Nurmala dengan ramah setelah menulis menu pesanan."Tidak, itu saja.""Apa anda mau mencoba Dessert Box Summer Breze. Itu menu baru di restoran kami. Berisi buah-buahan segar, cocok sekali dinikmati setelah memakam makanan berat," Nurmala menawarkan hidangan penutup yang berisi buah-buahan segar."Boleh."Dua minggu sudah berlalu, kini keadaan Nurmala mulai membaik. Ia tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus ia lakukan. Meratap tidak akan mengembalikan kesuciannya, meski hati masih terasa hancur, tapi masih banyak yang harus Nurmala lakukan daripada terus meratapi nasibnya.Nurmala mengganti nomor kontak hp-nya agar Firman tak lagi bisa menghubunginya. Sudah satu minggu Nurmala bekerja di sebuah restoran ternama se
Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan di Mall. Sudah 2 minggu mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian berharap bisa menghilangkan beban pikiran di kepalanya. Sinta bergelayut manja di lengan Alfian sembari berkeliling dari satu toko ke toko yang lain."Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menurunkan tangan Sinta dari lengannya. Sejujurnya, Alfian merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, ia pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun, hidup Alfian tetap terasa hambar."Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja di lengan Alfian, ia kembali memeluk lengan Alfian dengan agresif, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian."Hemmm," Alfian hanya berdehem.Sinta menarik tangan Alfian, lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.Alfian berdiri dengan santai di samping Sinta yang asyik me
Nurmala sangat kebingungan sekaligus frustasi. Apa yang harus dia lakukan, jika ibunya tahu Nurmala hamil, pasti beliau akan marah dan kecewa padanya. Hidup Nurmala sudah susah, apalagi dengan kehamilannya. Belum lagi cemoohan orang-orang tentangnya nanti. Jalan satu-satunya adalah menggugurkannya.Ratna terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Nurmala. Ratna bergegas ke kamar mandi karena khawatir dengan keadaan Nurmala. Dia terkejut melihat Nurmala duduk di lantai sembari memukuli perutnya, terlebih lagi ada 4 tespek dengan dua garis merah berceceran di lantai."Nurmala." Seru Ratna, kemudian berhambur menarik Nurmala ke dalam pelukannya. Ia tak ingin melihat Nurmala menyakiti diri sendiri."Hidupku hancur, Na, hidupku hancur." Nurmala menangis pilu. Ratna mengusap pungggung Nurmala dengan lembut. Membiarkan Nurmala menangis tersedu-sedu untuk mencurahkan semua rasa sakitnya."Siapa pelakunya Nur, siapa ayah dari bayimu? Dia harus tanggung jawab," pipi Ratna sudah basah deng
Tadinya, Alfian hendak keluar dari rumah sakit setelah menjenguk Ayu, tapi malah melihat Nurmala berlari sambil menutup mulutnya menuju ke toilet. Ia pun memutuskan untuk mengikuti Nurmala. Dari luar pintu toilet, Alfian mendengar seseorang muntah-muntah. Ia menyakini jika itu adalah suara Nurmala. Saat pintu toilet mulai terbuka, Alfian buru-buru bersembunyi di balik pilar. Nurmala keluar dari toilet dengan wajah lesu dan pucat, tubuhnya jauh lebih kurus jika dibandingkan dengan Nurmala yang dulu bekerja sebagai art di rumahnya. “Kenapa sekarang dia jadi kurus begini, apa dia terlalu stres gara-gara kejadian itu?” Alfian membatin, kemudian membuntuti Nurmala yang sudah berjalan melewatinya. Dulu, Nurmala memiliki bentuk tubuh ideal yang mampu memanjakan mata para lelaki, apalagi gadis itu memiliki wajah yang cantik alami tanpa polesan make up. Mungkin itulah yang membuat Alfian tidak dapat menahan hasratnya saat melihat Nurmala, apalagi dirinya sedang dalam keadaan mabuk."Kena
Alfian tak tega melihat Nurmala menangis tersedu-sesu, gadis itu menangis hingga tubuhnya bergetar. Alfian memang pendosa, tapi tidak akan pernah membiarkan Nurmala membunuh darah dagingnya. "Ini. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah." Alfian berusaha membangun kepercayaan di hati Nurmala. Dia memberikan tissue yang ada di atas dasboard mobil pada Nurmala. Nurmala menangis sembari mengambil beberapa lembar tissue lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ini tuh gara-gara kamu. Gara-gara kamu hidupku berantakan, hidupku jadi hancur gara-gara kamu," cerca Nurmala dengan suara bergetar. "Ok, aku minta maaf. Aku tahu, kesalahanku sangat fatal. Jadi bagaimana?" Alfian memutar punggungnya hingga posisinya menghadap Nurmala. Nurmala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menggelengkan kepala. "Aku bingung.” Suaranya terdengar serak. "Jadi kamu mau melahirkan anak kita?" Alfian merasa aneh akan menjadi seorang ayah dari seorang pembantu. "Oh, shit
Setelah selesai makan, Alfian membawa Nurmala keluar dari restoran dan masuk ke dalam mobil. Suasana di dalam mobil terasa canggung karena kedua insan itu sama-sama bungkam. Alfian mengemudikan mobilnya, sesekali melirik Nurmala yang sejak tadi hanya diam memandangi jalanan di depan dengan tatapan kosong."Selama ini kamu tinggal di mana?" Alfian mulai membuka suara untuk mengikis keheningan di antara mereka."Di rumah," jawab Nurmala singkat."Iya, daerah mana?" tanya Alfian lagi. Ia sedikit gemas melihat sikap Nurmala. Andaikan tidak sedang mengambil hatinya, Alfian pasti sudah menyentil kening Nurmala."Nggak tahu." Jawab Nurmala jutek, lalu menyandarkan kepalanya ke kaca jendela mobil.Alfian mengamati Nurmala dengan seksama, gadis itu terlihat begitu pucat dan lesu. "Kamu masih pusing, Nur?"Nurmala hanya mengangguk pelan. Alfian mulai menepikan mobil dan berhenti di tepi jalan, lalu mengambil obat di dashboard mobil yang ia dapat dari Dokter tadi. Alfian mengupas bungkusnya, kem
Alfian bertujuan membawa Nurmala ke supermarket untuk membeli kebutuhan ibu hamil dan pakaian untuk Nurmala, tapi urung ia lakukan karena Nurmala mengeluh sakit kepala, maka Alfian memutuskan untuk membiarkan Nurmala istirahat di rumah, sekaligus mengurungnya karena takut Nurmala melarikan diri.“Aku mau ke butik sebentar, setelah itu aku pulang. Kamu jangan ke mana-mana, tunggu aku di rumah.”“Mana bisa aku pergi kalau kamu mengurungku. Di mana kunci rumahnya, aku mau pulang?” tanya Nurmala disela tangisnya.“Maaf, tapi kuncinya aku bawa.” Ujar Alfian sembari memilih beberapa pakaian wanita.“Cepat pulang, aku takut sendirian.”“Iya, iya. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya.” Alfian menutup pintunya secara sepihak.Nurmala duduk di sudut kamar yang menurutnya merupakan tempat teraman dibanding tempat lainnya. Nurmala menangis tersedu-sedu karena masih belum terbiasa sendirian di tempat asing. Apalagi di rumah pria yang sudah merenggut kehormatannya. Perbuatan Alfian masih menyisakan
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nurmala Angraini Binti Muhammad Faruk dengan mas kawin tersebut, Tunai," ucap Alfian dengan mantap.Para saksi serempak mengucapkan kata, "Sah." Lantunan doa pun menggema memenuhi ruangan rawat Ayu.Nurmala tak kuasa membendung air mata saat para saksi mengucapkan kata 'Sah', berulangkali Nurmala menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Harusnya Firmansyah Aditama yang duduk di sampingnya untuk melafadzkan kalimat ijab kabul disaksikan oleh keluarganya. Harusnya rasa terharu karena rasa bahagia yang memenuhi hati Nurmala, bukan rasa sesak tersemat di dada yang merajai hatinya. Hatinya sakit setiap mengingat Firman, nama pria itu masih bertahta di hati Nurmala. Kenangan indah bersama Firman masih menguasai pikirannya."Mas Firman, apakah kamu juga sama patah hatinya denganku?" Nurmala memejamkan mata, tangannya memegangi dada yang begitu sesak hingga sulit untuk bernafas. Cinta yang sudah bertahun-tahun mereka rajut, harus kandas karena
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana