Usai membereskan kamar anak majikannya, Nurmala menyingkap tirai jendela, wajahnya semakin lesu melihat halaman rumah penuh dengan daun berguguran. “Huh, kotor banget halaman itu, kerjaan masih banyak. Dingin banget lagi udaranya.”
Dipandanginya langit yang nampak mendung berkabut. Sudah lebih 3 jam hujan mengguyur kota Jakarta, barulah hujan mulai mereda. Dedaunan pun berguguran mengotori halaman rumah majikannya. Nurmala segera keluar dari kamar anak majikannya untuk membersihkan halaman rumah sebelum hari makin gelap.
"Loh, antingku di mana?" Nurmala baru menyadari antingnya hilang setelah sedetik keluar dari kamar majikannya. Ia gegas berbalik memasuki kamar itu lagi. Nurmala melusuri lantai kamar dan ranjang tapi tidak ada. Padahal tadi waktu membereskan kamar anak majikannya, antingnya masih ada.
"Nah, ketemu." Hati Nurmala lega, setelah 30 menit mencari akhirnya ia bisa melihat kilauan emas di kaki ranjang. "Masih rezekimu, Nurmala." Nurmala bergumam pada diri sendiri dengan riang gembira sembari memungut anting tersebut.
BRAAAAAKKKK
Baru saja Nurmala meraih antingnya, ia dikejutkan dengan suara gebrakan pintu yang membuatnya berjingkat terkejut saat pintu dibanting sangat keras oleh anak majikannya, namanya Alfian.
Nurmala seketika berdiri tegap. Ia takut dan merinding melihat tatapan tajam Alfian. Pria yang selalu bersikap dingin berusia 27 tahun itu menyeringai, ada kilatan birahi di matanya.
DEG
Jantung Nurmala berdegup tak karuan ketika melihat Alfian mengunci pintu kamarnya, kemudian mulai mendekati Nurmala secara perlahan. Hal itu membuat tubuh Nurmala gemetar dengan hebat, sekaligus ketakutan setengah mati.
"Den, sa-saya mau keluar, tolong bu-buka pintunya!" Nurmala memohon sembari memeluk tubuhnya sendiri. Alfian tak menghiraukan permintaan Nurmala, ia terus melangkah semakin dekat meski mata Nurmala sudah berkaca-kaca.
Nurmala bergeser merapatkan tubuhnya ke dinding untuk menjauhi Alfian, lalu berlari secepat kilat. Namun, sebelum berhasil meraih pintu, Alfian sudah berhasil menyergapnya. Dia mencengkram pergelangan tangan Nurmala dengan erat. Matanya gelap penuh dengan kilatan gairah.
“Tolong lepasin saya, Den!” Teriak Nurmala sembari memberontak menarik-narik tangannya seraya memukuli dada Alfian. Namun pukulan yang Nurmala berikan tak berimbas apapun pada Alfian.
"Tolooong hemmmm," Nurmala berteriak, tapi Alfian membekap mulutnya dan menyeretnya secara paksa menuju ranjang.
Pria keji itu mulai menikmati setiap sentuhannya. Tak peduli dengan tangisan pilu Nurmala, mata hatinya sudah tertutup kabut. Nurmala semakin kalut, air matanya semakin deras mengucur. Segalanya telah hilang bersamaan dengan jerit kesakitan, kehormatan yang selama ini Nurmala jaga telah hilang direnggut secara paksa oleh laki-laki biadab ini. Masa depan dan semua impiannya sudah hancur. Nurmala mengerjapkan mata, perlahan matanya mulai terbuka. Manik matanya memindai setiap sudut kamar. Ia melihat Sarah duduk di sampingnya dengan tatapan sayu. Saat ini, Nurmala sudah berada di dalam kamarnya dengan pakaian baru.Puing-puing ingatan kejadian lalu sebelum Nurmala pingsan mulai bermunculan di ingatannya. Nurmala berharap apa yang ia alami hanyalah mimpi buruk belaka, tapi untuk sebuah mimpi itu terasa begitu nyata.
"Mbak, udah bangun?" Sarah berbasa-basi menyapa Nurmala. Gadis cantik itu tersenyum hangat pada Nurmala dengan mata yang sembab. Sarah adalah adik dari Alfian.
Nurmala berusaha duduk dari tidurnya walaupun kesulitan, badannya terasa remuk redam. Ia memegang bagian intinya yang terasa sakit.
"Uugh!" Nurmala melenguh karena nyeri.
Tenyata semua itu bukan mimpi, itu nyata terjadi. Air mata Nurmala seketika tumpah dengan deras, tangisnya kembali pecah. Nurmala tidak menyangka akan mengalami hal senista ini dalam hidupnya, dadanya terasa sesak bagai dihimpit batu besar karena tak sanggup menerima kenyataan pahit yang sangat menyakitkan.
Dari luar kamar, terdengar perdebatan sengit antara anak dan orang tua yang membuat hati Nurmala kian tersayat pilu, kebahagiaannya bagai dicincang dengan belati.
"Kesalahanmu kali ini sangat fatal Alfian. Kamu harus nikahin dia!" suara Lukman terdengar sangat lantang. Pria paruh baya itu adalah ayah dari Alfian Laksmana.
"Aku tidak sudi menikahinya. Cukup beri dia uang sebagai kompensasi, beres,” balas Alfian tanpa rasa bersalah sama sekali.
Dada Nurmala terasa semakin sesak, tega sekali Alfian menyamakannya dengan wanita murahan setelah menodai Nurmala dengan paksa. Setelah apa yang ia lakukan pada Nurmala, tak nampak Alfian memiliki penyesalan walau hanya secuil.
"Alfian, jaga bicaramu!" bentak Lukman dengan penuh emosi."Dia cuma pembantu, Pa. Kenapa kalian membesar-besarkan masalah ini! Dia itu lebih butuh uang daripada pernikahan," hina Alfian dengan suara lantang.
Hati Nurmala semakin terluka saat mendengar hinaan Alfian. Tega sekali mengatakan hal seburuk itu tentang Nurmala. Ia sama sekali tidak membutuhkan tanggungjawab dari Alfian.
"Alfian, cukup. Kamu sudah sangat keterlaluan, Nurmala itu manusia yang punya perasaan. Dia bukan hewan yang sesuka hati bisa kamu hinakan. Mama nggak pernah ngajarin kamu jadi bajingan seperti ini," kali ini Ayu yang berbicara keras lantaran tak bisa menahan kekecewaan terhadap putranya.
"Loh, Mama kok, lebih bela orang lain daripada anak sendiri. Emang bener kan, Ma, dia cuma pembantu. Mau ditaruh mana mukaku kalau aku menikah dengan pembantu. Apa kata orang-orang nanti tentangku? Apa kata keluarga besar kita nanti?" Alfian berucap dengan entengnya seolah hal yang menimpa Nurmala adalah hal yang biasa baginya.
"Alfian, tutup mulutmu. Mau nggak mau, kamu tetap harus menikahi Nurmala." Lukman meraung dengan berang. Ia sangat emosi melihat sikap tak bertanggungjawab Alfian. Sementara Ayu, mengusap dadanya yang terasa sesak melihat tingkah putranya yang sudah diluar batas.
"Kalau Papa mau, Papa saja yang nikah sama dia." Alfian berucap dengan ketus seraya beranjak dari kursinya.
“Alfian!” teriak Lukman sembari bangkit dari kursi, kemudian meninju wajah Alfian dengan sangat keras hingga pria tampan itu ambruk di lantai. Ia sudah tidak dapat menahan emosinya lagi saat melihat kelakuan putra kesayangannya yang semakin kurang ngajar.
“Papa mukul aku hanya karena wanita itu.” Alfian menyeka darah di sudut bibirnya sembari memandangi Lukman dengan tatapan tak percaya. Seumur hidupnya, baru kali ini Lukman berani memukulnya.
"Kamu pantas mendapatkannya, jangan sekali-kali kamu kurang ajar pada orang tua. Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi kelakuan buruk kamu." Lukman menatap Alfian dengan tatapan mengintimidasi. Ia sangat emosi melihat tingkah putranya yang semakin hari semakin menjadi-jadi.
“Ah, sudah, lah” Alfian tak peduli, ia bangkit dan beranjak pergi meninggalkan kedua orang tuanya dengan perasaan kesal.
Nurmala menangis tersedu-sedu mendengar perdebatan majikannya. Perkataan yang keluar dari mulut Alfian sangat menyakitkan membuat hati Nurmala kian terluka. kehormatannya sudah hancur tak tersisa. Kejadian tadi benar-benar menghantam hatinya. Hatinya sakit, sakit sekali hingga membuat dadanya terasa sesak. Apalagi setelah mendengar hinaan dari Alfian. Angan-angan tentang masa depan, kini telah sirna hanya tertinggal rasa keputusasaan.
"Mbak jangan khawatir, Mas Alfian pasti akan tanggungjawab dan nikahi kamu, Mbak." Sarah menghapus air mata yang membasahi pipi Nurmala, tapi langsung ditepis.
Perbuatan bej*t Alfian sudah memberikan luka yang begitu dalam. Luka itu kian menganga mendengar penghinaan Alfian. Nurmala segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah lemari. Ia mengambil tas dari atas lemari dan memasukkan semua pakaiannya dengan asal-asalan ke dalam tas. Semua barang-barangnya juga ia kemasi.
"Loh, mbak Nur mau kemana?" Sarah menarik tangan Nurmala. Namun, tangan Sarah kembali ditepis. Nurmala memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas sembari menyeka air mata yang terus mengalir sendiri tiada henti.
"Mbak jangan pergi. Tolong maafin Kak Alfian. Kak Alfian pasti akan tanggungjawab, sekarang dia cuma lagi mabuk," Sarah berucap dengan ekspresi sendu. Ia dapat merasakan luka hati yang Nurmala rasakan, jika berada di posisi Nurmala pasti Sarah juga akan merasakan sakit yang luar biasa ditambah lagi Alfian menghinanya.
"Aku nggak sudi nikah sama pria bejat seperti kakakmu,” balas Nurmala dengan nada sarkas diiringi air mata.
Hatiku terlalu sakit. Ya Tuhan, hatiku sakit sekali! Aku tidak pernah menyangka akan mengalami hal sehina ini.
Sarah menangis dan berusaha memeluk Nurmala, akan tetapi Nurmala menolaknya mendorong bahu Sarah hingga ia menjauh. Kakaknya sudah tega menghancurkan hidup Nurmala, bujuk rayunya tidak akan mampu mengembalikan kesucian Nurmala. Hidup Nurmala sudah hancur karena kakaknya.
Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, Nurmala keluar dari kamar. Ia berjalan melewati pintu samping, karena tak siap untuk bertemu Alfian dan keluarganya.
Sarah menarik tas di genggaman tangan Nurmala, membuat Nurmala menghentikan langkahnya.
"Lepas. Aku tidak sudi hidup bersama bajingan itu di rumah ini." Nurmala menatap Sarah dengan tatapan sinis. Ia tak mau bertahan di rumah terkutuk ini. Kejadian buruk yang menimpanya hanya akan membuat batin Nurmala semakin tersiksa jika masih bertahan di rumah majikannya.
1037/5000Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, Nurmala berjalan keluar menuju pintu utama. Nurmala ingin segera keluar dari rumah yang dulunya sangat nyaman untuk ia tinggali, tapi kini berubah seperti neraka yang mengoyak harga dirinya.“Mbak tolong jangan pergi, Mbak. Tunggu Mama sama Papa dulu.” Sarah kebingungan. "Ma, Mama, Mbak Nurmala mau pergi, Ma!” Sarah berteriak memanggil ibunya, sementara tangannya berusaha menahan kepergian Nurmala. Namun, Nurmala acuh dan menulikan telinga pendengarannya. Ia tak ingin menggadaikan harga dirinya dengan bertahan di rumah pria yang sudah tega merenggut kesuciannya.Tak lama kemudian Lukman dan Ayu datang menghampiri Nurmala dengan langkah tergopoh-gopoh hingga tiba di teras rumah. Mereka berusaha mencegah kepergian Nurmala yang terus melangkah."Nak, tolong jangan pergi seperti ini. Alfian pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya," pinta Lukman dengan setulus hati, meski ia tahu luka hati yang mendera Nurmala tak akan per
"Assalamualaikum,""Sibuk, ya?""Sayang, jangan lupa makan.""Jangan lupa sholat, Sayang." "Ibu tanyain kamu terus tuh, kapan calon mantunya main ke rumah?""Nur, lagi sibuk ya, kok sejak tadi pesanku nggak dibalas?" pesan dikirim oleh Firman pukul 4 sore ketika kejadian na'as menimpa kekasihnya."Kalau sudah nggak sibuk, cepat balas pesanku. Biar aku nggak kepikiran.""Aku kangen.""Apa kamu sakit, Nur? Sejak tadi perasaanku nggak enak," Firman merasa gelisah tanpa sebab. Sejak tadi ia terus memikirkan Nurmala, takut sesuatu yang buruk menimpanya. Namun, Firman berusaha menepis pikiran buruk itu.Tetesan demi tetesan air mata kembali mengalir dengan deras ketika Nurmala membaca sederet pesan dari Firman, laki-laki yang sebulan lalu melamarnya. Rencananya minggu depan Firman dan keluarganya akan datang ke rumah Nurmala di kampung untuk meresmikan pertunangan mereka, tapi Nurmala sangat takut dan malu membayangkan Firman akan menikahinya dan di saat malam pertama Firman mendapati Nurm
Alfian menuruni anak tangga seraya menenteng tas kerja, tak sengaja berpapasan dengan Ayu begitu sampai di lantai dasar. "Ma," Alfian menyapa Ayu. Namun, wanita yang sudah melahirkannya itu malah membuang muka seolah tak melihat Alfian yang berdiri di ujung tangga. Senyuman hangat yang biasa Alfian dapatkan dari Ayu, kini tak lagi ada.Suasana pagi tak sehangat biasanya. Amarah kedua orang tua Alfian masih membara tak kunjung sirna.Alfian akui ia memang bersalah, kesalahan yang ia buat sangat fatal, tapi semua itu ia lakukan di luar kesadarannya karena pengaruh minuman alkohol. Alfian tak pernah memaksa satupun wanita untuk ditiduri kecuali Nurmala.Entah setan apa yang telah merasukinya hingga melakukan perbuatan bejat tersebut. Lebih baik Alfian pergi ke kantor menyibukkan diri dengan pekerjaan, daripada melihat wajah cemberut keluarganya.Alfian bergegas pergi, langkahnya terhenti di ruang tamu, ketika berpapasan dengan asisten rumah tangganya. "Tolong buang sprei yang ada lanta
"Silahkan dipilih, ini menunya." Nurmala menyerahkan menu makanan pada pengunjung restoran."Saya pesan Rice Bowl Beef Teriyaki, untuk minumnya Lemonade," pinta tamu restoran usai memilih menu makanannya. "Apa ada yang mau di pesan lagi, Tuan?" tanya Nurmala dengan ramah setelah menulis menu pesanan."Tidak, itu saja.""Apa anda mau mencoba Dessert Box Summer Breze. Itu menu baru di restoran kami. Berisi buah-buahan segar, cocok sekali dinikmati setelah memakam makanan berat," Nurmala menawarkan hidangan penutup yang berisi buah-buahan segar."Boleh."Dua minggu sudah berlalu, kini keadaan Nurmala mulai membaik. Ia tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus ia lakukan. Meratap tidak akan mengembalikan kesuciannya, meski hati masih terasa hancur, tapi masih banyak yang harus Nurmala lakukan daripada terus meratapi nasibnya.Nurmala mengganti nomor kontak hp-nya agar Firman tak lagi bisa menghubunginya. Sudah satu minggu Nurmala bekerja di sebuah restoran ternama se
Keesokan harinya, Alfian dan Sinta pergi jalan-jalan di Mall. Sudah 2 minggu mereka resmi berpacaran. Bukan hubungan yang serius, Alfian hanya menjadikannya sebagai pelarian berharap bisa menghilangkan beban pikiran di kepalanya. Sinta bergelayut manja di lengan Alfian sembari berkeliling dari satu toko ke toko yang lain."Ayo, pulang. Aku sudah bosan." Alfian menurunkan tangan Sinta dari lengannya. Sejujurnya, Alfian merasa risih berdekatan dengan Sinta. Awalnya, ia pikir dengan memiliki kekasih baru bisa mengisi kekosongan di hatinya. Namun, hidup Alfian tetap terasa hambar."Sebentar, Sayang. 30 menit lagi, ya." Sinta merengek manja di lengan Alfian, ia kembali memeluk lengan Alfian dengan agresif, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Alfian."Hemmm," Alfian hanya berdehem.Sinta menarik tangan Alfian, lalu membawanya memasuki toko pakaian. Sinta memilih pakaian sesuka hatinya karena Alfian akan membayar semua belanjaannya.Alfian berdiri dengan santai di samping Sinta yang asyik me
Nurmala sangat kebingungan sekaligus frustasi. Apa yang harus dia lakukan, jika ibunya tahu Nurmala hamil, pasti beliau akan marah dan kecewa padanya. Hidup Nurmala sudah susah, apalagi dengan kehamilannya. Belum lagi cemoohan orang-orang tentangnya nanti. Jalan satu-satunya adalah menggugurkannya.Ratna terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Nurmala. Ratna bergegas ke kamar mandi karena khawatir dengan keadaan Nurmala. Dia terkejut melihat Nurmala duduk di lantai sembari memukuli perutnya, terlebih lagi ada 4 tespek dengan dua garis merah berceceran di lantai."Nurmala." Seru Ratna, kemudian berhambur menarik Nurmala ke dalam pelukannya. Ia tak ingin melihat Nurmala menyakiti diri sendiri."Hidupku hancur, Na, hidupku hancur." Nurmala menangis pilu. Ratna mengusap pungggung Nurmala dengan lembut. Membiarkan Nurmala menangis tersedu-sedu untuk mencurahkan semua rasa sakitnya."Siapa pelakunya Nur, siapa ayah dari bayimu? Dia harus tanggung jawab," pipi Ratna sudah basah deng
Tadinya, Alfian hendak keluar dari rumah sakit setelah menjenguk Ayu, tapi malah melihat Nurmala berlari sambil menutup mulutnya menuju ke toilet. Ia pun memutuskan untuk mengikuti Nurmala. Dari luar pintu toilet, Alfian mendengar seseorang muntah-muntah. Ia menyakini jika itu adalah suara Nurmala. Saat pintu toilet mulai terbuka, Alfian buru-buru bersembunyi di balik pilar. Nurmala keluar dari toilet dengan wajah lesu dan pucat, tubuhnya jauh lebih kurus jika dibandingkan dengan Nurmala yang dulu bekerja sebagai art di rumahnya. “Kenapa sekarang dia jadi kurus begini, apa dia terlalu stres gara-gara kejadian itu?” Alfian membatin, kemudian membuntuti Nurmala yang sudah berjalan melewatinya. Dulu, Nurmala memiliki bentuk tubuh ideal yang mampu memanjakan mata para lelaki, apalagi gadis itu memiliki wajah yang cantik alami tanpa polesan make up. Mungkin itulah yang membuat Alfian tidak dapat menahan hasratnya saat melihat Nurmala, apalagi dirinya sedang dalam keadaan mabuk."Kena
Alfian tak tega melihat Nurmala menangis tersedu-sesu, gadis itu menangis hingga tubuhnya bergetar. Alfian memang pendosa, tapi tidak akan pernah membiarkan Nurmala membunuh darah dagingnya. "Ini. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah." Alfian berusaha membangun kepercayaan di hati Nurmala. Dia memberikan tissue yang ada di atas dasboard mobil pada Nurmala. Nurmala menangis sembari mengambil beberapa lembar tissue lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Ini tuh gara-gara kamu. Gara-gara kamu hidupku berantakan, hidupku jadi hancur gara-gara kamu," cerca Nurmala dengan suara bergetar. "Ok, aku minta maaf. Aku tahu, kesalahanku sangat fatal. Jadi bagaimana?" Alfian memutar punggungnya hingga posisinya menghadap Nurmala. Nurmala menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kemudian menggelengkan kepala. "Aku bingung.” Suaranya terdengar serak. "Jadi kamu mau melahirkan anak kita?" Alfian merasa aneh akan menjadi seorang ayah dari seorang pembantu. "Oh, shit
“Nay,” Ardi memanggil Kanaya yang baru saja turun dari mobil yang terparkir di parkiran kampus. “Ada apa, Pak?” tanya Kanaya. Kanaya berpikir jika Ardi akan menanyakan alasan kenapa Kanaya pergi dari rumahnya.“Apa kamu udah tahu masalah Dimas?” tanya Ardi.Ardi ragu dengan kejujuran Lilis yang mengatakan jika dia sudah memberitahu Alfian tentang Dimas. “Masalah apa?” tanya Kanaya dengan kening berkerut. Apakah Dimas masih menyimpan banyak rahasia kelam.Ardi melangkah mendekati Kanaya untuk memberitahu Kanaya dengan suara pelan takut ada orang lain yang mendengar, tapi Kanaya malah mundur menjaga jarak dengan waspada sembari memalingkan wajah. “Dimas masuk penjara, Nay.”“Apa?” pekik Kanaya dengan mata terbelalak karena shock. Matanya langsung berkaca-kaca dengan perasaan tak karuan. Sebesar apa pun kebencian Kanaya terhadap Dimas, Kanaya tetap mengkhawatirkannya. “Kok, bisa?” tanya Kanaya dengan suara bergetar.“Dia kena kasus penyalahgunaan narkoba.”“Terus gimana keadaan dia
Dimas mulai membuka mata saat hari sudah gelap, entah sudah berapa lama Dimas tertidur. Yang pertama kali terbesit di kepala Dimas adalah Kanaya.“Kanaya” Dimas tersentak kaget ketika teringat kata-kata terakhir Kanaya yang ingin menggugat cerai dirinya, Dimas tak ingin kehilangan Kanaya. Ternyata kebersamaannya bersama Kanaya hanya angan-angan semata. Dimas buru-buru menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh saat keluar dari area gedung kosong, berharap cepat sampai tujuan dengan selamat dan menjelaskan segalanya pada Kanaya.Dalam waktu kurang dari 30 menit, mobil Dimas sudah memasuki halaman rumahnya. Dimas memarkir mobilnya sembarangan, kemudian berlari ke dalam rumah menuju kamarnya dengan was-was. “Kanaya.” Dimas memanggil istrinya sembari membuka pintu. Kamarnya kosong, ranjang pun masih tertata rapi. Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, tapi juga tidak menemukan Kanaya di sana.“Kanaya, di mana kamu?” Dimas berteriak dengan frustasi
Dimas pulang ke rumahnya dengan keadaan berantakan, sakau membuat tubuhnya sakit seperti dikuliti hidup-hidup. Dimas sangat marah saat melihat pintu ruang kerjanya tidak terkunci apalagi obat-obatan miliknya sudah tidak ada lagi di atas mejanya. Dimas pergi ke kamarnya dan mendapati Kanaya yang menatapnya dengan dingin.“Kamu yang membuka ruang kerjaku?” tanya Dimas sambil menatap Kanaya dengan matanya yang merah.“Ya,” jawab Kanaya singkat.“Di mana obatku?” Dimas segera menghampiri Kanaya dengan hembusan napas yang terengah-engah.“Sudah kubuang.”“Apa?” Dimas menatap Kanaya dengan tatapan dingin, ia berusaha menahan diri agar tidak mengamuk pada wanita yang sangat dicintainya. “Kenapa kau buang?”“Punya hubungan apa kamu dengan Sonya?” tanya Kanaya dengan nada tegas.“Nggak ada,” jawab Dimas dengan nada ketus.“Jangan bohong kamu, Dimas. Aku sudah baca wa kamu.”Dimas mengambil hp-nya yang ada di atas meja, kemudian menghubungi seseorang tanpa mempedulikan tuduhan Kanaya. Saat ini
Pagi hari pun tiba, Kanaya mencemaskan Dimas yang meringkuk di ranjang. Akhir-akhir ini Dimas berubah aneh, pria itu sangat pucat dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan.“Kamu kenapa?” tanya Kanaya dengan khawatir sembari memeriksa kening Dimas.“Nggak apa-apa,” jawab Dimas dengan suara parau.“Nggak apa-apa gimana, wajah kamu pucat begini. Aku panggilin Dokter, ya!”“Nggak usah, aku nggak sakit.”“Badan kamu dingin banget, aku panggilin Dokter, ya! Kalau dibiarin takut tambah parah.”“Kamu nggak ngerti, Nay. Aku nggak sakit!” bentak Dimas karena merasa sakit oleh sentuhan ringan Kanaya.Kanaya terkejut sekaligus kecewa dengan perubahan sikap Dimas yang kasar. “Bisa nggak ngomongnya biasa aja, nggak usah kasar gitu,” keluh Kanaya dengan nada pelan berusaha menahan segala emosi di hatinya.“Mau kamu apa, Nay! Aku udah mau berubah, tapi nggak bisa, sulit.”“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti.” tanya Kanaya dengan bingung. Bukannya menjawab pertanyaan Kanaya, Dimas malah turun d
Dimas menjadi imam dalam sholat, sedangkan Kanaya yang menjadi makmumnya. Selesai sholat, Dimas dan Kanaya sama-sama berdzikir meminta kebaikan dunia akhirat dan pengampunan dosa.Kanaya terkesima dan tidak percaya Dimas begitu fasih melantunkan bacaan sholat dan dzikir. Waktu kecil Dimas pernah mengaji dan ketika tumbuh dewasa, Andra memasukkan Dimas ke pesantren meski hanya 3 bulan, setelah itu Dimas kabur. Setidaknya, Dimas masih memiliki bekal ilmu agama.Dimas merasa terharu melihat Kanaya tiba-tiba mencium tangannya, ia pun menghadiahi kening Kanaya dengan kecupan yang cukup lama, kemudian memeluk Kanaya dengan erat hingga Kanaya merasa sesak.“Jangan pernah tinggalin aku, Nay!”“Asal kamu baik, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang bisa lepasin aku, kamu meluknya kekencengan bikin aku susah napas!” Keluh Kanaya sembari menepuk-nepuk punggung Dimas.Dimas terkekeh, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Kanaya. Ia masih ingin bermanja-manja dengan istrinya untuk mengalihkan
Kanaya tidur dengan nyenyak sambil memeluk guling yang terasa hangat. Guling yang ia peluk terasa sangat nyaman membuat Kanaya enggan untuk bangun dari tidurnya. Kanaya masih ingin bermalas-malasan di ranjangnya.Namun ada yang aneh, guling yang Kanaya peluk tiba-tiba bergerak. Sontak saja Kanaya membuka mata dan mendapati wajahnya bergumul di dada suaminya. Rupanya Kanaya sedang memeluk Dimas, bukan memeluk guling.Kanaya beringsut mundur, dilihatnya jarum jam beker di atas meja menunjuk pada angka 04.00 WIB. Kanaya teringat dengan nasehat Rindu, seperti apa pun sifat Dimas, Kanaya tetap harus menjalankan tugasnya sebagai seorang istri."Mas, bangun, bangun, bangun." Kanaya menusuk-nusuk lengan Dimas dengan jari telunjuknya.Dimas menggeliat, kemudian menyipitkan matanya memandang wanita yang sudah mengganggu tidurnya."Ada apa?" tanya Dimas dengan suara parau."Sebentar lagi adzan subuh, kamu nggak mau sholat?""Nggak," tolak Dimas."Kenapa nggak mau sholat?" tanya Kanaya dengan ken
Rindu membuka dari mobil karena tidak nyaman menunggu di dalam mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Ia dan keluarganya menunggu jenazah Andra dikeluarkan dari ruang jenazah."Mau kemana kamu?" tanya Ashraf ketika melihat Rindu keluar dari mobil."Nggak enak di mobil, aku nunggu di luar aja pengen hirup udara luar." Rindu turun dari mobil, kemudian duduk di bawah pohon rindang. Ashraf pun turut keluar dari mobil menemani istrinya.“Masih lama nggak ‘sih?”“Nggak tahu, mungkin sebentar lagi jenazahnya udah bisa keluar.”“Nggak nyangka ya, Kak. Rasanya baru kemarin ketemu sama Om Andra, eh sekarang dia udah nggak ada.”“Umur manusia nggak ada yang tahu, Sayang. Makanya, kita jangan terlena dengan nikmatnya dunia karena hanya amal kita yang akan dibawa sampai ke alam kubur.”“He’em.” Rindu menyandarkan kepalanya ke bahu kokoh sang suami yang terasa sangat nyaman.***Kanaya memperhatikan Alfian yang duduk bersandar di sandaran mobil. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajah Alfian.
Dimas mengambil kontak mobil dan Hp-nya di atas meja dan segera pergi dengan langkah tergesa-gesa tanpa melihat ke arah Kanaya yang sangat terluka dan terpukul karena perbuatannya. Kanaya meringkuk di sudut ranjang sambil menangis mengamati punggung Dimas yang kian menjauh.Setelah meniduri Kanaya, Dimas mencampakkannya begitu saja seperti malam itu. Kanaya merasa jika Dimas hanya mempermainkannya saja dan memperlakukan dirinya bagai wanita penghibur yang setelah dipakai dicampakkan begitu saja.*** “Dimas mana?” tanya Andra pada Kanaya ketika tidak melihat Dimas ikut sarapan di meja makan.“Nggak tahu, Pa.” Jawab Kanaya dengan lesu, ia bersyukur tidak melihat wajah Dimas lagi setelah pria itu berhasil menidurinya semalam. Dimas benar-benar menguras tenaga dan emosi Kanaya, hingga paginya Kanaya merasa sangat lapar dan tidak bersemangat.“Anak itu tetap saja nggak berubah.” Andra menghela napas berat melihat kelakuan Dimas yang tidak berubah meski sudah menikah. “Papa harap kamu mau
Kanaya duduk di kursi dekat kolam renang untuk menenangkan t, sebab berada di dalam kamar hanya membuat Kanaya semakin larut dalam kesedihan. Ia ingin menghapus nama Ardi yang masih melekat di hatinya dan membuatnya merasa nelangsa. Kanaya ingin memberi Dimas kesempatan untuk membuka lembaran baru dalam rumah tangganya, karena sadar menyesali pernikahan tidak akan ada gunanya. Kanaya merasa Dimas tidak seburuk yang dia pikirkan, mungkin jika Kanaya bersikap baik, Dimas akan berubah menjadi suami yang baik juga.“Aku biasa duduk di sini setiap punya banyak masalah.”Kanaya mendongak saat mendengar suara yang tidak asing di telinga menyapanya. Manik matanya langsung beradu dengan tatapan mata Ardi yang sendu. Kanaya langsung bangkit dari kursinya hendak pergi dari tempatnya duduknya, tapi Ardi malah menghadang jalannya.“Pak, jangan halangi jalanku. Aku takut ada yang salah paham kalau kita berduaan di sini.” Kanaya semakin gelisah melihat sikap Ardi yang mulai berani.“Di sudut sana