Yoga bertanya balik, "Kamu sendiri kenapa nggak makan di lokasi konstruksi? Kamu mau ke mana?"Asta menyahut, "Aku harus menjaga ibuku. Aku akan makan di rumah.""Aku ikut," ucap Yoga.Asta merasa serbasalah. Yoga bertanya, "Kenapa? Aku nggak boleh ke rumahmu?""Bukan begitu. Rumahku agak berantakan. Aku khawatir kamu nggak nyaman," sahut Asta segera."Nggak apa-apa, kita teman. Ayo cepat," desak Yoga."Ya sudah." Asta terkekeh-kekeh dan bertanya, "Kamu yang bilang kita ini teman. Kalau begitu, apa kamu bisa melepaskan masker dan topimu? Memangnya kamu nggak merasa sesak?""Aku lagi alergi angin. Setelah alergiku sembuh, aku akan melepaskannya," sahut Yoga yang mencari alasan.Asta pun tidak merasa curiga. Keduanya segera tiba di rumah Asta. Ternyata, rumah yang dimaksud Asta adalah aula leluhur. Seluruh aset Keluarga Sitorus telah digadaikan dan hanya tersisa tempat ini.Aula leluhur ini sudah lama tidak direnovasi sehingga dinding dan atapnya lapuk. Bahkan, banyak rumput liar yang tu
Ibu Asta, Friska, sudah kelaparan. Dia langsung mengambilnya dan memakan dengan lahap. Tiba-tiba, dia mengernyit sambil bertanya, "Asta, kenapa makan malam hari ini mewah sekali?"Asta menyahut, "Aku sudah bilang tadi. Hari ini aku naik jabatan jadi ketua tim. Makanya, makanan yang kudapat juga jadi mewah.""Begitu rupanya. Aku nggak bisa menghabiskannya sendiri. Ayo makan bersamaku," ujar Friska yang tersenyum lebar.Asta membalas, "Nggak usah, aku sudah makan tadi. Staf nggak bisa menghabiskan makanannya, jadi kubawa pulang supaya nggak boros.""Oh, ya sudah." Friska makan dengan lahap.Asta berucap, "Omong-omong, Bu. Aku bawa temanku ke rumah. Dia memberiku bantuan besar di lokasi konstruksi hari ini.""Oh ya?" Penglihatan Friska kurang baik karena tumor otaknya. Setelah mendengar perkataan Asta, dia baru memperhatikan keberadaan Yoga.Friska berkata, "Dik, ayo duduk. Asta, bawakan air untuk temanmu.""Oke." Asta segera menyuruh Yoga duduk dan membawakan segelas air untuknya.Yoga m
Begitu mendengarnya, ekspresi Asta dan Friska pun berubah drastis. Asta buru-buru berkata, "Tunggu di sini ya. Aku akan keluar untuk memeriksa dulu."Usai berbicara, Asta bergegas berlari ke luar. Yoga mengernyit sambil menatap Friska, lalu bertanya, "Bibi, siapa orang di luar? Kalian berutang pada mereka?""Hais ...." Friska menghela napas dan menyahut, "Keluarga kami dicelakai orang tahun itu. Kami jadi punya banyak utang. Sebenarnya kami sudah menjual aset dan membayar lunas, tapi mereka terus meminta bunga dari kami. Kami nggak sanggup membayarnya lagi."Yoga menghibur, "Tenang saja, Bi. Serahkan semuanya padaku. Aku janji akan mengatasi masalah ini untuk kalian. Aku keluar dulu.""Dik, jangan. Orang-orang itu sangat galak. Sebaiknya kamu jangan ikut campur. Di sana ada pintu belakang, kamu keluar dari sana saja," nasihat Friska.Yoga terkekeh-kekeh dan membalas, "Semua akan baik-baik saja, Bi."Tanpa menghiraukan cegatan Friska, Yoga pun keluar. Terlihat Asta sedang berhadapan den
"Bocah, biar kuperingatkan dulu. Kalau kamu berani ikut campur, kamu juga akan dihajar!" ancam Putu.Asta segera berkata, "Dia bukan siapa-siapa. Dia cuma lewat rumahku dan minta minum karena kehausan. Pergilah."Yoga bergeming. Kemudian, dia bertanya pada Putu, "Kamu benar-benar ingin merebut aula leluhur keluarga orang? Kamu nggak takut disambar petir?"Putu membalas, "Kenapa memangnya? Aku sudah melakukan banyak kejahatan. Kalau karma benar-benar ada, aku sudah menjadi abu sejak awal.""Aku akan hitung mundur dari 10. Kalau nggak menyerahkan aula leluhur ini, aku akan merebutnya secara paksa. Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh ...."Asta sungguh panik dan tidak tahu harus bagaimana. Sementara itu, Yoga merasa sangat gusar. Jika belum menyegel kultivasinya, dia pasti sudah menghajar Putu ini habis-habisan tanpa menahan diri.Namun, harus diakui bahwa kesabaran ini mendatangkan keuntungan besar untuk Yoga. Dia bisa merasakan Teknik Menyembunyikan Auranya meningkat dan sudah hampir semp
Asta berkata, "Lancang apanya? Langsung tanyakan saja kalau ada pertanyaan."Yoga menjawab, "Setahuku, Keluarga Sitorus dulu adalah keluarga kaya. Kenapa dalam waktu beberapa tahun saja jadi seperti ini?"Membahas masalah ini, ekspresi Asta dan Friska sontak berubah. Yoga langsung paham bahwa dia telah mengungkit hal yang membuat mereka sakit hati. Dia pun buru-buru berkata, "Nggak masalah kalau nggak mau bahas.""Haeh, ceritanya panjang," jawab Asta sambil tersenyum getir. "Apa kamu pernah dengar tentang tiga pemuda berbakat di Provinsi Sadali?"Yoga menjawab, "Tentu saja. Saat itu, ada tiga konglomerat di Provinsi Sadali, yaitu Keluarga Kusuma, Keluarga Sitorus, dan Keluarga Fatah.""Tuan muda dari ketiga keluarga ini adalah Yoga, Asta, dan Daniel. Mereka sangat cerdas dan berbakat. Dalam usia muda, mereka telah menciptakan keajaiban dalam dunia bisnis, sehingga dijuluki sebagai pemuda berbakat dari Provinsi Sadali."Asta menganggukkan kepalanya. "Saat itu, aku dan Yoga bersahabat b
"Anggap saja ini rumahmu. Terserah kamu mau tinggal berapa lama. Mau mati di sini juga nggak masalah," balas Markus.Dasar mulut pembawa sial! Yoga melemparkan tatapan sinis pada Markus. "Kamu nggak lagi susun rencana buruk, 'kan?"Markus membalasnya, "Jangan menilai orang lain dengan negatif. Memangnya aku terlihat seperti orang begituan?""Tentu saja," jawab Yoga. Markus pun terdiam."Haeh, susah ya jadi orang baik. Kamu pasti sudah capek, 'kan? Cepat kembali ke kamarmu untuk istirahat. Jangan ganggu aku berbisnis," balas Markus.Yoga melihat penginapan yang kosong melompong itu sekilas. Bisnis apanya? Tidak ada seorang pun di sini. Bisnis apa yang dilakukan Markus?Di saat Yoga hendak naik ke lantai atas, tiba-tiba muncul tujuh sampai delapan orang dari luar pintu. Dilihat dari penampilan mereka, tampaknya adalah ahli bela diri. Mereka tampak kelelahan dengan napas terengah-engah dan sekujur tubuh yang dibasahi keringat.Pemimpin mereka bertanya dengan terengah-engah, "Maaf ... apa
Yoga menyaksikan sendiri Markus kembali ke kamarnya untuk melepas celana dalamnya sendiri. Setelah itu, dia bahkan menciumnya dengan ekspresi penuh kenikmatan. Begitu keluar dari kamar, kedua belah pihak menyelesaikan transaksinya. Kedelapan orang itu pulang dengan hati gembira.Pada saat ini, wajah Yoga menjadi muram. "Markus sialan, apa maksudmu ini?"Sambil menghitung uang, Markus bertanya, "Apa maksudmu?""Kamu menipu dengan menggunakan namaku? Tahu malu nggak?"Markus membalas dengan kesal, "Menipu dengan menggunakan namamu? Kita harus luruskan masalah ini sekarang juga. Apa semua yang kujual itu barang milikmu?"Yoga menggelengkan kepalanya. Markus bertanya lagi, "Lalu kutanya lagi. Kamu ini Tuan Bimo atau Yoga?""Omong kosong, tentu saja Yoga," jawabnya."Ya sudah kalau begitu? Aku menjual barangku sendiri dengan nama Tuan Bimo, memangnya ada hubungannya denganmu?" tuding Markus.Yoga tertegun seketika. 'Sialan, sepertinya masuk akal juga .... Tunggu! Tapi, sekarang semua orang
Asta sangat marah. Dia langsung membalikkan wajahnya dan tidak menghiraukan mereka.Kiki yang bersembunyi di pelukan pria gemuk itu berkata dengan manja, "Kakak ngomong apaan? Waktu pacaran dengannya dulu, dia bahkan nggak pernah sentuh tanganku. Mana mungkin bisa hamil?""Serius?" tanya si Gendut dengan tak percaya.Kiki menjawab, "Tentu saja. Aku curiga dia itu impoten atau mungkin penyuka sesama jenis.""Ternyata begitu!" Si Gendut tertawa terbahak-bahak, "Pantas saja dia dekat sekali dengan anak baru ini. Mereka berdua pasti punya rahasia. Haha!"Suara tawa terdengar bergantian. Pada saat itu, sebuah mobil mewah berhenti perlahan di samping. Si Gendut langsung terkejut dan segera berlari menghampirinya, "Pak Tora, kenapa Anda bisa di sini?"Orang yang datang adalah Tora, pemasok material terbesar di lokasi konstruksi ini. Tora hanya mengangguk dengan santai, "Gemuk, kamu belum makan, 'kan? Naiklah, kutraktir makan malam."Si Gendut merasa sangat terhormat. Siapa Pak Tora ini? Dia a