Bab, 1
“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!” tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot mata tajam, terlihat dadanya naik turun.
Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambil merangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun kedua anakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi di balik daster lusuhku.
Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babak belur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli lauk karena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamiku sendiri.
“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tampar kau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.
Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yang seakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka. Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.
Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalah sepele selalu dicampuri oleh keluarganya. Rasanya sudah tak tahan, kalau saja aku masih memiliki orang tua, sudah akan pergi sejak lama dari tempat, seperti neraka ini.
Pak RT yang ikut melerai pertikaian kami, hanya bisa terdiam serta pulang tanpa pamit karena sudah tak tahan mendengar ocehan ibu mertuaku. Tetangga yang lain hanya bisa melihat dari luar tanpa ikut andil di sini. Andai saja, aku bisa menutup pintu, sudah sedari tadi aku tutup supaya orang tak mendengar keributan keluarga toxic ini.
Barang-barang di dapur berserakan hingga piring dan gelas semuanya pecah akibat ulah, Mas Seno. Beginilah jikalau anak tidak dididik dengan benar oleh orang tuanya. Sampai tua akan begini sifat kasarnya terhadap wanita.
“Seno! Lebih baik kamu tidur di rumah Ibu saja ….” Ibu menarik lengan Mas Seno dengan paksa lalu pergi begitu saja.
Mas Seno menuruti kemauan ibu mertuaku tanpa mempedulikan kedua anaknya yang berkali-kali memanggil ayah sedari tadi.
Tinggallah, aku beserta ketiga anakku. Yang berdiri terpaku sambil menangis terisak di gubuk reot milik ibu mertuaku.
Kubawa ketiga anakku ke kamar dengan langkah tertatih. Rasa perih di beberapa bagian wajah dan tubuhku yang terluka akibat kekerasan dari Mas Seno dan ibunya tidak seperih rasa sakit yang ditorehkan Mas Seno di hatiku. Dengan cekatan kubaringkan anak bungsuku di atas tikar usang dan menyuruh Bagas, ikut tidur di samping kedua adiknya. Kasihan anak-anakku setiap hari selalu menyaksikan aku dan ayahnya bertengkar.
“Bu, aku lapar,” rengek Bagas seraya memegang perutnya, posisi yang masih berbaring.
“Sabar ya, Nak,” sahutku dengan lembut lalu beranjak ke dapur untuk memastikan entah ada yang bisa dimakan.
Aku sangat kebingungan tidak ada barang sama sekali untuk dimasak. Beras juga sudah habis, aku memutuskan untuk membereskan semua pecahan kaca yang berhamburan di lantai.
Setelah selesai, aku menemui anakku kembali ke dalam kamar dalam keadaan meneteskan air mata.
“Makanannya sudah masak, Bu …?” tanya Bagas dengan semangat.
Aku hanya menggeleng kepala dengan cepat seraya meremas dada. Menahan supaya tak menangis.
Untung saja Bagas tidak merengek lagi dan segera kembali tidur sambil memegang perutnya. Maafkan Ibu. Nak, tidak bisa menghidangkan makan malam untuk kalian, tetapi aku masih sangat bersyukur mempunyai anak seperti dia.
Walaupun tak di sekolahkan. Bagas termasuk anak yang pintar dan mengerti terhadap orang tuanya. Di usianya yang sudah menginjak sepuluh tahun tak pernah menuntut apa-apa dari ayahnya.
Tubuhku terasa remuk redam begitupun dengan kepala yang terasa ingin pecah akibat terbentur ke dinding.
Di usiaku yang menginjak 25 tahun bukannya mempercantik diri. Malah tak terurus. Mas Seno tak pernah memberikan uang sepeser pun, bahkan uang belanja semua dia yang mengatur.
Aku sangat iri pada Winda—istri Rahmat yang selalu di istimewakan. Tak ayal uang semua Winda yang pegang.
Mas Seno bekerja sebagai mandor sawit di PT Abadi, dibilang cukup besar gajinya, tetapi aku tak tahu berapa nominal gaji yang didapat serta tak pernah memberitahuku.
Untuk membuat cemilan di rumah saja, aku tak pernah, bahkan sekedar minum kopi dan gula. Hanyalah mimpi bagiku.
Satu kali dalam sehari makan nasi, aku sudah sangat bersyukur.
***
Keesokan harinya, aku sudah bangun pagi menyelesaikan semua pekerjaan rumah walaupun tempat berteduh kami layak dikatakan gubuk, tidak membuat diriku bermalas-malasan.
Mentari sudah semakin tinggi. Mas Seno tak juga menampakkan batang hidungnya, Bagas dan Mona sedari tadi menangis kelaparan.
“Bu, perut. Bagas sakit! Lapar!” pekik Bagas sembari tertunduk-tunduk.
“Sabar ya, Nak. Kita tunggu Ayah pulang,“ ujarku menenangkan Bagas.
Begitu juga dengan Mona yang menangis tiada henti. Walaupun tak lancar berbicara, tetapi aku sudah paham bahwa dia lapar. Ibu macam apa aku.
Aku mengurungkan niatku untuk berhutang di warung, takutnya Mas Seno Marah. Karena sudah tak tahan melihat anakku kelaparan, aku beranjak dari tempat duduk kemudian membuka lemari.
Satu-persatu celana Mas Seno di saku aku periksa, untung saja di saku celana jeans berwarna hitam aku menemukan uang selembar dua ribu rupiah yang sudah lusuh.
Bergegas aku pergi dengan menggendong Doni menuju warung terdekat. Tak lupa aku menyuruh Bagas menunggu Mona di rumah.
Sesampainya di warung, sekilas aku melihat banyak ibu-ibu memperhatikan diriku dari ujung kaki sampai kepala.
“Bu Ratmi … tolong ambilkan telur satu biji,” ucapku seraya menyodorkan kertas uang senilai dua ribu rupiah kepada penjual warung.
Tanpa bicara Bu Ratmi mengambil uang miliku lalu memberikan kantong plastik putih berisi satu telur.
“Satu telur mana cukup untuk satu keluarga ….” Ratna tetanggaku yang selalu suka usil dengan rumah tangga orang lain tengah menyindir diriku.
Tampak dari sorot matanya, tidak henti-hentinya menatapku dengan mata jelalatan.
“Iya … benar, Dinda. Apa kamu nggak dikasih uang sama suamimu?” tanya salah satu ibu-ibu dengan menatap sinis diriku.
“Mana mau, Seno ngasih uang sama dia, toh semalam saja berkelahi lagi. Sampai-sampai mertuanya saja dia pukul ….” Ratna si mulut pedas itu tengah menyindirku kembali sambil berdiri berkacak pinggang di hadapanku.
“Apa, tidak malu sama tetangga bertengkar terus? Kalau saya sih malu, sudah berani memukul mertua lagi,” celetuk ibu-ibu yang memakai baju berwarna merah, entah siapa namanya aku tak tahu.
Semua itu tidaklah benar, aku sudah tahu pasti ibu mertuaku yang membuat skenario palsu. Seakan-akan aku menantu kurang ajar agar semua orang di kampung ini membenciku.
Percuma saja aku membuka suara membela diriku sendiri di depan mereka, yang pasti mereka lebih percaya kepada ibu mertuaku yang punya kepribadian ganda. Di depan orang-orang ia berpura-pura baik di belakang munafik!
“Makanya, Dinda. Tinggal di kampung orang itu jangan banyak tingkah, jangan berlagak jago!!” pekik salah satu ibu-ibu bertubuh gempal lalu disertai suara sorakan yang lain.
Aku tidak menggubris ucapan mereka, melainkan bergegas melangkahkan kaki secepat mungkin untuk pergi.
Luka bekas pukulan di wajahku saja belum menghilang, ditambah lagi hujatan semua orang yang membuat hatiku perih.
Aku berjalan sambil termenung memikirkan Mas Seno kapan pulang.
Untuk menjemputnya di sana, aku tak berani. Yang pasti aku akan dihujat habis-habisan. Bukan satu kali Mas Seno, seperti ini. Bahkan sudah berkali-kali kalau bertengkar denganku.
Belum sempat aku datang ke rumah, bola mataku tertuju pada Bapak paruh baya membawa keranjang besar yang dipikul di bahu dengan kayu panjang sedang berdiri di teras rumah memberikan satu ikat jagung pada Bagas.
Hatiku mulai bertanya dari mana Bagas mendapatkan uang untuk membeli jagung.
Aku berjalan dengan cepat ke arah di mana Bagas dan Bapak paruh baya itu berdiri.
“Nak, dari mana kamu punya uang untuk membeli jagung?” tanyaku langsung tanpa bertanya pada Bapak yang berdiri di sampingku dengan lemah lembut seraya menatapnya dengan antusias.
“Maaf ya, Bu, anak ini tidak beli, saya yang sengaja kasih, kebetulan saya lewat tadi.” Bapak paruh baya itu yang menyahut ucapanku.
“Oh … begitu ya, Pak terima kasih banyak sudah baik dengan anak saya,” ujarku membungkuk dengan wajah malu.
“Iya, sama-sama, saya permisi dulu.” Bapak itu menjawab sambil mengusap kepala Bagas dengan lembut tak lupa senyum terukir di bibirnya.
“Baik, sekali Kakek itu ya, Bu. Nggak pelit, jagungnya juga besar-besar, kenyang kalau begini.” Bagas berjingkrak kesenangan sambil menenteng jagung ke dapur.
Aku hanya tersenyum getir melihat tingkah laku anakku. Aku sangat bersyukur masih ada orang peduli terhadap kami.
Setelah jagung matang serta telur dadar satu biji kuberikan kepada Bagas dan Mona.
Mereka sangat lahap sekali makan tanpa menyisakan sedikit makanan untuk diriku. Tentu saja kedua anakku sangatlah lapar sedari malam belum makan.
Aku hanya tersenyum getir melihat piring yang sudah kosong dan perutku sedari semalam terasa perih dan sakit, kepada siapa aku harus meminta beras dan sedikit makanan.
Bab 2.Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku.Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulangjuga ke rumah.Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yangharus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Senomenuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendussambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai kedapur menemui ayahnya.“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanyaBagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihatayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggakpunya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas S
Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb
Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis
Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis
Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb
Bab 2.Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku.Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulangjuga ke rumah.Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yangharus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Senomenuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendussambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai kedapur menemui ayahnya.“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanyaBagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihatayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggakpunya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas S
Bab, 1“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!”tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot matatajam, terlihat dadanya naik turun.Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambilmerangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun keduaanakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi dibalik daster lusuhku.Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babakbelur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli laukkarena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamikusendiri.“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tamparkau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yangseakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka.Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalahse