Share

Bab, 2.

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 22:05:06

Bab 2.

Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku. Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulang juga ke rumah.

Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yang harus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Seno menuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.

Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendus sambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai ke dapur menemui ayahnya.

“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanya Bagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihat ayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.

“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana ….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.

“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggak punya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.

“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas Seno kembali sambil melototkan mata.

Seketika itu Bagas terdiam sambil mengerucutkan bibirnya. Rasanya tak tega melihat anakku, seperti itu.

“Mas, apa salahnya sih, kasih anakmu bakso, dia, ‘kan pengen juga merasakan makanan itu.” Aku membujuk Mas Seno, supaya ia tak teredam emosi.

“Diam, kau! Mau aku tampar kayak semalam lagi. Satu bungkus bakso ini mana cukup!” hardiknya.

“Denger ya, Mas!! Kami dari semalam belum makan! Beras dan semua bahan keperluan dapur sudah habis. Sudah tau kamu punya anak dan istri, kenapa beli baksonya satu porsi!” teriakku dengan lantang tanpa takut sambil terisak serak menahan tangis.

Bagas yang melihat aku menangis hanya bisa mengusap lengan kananku.

“Sudah tahu beras habis, ya beli lah.” Mas Seno masih Menjawab tanpa berdosa dan tak acuh sambil menuang bakso ke dalam mangkuk lalu memakannya tanpa memperdulikan Bagas.

“Kau, pikir beli beras pakai daun nangka, Mas?!” raungku sembari menyeka air mata.

Mas Seno malah tak acuh, tetapi dengan santainya menghidupkan sebatang rokok lalu menyelipkannya di antara kedua bibirnya.

Aku terasa muak dengan tingkah lakunya. Bukan hanya hatiku menjerit sakit, tetapi batin dan pikiran yang sakit. Entah harus bagaimana lagi biar suamiku peduli terhadap istri dan anak.

Sebuah ide mulai terbesit di pikiranku. Daripada berdiam diri di rumah dengan keadaan perut yang lapar, bergegas aku menuang air masak ke dalam botol besar lalu mengajak Bagas serta kedua adiknya keluar.

“Kita, mau kemana Bu?” tanya putra sulungku sembari menerima botol yang aku berikan.

“Bagas, mau bakso ‘kan?” Kalau menginginkan sesuatu itu kita harus kerja dulu supaya dapat duit,” sindirku sembari melingkarkan kain jarik ke bahu. Sekilas aku melirik Seno tetap makan dengan santainya.

Karena aku sadar diri karena selama ini tidak bekerja dan tidak menghasilkan pundi-pundi uang. Makanya aku selalu diremehkan.

“Emang, mau kerja apa, Bu?” tanyanya lagi dengan mengerutkan dahi.

“Sudah, jangan banyak bicara, ikuti saja Ibu ….” Aku berjalan keluar tanpa pamit pada suamiku terlebih dahulu.

Bagas hanya mengangguk lalu berjalan mengikutiku sembari menggandeng tangan Mona.

Jujur saja dalam keadaan fisikku yang belum stabil habis melahirkan, harus tetap kuat demi anakku.

***

Sesampainya di rumah Pak RT, aku mulai mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

“Assalamualaikum,” tuturku dengan harap beliau ada di rumah.

“Walaikumsalam,” sahut seseorang dari dalam.

Tanpa berselang lama keluar lah perempuan gempal berusia kurang lebih 45 tahun dengan makeup yang menor yang sering di sebut Bu RT.

Terpampang dengan jelas aneka kue kering teronggok di atas meja tamu, aku yang melirik sekilas hanya bisa meneguk saliva.

“Ada perlu apa ya, Nak Dinda datang kemari?” tanya Bu RT yang bernama Sumi membuyarkan lamunanku.

“Itu … anu, apa boleh berondol sawit punya Ibu saya yang petik? Kebetulan saya butuh pekerjaan,” tuturku seraya menundukkan wajah.

Hening tak ada jawaban yang keluar dari mulut Bu RT, terlihat dari bola matanya melirik diriku dengan tatapan jijik.

Matanya tetap fokus melihat buah dadaku yang basah karena air Asi. Jangankan untuk membeli bra, untuk membeli makanan yang anakku inginkan saja aku tak mampu.

Lelah menunggu jawaban Bu RT, aku membalikkan tubuhku untuk kembali. Namun, langkahku tercekat kala Bu RT berteriak memanggil namaku.

“Karung untuk memasukan sawitnya, tuh di meja ambil saja ….” Dia menunjuk ke arah meja di samping kami.

Segera aku meraih beberapa karung besar yang tergulung rapi di atas meja.

“Apa, kamu sudah lepas empat puluh hari Dinda. Apa kamu kuat untuk bekerja?” Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut Bu RT.

Tampaknya dia sangat khawatir dengan diriku. Ternyata dugaanku tadi salah.

“Insya Allah kuat, Bu,” sahutku lalu beranjak pergi menuju jalan setapak kecil.

Untuk menuju perkebunan sawit milik Pak RT, agak jauh kalau berjalan kaki lagi pula harus melewati hamparan perkebunan sawit milik PT Abadi.

Kami tidak memiliki motor ataupun sepeda. Mas Seno saja kalau berangkat ke tempat bekerja menggunakan motor adiknya.

Gaji yang dimiliki Mas Seno entah raib ke mana, untuk membeli motor butut saja tak mampu apalagi membuat rumah ataupun membeli tanah.

Setelah sampai di tempat, aku membentangkan kain jarik supaya ketiga anakku tidak terkena paparan sinar matahari.

Tak lupa juga berpesan pada Bagas untuk tidak menyuruh Mona bermain di sekitar pohon sawit, Doni kubaringkan menggunakan alas karung yang bersih supaya dia nyenyak tidur.

Untung saja kali ini Mona tidak merengek dia malah asyik memainkan boneka barbie pemberian tetangga yang sudah lusuh.

Sebelum bekerja tak lupa, aku mengikat perutku menggunakan korset. Mengingat belum lepas empat puluh hari.

Aku mengusap wajahku dengan kasar lalu berjalan dengan gontai ke arah biji sawit yang berhamburan di tanah, setelah panen selesai mengambil buahnya di tandan.

Aku meringis kesakitan tatkala duri sawit menancap di ujung jariku, wajar saja tanganku tak menggunakan alas apapun, tetapi aku tetap semangat demi buah hatiku bisa makan.

Sudah dua jam aku mengais biji sawit di tanah, lumayan cukup banyak dapat sembilan karung. Gerimis datang melanda tetap saja aku melanjutkan pekerjaanku untuk memenuhi satu karung lagi.

Tampaknya di dekat ujung sana, ada pemanen yang baru saja selesai, memanen tandan buah sawit dengan segera aku menghampiri biji sawit yang banyak berhamburan di tanah, tetapi langkahku tercekat tatkala diriku di panggil pria pembawa buah sawit.

“Mbak, biji sawit yang dalam karung itu bawa saja dulu ke sini!” teriaknya dengan posisi masih di atas mobil besar beroda empat.

Dengan langkah tergesa-gesa aku membawa satu-persatu karung itu ke pria pembawa buah sawit.

“Sisa satu karung lagi, Dek. Tunggu dulu ya,” ucapku dengan napas tersengal.

Pria itu pun mengangguk, sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya yang sedang duduk di atas tumpukkan karung sawit.

Dengan cekatan dan penuh semangat, tangan yang sakit terkena duri sudah terlupakan olehku yang telah digantikan dengan ribuan biji sawit.

Setelah karung itu penuh oleh biji sawit, dan ingin mengangkatnya ke bahu tanpa aku sadari aku terperosok masuk ke dalam lubang yang sudah dipenuhi semak belukar.

Aku berteriak sekencang mungkin. Namun, tidak ada yang mendengar suaraku. Mungkin aku sudah masuk terlalu dalam dari jalan raya makanya tidak ada yang mendengar. Aku tidak mau mati membusuk dalam lubang ini.

Aku hanya bisa berucap dalam hati. masih ada buah hati yang aku rawat. Mereka masih membutuhkanku.

Bab terkait

  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab 3.

    Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 4.

    Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 5.

    Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 1

    Bab, 1“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!”tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot matatajam, terlihat dadanya naik turun.Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambilmerangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun keduaanakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi dibalik daster lusuhku.Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babakbelur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli laukkarena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamikusendiri.“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tamparkau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yangseakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka.Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalahse

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11

Bab terbaru

  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 5.

    Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali

  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 4.

    Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis

  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab 3.

    Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb

  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 2.

    Bab 2.Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku.Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulangjuga ke rumah.Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yangharus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Senomenuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendussambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai kedapur menemui ayahnya.“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanyaBagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihatayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggakpunya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas S

  • Pembalasan Untuk Keluarga Suamiku Yang Toxic   Bab, 1

    Bab, 1“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!”tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot matatajam, terlihat dadanya naik turun.Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambilmerangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun keduaanakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi dibalik daster lusuhku.Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babakbelur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli laukkarena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamikusendiri.“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tamparkau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yangseakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka.Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalahse

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status