Bab 3.
Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukup dalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapa kali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam. Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.
Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang pria setengah berlari ke arah lubang ini.
“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaan dengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.
“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolong saya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.
Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi aku umur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadar bulir bening menetes di pelupuk mata.
Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengan tali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluar walaupun bersusah payah ditarik dengan tali.
“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelah membuka tutupnya.
“Terima kasih ya, Dek,” ucapku menerima botol mineral itu sambil duduk lalu meminumnya hingga habis.
“Jangan panggil saya sebutan itu. Mbak,” sahutnya sembari membuka dompet lalu menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu pada diriku. “Panggil saja, Riko.”
Aku hanya mengangguk lemah dengan nafas yang masih terengah-engah tidak mengambil terlebih dahulu uang itu. Entah apa maksudnya tidak mau dipanggil sebutan itu padahal dia masih kelihatan muda.
“Ini … hasil aku memetik brondol sawit?” tanyaku memastikan apakah uang ini benar hasil keringatku lalu mengambilnya ragu.
“Betul, Kak … kenapa Kakak bersusah payah bekerja sih ‘kan, ada suami yang bekerja …?” Dia langsung bertanya tentang diriku tanpa rasa sungkan atau mungkin. Dia merasa kasihan musibah yang menimpa aku barusan.
Aku terdiam sejenak …
Aku menghembuskan napas kasar lalu meliriknya tanpa mengeluarkan satu patah kata. Aku tak ingin berlama-lama di sini dengan pria yang tidak aku kenal, pasti anak-anakku sudah lama menunggu dan aku sangat khawatir pada si bungsu.
Perlahan aku bangkit berjalan tertatih-tatih menuju jalan raya dan menemui anakku. Pria itu tampaknya mengikuti diriku dari belakang, tidak lupa karung sawitku juga iya pikul.
Wajah ketiga anakku terpampang jelas, tampak mata anak sulungku berkaca-kaca.
“Ibu! … itu Ibu. Bang!” teriak Mona gembira sambil menunjuk dengan jari telunjuknya.
Aku hanya mengulum senyum lalu berhambur memeluk mereka.
“Ibu kemana kok lama sekali?” tanya, Bagas khawatir padaku, tubuhnya terasa bergetar dan sesenggukan mungkin terlalu lama menangis.
Aku melirik kantong plastik hitam yang tergeletak di atas karung, sekilas aku lirik rupanya, talas.
“Ibu tadi ada sedikit insiden kecelakaan, Nak. Tapi alhamdulillahnya ada orang yang nolongin ibu.” Aku mengambil alih si bungsu lalu menggendongnya di kain jarik yang aku lingkarkan ke bahu.
Bagas melirik pria yang menolongku sedang berjalan ke arah kami. Roda empatnya ia parkirkan tak jauh dari kami berada.
“Adek, namanya siapa …?” tanya pria itu langsung pada anak sulungku sambil memegang dagunya.
“Nama saya, Bagas. Om ….”
“Nama yang bagus. Sekolah kelas berapa sekarang?” pria itu mulai bertanya kepada bagas lagi.
Bagas tidak menjawab hanya tertunduk lesu, aku yang merasa kasihan pada anakku segera merangkulnya.
“Dia, tidak sekolah. Dek, karena tidak ada biaya,” ujarku one the point langsung dengan intinya supaya tidak banyak bertanya.
“Maaf. Om bukan bermaksud, seperti itu … sekali lagi minta maaf.” Dia bersimpuh sambil mengatupkan kedua tangannya sampai segitunya dia meminta maaf.
Mungkin menanyakan perihal tadi sensitif bagi Bagas, attitude pria bernama Riko ini sangatlah bagus, sesuai dengan wajahnya yang tampan.
“Mbak boleh saya berbicara sesuatu pada. Mbak?” tanya Riko dengan serius, baru kenal satu jam yang lalu langsung mengajak aku mengobrol.
Rasanya ingin cepat pulang ke rumah, aku tidak merasa nyaman dengan celanaku yang basah serta memikirkan perut anakku yang sudah keroncongan.
“Begini. Mbak, mohon maaf kalau tersinggung, saya bukannya bermaksud mengompori Mbak, saya tidak mau terjadi, seperti kejadian yang dialami kakak saya.” Dia duduk di tanah tanpa alas, bercerita dengan serius sesekali melirik ke arahku.
Aku hanya terdiam mencerna ucapannya. Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan pria itu? Aku masih tetap berdiri di tempat tadi walaupun kaki terasa pegal.
“Mbak. Harus melawan jikalau keluarga dari pihak suami atau suami, Mbak sendiri berbuat jahat, mental harus kuat apa perlu pergi dari kehidupan mereka yang toxic. Sayangi harga diri kita sebagai perempuan. Mbak,” ujarnya bercerita panjang lebar membuat hatiku terusik.
Apa maksudnya menasehati aku, seperti itu atau kasihan mungkin? Aku mengingat perlakuan Mas Seno dan keluarganya terhadapku, ah! Rasanya ingin pergi menjauh akan tetapi, mengingat aku sebatang kara tidak punya sanak saudara, bahkan orang tua. Jadi aku lebih memilih bertahan tersiksa batin dan jiwa.
“Mencintai diri sendiri lebih penting, Mbak dan jangan bergantung pada manusia yang tak mau peduli, makin semena-mena mereka.” Riko berucap berapi-api seraya tangannya meraup tanah lalu melemparkannya ke udara.
“Terima kasih atas nasehatnya, Dek ….” Aku menyahut dengan pelan takutnya kalau berbicara tegas takut tersinggung.
Mungkin beliau trauma atas apa yang menimpa keluarganya. Aku mulai pamit menuntun anakku pulang ke rumah, biarkan saja ia melampiaskan emosinya. Beberapa saat aku melirik ke belakang rupanya Riko telah bangkit menaiki roda empat dan berputar balik arah.
“Bu. Om tadi kenapa marah-marah?” tanya Bagas polos tetap berjalan lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.
“Kita tidak perlu tahu dengan masalah mereka. Nak, fokus saja pada kehidupan kita sendiri. Nanti kita mampir ke warung dulu ya kita beli beras sekalian beli ciki-ciki.” Aku mengalihkan pembicaraan tidak mau mengingat pemuda tadi berbicara walaupun dia tahu menebak rumah tanggaku sedang tidak baik.
Akhirnya, mereka menurut berjingkrak kesenangan sambil tetap berjalan menuju tempat yang aku maksud.
***
Uang 50 ribu yang aku dapatkan dari memetik berondol sawit Pak RT, sudah habis dibelanjakan bahan sembako dari mulai beras 2kg, telur 5 biji, minyak setengah kilo dan sisanya untuk anak-anak. Keinginan Mona dan Bagas tadi pagi untuk makan bakso aku urungkan karena bagiku makan nasi lebih penting daripada jajan.
“Baru belanja segitu gayanya sudah selangit, tapi pakaian compang camping.” Ratna menatapku dengan mata jelalatan perpaduan yang khas menampilkan bibir monyongnya.
Dia selalu mencari gara-gara denganku, entah apa maksudnya selalu menyindir. Memang benar kata kepala panti asuhan dulu, orang yang ingin dipandang sempurna dan segan harus kaya dulu, itu memang fakta.
“Emang kenapa dengan bajuku kalau compang camping?” tanyaku dengan sorot mata tajam.
“Bajumu itu kotor, sudah berapa tahun nggak diganti? Setidaknya pergi ke warung itu baju yang bersih dong! Jangan pake baju kerja, bau tau, mengganggu pemandangan aja,” gerutu Ratna sembari menutup hidung menggunakan jarinya.
Lagi-lagi aku tak menggubris ucapannya, malu sedih bercampur menjadi satu, mulut tak bisa berkata apa-apa daripada jadi bahan tontonan para ibu-ibu, lebih baik aku melangkah pergi.
“Huhuhu … makanya besok-besok pergi belanja tuh, baju diganti dulu, ya, ‘kan ibu-ibu!” Ratna semakin bersemangat menghinaku, kedua tangannya berayun ke udara meminta para ibu-ibu bersorak.
Aku mengayunkan langkah kakiku dengan cepat sembari menuntun kedua anakku pergi. Tangisku pecah, bulir bening mengalir deras, aku menatap wajah Mona dan Bagas yang terlihat sendu, cepat-cepat mengusap wajah dengan punggung tangan. Sebegitu bencinya mereka kepadaku, bukan hanya ibu mertua yang semena-mena, melainkan orang-orang di sekitar.
Di persimpangan jalan bola mataku tidak sengaja tertuju pada sebuah warung bakso, tumben sekali jam sepuluh siang sudah ramai pelanggan tidak, seperti biasanya, memang jam segini jamnya makan siang mungkin mereka tidak sempat masak di rumah, sungguh enak sekali jadi orang kaya, mau makan apa-apa tidak susah lagi mencari uang.
Lamunanku terbuyar, langkah kakiku tercekat tatkala bola mata menangkap wajah yang familiar, gelak canda tawa terukir manis di bibirnya, tawa yang tak pernah aku rasakan seumur hidup. Hatiku juga terbakar saat ia duduk di samping perempuan yang sangat aku kenal.
Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis
Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Mas Seno menampar pipiku dengan keras, panas, sakit dan perih bercampur menjadi satu, mataku terbelalak, sedangkan Winda dan Cantika tersenyum sumringah menertawakanku. "Kau, sudah salah masih saja mengelak!" teriak Mas Seno berapi-api, jari telunjuknya menunjuk ke arah wajahku. "Memang salah apa, aku hah!" Aku tak kalahnya berteriak, tidak ada takut pada diriku menghadapi keluarga toxic, seperti mereka. "Kau, menggagalkan rencana pertunangan adikku, kenapa kau datang ke sana hah?!" Mas Seno tetap membentakku dengan kasar, tampak urat-urat lehernya menegang. Aku hanya meneguk saliva melihat kemarahan Mas Seno. Bagas dan Mona memelukku dengan erat tubuh mereka terasa begetar menahan takut. "Orang salah mana mau ngaku," celetuk Cantika melirikku dengan bola mata malas, kedua tangannya bersedekap di dada. "Aku bukan menggagalkan, tapi itu memang ulah kalian! Kenapa kalian menyalahkanku?!" Mendengar penuturanku wajah mereka bertambah bengis, terlihat hidung mereka kembang ke
"Kamu, naik nggak?! Kalau tidak tanganmu, aku patahkan!" Mas Seno terus memaksaku secara kasar, bahkan dengan tega meninggalkan cakaran pada lenganku.Aku, hanya bisa meringis menahan sakit, tetapi dia sama sekali tidak peduli. Tenaganya yang kuat membuat aku mengikuti Mas Seno naik kembali ke rumah lalu aku letakkan kembali pakaianku di tepi pintu."Heh! Jangan belagak sok kamu, ya, sudah mending aku mau mungut kamu untuk tinggal di rumah ini!" bentak ibu mertuaku dengan wajah bengisnya.Lalu mereka semuanya pergi kecuali Mas Seno, sedangkan aku masih berdiri terpaku di depan pintu melihat punggung mereka menghilang dibalik perumahan."Dengarkan aku, lusa ada acara di rumah ibuku, kamu tolong pergi ke sana untuk membantu, dan ingat kamu tidak boleh bekerja pada Pak Rt lagi memungut brondol sawit itu, buat aku malu saja," celetuk Mas Seno dengan posisi masih berdiri di depan pintu, tidak ada berbicara lembut dan baik di mulutnya."Maaf, Mas. Jangan larang aku untuk bekerja di kebun Pa
"Dinda! Kamu tidak apa-apa?! Ada yang terluka lagi?" tanya Rini dengan panik sembari membolak balik tubuhku.Melihat sikap perhatiannya membuat aku terasa nyaman bila ada dia di sini, aku memang butuh pendampingan agar otak tidak ngebleng dan plong."Ada, cuma sedikit, tapi tidak apa-apa," jawabku lemah dengan suara serak."Memang bangsat mereka! Keluarga toxic mau menang sendiri, untung saja aku tidak punya keluarga, seperti mereka." Rini memasang wajah monyong sembari ikut duduk di depan pintu, memijit tubuhku pelan."Mereka, ada mengusirmu,?" tanya Dimas, suami Rini dengan dahi bertaut, bola mata yang tetap fokus ke tas kecil yang aku bawa."Hmm, setelah aku benar-benar turun, mereka kembali menyuruh naik kembali, memang aneh mereka." Aku berdehem mataku tetap fokus ke depan."Ya, mereka memang keluarga aneh, ibu mertua kamu itu ya, aku kemarin tak sengaja dengar, ngomongin perihal rumah tangga orang itu nomor satu, dia berbicara seolah-olah jadi pahlawan, tapi tidak sadar, menant
Sosok wanita itu yang baru saja kami perbincangkan, sudah hadir di depan kami."Dasar mulut julid taunya ghibah!" cerca Winda pada kami yang entah apa maksudnya datang kemari membawa Chea."Suka-suka, aku dong! Kenapa kau yang sewot!" sindir Rini, tubuhnya dia lenggak-lenggokkan."Dasar wanita ular! Aku nggak ada keperluan sama kamu, ya," tunjuk Winda pada wajah Rini.Namun, tiba-tiba Rini menjambak dan mendorong Winda hingga terjengkang ke belakang, Winda mengaduh kesakitan dan bangkit sendiri."Sekali kau bilang aku ular, kucekik kau!" bentak Rini dengan tegas, entah apa dipikiran Rini sangat membenci Winda."Aduh! Sakit! Awas kau, ya, Rini, kalau aku sampai kenapa-kenapa, bisa ku tuntut, kau ya, bangsat!" pekik Winda tangannya sibuk mengelus perutnya."Hubungan hasil gelap, kok bangga sih, nggak takut dosa?! sindir Rini lagi mendelik dengan bola mata malas, lalu duduk di sampingku."Heh! Jangan fitnah kau, ya Rini. Aku mengandung jelas-jelas anak Rahmat." Winda tak terima wajahnya
Doni, si bungsu, sejak tadi sore sehabis mandi terus rewel dan menangis tiada henti, tubuhnya panas serta bibir memerah.Badanku ke sana kemari menggendong untuk menghiburnya. Mas Seno dari tadi belum datang ke rumah, membuat pikiranku kalut tak menentu."Ya, Allah, Nak, apa yang kamu sakitkan," batinku panik dalam hati, menatap dirinya yang terus menggeliat."Bu, biar Bagas ke rumah Nenek cari Ayah," celetuk anak sulungku menawarkan diri untuk ke rumah ibu mertuaku.Mengingat di luar sana, hujan lebat tiada henti serta petir kilat menyambar-nyambar membuat aku mengurungkan niat untuk menyuruh Bagas mencari ayahnya di sana."Jangan, Nak hujan masih deras, nanti kau sakit," jawabku cepat walaupun hatiku terus tak tenang.Tiba-tiba, tubuh Doni mengejang kaku, mata mendelik ke atas membuat aku panik seketika. Dengan cepat tanpa sadar aku turun dari rumah tanpa menggunakan payung sekali pun, badanku berbalik sebentar lalu berteriak nyaring pada Bagas."Diam di rumah jaga, Mona. Ibu mau ba
"Rin, aku tak nyaman, biar kamu saja yang mengantarkanku," ujarku terasa enggan untuk naik."Baik lah, tunggu sebentar." Dengan cepat Rini menyambar switer rajut di kursi lalu mengenakannya, tak lupa dia membawa payung."Kamu di tengah biar aku di belakang Pegang payung, ayo Bang cepat!" pekiknya lalu aku dengan cepat duduk di tengah sambil menggendong Doni.Kami bonceng tiga dalam satu motor. Deru mesin motor menyala lalu membelah jalan gang menuju jalan besar aspal, di tengah-tengah hujan aku terus merasakan tubuh Doni semakin kaku. Air mata terus membanjiri walaupun tidak ada suara dalam tangisku."Cepat, Bang kok lelet amat jalannya!" sentak Rini walaupun suaranya kalah dengan desiran air hujan masih dapat di dengar, seraya terus mencubit perut suaminya."Ini, udah ngebut sayang! Ngebut macam mana lagi pula!" Dimas tak kalah paniknya sembari terus membawa motor dalam kecepatan tinggi.Setelah cukup lama akhrinya, motor telah sampai di gang perumahan yang elit, motor terparkir tep
"Ada apa Bik Nur?" tanyaku juga, ikut panik apa yang sedang terjadi."Itu, Non, keluarga yang baru itu, tadi teriak-teriak mau makan katanya, sudah aku bilang tunggu, Pak Gibran dan Nyonya Dinda dulu, mereka masih tak peduli." Bik Nur berbicara sembari napasnya terengah-engah.Aku yang mendengar mereka tak sabaran, seperti itu membuatku diriku naik pitam, bergegas aku melangkah sedikit berlari kecil.Telingaku mendengar Bik Nur memanggil ayahku serta Bagas.Benar saja yang dikatakan Bik Nur, mereka antusias menyusun makanan di atas meja, mata mereka berbinar melihat lau-pauk yang terpampang di atas meja, ayahku, Bagas, Riko, Ririn serta Dimas tergopoh-gopoh berlari dari belakang."Eh! Dinda, kami sudah lapar, Din mau makan," celetuk ibu mertuaku tanpa ada rasa malu sedikit pun."Maaf, di rumah ini makan malam sehabis shalat maghrib, bukan jam tiga sore, seperti ini," sahutku cepat dengan sorot mata tak suka memandang mereka."Din! Biarkan saja mereka makan jam segini, mungkin mereka l
Aku ingin menguji berapa besar kesabaran mereka tinggal di rumah ini."Cantika! Cantika!" Suaraku menggelegar memanggil adik Mas Seno yang masih berada di dalam kamar.Lama daun pintu tak terbuka, terlihat Rahmat mengesot ke lantai ubin keluar dari kamar yang berbeda."Ada apa, Din? Ada yang bisa dibantu?" tanya Rahmat memperlihatkan wajah belas kasihnya kepadaku.Aku yang menatap dirinya merasa ada belas kasihan dengan keadaannya sekarang, tetapi lintasan pikiranku teringat dengan sikap jahat mulutnya membuat belas kasihku pudar."Aku bukan memanggil dirimu, yang aku panggil Cantika," ujarku seraya melipat kedua tangan."Biar aku saja, Din. Mungkin Cantika beristirahat," kilah Rahmat lagi yang membuat diriku semakin jengah."Cantika! Keluar mggak kamu sekarang!!!" Aku tak mempedulikan rengekan Rahmat, suaraku menggelegar pecah memanggil Cantika berulang kali.Knop pintu tampak diputar terlihat Cantika menyembul dari balik pintu, rambutnya acak-acakan, mata terlihat merem melek."Ada
"Apa?! Satu keluarga?!" Ririn kaget mendengar ibu mertuaku minta satu keluarga pindah ke rumahku."Heh! Kenapa kamu yang sewot?! Bukan punyamu juga rumah Mbak Dinda," celetuk. Cantika tiba-tiba."Heh! Cantika aku memang pembantu di rumah, Dinda, tetapi kalian satu keluarga minta tinggal di rumah Dinda, terbuat dari apa muka kalian?!" tunjuk Ririn sembari berkacak pinggang.Cantika murka berusaha menarik tubuh Ririn, untung saja cepat aku lerai."Baik! Mulai hari ini kalian semua boleh tinggal di rumahku, tapi kalian hanya numpang tidak gratis! Bagaimana?!" Aku memberi usul seperti itu supaya mereka mengurungkan niat mereka yang ingin tinggal bersamaku, semoga mereka mengerti apa arti menunpang secara tidak gratis."Din! Kamu mau tinggal serumah lagi sama mereka, apa--?" ucapan Ririn terpotong dengan cepat olehku. "Biarkan saja, Rin asal mereka bisa berubah." Aku sengaja memuji mereka di depan Ririn, mengingat aku sudah tahu sifat mereka yang sangat suka dipuji."Benarkah?! Kapan kami
Pov Winda.Aku Winda Jaya Kusuma sama, seperti Dinda seorang anak yatim piatu, masuk di keluarga toxic, seperti Bu Marni yang gila dengan harta dan uang, aku terpaksa menikah dengan Rahmat yang mandul demi menutupi kehamilanku dengan pria yang lain.Untung saja Rahmat gampang aku bodohi, tetapi tidak dengan Ririn yang sudah tahu dengan kelakuanku semuanya.Dulu pernah aku ingin merebut Dimas dari Ririn. Namun, aku kalah, Dimas lebih memilih Ririn yang tak bisa hamil seumur hidup, yang membuat diriku heran apa istimewanya Ririn bagi Dimas.Setelah menikah dengan Rahmat, aku disuruh tinggal bersama ibunya, aku awalnya dikatakan menantu pemalas, dibenci, dimaki, ingin rasanya merobek mulut lemes mereka termasuk Cantika, akhirnya aku menemukan ide agar mereka takluk dan tunduk kepadaku.Aku pergi ke sebuah dukun ternama di kampung sebelah, meminta agar diriku di sanjungi, tetapi dukun itu malah menawariku tentang pelet nasi kangkang, awalnya aku ragu-ragu untuk melakukannya, tetapi meliha
"Tidak bisa begitu dong, Bu Marni, yang berbuat jahat harus dipenjara, biarpun keluarga sekalipun!" bentak Ririn Tak terima."Aku mohon, Din jangan penjarakan aku, apa kau tak kasihan dengan Ibu dan adikku?" Mas Seno menangis bersimpuh di kakiku.Aku yang terasa mulai naik pitam menendang dada Mas Seno hingga terjengkang wakaupun sudah tumbang masih tetap ingin meraih kedua kakiku."Apa kau, tak tahu malu, hah?! Memang kau manusia paling munafik yang aku temui dimuka bumi ini?! Kau bilang minta kasihan sama Ibu dan adikmu, tetapi kenapa kau tak merasa kasihan sedikit pun terhadap anak kandungmu wahai Seno yang terhormat?!" Aku benar-benar berbicara kasar di depan mukanya, aku tak peduli berapa banyak air liur yang muncrat mengenai wajahnya.Air mataku luruh bak menganak sungai, kalau mengingat ada hukum di dunia ini sudah aku habisi tubuhnya dengan melempar ke kandang harimau, mungkin binatang pun tak mau memakan manusia kejam melebihi iblis, seperti dia. "Aku, tahu aku salah aku khi
Tubuh Mas Seno menggeliat, bangun mengucek mata, tak lama itu matanya tiada henti tanpa berkedip menatapku."Noh! Anak kesayangan Ibu, tidur mulu kerjaannya, apa nggak malu apa hidup begini, nggak kerja!" cerocos Cantika, tiada henti mencemooh Mas Seno, sembari kedua tangan bersedekap di dada."Kamu bisa diam, nggak, Can? Ini ada tamu, tolong hargai," timpal Ibu lalu melempar senyum manis ke arahku.Baru kali ini aku melihat dia tersenyum padaku, mungkin taktik dia setelah aku berubah, seperti ini."Seno, Dinda mau bicara sesuatu denganmu, lekas sana cuci muka dulu." Suara ibu mertuaku tampak lembut jikalau berbicara dengan Mas Seno."Eh! Kamu, Din! Mau jemput aku, ya?" tanyanya dengan mata berbinar, aku melirik ke wajah Winda terlihat kusut masam."Tidak! Aku ke sini cuma hanya minta tanda tanganmu untuk cerai! Jikalau kau tak datang di persidangan tak masalah, aku anggap cerai ini secara ghaib," celetukku dengan jijik menatap sok baiknya ini.Dulu kemana dia, tak pernah memperlakuka
Mobil terparkir rapi di depan rumah, Ibu mertuaku, eh hampir lupa wanita itu sudah aku anggap mantan mertuaku, tak sudi rasanya memanggil dengan sebutan itu lagi mengingat masa laluku yang begitu pahit bersama anaknya.Terlihat pintu rumah, bahkan jendela semua tertutup tak ada tanda-tanda kehidupan serta aktivitas di rumah ini."Kayaknya, mereka sudah tidak tinggal di sini lagi, deh. Din," ujar Ririn sembari terjingkat-jingkat karena kotoran ayam banyak tergeletak di teras.Pandanganku terlempar ke samping rumah, yang terdapat telaga kecil untuk mengambil air, di sana saksi kejadian naas yang dialami anakku Mona, yang pelakunya ayahnya sendiri."Akan aku buat hidup ayahmu sengsara, Nak." Aku membatin dalam hati, jujur hatiku sakit, air mataku menetes."Eh! Dinda mau cari, Marni, ya. Mereka tidak lagi tinggal di sini, rumah ini sudah mereka jual." Tiba-tiba datang tetangga samping rumah ini sembari matanya tiada henti menatapku."Hah! Jual?! Tinggal di mana mereka sekarang?" tanya Rir
Rupanya Bagas dan ayahku yang datang dengan Riko yang menjadi teman seharian sekaligus sopir ayahku. Terlihat Bagas begitu riang, serta kulit terlihat bersih dan badan berisi."Bu, kok nggak nyambut kedatangan kami di pintu." Bagas nampak cemberut dengan bibir mengerucut masam."Anak pintar, ibumu itu mungkin capek." Tawa Ayah terdengar terkekeh seraya mengusuk kepala Bagas dengan gemas."Bagaimana dengan sekolahmu di sana, Nak?" tanyaku sedikit ingin tahu tentang keseharian Bagas gimana sekolah di sana."Alhamdulilah, sekolahnya di sana lancar tidak ada kendala apapun, berhitung serta membaca, alhamduliah sudah bisa dia." Ayahku yang menyahut, tersirat rasa bangga pada cucunya."Masya Allah! Alhamdulilah, Nak. Ibu bangga padamu, semoga kau nanti menjadi anak yang sukses, ya, rajin-rajin saja belajar, kalau capek jangan lupa istirahat." Ucap syukur tiada henti terlontar di mulutku, cukup lama aku memeluk tubuhnya yang sekarang gemuk berisi.Kulirik sekilas Riko yang sedari tadi diam t
Asisten rumah di rumah tangga ini nampak tergopoh-gopoh berlari ke arahku. Diriku yang sedang sibuk mencatat semua gaji karyawan sawit lantas mendongak cepat."Non! Di luar temen, Non datang," celetuk Bik Surti sembari badan membungkuk."Suruh mereka masuk, Bik. Antar mereka dekat kolam renang temuin saya." Aku bergegas melangkah ke belakang setelah menyuruh Bik Surti memanggil mereka kembali masuk.Bik Surti pun mengangguk cepat, berbalik badan dan aku pun ikut meninggalkannya."Din, rupanya kau di sini, pake acara suruh, nemuin kamu di sini segala." Ririn cemberut masam sembari meletakkan tas besarnya dengan sembarang asal."Suamimu, mana? Kok nggak diajak di sini, Rin?" tanyaku lalu mengambil tas jinjing milik Ririn dan meletakkannya di meja yang tak jauh dari kolam renang."Ada, tuh lagi duduk di sofa ruang tamu, lagi males dia ke sini, Din. Enak banget, ya, jadi konglomerat kayak kamu, ketemu orang tua dapet warisan pula, eh mumpung kau sedang banyak duit kenapa nggak diceraikan