Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingan
dengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso. Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase. “Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa disayat- sayat, napasku memburu, ingin rasanya aku jambak rambut dan menampar pipinya, tak ingin tersulut emosi bergegas aku melangkah menarik kasar tangan Bagas. Para sepasang mata menatap sinis ke arah kami serta berbisik-bisik ria. Hatiku terasa perih melihat Mas Seno sama sekali tidak peduli. Dia, tetap fokus dengan benda pipih di tangannya, dasar suami bangsat! “Ayo! Kita pulang, Nak, nanti kalo Ibu punya uang pasti bakal dibelikan kok, kita makan nasi saja di rumah, ya.” Aku terus membujuk Bagas dengan tegas, rasa tak tega hinggap di diriku, bibirku bergetar menahan tangis. Bagas memasang wajah cemberut sekilas ia melirik ayahnya lalu ke wajahku. Aku pun melotot tajam agar dirinya mengerti tidak bicara lagi. “Loh, kok nggak diajak makan bareng kita di sini menantunya, Mar?” tanya salah satu ibu-ibu memakai jilbab maron lengkap dengan baju lebarnya. Tampak wajah ibu mertuaku merah salah tingkah, gelagapan mungkin. Dia bingung mau jawab apa? Tenang Ibu aku akan menjawabnya dengan lugas. “Kalo, aku diajak mereka, pasti dunia akan runtuh, Bu!” Aku menjawab, omongan Ibu tadi, tamu yang glamor dan penuh perhiasan di jari-jemarinya. Seketika itu aku menyunggingkan senyum, mereka pikir aku sama, seperti dulu yang dijahati selalu diam, entah mendapatkan uji nyali dari mana hingga aku berani menyindir, biarlah setelah ini aku dapat masalah lagi. Mata keluarga suamiku semuanya terbelalak bak ingin keluar dari tempatnya, satu persatu aku balas dengan sama. Aku mencari keberadaan ayah mertua yang tidak ada di antara mereka. “Ya Allah. Kok begitu sih dengan menantu, tega amat Bu Marni.” Teman ibu mertuaku tadi menggeleng kepala, mengelus dada lalu bangkit menemui pelayan yang berada dekat panci kuah bakso. Entah apa yang beliau kerjakan aku tidak tahu. “Bu–bukan gitu besanku, itu cuma kesalahan kecil kok, kami lupa tadi bawa dia kemari ‘kan buru-buru.” Ibu mertuaku bergegas bangkit menemui wanita paru baya yang perhatian kepadaku. Ibu Mas Seno itu tampak menarik-narik lengan besannya. Perempuan yang aku tak tahu namanya itu diam tak mengggubris ucapan ibu mertuaku. Aku baru sadar ternyata acara ini acara pertemuan kedua mempelai tampak calon menantu laki-laki dekat dengan adik iparku. Ibu mertua tampak berbalik badan tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. “Senang, kamu. Kami diperlakukan, seperti tadi? Kau ingat?! Kau itu numpang di rumahku jadi jangan ikut campur urusanku. Jangan sok cari muka kau,” bisik ibu mertuaku sembari mencubit kuat daging pinggangku. Seketika itu aku menjerit menepis tangannya dengan kasar bersamaan dengan si bungsu menggeliat di gendongan, semua beralih terkesiap termasuk calon besan ibu. “Astaghfirullah! Marni. Kamu apakan menantumu? Sampai meringis gitu?!” Calon besan ibu tergopoh-gopoh menghampiriku seraya membolak-balikan lingkar pinggangku. Semua orang yang semulanya duduk ricuh berdiri, diantara banyaknya mereka hanya dua pria yang menghampiri ibu-ibu yang tampak cemas tadi itupun anak dan suaminya. “Ratih, yang kamu lihat tadi bukan apa-apa, itu cuma karangan perempuan ini saja, perempuan ini pandai bermuka dua, percaya sama aku. Tih.” Ibu mertuaku mulai keluar wajah palsunya seolah-olah aku ini bohong dasar munafik! Aku sudah hafal betul tabiat ibu mertuaku. Dia yang provokator, tetapi aku pemain utamanya, aku yang selalu dibikin jahat semua orang, menantu kurang ajar itu yang selalu keluar dari lidahnya. “Apa, benar yang dikatakan ibu mertuamu, Nak?” tanya perempuan yang bernama Ratih itu kepadaku dengan suara lemah lembut, aku terasa nyaman berada di sisinya, andai saja aku mempunyai keluarga pasti nasibku tidak, seperti ini. Semua orang menatapku dengan serius, tatapan mereka seolah-olah mengintimidasiku, termasuk dua pria yang memakai jas di samping ibu Ratih. Aku menghela napas seraya merangkul erat bahu Bagas dan Mona, ini waktunya aku berbicara secara terang-terangan kepada semua orang bahwa aku menikah dengan Mas Seno tidak pernah diberi nafkah serta tidak pernah dianggap menantu dibagian keluarga ibu mertuaku. “Iya, Bu. Bukan satu kali ini saja mereka, seperti itu, bahkan sudah ratusan kali! Hanya gara-gara aku anak yatim piatu seenaknya jidat mereka memperlakukanku.” Aku menceritakan dengan suara tangis yang pecah, bibirku bergetar menahan derita yang aku alami. “Astaghfirullah! Marni! Kenapa kalian, seperti itu. Dia itu sebatang kara, seharusnya kalian beri kasih sayang, dan perhatian bukan perundungan, dasar toxic kalian,” tunjuk Ratih kepada ibu mertuaku termasuk adik ipar, Mas Seno serta Winda. “Tunggu dulu, Tan. itu semuanya tidak benar, perempuan ini berbohong. Dia itu selalu cari muka pada semua orang agar dikasihani, ya ,’kan, Win?” ujar Cantika bergegas menghampiri Ibu Ratih, lalu menoleh ke arah Winda. “Betul! Jangan menuduh mertua yang bukan-bukan, Din,” sahut Winda lalu melemparkan pandangan sinis ke arahku. “Aku tidak menuduh, Win, apa yang aku ucapkan itu benar nyata, semua orang di kampung ini mengira, aku menantu yang kurang ajar, tetapi malah kalian semua yang jahat padaku, keluarga toxic!” Aku berteriak sekerasnya sampai Winda terkejut. Mas Seno pun tak kalah samanya. Dia berdiri ikut andil di sini. “Maaf, Mbak kami membuat kekacauan di sini, berharap Anda mengerti, ya,” ujar Ibu Ratih minta maaf dengan pelayan warung seraya menangkupkan kedua tangan. Untungnya, Mbak itu paham lalu mengangguk. “Saya sudah curiga dari dulu dengan kamu, Mar. Jangan berbohong lagi, saya sudah tahu semuanya. Bobi masih mau kamu melanjutkan hubungan kamu sama, Cantika. Ibu tidak mau, ya, punya keluarga jahat, seperti mereka toxic! Takutnya nanti ketularan jahat.” Sindir Ibu Ratih memperlihatkan gaya jijiknya Ibu mertuaku tampak tertunduk malu. Apa aku salah telah mengacaukan semuanya? Tidak aku tidak salah, hanya saja mereka yang tak menghargai aku sebagai menantu. Tak berselang lama Ibu Ratih menerima dua kantong plastik pada pelayan warung, bau harum menyeruak tajam di indera penciuman, sudah lama aku tidak merasakan makanan harum itu, seingat aku waktu terakhir di panti asuhan saja aku bisa mencicipinya. “Ini terima, jangan sungkan, ya. Nak, saya ikhlas. Nanti kalau mereka jahat sama kamu lagi beritahu saya saja, setiap hari minggu saya selalu di sini.” Ibu Ratih menyodorkan dua kantong plastik hitam yang berisi bakso yang lengkap. Sembari berbisik di telingaku. Aku terpaku tergugu, beberapa kali aku menolak tetap saja kalah. Dia selalu memaksa aku menerima bakso itu akhirnya, aku mau mengambil walaupun sepasang mata menatap aku penuh kebencian. “Ayo, Pa. Bobi kita pulang!” Teriak Ibu Ratih kepada keluarganya sambil berlenggang ke arah mobil lalu menutupya dengan keras. Aku yang sadar Ibu Ratih telah pergi, bergegas membawa anak-anakku pulang ke rumah, berbagai umpatan dan cacian terdengar dari mulut keluargaku, aku tak menggubris ucapan mereka.Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Bab, 1“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!”tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot matatajam, terlihat dadanya naik turun.Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambilmerangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun keduaanakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi dibalik daster lusuhku.Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babakbelur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli laukkarena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamikusendiri.“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tamparkau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yangseakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka.Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalahse
Bab 2.Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku.Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulangjuga ke rumah.Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yangharus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Senomenuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendussambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai kedapur menemui ayahnya.“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanyaBagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihatayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggakpunya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas S
Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb
Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis
Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb
Bab 2.Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku.Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulangjuga ke rumah.Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yangharus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Senomenuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendussambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai kedapur menemui ayahnya.“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanyaBagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihatayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggakpunya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas S
Bab, 1“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!”tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot matatajam, terlihat dadanya naik turun.Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambilmerangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun keduaanakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi dibalik daster lusuhku.Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babakbelur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli laukkarena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamikusendiri.“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tamparkau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yangseakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka.Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalahse