Doni, si bungsu, sejak tadi sore sehabis mandi terus rewel dan menangis tiada henti, tubuhnya panas serta bibir memerah.Badanku ke sana kemari menggendong untuk menghiburnya. Mas Seno dari tadi belum datang ke rumah, membuat pikiranku kalut tak menentu."Ya, Allah, Nak, apa yang kamu sakitkan," batinku panik dalam hati, menatap dirinya yang terus menggeliat."Bu, biar Bagas ke rumah Nenek cari Ayah," celetuk anak sulungku menawarkan diri untuk ke rumah ibu mertuaku.Mengingat di luar sana, hujan lebat tiada henti serta petir kilat menyambar-nyambar membuat aku mengurungkan niat untuk menyuruh Bagas mencari ayahnya di sana."Jangan, Nak hujan masih deras, nanti kau sakit," jawabku cepat walaupun hatiku terus tak tenang.Tiba-tiba, tubuh Doni mengejang kaku, mata mendelik ke atas membuat aku panik seketika. Dengan cepat tanpa sadar aku turun dari rumah tanpa menggunakan payung sekali pun, badanku berbalik sebentar lalu berteriak nyaring pada Bagas."Diam di rumah jaga, Mona. Ibu mau ba
"Rin, aku tak nyaman, biar kamu saja yang mengantarkanku," ujarku terasa enggan untuk naik."Baik lah, tunggu sebentar." Dengan cepat Rini menyambar switer rajut di kursi lalu mengenakannya, tak lupa dia membawa payung."Kamu di tengah biar aku di belakang Pegang payung, ayo Bang cepat!" pekiknya lalu aku dengan cepat duduk di tengah sambil menggendong Doni.Kami bonceng tiga dalam satu motor. Deru mesin motor menyala lalu membelah jalan gang menuju jalan besar aspal, di tengah-tengah hujan aku terus merasakan tubuh Doni semakin kaku. Air mata terus membanjiri walaupun tidak ada suara dalam tangisku."Cepat, Bang kok lelet amat jalannya!" sentak Rini walaupun suaranya kalah dengan desiran air hujan masih dapat di dengar, seraya terus mencubit perut suaminya."Ini, udah ngebut sayang! Ngebut macam mana lagi pula!" Dimas tak kalah paniknya sembari terus membawa motor dalam kecepatan tinggi.Setelah cukup lama akhrinya, motor telah sampai di gang perumahan yang elit, motor terparkir tep
Bab, 1“Apa … kamu tidak capek bertengkar terus dengan suamimu?!”tanya Marni—ibu mertuaku dengan suara yang sangat kasar dengan sorot matatajam, terlihat dadanya naik turun.Aku yang sudah hafal tabiatnya bergetar ketakutan, sambilmerangkul tubuh anakku yang belum lepas empat puluh hari. Begitupun keduaanakku—Bagas dan Mona. Mereka tampak sangat ketakutan sambil bersembunyi dibalik daster lusuhku.Mas Seno—suamiku menatap nyalang wajahku yang sudah babakbelur dihajar olehnya, gara-gara perihal aku meminta uang untuk membeli laukkarena di rumah hanya ada garam. Apakah aku salah meminta uang pada suamikusendiri.“Kalau … tak ada hukum di dunia ini!! Sudah habis aku tamparkau!” bentak Rahmat—adik kandung Mas Seno seraya menatap tajam ke arahku.Berbanding terbalik, aku yang korban, malah dia yangseakan-akan tak terima abangnya dipersalahkan. Manusia, seperti apa mereka.Tidak pandai melihat mana yang benar dan salah.Pertengkaran ini setiap hari sering terjadi karena masalahse
Bab 2.Suara derap langkah kaki di depan terdengar di telingaku.Bergegas aku keluar kamar. Aku merasa sangat lega akhirnya, Mas Seno pulangjuga ke rumah.Walaupun Mas Seno suami yang kasar, dia tetap suami yangharus aku hormati. Mataku tertuju pada kantong plastik yang di tenteng Mas Senomenuju dapur. Aroma wangi menusuk di indra penciumanku.Begitu juga dengan Bagas dan Mona. Mereka mengendus-ngendussambil berjalan. Membuntuti bau aroma harum yang menggugah selera sampai kedapur menemui ayahnya.“Wah! Kayaknya Ayah beli bakso. Untuk kami ya, Yah …?” tanyaBagas dengan sumringah bola mata yang terlihat berbinar sambil mengecap melihatayahnya membuka kantong plastik berisi satu porsi bakso.“Bukan! Ini untuk Ayah. Kalau mau beli, pergi sendiri sana….” Mas Seno mengusir Bagas tanpa mengerti anak kandungnya sendiri.“Bagaimana, aku mau beli bakso, Yah sedangkan Ibu nggakpunya uang,” sahut Bagas polos tanpa takut menghadapi ayahnya.“Kalau nggak punya duit ya kerja!” bentak Mas S
Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb
Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis
Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Mas Seno menampar pipiku dengan keras, panas, sakit dan perih bercampur menjadi satu, mataku terbelalak, sedangkan Winda dan Cantika tersenyum sumringah menertawakanku. "Kau, sudah salah masih saja mengelak!" teriak Mas Seno berapi-api, jari telunjuknya menunjuk ke arah wajahku. "Memang salah apa, aku hah!" Aku tak kalahnya berteriak, tidak ada takut pada diriku menghadapi keluarga toxic, seperti mereka. "Kau, menggagalkan rencana pertunangan adikku, kenapa kau datang ke sana hah?!" Mas Seno tetap membentakku dengan kasar, tampak urat-urat lehernya menegang. Aku hanya meneguk saliva melihat kemarahan Mas Seno. Bagas dan Mona memelukku dengan erat tubuh mereka terasa begetar menahan takut. "Orang salah mana mau ngaku," celetuk Cantika melirikku dengan bola mata malas, kedua tangannya bersedekap di dada. "Aku bukan menggagalkan, tapi itu memang ulah kalian! Kenapa kalian menyalahkanku?!" Mendengar penuturanku wajah mereka bertambah bengis, terlihat hidung mereka kembang ke
"Rin, aku tak nyaman, biar kamu saja yang mengantarkanku," ujarku terasa enggan untuk naik."Baik lah, tunggu sebentar." Dengan cepat Rini menyambar switer rajut di kursi lalu mengenakannya, tak lupa dia membawa payung."Kamu di tengah biar aku di belakang Pegang payung, ayo Bang cepat!" pekiknya lalu aku dengan cepat duduk di tengah sambil menggendong Doni.Kami bonceng tiga dalam satu motor. Deru mesin motor menyala lalu membelah jalan gang menuju jalan besar aspal, di tengah-tengah hujan aku terus merasakan tubuh Doni semakin kaku. Air mata terus membanjiri walaupun tidak ada suara dalam tangisku."Cepat, Bang kok lelet amat jalannya!" sentak Rini walaupun suaranya kalah dengan desiran air hujan masih dapat di dengar, seraya terus mencubit perut suaminya."Ini, udah ngebut sayang! Ngebut macam mana lagi pula!" Dimas tak kalah paniknya sembari terus membawa motor dalam kecepatan tinggi.Setelah cukup lama akhrinya, motor telah sampai di gang perumahan yang elit, motor terparkir tep
Doni, si bungsu, sejak tadi sore sehabis mandi terus rewel dan menangis tiada henti, tubuhnya panas serta bibir memerah.Badanku ke sana kemari menggendong untuk menghiburnya. Mas Seno dari tadi belum datang ke rumah, membuat pikiranku kalut tak menentu."Ya, Allah, Nak, apa yang kamu sakitkan," batinku panik dalam hati, menatap dirinya yang terus menggeliat."Bu, biar Bagas ke rumah Nenek cari Ayah," celetuk anak sulungku menawarkan diri untuk ke rumah ibu mertuaku.Mengingat di luar sana, hujan lebat tiada henti serta petir kilat menyambar-nyambar membuat aku mengurungkan niat untuk menyuruh Bagas mencari ayahnya di sana."Jangan, Nak hujan masih deras, nanti kau sakit," jawabku cepat walaupun hatiku terus tak tenang.Tiba-tiba, tubuh Doni mengejang kaku, mata mendelik ke atas membuat aku panik seketika. Dengan cepat tanpa sadar aku turun dari rumah tanpa menggunakan payung sekali pun, badanku berbalik sebentar lalu berteriak nyaring pada Bagas."Diam di rumah jaga, Mona. Ibu mau ba
Sosok wanita itu yang baru saja kami perbincangkan, sudah hadir di depan kami."Dasar mulut julid taunya ghibah!" cerca Winda pada kami yang entah apa maksudnya datang kemari membawa Chea."Suka-suka, aku dong! Kenapa kau yang sewot!" sindir Rini, tubuhnya dia lenggak-lenggokkan."Dasar wanita ular! Aku nggak ada keperluan sama kamu, ya," tunjuk Winda pada wajah Rini.Namun, tiba-tiba Rini menjambak dan mendorong Winda hingga terjengkang ke belakang, Winda mengaduh kesakitan dan bangkit sendiri."Sekali kau bilang aku ular, kucekik kau!" bentak Rini dengan tegas, entah apa dipikiran Rini sangat membenci Winda."Aduh! Sakit! Awas kau, ya, Rini, kalau aku sampai kenapa-kenapa, bisa ku tuntut, kau ya, bangsat!" pekik Winda tangannya sibuk mengelus perutnya."Hubungan hasil gelap, kok bangga sih, nggak takut dosa?! sindir Rini lagi mendelik dengan bola mata malas, lalu duduk di sampingku."Heh! Jangan fitnah kau, ya Rini. Aku mengandung jelas-jelas anak Rahmat." Winda tak terima wajahnya
"Dinda! Kamu tidak apa-apa?! Ada yang terluka lagi?" tanya Rini dengan panik sembari membolak balik tubuhku.Melihat sikap perhatiannya membuat aku terasa nyaman bila ada dia di sini, aku memang butuh pendampingan agar otak tidak ngebleng dan plong."Ada, cuma sedikit, tapi tidak apa-apa," jawabku lemah dengan suara serak."Memang bangsat mereka! Keluarga toxic mau menang sendiri, untung saja aku tidak punya keluarga, seperti mereka." Rini memasang wajah monyong sembari ikut duduk di depan pintu, memijit tubuhku pelan."Mereka, ada mengusirmu,?" tanya Dimas, suami Rini dengan dahi bertaut, bola mata yang tetap fokus ke tas kecil yang aku bawa."Hmm, setelah aku benar-benar turun, mereka kembali menyuruh naik kembali, memang aneh mereka." Aku berdehem mataku tetap fokus ke depan."Ya, mereka memang keluarga aneh, ibu mertua kamu itu ya, aku kemarin tak sengaja dengar, ngomongin perihal rumah tangga orang itu nomor satu, dia berbicara seolah-olah jadi pahlawan, tapi tidak sadar, menant
"Kamu, naik nggak?! Kalau tidak tanganmu, aku patahkan!" Mas Seno terus memaksaku secara kasar, bahkan dengan tega meninggalkan cakaran pada lenganku.Aku, hanya bisa meringis menahan sakit, tetapi dia sama sekali tidak peduli. Tenaganya yang kuat membuat aku mengikuti Mas Seno naik kembali ke rumah lalu aku letakkan kembali pakaianku di tepi pintu."Heh! Jangan belagak sok kamu, ya, sudah mending aku mau mungut kamu untuk tinggal di rumah ini!" bentak ibu mertuaku dengan wajah bengisnya.Lalu mereka semuanya pergi kecuali Mas Seno, sedangkan aku masih berdiri terpaku di depan pintu melihat punggung mereka menghilang dibalik perumahan."Dengarkan aku, lusa ada acara di rumah ibuku, kamu tolong pergi ke sana untuk membantu, dan ingat kamu tidak boleh bekerja pada Pak Rt lagi memungut brondol sawit itu, buat aku malu saja," celetuk Mas Seno dengan posisi masih berdiri di depan pintu, tidak ada berbicara lembut dan baik di mulutnya."Maaf, Mas. Jangan larang aku untuk bekerja di kebun Pa
Mas Seno menampar pipiku dengan keras, panas, sakit dan perih bercampur menjadi satu, mataku terbelalak, sedangkan Winda dan Cantika tersenyum sumringah menertawakanku. "Kau, sudah salah masih saja mengelak!" teriak Mas Seno berapi-api, jari telunjuknya menunjuk ke arah wajahku. "Memang salah apa, aku hah!" Aku tak kalahnya berteriak, tidak ada takut pada diriku menghadapi keluarga toxic, seperti mereka. "Kau, menggagalkan rencana pertunangan adikku, kenapa kau datang ke sana hah?!" Mas Seno tetap membentakku dengan kasar, tampak urat-urat lehernya menegang. Aku hanya meneguk saliva melihat kemarahan Mas Seno. Bagas dan Mona memelukku dengan erat tubuh mereka terasa begetar menahan takut. "Orang salah mana mau ngaku," celetuk Cantika melirikku dengan bola mata malas, kedua tangannya bersedekap di dada. "Aku bukan menggagalkan, tapi itu memang ulah kalian! Kenapa kalian menyalahkanku?!" Mendengar penuturanku wajah mereka bertambah bengis, terlihat hidung mereka kembang ke
Sesampainya di rumah aku membersihkan tubuh ketiga anakku terlebih dahulu barulah diriku. Setelah itu menidurkan si bungsu lalu memasak nasi serta merebus talas yang Bagas ambil tadi.Dua telor ceplok terhidang di papan dapur yang sudah lapuk. Bagas, Mona dengan lahapnya menyantap bakso sembari terkekeh kecil, aku mencoba memberi mereka nasi supaya kenyang, tetapi mereka menolak, menyuruhku menyimpan nasi untuk makan malam nanti. Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kedua anakku, besok aku akan mengajak mereka pergi bekerja lagi supaya apa yang mereka ingin makan tercapai walaupun dibilang tidak cukup untuk ke depannya.Pintu di depan diketuk dengan keras aku terkejut, jantungku terasa dipompa dengan cepat, aku sudah menduga akan mendapatkan masalah baru, pasti itu ibu mertuaku serta anak tututnya yang akan melabrak. “Bu, itu pintu depan diketuk, Bagas coba buka, ya Bu,” ujar Bagas bangkit ingin menuju pintu utama. “Jangan, Nak. Biar Ibu saja, bawa Mona ke kamar, jaga Doni sekali
Mas Seno? Aku tak menyangka suamiku berada di sana duduk berdampingandengan Winda, romantis sekali, seperti layaknya sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Tak terkecuali ibu mertuaku serta keluarga inti Mas Seno juga ikut hadir di sana menikmati semangkuk bakso.Gelak tawa terukir di bibir masing-masing. Mereka sama sekali tidak mengingat aku dan anakku. Belum sempat aku memanggil Bagas untuk mengajak pulang, tanpa disadari ia terlebih dahulu melangkah kecil ke arah warung makan itu. “Ayah! Aku juga pengen makan bakso sama, seperti mereka!” Bagas berteriak dengan lantang memanggil Mas Seno lalu melangkah mendekati pelayan, jarinya menunjuk beraneka ragam bakso yang terhidang lengkap dengan mie tiau dan kuning di etalase.“Heh! Tolong, ya, Dinda anakmu itu diajari sopan santun, tidak punya tata krama sama sekali. Pantas anaknya bodoh nggak pernah di sekolahin sih!” Cantika adik iparku mulai bersuara sembari menyeruput es teh manis diselingi gelak tawa. Mendengarnya hatiku terasa dis
Bab 3.Dengan sekuat tenaga berusaha naik ke atas. Lubangnya cukupdalam aku khawatir ada ular atau sejenis binatang yang lain. Sudah beberapakali terjatuh kembali, tubuh yang lemah dan tak berdaya hanya bisa diam.Celanaku sampai basah karena lubang ini digenangi air.Tiba-tiba … telingaku mendengar suara bariton seorang priasetengah berlari ke arah lubang ini.“Apa ada seseorang di dalam sana!” teriaknya bersamaandengan bunyi ranting-ranting yang dipangkas.“Iya ada! Tolong aku … siapapun yang ada di atas tolongsaya!” Aku membalas teriakannya dengan lantang dan menggema.Akhirnya aku bisa bernapas lega. Allah masih memberi akuumur yang panjang dan bisa bertemu kembali dengan anak-anakku, tanpa sadarbulir bening menetes di pelupuk mata.Pria yang terbilang masih muda usianya menarik aku dengantali tambang yang ia dapatkan entah dari mana. Akhirnya aku bisa juga keluarwalaupun bersusah payah ditarik dengan tali.“Minum dulu …,” ucapnya seraya menyodorkan botol itu setelahmemb