"Bagaimana kamu bisa ada di sini Joseph? Apa karena showroom kecil ini?" tanya Adrian sedikit berbisik, sambil mengamati papa mertuanya yang masih sibuk di bagian administrasi.
Dia tidak ingin ada yang mendengar pembicaraan mereka."Benar sekali, Tuan. Saya sudah lama mencari dan akhirnya keputusan saya untuk datang ke kota ini sudah tepat!"Joseph memang berniat untuk membeli tempat ini untuk memperluas jangkauan perusahaan mereka.Adrian melihat sekeliling, sepertinya tidak aman kalau mereka berbicara di depan banyak orang."Ayo, kita cari tempat yang aman! Aku tidak ingin ada yang curiga!" titahnya sambil melangkah keluar menuju samping gedung.Joseph pun mengangguk dan mengikuti permintaan Tuannya meskipun dia belum mengerti."Sudah berapa lama Tuan berada di sini?" Joseph sudah tidak sabar untuk bertanya."Aku baru saja dua tahun di kota ini. Setelah aku berpindah-pindah tempat. Disini tempat yang aman. Tidak ada yang mengenaliku!" Adrian mulai bisa bicara serius."Pulanglah, Tuan. Perusahaan anda membutuhkan Tuan saat ini," pinta Joseph lagi."Aku tidak bisa. Aku sudah menikah dan keluarga istriku menetap di kota ini," jelasnya cepat."Apa?!" pekik Joseph tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Pelankan suaramu! Aku akan menjelaskannya nanti. Apa keadaan di sana sudah aman?" Adrian mengalihkan pembicaraan."Mereka semua sudah ditangkap tapi dalang dibalik mereka belum bisa aku temukan, Tuan. Pulanglah agar mereka bisa melihat kalau Tuan kembali berkuasa!" pintanya memohon."Aku akan memikirkan hal itu nanti. Saat ini mertuaku sedang membeli mobil di sini. Aku harus segera kembali sebelum dia mencariku!" ungkapnya dengan wajah khawatir."Baiklah, Tuan. Yang terpenting saya sudah mengetahui lokasi Tuan berada saat ini," Joseph mengangguk paham.Dia pun mengeluarkan dompet miliknya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dengan satu tanda berlian di pinggirnya."Ini milik, Tuan. Gunakanlah untuk membeli kebutuhan Tuan selama berada disini. Tuan juga terlihat sangat kurus," Joseph menatap Tuannya dengan pandangan iba.Penampilan Adrian sangat berbeda sebelum dia kehilangan jejaknya tiga tahun lalu.Terlihat kurus dan tidak terawat."Terima kasih. Aku masuk dulu!" Adrian langsung menyimpan kartu itu di dompet usang miliknya.Setelah itu Adrian bergegas kembali ke dalam menemui Baron. Pria itu sudah selesai dan mencari Adrian."Dari mana saja kamu?! Aku kan menyuruhmu untuk menunggu! Jangan seenaknya pergi lama-lama!" omel Baron saat Adrian sudah menghampirinya."Maaf, Tuan. Tadi saya dari toilet," jawab Adrian berbohong."Sudah cepat bawa mobil ini! Kita pulang sekarang!" ucapnya ketus sambil memberikan kunci mobil itu pada Adrian."Iya, Tuan!"Rumah Keluarga Baron…Cindy sudah berdiri dari tadi di depan pintu rumah untuk menunggu suaminya pulang. Dia sudah tidak sabar untuk melihat mobil baru mereka.Saat pintu gerbang dibuka, dia dengan cepat bangkit dari duduknya.Tapi wajahnya seketika berubah saat melihat sebuah mobil berwarna putih masuk ke halaman rumah."Loh, Pa? Kenapa mobil ini? Ini kan bukan mobil yang Papa bilang semalam?" Cindy langsung melayangkan protes setelah Baron turun."Uangnya hanya cukup beli ini, Ma. Sudahlah yang pentingkan baru!" jawabnya seadanya.Cindy mengerucutkan bibirnya karena mobil yang suaminya beli tidak sesuai dengan keinginannya."Nanti pasti bisa kok beli mobil yang diinginkan, Nyonya," Adrian mencoba mengambil hati ibu mertuanya."Jangan ikut campur kamu! Sudah sana ke belakang! Bikin mood tambah jelek saja!" usirnya dengan nada ketus lalu pergi menyusul suaminya.Adrian hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Dia masih harus ekstra bersabar lagi.Setelah makan malam, Adrian ingin menyampaikan keinginan yang sudah lama disimpannya. Bahkan setelah dia menikah dengan Clara.Dia pun mendekati Baron di sofa, kebetulan disana juga ada Cindy dan juga istrinya."Malam, Tuan. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," Adrian memberanikan diri untuk bicara."Hmmm,"Hanya itu yang terdengar dari mulut pria paruh baya itu.Dengan tekad yang kuat dan mengumpulkan keberanian, Adrian pun berusaha yakin."Besok saya ingin mencari pekerjaan, Tuan. Saya ingin menjalani kehidupan rumah tangga saya bersama Clara sebagaimana mestinya. Saya juga akan menabung untuk membeli rumah," ungkapnya dengan tersenyum."Apa?!"Baron dan Cindy terkejut secara bersamaan. Bahkan Clara sampai menoleh dengan cepat setelah mendengar itu."Enak saja! Kamu itu cuma pantas jadi tukan kebun di rumah ini!" Cindy tidak rela kehilangan pegawai gratisan."Tapi, Nyonya. Saya ingin punya uang sendiri. Satu-satunya cara saya harus mencari pekerjaan yang lebih layak!" Adrian memberikan alasan yang masuk akal."Tidak bisa!" tolaknya tidak peduli.Baron pun angkat bicara, "Kamu merasa besar kepala ya? Setelah Clara bersikap baik padamu. Aku hanya memberimu waktu dua tahun untuk menjadi suami anakku! Waktumu tinggal satu tahun lagi, setelah itu kalian harus bercerai! Aku akan mencarikan pria yang lebih baik untuknya," titah Baron dengan nada marah."Papa!"Kali ini Clara yang buka suara.Dia merasa Papanya sudah mempermainkan hidupnya selama ini."Biarkan Adrian bekerja," sambungnya dengan bicara pelan sambil melirik Adrian sekilas.Baron tidak bisa terima anaknya kembali membela suami yang hanya sebagai pengganti itu."Tidak perlu ikut campur, Clara!" perintahnya mutlak.Adrian merasa percuma saja kalau mendebat mereka. Dia tidak akan menang.Tapi Adrian kembali teringat dengan pertemuannya dengan Joseph tadi.Setidaknya dia mendapatkan angin segar setelah selama ini terkekang dan hanya mengandalkan keluarga ini untuk bertahan hidup dalam pelariannya.Adrian masih bingung, jadi dia memilih untuk pergi dari hadapan mereka dan masuk ke dalam kamarnya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku bilang saja pada mereka kalau aku ini bukan Adrian pemuda biasa seperti yang mereka kira? Tapi apa mereka akan percaya?" gumamnya seorang diri.Sementara Adrian berpikir keras, di luar kamarnya, istri yaitu Clara sedang berdiri mematung. Clara ingin sekali mengetuk pintu Adrian. Tapi dia kembali mengurungkan niatnya itu dan masuk ke dalam kamarnya.Besoknya…Seperti biasanya Adrian melakukan tugasnya di taman belakang rumah ini. Dia masih bekerja seperti biasanya.Pagi ini entah kenapa Baron sudah kembali dari perusahaan kecil miliknya. Padahal biasanya dia pulang saat sore hari."Ada apa, Pa? Kenapa pulangnya cepat?" tanya Cindy heran.Baron melepas dasi dan jas yang melekat di tubuhnya dengan lemas. Dia sampai menghempaskan tubuhnya di sofa."Perusahaan kita terancam bangkrut, Ma!" ucapnya dengan suara parau."Apa? Kenapa bisa, Pa?"Cindy langsung duduk di samping suaminya."Papa kalah tender dan teman Papa membawa kabur semua uang yang Papa investasikan. Sebentar lagi pasti Bank akan datang menagih ke rumah ini. Perusahaan dan rumah ini sudah Papa jadikan jaminan," jelasnya sambil memijat keningnya yang terasa pusing."Papa! Kenapa Papa bisa seceroboh itu! Mama tidak mau jatuh miskin, Pa!" Cindy mulai terisak.Adrian menguping pembicaraan mereka di balik pintu. Dia teringat kalau saat ini sudah memiliki kartu itu.'Tapi bagaimana caranya memakai kartu itu?' batinnya ragu.Sebab tidak mungkin tiba-tiba saja dia memberitahu mereka kalau punya uang.Adrian akan mencari cara untuk membantu Baron.Pemuda itu dengan percaya diri melangkah masuk dan menghampiri mertuanya yang sedang kalut."Adrian bisa membantu perusahaan, Tuan!" ucapnya yakin.Baron dan Cindy saling pandang setelah mendengar ucapan Adrian barusan."Hahahaha!" Tiba-tiba tawa keduanya pecah. Adrian jadi bingung melihat mereka malah tertawa seperti itu."Kamu itu cuma tukang kebun! Tau apa kamu tentang perusahaan! Sudah, pergi sana! Kembali bekerja!" Baron mengusir Adrian dari hadapannya."Tapi, Tuan. Sa-""Sudah pergi sana! Kamu itu hanya menambah beban saja!" kali ini Cindy tidak ingin kalah saing dalam menghinanya.Mereka pikir percuma saja mendengarkan Adrian. Apapun yang dia katakan tidak akan bisa membantu menyelesaikan masalah mereka.Mereka tahu kalau Adrian tidak punya uang, jadi untuk apa buang-buang waktu meladeni si tukang kebun.Adrian pun tidak jadi mengutarakan niatnya untuk membantu mertuanya. Jadi dia kembali keluar menuju taman belakang.'Lagipula mana mungkin mereka percaya kalau aku bilang punya uang!' pikirnya lagi.Adrian masih menahan diri sambil memikirkan bagaimana caranya membantu mertuanya. Siapa tahu mereka akan bersikap lebih baik
Adrian hanya tersenyum melihat Baron yang masih saja kebingungan.Dia pun mengatakan hal yang akan membuat mertuanya itu tidak memikirkan lagi dari mana uang itu datang."Mungkin itu adalah uang transferan dari hadiah sesuai yang petugas itu katakan, Tuan. Tuan sedang bernasib baik. Uang itu bisa digunakan untuk membantu keuangan perusahaan saat ini!" ucapnya terlihat sangat yakin.Baron menganggukkan kepalanya tanda setuju."Benar juga, ya? Kenapa aku tidak berpikir kesana. Terserahlah ini uang dari siapa! Toh, aku mendapatkannya dengan cara yang bukan ilegal! Hahaha!" Baron malah tertawa senang karena sudah mendapatkan rezeki nomplok.Dia tidak jadi menjual mobilnya dan sekarang rekeningnya sudah terisi.Apalagi yang harus dia pikirkan.Justru yang dia harus pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar perusahaannya kembali bangkit dan mereka tidak jadi jatuh miskin.Mau ditaruh di mana wajahnya kalau sampai mereka terusir dari rumah ini. Bisa-bisa Baron tidak akan lagi berani un
Cindy dan Clara terkejut mendengar itu.Cindy malah tertawa mengejek Adrian, sementara Clara diam saja dengan ekspresi yang tidak terbaca.Bagi Adrian, tentu saja tidak terima dengan penawaran Ronald.'Sial! Ternyata dia sengaja mempermainkanku?!' batin Adrian kesal.Meskipun begitu Adrian tetap berusaha bersikap biasa aja dan menanggapi dengan senyuman."Terima kasih sebelumnya, Kak. Tapi maaf, sepertinya aku tidak bisa menerima pekerjaan itu," tolak Adrian yang secara halus."Benarkah? Sayang sekali ckckck!" jawab Ronald pura-pura peduli.Padahal dari awal dia memang tidak suka pada Adrian. Dia sengaja menawarkan pekerjaan yang paling rendah agar lebih leluasa menghina Adrian.Tentu dia tidak peduli dengan perasaan Clara, keluarga mereka semua tahu kalau Clara terpaksa menikah dengannya untuk menutupi malu.Cindy yang mendengar itu malah semakin mengompori untuk memperkeruh keadaan."Halah! Pekerjaan itu memang cocok untuk pria sepertimu! Tidak usah sok jual mahal dan pilih-pilih de
Adrian pun berusaha untuk bersikap biasa saja dan tetap tenang dalam situasi ini.Dia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini."Iya benar, aku adalah suaminya Clara. Memangnya ada apa?" Adrian bertanya dengan santai.Tidak terlihat ketakutan di wajahnya, karena dia tahu betul siapa orang yang berhadapan dengannya saat ini.Dia adalah mantan tunangannya Clara yaitu Daniel.Pemuda yang berselingkuh dan menghamili wanita lain sehingga membuat Baron menikahkan Adrian dengan Clara.Alasan yang membuat Adrian sendiri bersyukur karena bisa mendapatkan wanita yang dicintainya, meskipun dengan cara yang seperti itu.Daniel pun tersenyum miring dan berjalan lebih dekat ke arah Adrian.Dia menatap Adrian dari atas sampai bawah, memperhatikannya dengan tatapan yang mengejek."Aku tidak menyangka kalau selera Clara ternyata berubah, ya? Dia memilih pria yang rendahan dan miskin!" ucapnya sambil melakukan gerakan mengibas di pundak kiri Adrian.Seperti membuang sebuah kotoran dan debu.Adrian pun
Clara heran melihat Adrian yang bengong.Dia pun melambaikan tangannya ke kiri dan kanan di depan wajah Adrian."Hei! Adrian? Kamu kenapa?"Adrian yang terkesiap pun kembali sadar.Matanya mengerjap beberapa kali sebelum tersadar sepenuhnya.Rupanya tadi dia melamun dan membayangkan saat memeluk dan mencium Clara.Wajahnya pun memerah karena mengingat itu.Seandainya dia punya keberanian untuk melakukannya.Tapi Adrian takut Clara akan marah atau malah menamparnya.Dia tidak ingin wanita cantik di hadapannya ini membencinya karena hal sepele.'Semoga saja dia tidak berpikir yang aneh tentangku!' pinta Adrian dalam hati."Ma-maaf, Clara. Terima kasih sudah mendukungku!" ucapnya gugup dengan mengalihkan pandangan ke arah lain sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Oh, oke. Aku masuk dulu," ujar Clara dengan ekspresi yang kembali datar.Adrian pun menghembuskan napas lega karena hampir saja membuatnya malu.Dia menatap tubuh belakang Clara sampai menghilang di balik pintu kamarny
Clara pun menggelengkan kepalanya karena terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia merasa Adrian terlalu berambisi untuk membuktikan ucapannya."Adrian, kamu kerja saja dulu dengan baik dan benar. Gunakanlah kesempatan yang Papa dan Mama berikan untukmu! Tidak perlu memikirkan soal aku, kamu paham kan?" ucap Clara dengan ekspresi yang tidak terbaca.Adrian pun mengatupkan mulutnya karena tidak menyangka Clara akan mengucapkan hal itu.Ternyata istrinya itu belum bisa menerima dia sepenuhnya.Sikap baik Clara padanya memang karena sifat gadis itu yang baik, bukan karena simpati padanya.Andrian pun juga merasa ini terlalu cepat dan mungkin bisa membuat mereka semua terkejut, jadi dia akan pelan-pelan bergerak.Karena tidak mungkin juga Adrian langsung membeli mobil ataupun menunjukkan kalau mempunyai uang, sedangkan dia baru saja bekerja.Adrian pun tetap memasang senyuman manisnya."Iya, aku minta maaf. Maksudnya aku akan membelikanmu mobil setelah aku bekerja keras dan men
Adrian pun terkejut dan juga bingung harus berbuat apa."Dari mana kamu tahu tentang hal itu?" tanya Adrian memberanikan diri.Lalu Gio pun tersenyum jahat dan mengatakan hal yang membuat Adrian semakin terperanjat."Tentu saja aku tahu! Karena mantan dari istrimu itu adalah temanku! Daniel, mantan tunangan Clara adalah temanku! Dia yang memberitahuku hal itu!" jelasnya dengan gaya yang angkuh.Iya, tentu saja Andrian tidak bisa menebak hal itu.Jadi dia benar-benar merasa kecolongan.Adrian pun mengatupkan rahangnya karena kesal. Seharusnya dari awal dia tidak melayani pria di hadapannya ini yang bermulut besar.Bayu pun tidak mau kalah dan berkata, "Oh, jadi ini orangnya? Kenapa Clara bisa menikah dengannya? Seleranya benar-benar sungguh rendah!" lagi-lagi pria itu menghina Adrian.Bimo yang tidak tahan melihat mereka pun berusaha untuk membuat suasana menjadi lebih baik."Sudahlah! Untuk apa diperdebatkan. Itu kan masalah pribadi, kita tidak perlu ikut campur! Sekarang ini kita ada
Gio pun memutar otak untuk mencari cara, bagaimana membuat Adrian menderita."Hmm, aku rasa mulai dari hal kecil dulu!" gumamnya tersenyum culas.Gio bukannya sibuk bekerja tapi malah sibuk memikirkan orang lain.Benar-benar tidak patut ditiru!.Lalu Gio pun melihat Bimo dan Adrian yang sedang berada di salah satu sudut ruangan.Di mana Bimo sedang memperkenalkan apa-apa saja bagian yang ada di tempat kerja mereka.Mereka berdua terlihat sangat serius sekali, jadi Gio akan menggunakan kesempatan ini untuk melancarkan aksinya.Gio pun menatap sekeliling dan memastikan bahwa tidak ada orang yang memperhatikannya saat ini.Gio mulai dari hal yang kecil dulu, dia mengambil sesuatu dari dalam laci dan dengan cepat memasukkan ke dalam saku celananya."Nah, setelah ini aku yakin kamu pasti akan dibenci banyak orang!" gumamnya seorang diri.Sudah selesai melakukan itu, dia pun kembali untuk fokus bekerja.Siangnya…Jam makan siang selesai, semua karyawan pun kembali memulai aktivitas mereka.
Adrian menatap lekat lembaran foto di tangannya secara bergantian.Sorot matanya yang tajam meneliti setiap detail petunjuk yang ada.Raut wajahnya penuh tanda tanya. “Siapa pria ini, Jo? Lalu apa yang dia lakukan dengan Pamanku?” Joseph pun duduk dan terlihat antusias sekali.“Aku yakin pria ini adalah orang penting sampai mereka harus bertemu di tempat tersembunyi, Tuan!” ungkapnya bersemangat.Kening Adrian berkerut mendengar itu. Masih tetap tidak puas dengan penjelasan Asistennya.“Tapi, kenapa kau memberikan foto ini padaku? Memangnya apa yang menarik dari dia?” ucapnya kesal dan melempar asal ke meja.Dia sudah pusing dengan masalah perusahaan dan sekarang harus mengurusi orang asing pula!“Nah itu dia, Tuan! Apa Tuan tidak penasaran siapa dia sebenarnya? Tapi, tenang saja karena aku sudah mencari tahu siapa pria itu!” ucap Joseph dengan senyuman misterius.Dia pun membuka Tab miliknya dan mendekatkan lay
Pria paruh baya itu memberikan tatapan menusuk.Sementara pemuda lajang di seberang sana tampak duduk dengan gelisah, susah payah menyembunyikan raut wajah kesal karena kembali mendengar kata-kata yang sangat ia benci.‘Huh! Lagi-lagi cuma bisa menyalahkanku!’ hanya berani menggerutu dalam hati.Tangan kanannya mengambil gelas whisky, menghabiskan sisa minuman itu hingga tandas dan meletakkannya kembali ke atas meja kaca.Butuh sesuatu yang menantang untuk berbicara dengan pria itu.“Aku sudah mengatur semuanya, Bos! Dia gadis yang bodoh. Bahkan tidak memberitahuku kalau si cecunguk itu punya rekaman videonya!” jelasnya berkelit.Yup!Sandy dan Bastian bertemu diam-diam hari ini.Tentu untuk membahas situasi yang makin rumit karena rencana pemuda itu yang hanya ampuh di awal dan menguap begitu saja setelah Adrian berhasil memutar balikkan keadaan.Sandy menyenderkan punggungnya ke sofa.Senyuman miring pun terbit di sudut bibirnya, “Hahaha! Kalian berdua itu sama-sama bodoh! Kau itu s
“A-apa? Ti-tidak mungkin!” ucapnya dengan bibir bergetar. “Kalian pasti salah orang!”[“Tidak, Pak. Kami sudah memeriksa di dalam selnya dan memastikan informasi ini dengan dokter terkait,” jelasnya lagi.]Tangan Bryan lemas dan ponselnya pun jatuh ke lantai.Pria di seberang sana masih bicara, tetapi pria paruh baya itu sudah tidak peduli.“Ti-tidak! Putraku tidak mungkin mati! Ronald … tidak mungkin! Tidaakkkkk!!!”Suaranya menggema di ruangan kerjanya.“Tidak mungkin! Hu-hu-huaaaaa!” Tangis pria itu akhirnya pecah.Kedua bahunya berguncang karena terisak pilu.Setelah semua kejadian yang dialaminya, dia selalu berusaha untuk kuat.Namun, sekarang adalah puncaknya.Putra satu-satunya dan kebanggaan baginya sudah pergi untuk selamanya.Dan dalam beberapa jam saja, berita kematian Ronald langsung laris manis mengisi stasiun televisi.Semua orang pun membicarakan berita itu dengan berbag
Sementara itu…Seorang pria paruh baya baru saja ingin merebahkan badan karena lelah seharian bekerja.Namun atensinya teralihkan saat mendengar bunyi ponsel yang ada di samping ranjang.Saat melihat nama yang ada di layar, raut wajahnya langsung berubah menjadi masam.“Halo! Untuk apalagi kau menelponku?” jawabnya ketus.Pria di seberang sana mencoba bersabar walaupun juga sama kesalnya.[“Tidak usah ketus begitu, Baron! Aku hanya ingin minta keringanan hukuman untuk Ronald! Kau bisa kan bicara pada polisi?” ucapnya sedikit memaksa.]Ya, Bryan menghubungi Baron untuk minta potongan masa tahanan putranya dan mereka tidak tahu sama sekali soal kedatangan Adrian dan rencana licik Ronald yang terbongkar.Belum ada yang memberitahu kedua pria ambisius itu.Jadi, apapun akan dia lakukan meskipun mengemis pada Adik satu-satunya.Baron merasa sangat emosi mendengarnya tetapi berusaha tetap tenang demi kesehatannya
Semua orang di ruangan terkejut mendengar ucapannya barusan.Tanpa banyak basa-basi lagi, Adrian melangkah mendekat ke arah pria yang dulu sangat sombong padanya.Orang yang menghancurkan keluarga istrinya, meskipun ada satu pengecualian karena berkat hal itu dia bisa menikah dengan Clara.Dengan cepat kedua tangannya menarik kerah baju berwarna oranye itu.Wajahnya berbalik ke belakang menatap Asistennya, “Berikan pisaunya, Jo!” teriak Adrian murka.Joseph yang tersadar langsung menaikkan celana kainnya di kaki kiri dan terlihat di balik kaos kaki itu sebuah benda tajam terbungkus dengan kulit khusus berwarna coklat.Dia pun mengambil bilah pisau lipat itu dan tanpa ragu memberikan pada Adrian.“Ini, Tuan!” ucapnya pelan.Adrian langsung mengambilnya dengan cepat dan kasar tanpa peduli kalau tangannya akan terluka.Dia langsung mengarahkan ke leher Ronald.Melihat itu salah satu petugas melarang Adrian untuk melakukan niatnya.“Jangan lakukan apapun, Pak Adrian! Ini kantor polisi dan
“Apa?!” teriaknya dengan raut wajah terkejut.Dia sampai bangkit berdiri dari kursi.Helaan napas panjang langsung keluar dari mulutnya.'Ini tidak mungkin!’ hatinya menolak percaya.Tentu saja!Bagaimana caranya dia membayar orang?Karena Joseph yakin kalau saat itu Ronald sedang berada di dalam penjara.“Kenapa pria itu masih bisa … ah, sudahlah. Cepat berikan semuanya pada kantor polisi atas nama Tuan Adrian. Aku akan menyusul ke sana!” putusnya cepat.[“Baik, Bos!”]Napas Joseph memburu lalu secepat kilat melangkah masuk ke dalam ruangan Tuannya.“Tuan, a-aku ada kabar buruk!” ucapnya sedikit ragu.Adrian memijat keningnya yang pusing karena dari pagi moodnya sudah jelek, ditambah informasi yang diterima dari Asistennya itu semua adalah masalah.“Ada apalagi, Jo?” jawabnya dengan ketus.Adrian terlihat malas meladeni Asistennya itu.Joseph pun duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Adrian.“Orangku bilang, kalau pria yang menabrak Tuan kemarin dibayar oleh Ronald. Dia pelaku
Klik!Panggilan telepon itu dimatikan sepihak oleh Bastian.“Ha-halo! Hei, aku belum selesai bicara!” teriaknya kencang.Nayla menatap layar ponselnya dengan nanar. Tanpa basa-basi lagi dia pun langsung membantingnya ke lantai.“Aarrgghhhh!!! Aku benci kalian semua! Dasar brengsek!”Tubuh gadis itu merosot ke lantai.Kedua bahunya berguncang karena menangis dengan histeris.Tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasa aman di sini.Dengan cepat dia menghapus air matanya dan segera bangkit menuju kamarnya.Nayla akan melakukan rencana yang terakhir supaya bisa hidup dengan tenang.Di Apartemen Joseph…Baru saja pria itu ingin merebahkan badan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang melelahkan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan keningnya pun berkerut saat melihat nomor asing di layar.Meskipun ragu, ia akhirnya mengangkatnya juga.“Halo? Siapa ini?” ucapnya langsung.[“Halo, Bos. Maaf mengganggu malam-malam. Tapi, aku sudah mendapatkan lokasi gadis itu!” ungkap pria di seberang s
Pria itu menarik sudut bibirnya dan tetap santai saja. Setelah seharian sengaja mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk, sekarang barulah ia tertarik meladeni gadis itu.[“Aku tentu saja sedang di kantor. Ada apa?” pria itu bertanya dengan nada malas.]Nayla semakin geram mendengar Bastian yang bersikap cuek padanya. Bahkan dia yakin kalau pria itu pasti sudah menonton berita yang mengguncang dirinya.Meskipun memakai inisial tapi semua karyawan perusahaan Adrian bisa menebak siapa orang yang dimaksudkan. Dan bukannya mendukung, malah mereka semua pasti akan menyalahkan dirinya.Kedua kaki Nayla menghentak ke lantai, “Kenapa kau membuat berita gosip tanpa persetujuan dariku? Kenapa membawa namaku, hah? Aku tidak terima!” teriaknya dengan kencang.Bastian sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telinganya.Tetapi, bukannya merasa bersalah malah menampilkan senyuman licik di sudut bibirnya.[“Memangnya aku harus minta pendapatmu kalau ingin melakukan sesuatu? Tidak ‘kan? Kau ti
"Baik, Tuan!" jawab Joseph patuh. Adrian membuka jasnya dengan cepat dan memberi perintah lagi, “Hapus berita murahan itu sekarang!”Pria itu pun mengangguk dan segera ke luar dari sana sebelum Tuannya semakin murka. Adrian pun mendudukkan tubuhnya di kursi dengan kasar. Dia pun memegang kepalanya yang berdenyut pusing dengan kedua tangannya. "Apalagi sekarang?!" teriaknya frustasi. Tentu saja karyawan di perusahaan ini tahu siapa yang dipecat secara tidak hormat olehnya. Sebagian orang pasti ada yang percaya dengan berita itu dan Adrian tidak ingin hal itu memperngaruhi kinerja mereka. Juga dengan inisial nama yang sudah jelas merujuk pada Nayla. Adrian tidak menyangka kalau gadis itu masih berani bermain api dengannya setelah apa yang terjadi. Padahal ia sudah sebisa mungkin menjauh dan tidak pernah memberikan celah pada wanita manapun untuk mendekatinya. Sedetik kemudian ia teringat kalau ponselnya masih dalam mode silent. Dengan terburu-buru Adrian merogoh saku jasnya.