Seorang penyihir muda melangkah perlahan di antara reruntuhan bekas ibu kota yang hancur, mengingat masa lalu yang masih menghantuinya.
Langit yang kelabu dan reruntuhan bangunan yang ditumbuhi lumut menjadi saksi bisu dari kehancuran yang terjadi seratus tahun lalu. Tangannya yang halus namun kuat mencoba mengais-ngais reruntuhan itu, berharap menemukan sesuatu yang berharga. "Kalau tidak salah ini adalah rumah Kak Naila, pasti banyak artefak di ruang bawah tanahnya," gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya yang mulai berminyak. Dia membersihkan reruntuhan dengan hati-hati, memastikan setiap batu dan puing yang dipindahkannya tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut. Pemuda itu memiliki rambut hitam legam yang panjang, mata coklat yang penuh determinasi, dan kulit putih mulus yang kontras dengan pakaian serba hitam yang dikenakannya. Dia adalah satu-satunya penyihir yang selamat dari pembantaian yang dilakukan oleh manusia seratus tahun lalu. Dia adalah Zephyr, satu-satunya kerabat yang tersisa dari Adipati Kadipaten Elzir dan satu-satunya seorang penyihir yang selamat. Dia merupakan putra dari kakak laki-laki Adipati Elzir yang mengakhiri hidup setelah ditinggalkan istrinya yang seorang manusia. Ya, Zephyr adalah setengah manusia dan penyihir. Orang tuanya seorang penyihir dan manusia, mereka menikah meskipun perbedaan usia mereka bagai bumi dan langit. Penyihir bisa hidup berabad-abad, bahkan bisa mencapai keabadian jika mencapai tingkatan tertentu dalam ilmu sihir. Sejak kejadian tragis yang menimpa keluarganya, kaum penyihir melarang pernikahan dengan manusia. "Ini dia!" seru Zephyr ketika menemukan sebuah pintu rahasia di lantai reruntuhan bekas rumah Naila. Gadis itu merupakan anak dari Adipati dan sepupunya yang menyelamatkan hidupnya seratus tahun lalu. Dia menarik gagang pintu rahasia itu tapi gagal, ternyata pintu itu terlindungi oleh segel sihir yang kuat. Zephyr menatap segel sihir tersebut dengan seksama. Cahaya biru bersinar samar-samar dari lambang bintang besar berwarna hitam yang berkelip. "Ini... ini segel tingkat tinggi," gumamnya dengan nada kagum. "Sepertinya Kak Naila menyimpan benda-benda berbahaya di ruangan bawah tanahnya. Jika tidak, maka tidak mungkin dia menyegelnya dengan segel tingkat tinggi seperti ini." Zephyr berpikir keras, mencoba mengingat pelajaran sihir yang pernah diajarkan oleh para tetua. "Bagaimana cara melepaskan segel ini?" Dia merapalkan mantra pelindung untuk memastikan dirinya tetap aman jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan hati-hati, dia mulai mengamati pola dan simbol pada segel itu, mencari petunjuk yang bisa membantunya. Tiba-tiba, ingatan tentang sebuah buku tua yang pernah dia baca muncul dalam benaknya. Buku itu berisi tentang berbagai jenis segel sihir dan cara membukanya. Dia mengeluarkan buku tersebut dari tasnya dan membolak-balik halaman dengan cepat. "Ah, ini dia," ujarnya ketika menemukan halaman yang memuat segel yang mirip dengan yang ada di hadapannya. Zephyr mengikuti instruksi dalam buku dengan cermat. Dia menggerakkan tangannya dengan gerakan yang rumit, merapalkan mantra dengan suara yang tenang namun penuh kekuatan. Lambang bintang besar itu mulai bergetar, cahaya birunya semakin terang. Setelah beberapa saat, terdengar suara klik lembut dan segel itu pun terbuka. Dengan hati-hati, Zephyr membuka pintu rahasia tersebut dan melihat tangga yang menurun ke dalam kegelapan. Dia menjentikkan jarinya lalu api kecil muncul di telunjuk tangannya dan mulai menuruni tangga dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat, seakan dia membawa beban masa lalu yang masih menghantuinya. Setiap anak tangga yang ia lewati membawa kenangan masa kecilnya ketika dirinya bersama Naila belajar sihir dari Adipati di ruang bawah tanah itu. Di ujung tangga, dia menemukan ruangan bawah tanah yang penuh dengan artefak kuno dan buku-buku sihir. Lalu dia merapalkan mantra sihir untuk menerangi ruang bawah tanah itu. "Ini pasti yang disembunyikan Kak Naila agar tidak dicuri oleh para manusia yang serakah," bisiknya dengan mata yang berbinar. Zephyr merasa seolah dia kembali ke masa lalu, merasakan kehadiran Naila di sekitarnya. Dia berjalan menuju sebuah meja besar yang penuh dengan gulungan dan buku-buku. Di tengah meja, terdapat sebuah kotak kecil yang bersinar lembut. Zephyr membuka kotak itu dan menemukan sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang. Dia tahu, ini adalah artefak yang sangat berharga dan memiliki kekuatan besar. "Sekarang, dengan ini, aku bisa melindungi diriku dan menghentikan kejahatan yang pernah menghancurkan kita," gumamnya dengan tekad yang membara. Zephyr memasukkan kalung itu ke dalam sakunya dan bersiap untuk keluar dari ruangan bawah tanah tersebut. Masa lalunya mungkin penuh dengan kesedihan, tapi masa depannya penuh dengan harapan dan perjuangan. Saat hendak keluar dari ruangan bawah tanah, mata Zephyr tanpa sengaja tertumbuk pada pedang yang terletak di sudut gelap ruangan. Pedang itu tampak berkilauan dengan aliran sihir tingkat tinggi, bentuknya berliuk-liuk seperti keris dan berwarna hitam pekat. "Kenapa aku tak menyadari pedang itu saat masuk tadi? Seolah dia menarikku agar menghampirinya," gumamnya dengan alis terangkat. Perlahan, Zephyr mendekati pedang tersebut, langkahnya hati-hati agar tidak memicu perangkap yang mungkin dipasang oleh Naila, sepupunya yang dikenal sebagai penyihir tingkat tinggi yang sangat berhati-hati. Setiap langkahnya dia perhatikan dengan seksama, matanya selalu waspada terhadap setiap sudut ruangan, mencari-cari tanda-tanda segel atau perangkap tersembunyi. Jantungnya berdegup semakin kencang saat dia mendekat. Tangannya mulai terjulur untuk meraih pedang itu, namun tiba-tiba lingkaran sihir terbentuk di bawah kakinya. Sinar biru muncul dengan lambang bintang berwarna putih, khas rapalan sihir Naila. Zephyr mundur beberapa langkah, merapalkan mantra penguat tubuh, siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi ternyata, dari sinar sihir itu muncul sosok Naila. Zephyr terperangah, matanya terbuka lebar melihat sosok yang menyelamatkannya seratus tahun lalu. Dengan refleks, dia memeluknya, namun pelukannya hanya tembus melewati tubuh Naila. "Ini... ini sihir hologram?" gumamnya dengan suara bergetar. Hologram Naila bergerak, tersenyum lembut. "Zephyr, aku tahu kau akan selamat dari malam yang mengerikan itu," kata Naila. "Jika kau melihat sihir hologram ini, maka sudah dipastikan bahwa aku telah tiada. Aku membuat sihir ini terpicu jika diriku tak ada lagi di dunia ini dan saat kau mendekati pedang itu." Zephyr mendengar dengan seksama, merasakan kerinduan mendalam terhadap sepupunya. "Pedang itu," lanjut Naila, "aku tempa sendiri secara khusus. Aku beri nama pedang Elzir untuk mengingatkan tempat kita berasal, aku membuatkannya khusus untukmu agar bisa bertahan hidup." Zephyr meraih pedang itu dengan hati-hati. Saat tangannya menyentuh gagang pedang, dia merasakan aliran kuat sihir mengalir ke dalam tubuhnya. Pedang itu seolah hidup, berdenyut dengan kekuatan yang dahsyat. "Zephyr," suara Naila melanjutkan, "sekarang, kau bisa membalaskan dendam kaum kita. Tapi aku beri saran agar tidak melakukannya, karena dendam akan berakhir dengan buruk. Hiduplah dengan damai sampai ajal menjemputmu, itulah kata terakhirku untukmu sebagai penyihir terakhir." Sihir hologram itu perlahan redup, kemudian menghilang, meninggalkan Zephyr dalam kebingungan dan dilema. Pedang Elzir di tangannya terasa berat, bukan hanya karena kekuatannya, tetapi juga karena beban moral yang disampaikan oleh Naila. Zephyr duduk di lantai dingin ruangan bawah tanah itu, memandangi pedang yang kini berada di pangkuannya. Dia merenung, memikirkan kata-kata Naila. Dendam memang menggoda, membakar semangatnya untuk membalas rasa sakit dan kehilangan yang dia rasakan. Namun, nasihat Naila juga mengingatkannya akan konsekuensi dari membiarkan dendam menguasai dirinya. "Apakah aku benar-benar harus membalaskan dendam ini?" pikir Zephyr dalam hati. "Atau mungkin ada cara lain untuk menghormati kaumku dan mencapai kedamaian?" Zephyr berdiri, memutuskan untuk membawa pedang itu bersamanya, bukan sebagai alat pembalasan, tetapi sebagai simbol kekuatan dan pengingat akan nasihat bijak dari sepupunya. Dengan langkah tegas, dia meninggalkan ruangan bawah tanah itu.Sinar matahari siang yang terik membuat Zephyr menyipitkan mata saat keluar dari ruang bawah tanah milik Naila. Dia mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari sinar yang menyilaukan, merasakan kehangatan yang tiba-tiba kontras dengan kegelapan yang baru saja ditinggalkannya.Setelah beberapa saat, dia perlahan menutup pintu rahasia itu kembali, memastikan segel sihir yang kuat melindunginya.Zephyr kemudian menumpukkan reruntuhan di atas pintu, memastikan tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalamnya.“Mulai hari ini, aku akan kembali tinggal di bekas reruntuhan ibu kota. Aku akan membangun sebuah rumah yang tak jauh dari sini,” katanya pada dirinya sendiri, bertekad untuk menghidupkan kembali kenangan dan kekuatan yang tersisa di tempat itu.Matanya memandang ke sekitar, mencari-cari lokasi yang tepat. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya.“Seharusnya aku membangun ulang rumah Kak Naila saja!” serunya, penuh semangat.Zephyr menjulurkan kedua tangannya dengan telapa
Bulan purnama bersinar sangat terang malam itu, memancarkan cahaya perak yang menyelimuti seluruh hutan bekas reruntuhan ibu kota Kadipaten Elzir.Sinar bulan begitu kuat hingga memantulkan bayangan pohon-pohon kuno yang berdiri di sekeliling, menciptakan pemandangan magis yang seolah berasal dari dunia lain.Energi alam yang melimpah malam itu terasa begitu nyata, seakan-akan setiap molekul udara dipenuhi dengan kekuatan sihir yang murni.Di dalam rumah barunya, Zephyr merasakan aliran kekuatan sihir yang sangat besar menyusup ke dalam tubuhnya. Dia duduk di ruang tamu yang sederhana namun penuh dengan kenangan magis.Dinding-dinding batu yang telah disihir kembali berdiri tegak, memantulkan cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela besar.Bulan purnama memang memiliki kekuatan untuk menggandakan energi sihir, menjadikannya waktu yang paling dinantikan oleh para penyihir.Pada malam seperti ini, ritual dan perayaan besar sering diadakan, di mana para penyihir berkumpul untuk me
“Tuan Putri, sepertinya kita akan sampai di kota perbatasan menuju reruntuhan Kadipaten Elzir sore nanti. Apakah sebaiknya sekarang kita beristirahat atau tetap melanjutkan perjalanan untuk mempersingkat waktu?” tanya Sarina pada Putri Fania yang sedang menunggangi kuda putih kesayangannya.Putri Fania memperhatikan area sekitar dengan seksama, matanya melihati tiap sudut arah di tempatnya berada sambil memicingkan matanya.Ekspedisi Kerajaan Elde telah diberangkatkan dengan diperkuat tiga ratus orang terbaik dari kerajaan pagi ini. Formasi ekspedisi ini terdiri dari seratus ahli pemecah sihir dan ahli sihir, seratus ksatria suci, dan seratus petualang yang direkrut langsung oleh istana.“Kelihatannya tempat ini aman dari bandit,” kata Putri Fania sambil turun dari kudanya. “Semuanya, siang ini kita akan beristirahat selama satu jam untuk mengistirahatkan kuda-kuda kita!”“Baik, Putri!” Semua orang menyahuti perintah pemimpin mereka.Putri Fania adalah pemimpin Kerajaan Elde yang meng
“Hati-hati terhadap tanaman rambat ini, mereka bisa merambat secepat kilat dan melilit kalian! Ingat, ini bekas wilayah yang pernah dihuni para penyihir!” Miza memberi saran pada pasukan ekspedisi yang mulai memasuki hutan pagi ini.Mereka berangkat saat fajar menyingsing setelah semua orang yang akan ikut masuk ke dalam hutan belantara terkumpul dengan peralatan lengkap. Sebanyak dua ribu orang ikut dalam ekspedisi ini, melebihi perkiraan Miza sang penguasa kota dan Putri Fania.Perlahan namun pasti, mereka memasuki hutan itu dengan bimbingan dari Miza dan beberapa ahli lainnya, merangsek belantara yang mengerikan itu.Desiran angin di dalam hutan membuat semua orang merinding, ditambah suara-suara aneh yang mengerikan. Semak belukar dan tanaman rambat bergerak perlahan mengikuti langkah kaki mereka.“Ada apa dengan hutan ini? Kenapa semuanya hidup di dalam sini?” tanya Sarina yang terlihat heran sambil meremas seragam militernya.“Itu sudah pasti karena ini adalah bekas wilayah peny
Zephyr merasakan adanya beberapa orang yang mulai masuk ke dalam reruntuhan kota melalui persepsi sihirnya. Dia beranjak dari kursinya, menerawang dengan sihirnya ke arah orang-orang yang melewati domain sihirnya.“Tidak mungkin ini terjadi! Mereka bisa melawati makhluk-makhluk mengerikan itu!” gumamnya yang sedikit terlihat khawatir.Zephyr memejamkan mata, tubuh astralnya keluar dari tubuh aslinya dan mulai berjalan meninggalkan rumahnya menuju orang-orang yang masuk ke reruntuhan kota ini.“Tiga, enam, delapan, sepuluh. Lima laki-laki dan lima perempuan,” Dia menghitung jumlah orang-orang itu. “Tujuh orang berzirah militer itu bisa kukalahkan dengan cepat, tapi tiga orang yang terlihat seperti para pemimpin itu terlihat agak menyusahkan,” gumamnya melalui tubuh astralnya sambil mengira-ngira kekuatan tempur mereka.Beberapa saat kemudian, tubuh astralnya kembali ke tubuh aslinya. Zephyr mulai bergerak perlahan, menyelinap di antara reruntuhan agar tidak ketahuan oleh sepuluh orang
Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanama
Terik matahari siang menjalar di antara hutan dan reruntuhan menuju rumah Zephyr. Zephyr terlihat was-was siang itu, pikirannya kalut ketika melihat kedua gadis yang diusirnya berlari ketakutan dari rumahnya menuju hutan.“Gawat!”Zephyr seketika teringat dengan segala bahaya dan ancaman dari makhluk yang ada di dalam hutan. Tanpa pikir panjang, dia segera keluar dari rumahnya dan mengeluarkan energi sihir membentuk sayap, lalu terbang ke atas untuk melihat keadaan kedua gadis itu di dalam hutan.Zephyr mempercepat laju terbangnya melewati belantara dan pepohonan yang tinggi menjulang, sambil menghindari ranting dan dahan pohon-pohon raksasa di hutan. Dia mengaktifkan sihir pencarian untuk menemukan kedua gadis itu.Benar saja, ketika dia menemukannya, mereka sedang bertarung dengan seekor serigala sihir. Sarina terluka akibat pertarungan itu dan banyak sekali darah mengalir dari lengan kirinya.Kekhawatirannya menjadi kenyataan, kedua gadis itu kewalahan dan kepayahan melawan serigal
Pasukan sebanyak seribu prajurit datang dengan cepat dan mengepung Zephyr yang dadanya tertancap sebuah panah perak besar.Tangannya memegang anak panah itu, dia berusaha keras untuk menariknya dengan bantuan sihir penyembuhnya, namun gagal.Darah mengalir dari lukanya, membuat situasi semakin genting.Dari antara seribu prajurit itu, seorang pria muda berpenampilan seperti seorang Jendral turun dari kudanya.Helm perangnya berkilauan di bawah matahari, dan ia memandang sekeliling dengan arogan.Dengan langkah pasti, dia mendekati Putri Fania yang berdiri ketakutan. Pria itu adalah Nado, tunangan Putri Fania yang dipilih langsung oleh ayahnya yaitu Raja Balz sesaat sebelum gugur dalam pertempuran."Nado, tidak perlu seperti ini," Fania berbisik, matanya penuh ketakutan.Namun, Nado tidak mendengarkan.Dia menarik Putri Fania ke dalam pelukannya dengan kasar, kemudian melepaskannya hanya untuk menampar pipinya dengan keras.Plak!“Berani-beraninya kau bertindak tanpa pengawasan dan per