Penyihir, ya, penyihir.
Penyihir adalah ras tertinggi di antara manusia, memiliki kekuatan sihir yang berasal langsung dari dalam tubuh mereka, tanpa memerlukan tongkat atau buku sebagai medium. Berbeda dengan manusia biasa yang memerlukan medium untuk menyalurkan energi sihir, penyihir dapat memanipulasi energi tersebut langsung dari tubuh mereka. Penyihir tidak terikat oleh batasan usia seperti manusia pada umumnya, yang biasanya hanya hidup hingga 50 atau 60 tahun. Ketika seorang penyihir mencapai usia 20 tahun, mereka terbebas dari penuaan dan bisa hidup selama berabad-abad. Secara fisik, penyihir hampir tidak bisa dibedakan dari manusia biasa. Mereka memiliki penampilan dan ciri fisik yang sama, dengan satu-satunya perbedaan yang terletak pada energi sihir yang mereka miliki. Pada titik tertentu dalam kehidupan mereka, banyak penyihir memilih untuk mengembara atau hidup berdampingan dengan manusia biasa. Mereka sering membuka toko obat-obatan, menggunakan ilmu mereka untuk membantu manusia. Manusia sangat bergantung pada para penyihir, sehingga mereka mengistimewakan para penyihir. Namun, para penyihir menolak perlakuan istimewa ini dan hanya ingin hidup berdampingan secara damai. Penyihir memiliki aturan ketat dalam kehidupan mereka, salah satu yang paling penting adalah larangan menikah dengan manusia. Aturan ini muncul dari pengalaman pahit di masa lalu. Pernah ada seorang penyihir yang menikah dengan manusia biasa. Saat manusia itu menua dan meninggal, penyihir tersebut tetap awet muda dan tidak menua sedikitpun. Rasa kehilangan yang mendalam membuat penyihir itu patah hati, hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya, meninggalkan anak mereka yang setengah manusia dan setengah penyihir. Beberapa ratus tahun kemudian, manusia membentuk sebuah kekaisaran besar dengan menyatukan semua kerajaan di belahan timur yang diberi nama Kekaisaran Elde. Kekaisaran ini kemudian mengusir para penyihir karena rasa iri terhadap kekuatan mereka. Tragedi ini mempertegas betapa pentingnya aturan yang telah dipegang teguh oleh para penyihir selama berabad-abad. Para penyihir pun mengikuti langkah manusia dengan mendirikan Kekadipatenan yang diberi nama sebagai Kadipaten Elzir demi mempertahankan diri mereka dari keserakahan manusia yang mulai merusak alam. Meski tidak sebesar Kekaisaran, Kadipaten ini cukup untuk menampung semua penyihir yang ada di dunia. Kaisar pertama Elde kemudian memerintahkan para pejabatnya untuk mengambil upeti dari Kadipaten Elzir, awalnya Adipati penyihir memberi upeti pada manusia tapi lambat laun besaran upeti bertambah dan para penyihir merasa tertekan. Para penyihir meminta pada Adipati mereka untuk bernegosiasi dengan manusia agar menurunkan biaya upeti untuk dibayar. Sang Adipati itu menyetujuinya, dia bergegas ke Kekaisaran Elde untuk bernegosiasi. Namun ketika sampai di perbatasan antara Kekaisaran dan Kadipaten, Adipati melihat rombongan tentara dari Kekaisaran tengah berbaris rapih masuk ke dalam kota benteng di perbatasan itu. Dia tidak menaruh curiga dan masuk ke dalam kota untuk bernegosiasi dengan pejabat lokal. Tapi ternyata di dalam kota itu ada Kaisar dari manusia yang sedang beristirahat, lalu dumulailah niatnya untuk bernegosiasi langsung dengan Sang Kaisar. Kaisar tidak menerima negosiasi, dia mengancam jika para penyihir tak memberikan upeti maka akan dibantai. Adipati penyihir tak tinggal diam, ia berusaha untuk menenangkan dan meredakan situasi yang menegang. Tapi sayangnya dia tidak berhasil. Kaisar mengancam akan menusuk dan melenyapkan Adipati jika menolak, tentu saja Adipati tak bergeming. Ia paham betul jika tak ada satupun senjata buatan manusia yang mampu menyakiti para penyihir kecuali kekuatan penyihir itu sendiri. Tiba-tiba, Kaisar menghunuskan pedangnya dan menusuk Adipati dengan gerakan cepat. Jleb! Pedang itu menusuk perut Adipati penyihir dan menembusnya, Adipati yang tak menyangka hal itu tak bisa berbuat apa-apa. Dia baru menyadari kalau manusia baru saja mengembangkan senjata yang dapat melenyapkan para pehihir. Saat ia berusaha untuk memulihkan lukanya dengan sihir, pedang lainnya menusuk dadanya dan membuat Sang Adipati meninggal di tempat. “Malam ini kita akan memburu para penyihir!” Teriak Kaisar dengan keras dan disahut oleh semua prajuritnya yang ada di situ. Dengan kematian Adipati Kadipaten Elzir, rencana pembantaian para penyihir oleh Kaisar menjadi mulus. Malam harinya, seluruh prajurit Kekaisaran dikerahkan untuk menyerbu wilayah Kadipaten Elzir tanpa sepengetahuan para penyihir. Ribuan pasukan berkuda, ribuan ksatria, ribuan pemanah, dan puluhan ribu rakyat Kekaisaran ikut ambil bagian dalam serangan itu, berharap bisa menjarah barang-barang milik penyihir untuk diri mereka sendiri. Tengah malam, ribuan pasukan Kekaisaran dengan baju zirah mengkilap menerjang masuk ke desa-desa penyihir. Para penyihir yang sedang terlelap terbangun dengan teriakan panik. Bola api dan petir sihir beterbangan menghantam para penyerang. Namun, dengan senjata baru yang mereka miliki, prajurit Kekaisaran mampu menangkis dan menghancurkan serangan sihir tersebut. Sebuah ledakan besar mengguncang desa saat beberapa prajurit menggunakan bom sihir yang mereka ciptakan khusus untuk menghancurkan rumah-rumah penyihir. Para penyihir muda berusaha melawan, namun satu per satu tumbang oleh senjata campuran antara emas dan perak yang mematikan. Seorang penyihir tua berusaha melindungi anak-anak dengan perisai sihirnya, namun perisainya hancur oleh serangan bertubi-tubi dan dia pun tewas. Di kesunyian malam, desa-desa penyihir di Kadipaten dibantai dan dibakar satu per satu. Teriakan dari para penyihir yang disiksa dan dibantai menggema, menambah horor malam itu. Para penyihir yang terkejut mencoba melawan dengan sihir serangan mereka, tetapi sia-sia saja. Manusia telah diam-diam menciptakan senjata dari campuran emas dan perak yang dapat menghancurkan syaraf dan peredaran darah para penyihir, yang sebelumnya kebal terhadap senjata apapun. Para penyihir yang melakukan perlawanan sia-sia kini lari tunggang-langgang demi menyelamatkan diri. Hingga akhirnya, pasukan besar manusia tiba di ibu kota Kadipaten Elzir. Tak butuh waktu lama bagi Kekaisaran untuk meratakan ibu kota kadipaten. Semua penduduk yang tertangkap dibantai tanpa ampun, tak menyisakan satu nyawa pun. Di tengah kekacauan, seorang bocah lelaki berlari di antara reruntuhan, diikuti oleh gadis yang mencoba melindunginya. Gadis itu melemparkan bola api dan petir ke arah prajurit yang mengejar, tetapi mereka terus mendesak maju. Saat mereka terpojok, gadis itu dengan nekat melompat ke arah prajurit, menahan serangan tombak yang diarahkan pada bocah tersebut. Dia menjerit kesakitan namun berhasil melantunkan mantra terakhirnya, mengirim bocah itu jauh ke dalam hutan. Prajurit Kekaisaran berhenti sejenak, terkejut dengan sihir yang dilancarkan gadis itu, namun segera kembali ke tugas mereka, membantai setiap penyihir yang mereka temui. Seratus tahun kemudian. Bocah lelaki yang kini telah dewasa kembali ke tempat asalnya. Dengan penuh dendam dan kepedihan, dia berjanji akan membalas dendam atas apa yang telah dilakukan manusia kepada kaumnya. Hutan tempatnya berlindung menjadi saksi bisu dari tekad dan rencananya untuk mengembalikan kejayaan para penyihir dan menuntut keadilan bagi mereka yang telah dibantai. “Inikah balasan dari kebaikan kaum kami pada kalian, wahai manusia?” Dia bergumam, matanya menatap sisa-sisa kehancuran seratus tahun lalu dengan penuh dendam dan kepedihan.Seorang penyihir muda melangkah perlahan di antara reruntuhan bekas ibu kota yang hancur, mengingat masa lalu yang masih menghantuinya.Langit yang kelabu dan reruntuhan bangunan yang ditumbuhi lumut menjadi saksi bisu dari kehancuran yang terjadi seratus tahun lalu. Tangannya yang halus namun kuat mencoba mengais-ngais reruntuhan itu, berharap menemukan sesuatu yang berharga."Kalau tidak salah ini adalah rumah Kak Naila, pasti banyak artefak di ruang bawah tanahnya," gumamnya sambil menyeka keringat di dahinya yang mulai berminyak.Dia membersihkan reruntuhan dengan hati-hati, memastikan setiap batu dan puing yang dipindahkannya tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut.Pemuda itu memiliki rambut hitam legam yang panjang, mata coklat yang penuh determinasi, dan kulit putih mulus yang kontras dengan pakaian serba hitam yang dikenakannya.Dia adalah satu-satunya penyihir yang selamat dari pembantaian yang dilakukan oleh manusia seratus tahun lalu. Dia adalah Zephyr, satu-satunya kerab
Sinar matahari siang yang terik membuat Zephyr menyipitkan mata saat keluar dari ruang bawah tanah milik Naila. Dia mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari sinar yang menyilaukan, merasakan kehangatan yang tiba-tiba kontras dengan kegelapan yang baru saja ditinggalkannya.Setelah beberapa saat, dia perlahan menutup pintu rahasia itu kembali, memastikan segel sihir yang kuat melindunginya.Zephyr kemudian menumpukkan reruntuhan di atas pintu, memastikan tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalamnya.“Mulai hari ini, aku akan kembali tinggal di bekas reruntuhan ibu kota. Aku akan membangun sebuah rumah yang tak jauh dari sini,” katanya pada dirinya sendiri, bertekad untuk menghidupkan kembali kenangan dan kekuatan yang tersisa di tempat itu.Matanya memandang ke sekitar, mencari-cari lokasi yang tepat. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya.“Seharusnya aku membangun ulang rumah Kak Naila saja!” serunya, penuh semangat.Zephyr menjulurkan kedua tangannya dengan telapa
Bulan purnama bersinar sangat terang malam itu, memancarkan cahaya perak yang menyelimuti seluruh hutan bekas reruntuhan ibu kota Kadipaten Elzir.Sinar bulan begitu kuat hingga memantulkan bayangan pohon-pohon kuno yang berdiri di sekeliling, menciptakan pemandangan magis yang seolah berasal dari dunia lain.Energi alam yang melimpah malam itu terasa begitu nyata, seakan-akan setiap molekul udara dipenuhi dengan kekuatan sihir yang murni.Di dalam rumah barunya, Zephyr merasakan aliran kekuatan sihir yang sangat besar menyusup ke dalam tubuhnya. Dia duduk di ruang tamu yang sederhana namun penuh dengan kenangan magis.Dinding-dinding batu yang telah disihir kembali berdiri tegak, memantulkan cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela besar.Bulan purnama memang memiliki kekuatan untuk menggandakan energi sihir, menjadikannya waktu yang paling dinantikan oleh para penyihir.Pada malam seperti ini, ritual dan perayaan besar sering diadakan, di mana para penyihir berkumpul untuk me
“Tuan Putri, sepertinya kita akan sampai di kota perbatasan menuju reruntuhan Kadipaten Elzir sore nanti. Apakah sebaiknya sekarang kita beristirahat atau tetap melanjutkan perjalanan untuk mempersingkat waktu?” tanya Sarina pada Putri Fania yang sedang menunggangi kuda putih kesayangannya.Putri Fania memperhatikan area sekitar dengan seksama, matanya melihati tiap sudut arah di tempatnya berada sambil memicingkan matanya.Ekspedisi Kerajaan Elde telah diberangkatkan dengan diperkuat tiga ratus orang terbaik dari kerajaan pagi ini. Formasi ekspedisi ini terdiri dari seratus ahli pemecah sihir dan ahli sihir, seratus ksatria suci, dan seratus petualang yang direkrut langsung oleh istana.“Kelihatannya tempat ini aman dari bandit,” kata Putri Fania sambil turun dari kudanya. “Semuanya, siang ini kita akan beristirahat selama satu jam untuk mengistirahatkan kuda-kuda kita!”“Baik, Putri!” Semua orang menyahuti perintah pemimpin mereka.Putri Fania adalah pemimpin Kerajaan Elde yang meng
“Hati-hati terhadap tanaman rambat ini, mereka bisa merambat secepat kilat dan melilit kalian! Ingat, ini bekas wilayah yang pernah dihuni para penyihir!” Miza memberi saran pada pasukan ekspedisi yang mulai memasuki hutan pagi ini.Mereka berangkat saat fajar menyingsing setelah semua orang yang akan ikut masuk ke dalam hutan belantara terkumpul dengan peralatan lengkap. Sebanyak dua ribu orang ikut dalam ekspedisi ini, melebihi perkiraan Miza sang penguasa kota dan Putri Fania.Perlahan namun pasti, mereka memasuki hutan itu dengan bimbingan dari Miza dan beberapa ahli lainnya, merangsek belantara yang mengerikan itu.Desiran angin di dalam hutan membuat semua orang merinding, ditambah suara-suara aneh yang mengerikan. Semak belukar dan tanaman rambat bergerak perlahan mengikuti langkah kaki mereka.“Ada apa dengan hutan ini? Kenapa semuanya hidup di dalam sini?” tanya Sarina yang terlihat heran sambil meremas seragam militernya.“Itu sudah pasti karena ini adalah bekas wilayah peny
Zephyr merasakan adanya beberapa orang yang mulai masuk ke dalam reruntuhan kota melalui persepsi sihirnya. Dia beranjak dari kursinya, menerawang dengan sihirnya ke arah orang-orang yang melewati domain sihirnya.“Tidak mungkin ini terjadi! Mereka bisa melawati makhluk-makhluk mengerikan itu!” gumamnya yang sedikit terlihat khawatir.Zephyr memejamkan mata, tubuh astralnya keluar dari tubuh aslinya dan mulai berjalan meninggalkan rumahnya menuju orang-orang yang masuk ke reruntuhan kota ini.“Tiga, enam, delapan, sepuluh. Lima laki-laki dan lima perempuan,” Dia menghitung jumlah orang-orang itu. “Tujuh orang berzirah militer itu bisa kukalahkan dengan cepat, tapi tiga orang yang terlihat seperti para pemimpin itu terlihat agak menyusahkan,” gumamnya melalui tubuh astralnya sambil mengira-ngira kekuatan tempur mereka.Beberapa saat kemudian, tubuh astralnya kembali ke tubuh aslinya. Zephyr mulai bergerak perlahan, menyelinap di antara reruntuhan agar tidak ketahuan oleh sepuluh orang
Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanama
Terik matahari siang menjalar di antara hutan dan reruntuhan menuju rumah Zephyr. Zephyr terlihat was-was siang itu, pikirannya kalut ketika melihat kedua gadis yang diusirnya berlari ketakutan dari rumahnya menuju hutan.“Gawat!”Zephyr seketika teringat dengan segala bahaya dan ancaman dari makhluk yang ada di dalam hutan. Tanpa pikir panjang, dia segera keluar dari rumahnya dan mengeluarkan energi sihir membentuk sayap, lalu terbang ke atas untuk melihat keadaan kedua gadis itu di dalam hutan.Zephyr mempercepat laju terbangnya melewati belantara dan pepohonan yang tinggi menjulang, sambil menghindari ranting dan dahan pohon-pohon raksasa di hutan. Dia mengaktifkan sihir pencarian untuk menemukan kedua gadis itu.Benar saja, ketika dia menemukannya, mereka sedang bertarung dengan seekor serigala sihir. Sarina terluka akibat pertarungan itu dan banyak sekali darah mengalir dari lengan kirinya.Kekhawatirannya menjadi kenyataan, kedua gadis itu kewalahan dan kepayahan melawan serigal