Beranda / Fantasi / Pembalasan Penyihir Agung / Antara Dendam Dan Pengampunan

Share

Antara Dendam Dan Pengampunan

Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.

Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.

Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.

Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.

Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.

Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanaman obat yang dia kumpulkan dari hutan, masing-masing dipilih dengan cermat untuk khasiat penyembuhannya.

Dia mengoleskan ramuan itu ke luka-luka di tubuh Putri Fania dan Sarina, sentuhan tangannya dingin namun penuh perhatian. Meski dia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan mereka dengan sihir dalam sekejap, dia menolak melakukannya.

Bagi Zephyr, mereka tidak pantas menerima anugerah sihir penyembuhan darinya.

Zephyr merasakan detak jantungnya meningkat, dendam lama yang kembali berkobar dalam hatinya.

“Kenapa aku melakukan hal yang tidak perlu ini? Mengapa aku membawa mereka berdua ke rumah lalu mengobatinya? Bukankah mereka adalah keturunan dari manusia-manusia keji itu?” gumamnya pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh dengan kebencian dan kebingungan.

Setelah selesai mengoleskan ramuan, Zephyr mengambil kain bersih dan mulai membalut luka-luka mereka dengan hati-hati. Dia memeriksa setiap luka dengan teliti, memastikan bahwa perawatan yang dia berikan cukup untuk mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan.

Meskipun hatinya dipenuhi dengan kebencian, ada rasa tanggung jawab yang tidak bisa dia abaikan. Dia membaringkan Putri Fania dan Sarina di ranjang rumahnya, membiarkan mereka beristirahat dengan tenang.

Zephyr berdiri sejenak, menatap kedua gadis itu dengan mata yang penuh dengan konflik. Pikirannya berputar-putar, antara kebencian yang mendalam dan rasa kasihan yang tak bisa dia jelaskan.

“Mengapa mereka harus mengingatkan aku pada masa lalu yang penuh dengan penderitaan? Mengapa mereka harus terlihat begitu lemah dan rentan di hadapanku?” pikirnya, perasaan yang bertabrakan semakin membuatnya resah.

Dia berbalik dan meninggalkan ruangan, langkahnya berat dan pikiran yang semakin kacau. Zephyr menuju ke ruangan lain di rumahnya yang sederhana, duduk di kursi dan memandangi jendela yang menghadap ke hutan.

Cahaya matahari pagi yang lembut menembus daun-daun, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak di lantai.

“Kenapa aku melakukan ini?” tanyanya lagi pada dirinya sendiri, suaranya hampir berbisik. Zephyr mencoba mengingat alasan mengapa dia menyelamatkan kedua gadis itu, namun jawabannya selalu terhalang oleh bayangan masa lalu.

Mungkin, meski dia tidak mau mengakuinya, ada bagian dari dirinya yang masih memiliki rasa kemanusiaan.

Zephyr menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang gelisah.

“Mereka adalah keturunan musuh-musuhku, namun mereka juga adalah manusia yang terluka dan membutuhkan bantuan,” bisiknya. “Apakah aku begitu berbeda dari mereka jika aku tidak bisa memberikan sedikit belas kasih?”

Waktu berlalu, dan akhirnya Zephyr memutuskan untuk kembali ke ruangan tempat Putri Fania dan Sarina berbaring. Dia berdiri di pintu, memperhatikan mereka dari kejauhan.

Kedua gadis itu mulai bergerak pelan, tanda-tanda kehidupan dan kesadaran perlahan kembali pada mereka. Zephyr merasa hatinya berdebar keras, bukan karena kebencian, tetapi karena harapan aneh yang tidak dia mengerti.

“Bangunlah,” bisik Zephyr dengan suara lembut yang mengejutkannya sendiri.

Putri Fania membuka matanya terlebih dahulu, diikuti oleh Sarina. Mereka melihat Zephyr dengan kebingungan dan ketakutan, tetapi ada juga rasa terima kasih dalam tatapan mereka.

Zephyr merasakan dadanya sesak, perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Perasaan yang bergejolak di dalam dirinya tidak sepenuhnya bisa dia mengerti.

“Kalian selamat sekarang. Namun, perjalanan kalian belum selesai. Kalian harus pergi dari tempat ini,” kata Zephyr, suaranya tegas namun penuh dengan perasaan yang tersembunyi.

Putri Fania dan Sarina mengangguk lemah, berusaha bangkit dari ranjang. Mereka duduk dengan hati-hati, masih merasa lelah dan terluka.

Ketika mereka saling pandang, kesadaran menghantam mereka seperti ombak besar—mereka menyadari jika tak sehelai benang pun menutupi tubuh mereka, hanya kain perban seadanya yang melindungi kesopanan mereka.

“Ka-ka-kau!” Putri Fania panik langsung menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. “Ka-kau beraninya membuka pakaian kami!”

Zephyr menatap mereka dengan dingin tanpa ekspresi. “Itu masalah buatmu?” tanyanya acuh. “Tenang saja, aku tidak melakukan hal aneh pada kalian. Lagipula aku juga tidak bernafsu melihat tubuhmu yang penuh luka itu.”

Kata-kata dingin Zephyr membuat Putri Fania dan Sarina semakin kesal. “Itu masalah!” teriak Putri Fania, wajahnya merah padam.

“Letak masalahnya di mana? Apa kau manusia dan aku penyihir?” Zephyr bertanya dengan nada datar, seolah tak menganggap serius keluhan mereka.

“Putri, sepertinya otak laki-laki yang ada di hadapan kita ini sudah konslet dan tak bermoral!” Sarina berseru, mencoba menenangkan Putri Fania yang marah.

Zephyr terlihat bingung. “Kalian sudah kutolong dan kurawat, tapi tak tahu terima kasih.”

“Apa?” Putri Fania dan Sarina terkejut mendengar tuduhan itu.

“Sudah kubilang kalau laki-laki yang ada di depan kita ini otaknya konslet!” Sarina mengulangi, kali ini lebih tegas.

“kau-“

Kruyuuuuk! Kruyuuuuk!

Sebelum Zephyr bisa membalas, perut Putri Fania dan Sarina berbunyi sangat keras, membuat keduanya tersipu malu. Mereka memandang satu sama lain dengan wajah memerah, mencoba menahan tawa yang nyaris keluar.

Zephyr menghela napas panjang. “Aku akan menyiapkan makanan, lalu kalian harus pergi setelahnya,” katanya sambil berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.

Putri Fania dan Sarina saling pandang, perasaan campur aduk antara malu, marah, dan heran.

“Apa memang penyihir itu seperti ini?” tanya Putri Fania, suaranya pelan dan penuh rasa ingin tahu.

“Entahlah, Putri. Aku juga baru pertama kali melihat laki-laki tanpa rasa bersalah membuka pakaian seorang wanita...” jawab Sarina dengan nada bercanda, mencoba mengurangi ketegangan di antara mereka.

Mereka dengan cepat mencari-cari pakaian mereka lalu mengenakannya. Setelah itu, mereka keluar dari kamar menuju ke ruang makan, di mana Zephyr terlihat tengah memasak sesuatu.

Putri Fania dan Sarina saling pandang setelah mata mereka melirik ke seluruh rumah Zephyr yang terlihat berbeda dari rumah-rumah pada umumnya. Dinding-dindingnya dipenuhi simbol-simbol sihir yang aneh, dan aroma ramuan memenuhi udara.

Beberapa menit kemudian, Zephyr menuju ke ruang makan. Putri Fania dan Sarina duduk tenang, mencoba mengendalikan perasaan canggung dan takut mereka. Zephyr menghampiri mereka dengan nampan penuh makanan.

Aroma lezat menyebar di ruangan, membuat perut mereka yang lapar semakin bergejolak.

Zephyr meletakkan nampan kayu di meja makan dan menatap mereka dengan dingin. “Silakan makan. Setelah itu, kalian harus pergi,” katanya tanpa basa-basi.

Putri Fania dan Sarina menatap makanan di depan mereka dengan rasa lapar yang tak bisa disembunyikan. Mereka segera meraih makanan dan mulai makan dengan lahap, meskipun perasaan tegang tidak hilang dari pikiran mereka.

Zephyr memperhatikan mereka sejenak, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan lagi.

“Apa kita benar-benar harus pergi setelah ini?” tanya Putri Fania dengan mulut penuh makanan, suaranya berbisik penuh kecemasan.

“Aku rasa begitu. Penyihir laki-laki itu jelas tidak ingin kita tinggal lebih lama,” jawab Sarina sambil mengunyah sepotong daging. Matanya terus waspada, memperhatikan setiap sudut ruangan.

Setelah beberapa saat, Zephyr kembali masuk ke ruangan. “Sudah selesai?” tanyanya dengan nada datar, namun ada ketegangan yang terasa dalam suaranya.

Putri Fania dan Sarina mengangguk, meski masih ada sisa-sisa makanan di piring kayu mereka. Mereka berdiri dengan hati-hati, memastikan perban mereka tetap tertutup dengan baik di balik pakaian mereka.

Ketegangan di ruangan itu hampir bisa dirasakan, seperti udara tebal yang sulit untuk dihirup.

Zephyr memandang mereka dengan tatapan tajam. “Pergilah. Kalian harus meninggalkan tempat ini sekarang juga,” katanya dengan nada mengancam.

“Tapi-”

Putri Fania mencoba berbicara, namun suaranya terputus oleh tatapan mengerikan Zephyr yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.

“Pergi atau kupanggil lembuswana dan naga besukih untuk melahap kalian,” kata Zephyr dingin, suaranya penuh ancaman. Matanya berkilat dengan kemarahan yang tertahan, dan tangannya sedikit bergetar, menunjukkan betapa seriusnya ancamannya.

Putri Fania dan Sarina mundur beberapa langkah, ketakutan. “Kami akan pergi,” kata Sarina dengan suara gemetar. Mereka segera mengumpulkan barang-barang mereka dan berlari keluar dari rumah Zephyr, rasa takut dan adrenalin mendorong mereka untuk bergerak lebih cepat.

Ketika mereka berada di luar, nafas mereka terengah-engah, hati mereka berdebar kencang. Mereka terus berlari menjauh, tidak berani melihat ke belakang.

Rumah Zephyr perlahan menghilang dari pandangan mereka, dan mereka hanya bisa berharap mereka tidak akan pernah harus bertemu dengan penyihir itu lagi.

Di dalam rumah, Zephyr berdiri di jendela, memperhatikan mereka pergi. Perasaan campur aduk berkecamuk dalam dirinya—kebencian, dendam, dan mungkin sedikit rasa kasihan.

Tapi dia tahu, membiarkan mereka pergi adalah keputusan yang tepat. Untuk saat ini, setidaknya, dia bisa menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak.

“Jangan kembali lagi ke tempat ini,” gumamnya pada dirinya sendiri, kemudian berbalik masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan suara yang menggema di dalam ruangan yang sunyi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status