Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.
Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.
Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.
Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.
Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.
Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanaman obat yang dia kumpulkan dari hutan, masing-masing dipilih dengan cermat untuk khasiat penyembuhannya.
Dia mengoleskan ramuan itu ke luka-luka di tubuh Putri Fania dan Sarina, sentuhan tangannya dingin namun penuh perhatian. Meski dia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan mereka dengan sihir dalam sekejap, dia menolak melakukannya.
Bagi Zephyr, mereka tidak pantas menerima anugerah sihir penyembuhan darinya.
Zephyr merasakan detak jantungnya meningkat, dendam lama yang kembali berkobar dalam hatinya.
“Kenapa aku melakukan hal yang tidak perlu ini? Mengapa aku membawa mereka berdua ke rumah lalu mengobatinya? Bukankah mereka adalah keturunan dari manusia-manusia keji itu?” gumamnya pada dirinya sendiri, suara hatinya penuh dengan kebencian dan kebingungan.
Setelah selesai mengoleskan ramuan, Zephyr mengambil kain bersih dan mulai membalut luka-luka mereka dengan hati-hati. Dia memeriksa setiap luka dengan teliti, memastikan bahwa perawatan yang dia berikan cukup untuk mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan.
Meskipun hatinya dipenuhi dengan kebencian, ada rasa tanggung jawab yang tidak bisa dia abaikan. Dia membaringkan Putri Fania dan Sarina di ranjang rumahnya, membiarkan mereka beristirahat dengan tenang.
Zephyr berdiri sejenak, menatap kedua gadis itu dengan mata yang penuh dengan konflik. Pikirannya berputar-putar, antara kebencian yang mendalam dan rasa kasihan yang tak bisa dia jelaskan.
“Mengapa mereka harus mengingatkan aku pada masa lalu yang penuh dengan penderitaan? Mengapa mereka harus terlihat begitu lemah dan rentan di hadapanku?” pikirnya, perasaan yang bertabrakan semakin membuatnya resah.
Dia berbalik dan meninggalkan ruangan, langkahnya berat dan pikiran yang semakin kacau. Zephyr menuju ke ruangan lain di rumahnya yang sederhana, duduk di kursi dan memandangi jendela yang menghadap ke hutan.
Cahaya matahari pagi yang lembut menembus daun-daun, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak di lantai.
“Kenapa aku melakukan ini?” tanyanya lagi pada dirinya sendiri, suaranya hampir berbisik. Zephyr mencoba mengingat alasan mengapa dia menyelamatkan kedua gadis itu, namun jawabannya selalu terhalang oleh bayangan masa lalu.
Mungkin, meski dia tidak mau mengakuinya, ada bagian dari dirinya yang masih memiliki rasa kemanusiaan.
Zephyr menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang gelisah.
“Mereka adalah keturunan musuh-musuhku, namun mereka juga adalah manusia yang terluka dan membutuhkan bantuan,” bisiknya. “Apakah aku begitu berbeda dari mereka jika aku tidak bisa memberikan sedikit belas kasih?”
Waktu berlalu, dan akhirnya Zephyr memutuskan untuk kembali ke ruangan tempat Putri Fania dan Sarina berbaring. Dia berdiri di pintu, memperhatikan mereka dari kejauhan.
Kedua gadis itu mulai bergerak pelan, tanda-tanda kehidupan dan kesadaran perlahan kembali pada mereka. Zephyr merasa hatinya berdebar keras, bukan karena kebencian, tetapi karena harapan aneh yang tidak dia mengerti.
“Bangunlah,” bisik Zephyr dengan suara lembut yang mengejutkannya sendiri.
Putri Fania membuka matanya terlebih dahulu, diikuti oleh Sarina. Mereka melihat Zephyr dengan kebingungan dan ketakutan, tetapi ada juga rasa terima kasih dalam tatapan mereka.
Zephyr merasakan dadanya sesak, perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Perasaan yang bergejolak di dalam dirinya tidak sepenuhnya bisa dia mengerti.
“Kalian selamat sekarang. Namun, perjalanan kalian belum selesai. Kalian harus pergi dari tempat ini,” kata Zephyr, suaranya tegas namun penuh dengan perasaan yang tersembunyi.
Putri Fania dan Sarina mengangguk lemah, berusaha bangkit dari ranjang. Mereka duduk dengan hati-hati, masih merasa lelah dan terluka.
Ketika mereka saling pandang, kesadaran menghantam mereka seperti ombak besar—mereka menyadari jika tak sehelai benang pun menutupi tubuh mereka, hanya kain perban seadanya yang melindungi kesopanan mereka.
“Ka-ka-kau!” Putri Fania panik langsung menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. “Ka-kau beraninya membuka pakaian kami!”
Zephyr menatap mereka dengan dingin tanpa ekspresi. “Itu masalah buatmu?” tanyanya acuh. “Tenang saja, aku tidak melakukan hal aneh pada kalian. Lagipula aku juga tidak bernafsu melihat tubuhmu yang penuh luka itu.”
Kata-kata dingin Zephyr membuat Putri Fania dan Sarina semakin kesal. “Itu masalah!” teriak Putri Fania, wajahnya merah padam.
“Letak masalahnya di mana? Apa kau manusia dan aku penyihir?” Zephyr bertanya dengan nada datar, seolah tak menganggap serius keluhan mereka.
“Putri, sepertinya otak laki-laki yang ada di hadapan kita ini sudah konslet dan tak bermoral!” Sarina berseru, mencoba menenangkan Putri Fania yang marah.
Zephyr terlihat bingung. “Kalian sudah kutolong dan kurawat, tapi tak tahu terima kasih.”
“Apa?” Putri Fania dan Sarina terkejut mendengar tuduhan itu.
“Sudah kubilang kalau laki-laki yang ada di depan kita ini otaknya konslet!” Sarina mengulangi, kali ini lebih tegas.
“kau-“
Kruyuuuuk! Kruyuuuuk!
Sebelum Zephyr bisa membalas, perut Putri Fania dan Sarina berbunyi sangat keras, membuat keduanya tersipu malu. Mereka memandang satu sama lain dengan wajah memerah, mencoba menahan tawa yang nyaris keluar.
Zephyr menghela napas panjang. “Aku akan menyiapkan makanan, lalu kalian harus pergi setelahnya,” katanya sambil berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.
Putri Fania dan Sarina saling pandang, perasaan campur aduk antara malu, marah, dan heran.
“Apa memang penyihir itu seperti ini?” tanya Putri Fania, suaranya pelan dan penuh rasa ingin tahu.
“Entahlah, Putri. Aku juga baru pertama kali melihat laki-laki tanpa rasa bersalah membuka pakaian seorang wanita...” jawab Sarina dengan nada bercanda, mencoba mengurangi ketegangan di antara mereka.
Mereka dengan cepat mencari-cari pakaian mereka lalu mengenakannya. Setelah itu, mereka keluar dari kamar menuju ke ruang makan, di mana Zephyr terlihat tengah memasak sesuatu.
Putri Fania dan Sarina saling pandang setelah mata mereka melirik ke seluruh rumah Zephyr yang terlihat berbeda dari rumah-rumah pada umumnya. Dinding-dindingnya dipenuhi simbol-simbol sihir yang aneh, dan aroma ramuan memenuhi udara.
Beberapa menit kemudian, Zephyr menuju ke ruang makan. Putri Fania dan Sarina duduk tenang, mencoba mengendalikan perasaan canggung dan takut mereka. Zephyr menghampiri mereka dengan nampan penuh makanan.
Aroma lezat menyebar di ruangan, membuat perut mereka yang lapar semakin bergejolak.
Zephyr meletakkan nampan kayu di meja makan dan menatap mereka dengan dingin. “Silakan makan. Setelah itu, kalian harus pergi,” katanya tanpa basa-basi.
Putri Fania dan Sarina menatap makanan di depan mereka dengan rasa lapar yang tak bisa disembunyikan. Mereka segera meraih makanan dan mulai makan dengan lahap, meskipun perasaan tegang tidak hilang dari pikiran mereka.
Zephyr memperhatikan mereka sejenak, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan lagi.
“Apa kita benar-benar harus pergi setelah ini?” tanya Putri Fania dengan mulut penuh makanan, suaranya berbisik penuh kecemasan.
“Aku rasa begitu. Penyihir laki-laki itu jelas tidak ingin kita tinggal lebih lama,” jawab Sarina sambil mengunyah sepotong daging. Matanya terus waspada, memperhatikan setiap sudut ruangan.
Setelah beberapa saat, Zephyr kembali masuk ke ruangan. “Sudah selesai?” tanyanya dengan nada datar, namun ada ketegangan yang terasa dalam suaranya.
Putri Fania dan Sarina mengangguk, meski masih ada sisa-sisa makanan di piring kayu mereka. Mereka berdiri dengan hati-hati, memastikan perban mereka tetap tertutup dengan baik di balik pakaian mereka.
Ketegangan di ruangan itu hampir bisa dirasakan, seperti udara tebal yang sulit untuk dihirup.
Zephyr memandang mereka dengan tatapan tajam. “Pergilah. Kalian harus meninggalkan tempat ini sekarang juga,” katanya dengan nada mengancam.
“Tapi-”
Putri Fania mencoba berbicara, namun suaranya terputus oleh tatapan mengerikan Zephyr yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“Pergi atau kupanggil lembuswana dan naga besukih untuk melahap kalian,” kata Zephyr dingin, suaranya penuh ancaman. Matanya berkilat dengan kemarahan yang tertahan, dan tangannya sedikit bergetar, menunjukkan betapa seriusnya ancamannya.
Putri Fania dan Sarina mundur beberapa langkah, ketakutan. “Kami akan pergi,” kata Sarina dengan suara gemetar. Mereka segera mengumpulkan barang-barang mereka dan berlari keluar dari rumah Zephyr, rasa takut dan adrenalin mendorong mereka untuk bergerak lebih cepat.
Ketika mereka berada di luar, nafas mereka terengah-engah, hati mereka berdebar kencang. Mereka terus berlari menjauh, tidak berani melihat ke belakang.
Rumah Zephyr perlahan menghilang dari pandangan mereka, dan mereka hanya bisa berharap mereka tidak akan pernah harus bertemu dengan penyihir itu lagi.
Di dalam rumah, Zephyr berdiri di jendela, memperhatikan mereka pergi. Perasaan campur aduk berkecamuk dalam dirinya—kebencian, dendam, dan mungkin sedikit rasa kasihan.
Tapi dia tahu, membiarkan mereka pergi adalah keputusan yang tepat. Untuk saat ini, setidaknya, dia bisa menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak.
“Jangan kembali lagi ke tempat ini,” gumamnya pada dirinya sendiri, kemudian berbalik masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan suara yang menggema di dalam ruangan yang sunyi.
Terik matahari siang menjalar di antara hutan dan reruntuhan menuju rumah Zephyr. Zephyr terlihat was-was siang itu, pikirannya kalut ketika melihat kedua gadis yang diusirnya berlari ketakutan dari rumahnya menuju hutan.“Gawat!”Zephyr seketika teringat dengan segala bahaya dan ancaman dari makhluk yang ada di dalam hutan. Tanpa pikir panjang, dia segera keluar dari rumahnya dan mengeluarkan energi sihir membentuk sayap, lalu terbang ke atas untuk melihat keadaan kedua gadis itu di dalam hutan.Zephyr mempercepat laju terbangnya melewati belantara dan pepohonan yang tinggi menjulang, sambil menghindari ranting dan dahan pohon-pohon raksasa di hutan. Dia mengaktifkan sihir pencarian untuk menemukan kedua gadis itu.Benar saja, ketika dia menemukannya, mereka sedang bertarung dengan seekor serigala sihir. Sarina terluka akibat pertarungan itu dan banyak sekali darah mengalir dari lengan kirinya.Kekhawatirannya menjadi kenyataan, kedua gadis itu kewalahan dan kepayahan melawan serigal
Pasukan sebanyak seribu prajurit datang dengan cepat dan mengepung Zephyr yang dadanya tertancap sebuah panah perak besar.Tangannya memegang anak panah itu, dia berusaha keras untuk menariknya dengan bantuan sihir penyembuhnya, namun gagal.Darah mengalir dari lukanya, membuat situasi semakin genting.Dari antara seribu prajurit itu, seorang pria muda berpenampilan seperti seorang Jendral turun dari kudanya.Helm perangnya berkilauan di bawah matahari, dan ia memandang sekeliling dengan arogan.Dengan langkah pasti, dia mendekati Putri Fania yang berdiri ketakutan. Pria itu adalah Nado, tunangan Putri Fania yang dipilih langsung oleh ayahnya yaitu Raja Balz sesaat sebelum gugur dalam pertempuran."Nado, tidak perlu seperti ini," Fania berbisik, matanya penuh ketakutan.Namun, Nado tidak mendengarkan.Dia menarik Putri Fania ke dalam pelukannya dengan kasar, kemudian melepaskannya hanya untuk menampar pipinya dengan keras.Plak!“Berani-beraninya kau bertindak tanpa pengawasan dan per
Zephyr diseret dengan perlahan oleh beberapa orang yang telah diperintahkan oleh Nado. Di sekitar mereka, cahaya redup dari obor menerangi jalan sempit yang membawa mereka ke penjara bawah tanah.Setiap langkah yang mereka ambil, Zephyr merasakan getaran dari tanah dingin yang seolah menyatu dengan rasa sakit di dadanya, di mana panah besar masih tertancap dalam.Meskipun begitu, tatapan Zephyr tetap tenang. Dia memahami situasi yang dihadapinya dan menyadari bahwa orang-orang yang menyeretnya bukanlah musuh.Mereka adalah manusia yang terpaksa mengikuti perintah Nado karena ketakutan yang mencekam. Dalam hati, Zephyr bisa merasakan keraguan dan ketakutan mereka, seperti bisikan lembut yang berusaha memberontak dari penjara jiwa mereka sendiri.“Sialan Nado! Aku ingin sekali menghajarnya!” salah seorang penjaga berbisik pada temannya, berpikir bahwa Zephyr tidak bisa mendengar suara mereka.“Aku juga, tapi apa daya kita? Kita hanya prajurit biasa,” jawab temannya sambil memandang ke a
Panah besar yang menancap pada dada Zephyr mulai bergetar, perlahan terdorong keluar dengan sendirinya, seolah ditolak oleh kekuatan yang tak kasat mata.Rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya berubah menjadi denyutan yang nyaris tak tertahankan, namun Zephyr tetap diam, wajahnya menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam dirinya."Sebentar lagi... Tahan sebentar lagi, lalu kau boleh mengamuk dan melelehkan pria itu."Suara Zephyr bergema dalam benak Sri Roro, bertelepati dengan lembut namun tegas.Di atas penjara tempat Zephyr berada, Sri Roro yang berperan sebagai gadis lemah mencoba menahan rasa kesal dan amarah yang membuncah dalam dadanya.Dia harus tetap berperan hingga waktu yang tepat tiba.Dalam keheningan yang mencekam itu, panah besar yang tertancap dalam di dada Zephyr akhirnya terlepas dengan bunyi yang memuakkan.Luka menganga yang seharusnya fatal mulai tertutup perlahan, daging dan kulitnya kembali menyatu tanpa meninggalkan bekas. Tapi saat proses penyembuhan
Zephyr berdiri, tubuhnya terasa dingin seiring dengan tatapannya yang beku mengarah pada pria besar di hadapannya.Tangan Zephyr perlahan-lahan terangkat, telapak tangannya terbuka dan mengarahkannya ke arah pria besar tersebut, tatapan matanya dingin saat itu.Dalam kebisuan itu, bibir Zephyr mulai merapalkan mantra sihir. Perlahan-lahan jari-jari tangan Zephyr yang terbuka di depan pria besar itu tertutup, seolah-olah dia sedang mencengkeram sesuatu.“Mencengkeram jantung...” gumamnya pelan, suaranya beresonansi dengan kegelapan yang meliputi penjara bawah tanah itu.Sesaat dia merapalkan sihirnya, pria besar itu tersentak. Darah segar mengalir dari sudut mulutnya, matanya membelalak penuh dengan ketakutan.“Grah! Apa ini... apa yang kau lakukan padaku?!” suara seraknya terdengar penuh dengan kepanikan.Sebelum pria besar itu sempat memahami apa yang terjadi pada tubuhnya, napas terakhirnya tercabut. Tubuhnya ambruk terjatuh ke lantai yang dingin dan lembap dengan keras, suara tubuh
Malam itu, saat udara dingin yang merasuk hingga ke tulang di Ibu Kota Kerajaan Elde menjadi saksi bisu ketika dari kegelapan yang tidak diketahui asalnya muncul sebuah air mancur raksasa.Air tersebut memancar dengan kekuatan dahsyat, menghantam salah satu kamar di istana. Orang-orang di dalamnya berlarian dengan panik, berteriak ketakutan saat lantai di bawah kaki mereka mulai dipenuhi dari air mancur tersebut.Sementara sebagian penduduk ibu kota menganggap itu adalah fenomena alam yang luar biasa, tapi bagi Putri Fania dan Sarina itu bukanlah keajaiban.Tapi itu adalah bencana, bencana yang sangat dahsyat.Putri Fania bergegas melewati lorong-lorong panjang istana yang semakin tergenang. Hatinya berdegup kencang, perasaan tak menentu menggerogoti pikirannya.Dia dan Sarina tiba di depan kamar Nado setelah berlari penuh perjuangan di dalam genangan air.Tanpa ragu, Fania membuka pintu. Apa yang dilihatnya di dalam mengubah semua dugaan bu
Jauh di pusat kerajaan Loven yang ada di utara, Ken Erz Loven, raja dari Kerajaan Loven sekaligus paman Fania tengah duduk angkuh di singgasananya yang luas dan megah.Tembok dinding istananya tampak dingin, seolah menyerap kehangatan di dalamnya.Dari sana, dia bisa memandang deretan pegunungan yang puncaknya tertutup salju abadi yang tebal. Kerajaan Loven memang terletak di pegunungan di tengah-tengah benua, meskipun Kerajaan Loven merupakan kerajaan yang gersang karena letaknya di pegunungan yang jarang hujan, kehidupan di sana amatlah makmur.Ken Erz Loven mampu menjadikan kekurangan kerajaannya sebagai acuan untuk membuat kerajaannya bangkit dari keterpurukan.Dengan bantuan dari salju-salju yang menumpuk dan tak pernah habis dari puncak-puncak gunung, dia mampu menyuburkan tanah kerajaannya yang gersang menjadi hijau.“Jadi, Si bodon Nado benar-benar telah menemukan seorang penyihir terakhir yang selamat dari pembantaian seratus tahun y
Di bawah langit malam yang pekat, kekuatan lain mulai bergerak menyelinap seperti ular di antara celah-celah tembok dan pepohonan Ibu Kota Kerajaan Elde tanpa diketahui oleh Zephyr yang merasa terkurung di dalam istana walaupun dia boleh bergerak bebas ke mana pun yang dia mau.Keheningan malam yang biasanya menenangkan kini terasa berbeda. Udara dipenuhi oleh aura gelap yang tak kasat mata, namun cukup kuat untuk membuat setiap makhluk yang lewat merasakan bulu kuduknya berdiri ketika berada di luar sana.Zephyr yang sedang merenung di kamarnya di dalam istana, tak menyadari bahwa malam itu lebih dari sekadar malam biasa. Entah mengapa dirinya merasa terkurung di dalam sana, meski Fania sudah berkata padanya bebas untuk bisa bergerak ke mana pun.Di sana, ia merasa seolah tak bebas.Dan di luar sana, sekelompok pasukan kecil yang dikirim oleh Raja Ken dari Loven tengah bergerak diam-diam dalam gelapnya malam, bergerak dengan kecepatan dan tanpa diketahui