Share

Kejadian Tak Terduga

Pasukan sebanyak seribu prajurit datang dengan cepat dan mengepung Zephyr yang dadanya tertancap sebuah panah perak besar.

Tangannya memegang anak panah itu, dia berusaha keras untuk menariknya dengan bantuan sihir penyembuhnya, namun gagal.

Darah mengalir dari lukanya, membuat situasi semakin genting.

Dari antara seribu prajurit itu, seorang pria muda berpenampilan seperti seorang Jendral turun dari kudanya.

Helm perangnya berkilauan di bawah matahari, dan ia memandang sekeliling dengan arogan.

Dengan langkah pasti, dia mendekati Putri Fania yang berdiri ketakutan. Pria itu adalah Nado, tunangan Putri Fania yang dipilih langsung oleh ayahnya yaitu Raja Balz sesaat sebelum gugur dalam pertempuran.

"Nado, tidak perlu seperti ini," Fania berbisik, matanya penuh ketakutan.

Namun, Nado tidak mendengarkan.

Dia menarik Putri Fania ke dalam pelukannya dengan kasar, kemudian melepaskannya hanya untuk menampar pipinya dengan keras.

Plak!

“Berani-beraninya kau bertindak tanpa pengawasan dan persetujuanku, Fania!” teriaknya dengan marah.

Sarina, yang melihatnya, segera menghunus pedangnya, namun pasukan Nado dengan cepat menodongkan pedang mereka ke arahnya, menghalangi gerakannya.

“Kau bukan siapa-siapa di kerajaan ini, Nado! Hanya pesuruh mendiang Raja saja yang kebetulan ada di sampingnya dan memberimu titah!” teriak Sarina, matanya menyala marah.

Nado mendecak dengan sinis. “Aku adalah tunangan Fania dan calon raja masa depan kerajaan ini, gadis kampung!” katanya dengan nada merendahkan.

Pandangan Nado kemudian tertuju pada Zephyr yang sedang terluka parah. Dia tertawa kecil melihat keadaan Zephyr, tapi matanya tiba-tiba terbuka lebar saat melihat Sri Roro yang berdiri anggun di samping Zephyr.

“Hei, siapa gadis cantik itu?” tanyanya dengan nada kagum kepada Sarina.

“Kurang ajar kau, Nado! Berani-beraninya melirik gadis lain setelah berkata tunangan Tuan Putri!” Sarina balas membentak, mencoba melindungi Sri Roro.

Plak!

Nado juga menampar Sarina dengan keras. “Jawab saja pertanyaanku, gadis kampung!” katanya dengan kasar.

Dia melangkah mendekati Sri Roro, matanya tak lepas dari kecantikan luar biasa yang dimiliki Ratu Air itu.

“Kau,” katanya dengan suara merayu, “malam ini, kau akan menjadi tamuku. Aku punya kamar yang nyaman dan mewah untukmu.”

Sri Roro memandang Nado dengan jijik. “Aku bukan milikmu, manusia kasar!” katanya dengan tegas, matanya berkilat marah.

Air di sekitar mereka mulai bergejolak, merespons kemarahan Ratu Air itu tapi tak ada yang sadar kecuali Putri Fania dan Sarina yang bergidik ngeri menyadarinya.

Zephyr, meski terluka parah, berusaha berdiri. “Hei, jika kau menyentuhnya, kau akan menyesal seumur hidupmu,” katanya dengan suara penuh ancaman.

Nado tertawa sinis. “Oh, lihat siapa yang berbicara. Kau bahkan tak bisa berdiri dengan benar, rakyat jelata yang lemah. Bagaimana kau bisa mengancamku?”

Dia merendahkan Zephyr, tanpa mengetahui bahwa dua makhluk yang sedang dikonfrontasinya adalah makhluk-makhluk yang sangat berbahaya.

Dengan kejam, dia mendorong tubuh Zephyr hingga terjatuh lalu menginjak ujung panah besar itu agar menusuk lebih dalam ke tubuh Zephyr dengan kakinya.

"Arrghh!!"

Zephyr berteriak, namun Nado tertawa girang melihat penderitaannya.

“Sakit, bukan? Aku suka melihat orang yang sedang meregang nyawa menanti ajalnya,” kata Nado dengan nada penuh kebencian.

Zephyr menggertakkan giginya menahan sakit. “Keturunan para manusia hina dan kejam ini sungguh parah! Sudah seratus tahun keturunannya tidak berubah!” gumamnya, berusaha tetap tegar.

Nado lalu mengarahkan pandangannya pada para prajuritnya. “Hei kalian! Bawa pria ini dengan menyeretnya lalu penjarakan dia di bawah tanah hingga ajal menjemputnya. Sementara itu, bawa gadis cantik berpakaian serba hijau itu ke kamarku nanti malam,” perintahnya sambil meninggalkan mereka.

“Kita langsung pulang ke ibu kota tanpa perlu singgah di kota Mulla. Aku ingin segera mencicipi gadis itu,” lanjut Nado dengan mata penuh nafsu, membayangkan skenario-skenario panas dengan Sri Roro di kamarnya.

Putri Fania yang mendengar hal itu merasa geram. Nado bukanlah siapa-siapa di kerajaannya, namun dia berlagak seperti raja.

Dia hanya kebetulan terpilih menjadi calon tunangan Fania atas titah raja sebelum gugur saat bertempur dengan Kerajaan Loven setahun lalu.

Tetapi, herannya semua pejabat istana dan menteri-menteri mendukung Nado. Seharusnya mereka mendukung dan setia pada Putri Fania yang memang pewaris sah keturunan ayahnya yang seorang raja.

Di Kerajaan Elde, kekuasaan Putri Fania hanya sebatas boneka bagi Nado saja. Semua urusan kerajaan semuanya diurus oleh Nado yang bukan siapa-siapa tapi bersikap selayaknya raja, dia tak memperbolehkan Putri Fania ikut campur.

“Kita kembali ke ibu kota Elde!” teriak Nado dengan nada perintah.

Para prajuritnya dengan kasar menarik Putri Fania, Sri Roro, dan Sarina untuk masuk ke dalam kereta kuda kerajaan yang elegan, sambil memandang Zephyr yang terlihat lemas dengan panah besar tertancap di dadanya.

Sementara itu, mereka menyeret Zephyr dengan tali bagaikan tahanan yang diperlakukan keji. Zephyr tidak bisa mengeluarkan sihirnya karena panah itu mengandung perak, salah satu kelemahan penyihir.

Pasukan Nado memacu kudanya dengan cepat tanpa beristirahat. Nado sangat bernafsu untuk segera sampai di istana dan mencicipi Sri Roro di dalam kamarnya.

Pikiran kotor Nado membuatnya tersenyum penuh arti.

Di dalam kereta, Putri Fania mencoba untuk menenangkan Sarina yang ketakutan karena melihat Sri Roro yang penuh amarah. “Tenanglah, Sarina. Kita harus berpikir jernih,” bisiknya.

Sri Roro duduk dengan tenang memegang tongkatnya, namun matanya menunjukkan kemarahan yang membara.

“Aku tidak akan membiarkan manusia rendahan itu menyentuhku, dan aku akan melelehkannya karena sudah merendahkan Tuanku,” katanya dengan suara tegas.

Putri Fania dan Sarina menelan ludah karena ketakutan dengan seorang wanita berkebaya hijau itu, mereka takut jika Ratu Air itu mengamuk dan melelehkan atau menenggelamkan semua manusia yang ada di ibu kota kerajaannya.

Di sisi lain, Zephyr yang sedang diseret oleh prajurit-prajurit Nado berusaha keras menahan rasa sakit. Dia tahu bahwa dia harus segera melepaskan diri dari panah ini agar bisa menggunakan kekuatannya kembali.

Zephyr merasakan setiap getaran tanah di bawah kakinya, mencoba mencari peluang untuk melarikan diri.

Nado, yang kini berada di depan rombongan, terus memikirkan Sri Roro. “Gadis itu akan menjadi milikku malam ini,” gumamnya dengan senyum lebar membayangkan adegan panas bersamanya.

Kereta terus melaju dengan cepat, melintasi padang rumput yang luas dan pepohonan yang mulai jarang.

Matahari mulai terbenam, memberikan cahaya oranye keemasan di cakrawala.

Ketika malam tiba, mereka akhirnya mencapai daerah pinggiran ibu kota. Dari kejauhan, tembok ibu kota terlihat kecil, seperti bayangan kelabu di bawah sinar rembulan.

Senyuman Nado kembali mengembang saat melihat tembok itu. “Akhirnya,” katanya dengan wajah penuh nafsu.

Sekitar satu jam kemudian, rombongan mereka tiba di gerbang ibu kota Kerajaan Elde. Para penjaga gerbang, yang sudah waspada, membuka pintu gerbang dengan lebar.

Ketika kuda yang menyeret Zephyr masuk ke dalam kota, pemandangan itu membuat para penjaga gerbang bergidik.

Melihat seorang pria muda terseret dengan panah besar menancap di dadanya membuat mereka merasa ngeri dan geram dengan perlakuan Nado yang kejam.

Sesampainya di area istana, Nado sumringah. “Cepat siapkan gadis berpakaian serba hijau itu untuk segera ke kamarku sekarang!” perintahnya dengan nada penuh nafsu, membuat orang-orang di sekitarnya merasa muak.

Sri Roro, yang sudah dipaksa turun dari kereta kuda, hanya diam. Wajahnya menunjukkan kepasrahan yang mendalam, sesuai dengan rencana yang diatur oleh Zephyr.

Dalam diam, Zephyr melakukan telepati dengan Sri Roro saat perjalanan menuju ke kota ini, memberikan instruksi yang jelas dan tegas.

"Sri Roro, berpura-puralah lemah. Ikuti semua perintahnya, tapi siapkan dirimu untuk saat yang tepat," suara Zephyr bergema dalam pikirannya.

Sri Roro mengangguk pelan, matanya berkilat sejenak sebelum kembali redup. Dengan langkah pelan, dia mengikuti prajurit yang membawanya menuju kamar Nado.

Nado tersenyum lebar penuh dengan pikiran kotor yang menghantui benaknya bersama Sri Roro.

Sementara itu, Putri Fania dan Sarina dibawa ke kamar milik Putri Fania di istana.

Kedua gadis itu saling berpandangan, mencoba menenangkan diri mereka. “Kita harus percaya pada Ratu Air itu,” bisik Putri Fania. Sarina mengangguk, meski matanya menunjukkan ketakutan.

Di dalam kamarnya, Nado duduk di kursi besar, menunggu dengan tidak sabar. Ketika pintu terbuka dan Sri Roro masuk, dia berdiri dengan cepat, mendekatinya dengan tatapan lapar. “Akhirnya kau di sini,” katanya sambil meraih lengan Sri Roro.

Sri Roro menundukkan kepala, menunjukkan kepasrahan yang palsu. “Aku di sini, seperti yang kau inginkan,” jawabnya dengan suara lirih.

Nado tertawa kecil, puas dengan situasi itu. Dia menarik Sri Roro ke dekat tempat tidur, matanya bersinar dengan gairah yang tidak terkendali. “Kau tahu, gadis cantik, aku akan membuat malam ini tak terlupakan,” katanya, suaranya penuh dengan nada bejat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status