Share

Kedamaian Yang Terancam

Sinar matahari siang yang terik membuat Zephyr menyipitkan mata saat keluar dari ruang bawah tanah milik Naila. Dia mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari sinar yang menyilaukan, merasakan kehangatan yang tiba-tiba kontras dengan kegelapan yang baru saja ditinggalkannya.

Setelah beberapa saat, dia perlahan menutup pintu rahasia itu kembali, memastikan segel sihir yang kuat melindunginya.

Zephyr kemudian menumpukkan reruntuhan di atas pintu, memastikan tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalamnya.

“Mulai hari ini, aku akan kembali tinggal di bekas reruntuhan ibu kota. Aku akan membangun sebuah rumah yang tak jauh dari sini,” katanya pada dirinya sendiri, bertekad untuk menghidupkan kembali kenangan dan kekuatan yang tersisa di tempat itu.

Matanya memandang ke sekitar, mencari-cari lokasi yang tepat. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya.

“Seharusnya aku membangun ulang rumah Kak Naila saja!” serunya, penuh semangat.

Zephyr menjulurkan kedua tangannya dengan telapak terbuka, berkonsentrasi penuh dan mulai merapalkan mantra.

“Sihir, penggerak benda.”

Sinar berwarna hitam mulai muncul dari depan telapak tangannya yang terbuka, menciptakan efek magis yang mempesona. Bebatuan dari reruntuhan itu perlahan-lahan bergerak, seolah-olah hidup kembali di bawah kendali sihirnya.

Zephyr menggerakkan tangannya dengan lembut namun tegas, mengarahkan bebatuan itu untuk saling menempel dan membentuk struktur yang kokoh.

Perlahan-lahan, bentuk rumah mulai terbentuk. Dinding-dinding yang kuat dan tebal terbentuk dari batu-batu yang sebelumnya berserakan. 

"Sihir, membangun rumah," gumamnya, memastikan setiap detail sudah sesuai dengan yang dia inginkan.

Lantai mulai menyatu, membentuk permukaan yang rata dan kuat. Jendela-jendela yang elegan dengan bingkai batu mengisi dinding, memberikan rumah itu nuansa yang indah dan berkelas.

Genting-genting bergerak ke posisi mereka, membentuk atap yang melindungi dari hujan dan panas. Pintu kayu yang kokoh dengan ukiran indah terbentuk di depan rumah, memberikan sentuhan akhir pada bangunan itu.

Zephyr menyelesaikan mantra penggerak benda dengan sempurna. Dia memandang rumah yang baru terbentuk itu dengan rasa puas. 

Rumah itu tidak hanya tampak kokoh dan nyaman, tetapi juga memiliki sentuhan magis yang memancar dari setiap sudutnya.

Zephyr mendekati rumah yang baru saja dia bangun, merasakan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah dan batu basah. Dia membuka pintu rumah, merasakan nostalgia yang mendalam.

Ruangan dalam rumah tersebut tampak sederhana namun penuh dengan energi sihir yang kuat. Di sudut ruangan, terdapat tempat tidur yang nyaman, meja kayu dengan kursi yang kokoh, dan rak-rak yang siap diisi dengan buku-buku sihir dan artefak.

Zephyr berjalan ke jendela, memandang ke luar dan melihat reruntuhan ibu kota yang masih berdiri sebagai saksi bisu dari sejarah yang kelam. “Aku akan membangun kembali kejayaan tempat ini,” katanya dengan penuh tekad. “Dan melindungi apa yang tersisa dari warisan kita.”

Dia kemudian duduk di kursi dekat meja kayu, merasakan kehangatan dari rumah barunya. Di meja itu, Zephyr meletakkan pedang Elzir, artefak yang dia temukan di ruang bawah tanah. “Ini adalah awal yang baru, aku akan melindunginya kali ini, Kak Naila,” bisiknya pada dirinya sendiri. 

***

Sementara itu, jauh di timur tempat Zephyr berada, tepatnya di Ibu kota Kerajaan Elde, seorang putri kerajaan berjalan tergesa-gesa.

Putri Fania Ars Elde, mengenakan seragam militer dengan rambut hitam panjang yang tergerai hingga pinggang, berjalan dengan langkah cepat.

Wajahnya yang cantik terlihat kesal, kulit putihnya semakin kontras dengan rona merah di pipinya yang menunjukkan kemarahan.

“Kenapa masalah ini muncul kembali? Bukankah sejak kekaisaran kita terpecah menjadi beberapa negara kecil, masalah itu sudah selesai?” tanyanya dengan nada marah dan terganggu pada pembawa pesan yang mengikutinya dari belakang.

“Tapi, Tuan Putri. Kerajaan Loven tetap bersikukuh menyalahkan kita tentang pembantaian seratus tahun lalu pada penyihir,” jawab pembawa pesan itu dengan hati-hati.

“Astaga, sudah lima puluh tahun berlalu sejak pecahnya kekaisaran kita dan kakek tua itu masih menyalahkan kita?” Putri Fania berhenti sejenak dan menatap pembawa pesan itu.

“Dia kembali mendesak kita untuk membayar uang ganti rugi.” ujar pembawa pesan itu.

Putri Fania menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada kesal. “Sebenarnya, uang ganti rugi itu untuk apa, hah? Apa dia penyihir yang keluarganya dibantai seratus tahun lalu? Tidak, bukan? Dia adalah adik dari kakekku yang menentang pembantaian penyihir, tapi dia... arghh, aku kesal! Diberi usia panjang tapi membebani sanak saudaranya dengan mendeklarasikan kerajaan baru yang membuat Kekaisaran Elde terpecah belah seperti ini!”

Putri Fania merasa frustrasi dengan adik dari kakeknya yang berumur panjang, yang selalu menyalahkan, menyudutkan, dan bahkan selalu mengancam untuk membumihanguskan Kekaisaran yang sekarang berubah menjadi Kerajaan Elde jika tidak membayar upeti padanya.

Tiba-tiba, dari arah depan, seorang prajurit wanita mendekatinya.

“Tuan, Putri Fania,” sapa prajurit wanita itu sambil membungkukkan kepala. Prajurit itu berambut pendek sebahu berwarna perak, berkulit putih, dan sangat cantik.

“Sarina? Ada apa?” tanya Putri Fania dengan nada serius.

“Saya menemukan catatan tua yang mengatakan bahwa di reruntuhan Kadipaten Elzir banyak terdapat harta yang tertimbun,” kata Sarina dengan tenang namun penuh keyakinan.

Putri Fania memandang prajurit wanita bernama Sarina itu dengan tatapan serius. “Reruntuhan dari negara penyihir yang telah kita bantai, ya? Tapi jalan menuju ke tempat itu sangat berbahaya karena ditumbuhi banyak sekali tanaman beracun dan dihuni hewan buas.”

“Saya sarankan untuk melakukan ekspedisi dengan membawa banyak pasukan untuk kembali membuka hutan itu, Tuan Putri,” saran Sarina dengan tegas.

Putri Fania nampak berpikir sejenak, tangannya yang ditempelkan ke dagunya sambil menatap lantai, memikirkan kemungkinan dan risiko yang terlibat.

“Jika ekspedisi dilancarkan dan berhasil merangsek ke reruntuhan, apa mungkin kita menemukan harta?”

“Tentu saja, Putri,” jawab Sarina dengan penuh keyakinan.

“Kau nampak konyol, Sarina. Itu adalah bekas negeri sihir, catatan lama mencatat bahwa orang-orang terdahulu yang membantai para penyihir pun pulang dengan tangan hampa setibanya dari sana. Mereka pasti menyegel harta dan artefak mereka dengan segel sihir yang kuat.”

“Anda sudah lupa, Tuan Putri? Negeri kita sekarang sudah memiliki ahli pemecah sihir,” jawab Sarina dengan senyum tipis.

Seketika, mata Putri Fania terbuka lebar dan senyum terpancar di wajahnya. “Kau benar, Sarina. Kita memiliki ahli pemecah sihir. Ini bisa menjadi kesempatan kita untuk menemukan harta yang tertimbun di reruntuhan itu.”

Sarina mengangguk. “Saya akan segera menyiapkan ekspedisi, Putri. Kita akan membutuhkan pasukan terbaik dan persiapan yang matang untuk menghadapi bahaya di sana.”

Putri Fania tersenyum penuh semangat. “Lakukan, Sarina. Ini bisa menjadi solusi untuk masalah kita dengan Kerajaan Loven dan mungkin juga membuka rahasia yang telah terkubur selama seratus tahun. Pastikan semuanya siap secepat mungkin.”

Sarina membungkuk hormat sebelum berbalik dan pergi untuk mempersiapkan ekspedisi. Putri Fania merasa jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena marah, tetapi juga karena harapan baru yang muncul di benaknya.

Ini adalah kesempatan untuk mengakhiri ancaman dari Kerajaan Loven dan mungkin menemukan sesuatu yang berharga di reruntuhan Kadipaten Elzir.

Dengan langkah yang lebih ringan, Putri Fania melanjutkan perjalanannya, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan keberhasilan ekspedisi ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status