Share

Hutan Kadipaten Elzir

“Hati-hati terhadap tanaman rambat ini, mereka bisa merambat secepat kilat dan melilit kalian! Ingat, ini bekas wilayah yang pernah dihuni para penyihir!” Miza memberi saran pada pasukan ekspedisi yang mulai memasuki hutan pagi ini.

Mereka berangkat saat fajar menyingsing setelah semua orang yang akan ikut masuk ke dalam hutan belantara terkumpul dengan peralatan lengkap. Sebanyak dua ribu orang ikut dalam ekspedisi ini, melebihi perkiraan Miza sang penguasa kota dan Putri Fania.

Perlahan namun pasti, mereka memasuki hutan itu dengan bimbingan dari Miza dan beberapa ahli lainnya, merangsek belantara yang mengerikan itu.

Desiran angin di dalam hutan membuat semua orang merinding, ditambah suara-suara aneh yang mengerikan. Semak belukar dan tanaman rambat bergerak perlahan mengikuti langkah kaki mereka.

“Ada apa dengan hutan ini? Kenapa semuanya hidup di dalam sini?” tanya Sarina yang terlihat heran sambil meremas seragam militernya.

“Itu sudah pasti karena ini adalah bekas wilayah penyihir,” jawab Miza dengan tenang.

Krek!

Brak!

Tiba-tiba, sebuah batang pohon besar jatuh di samping mereka, membuat semua orang siap siaga. Sebagian ksatria suci menghunuskan pedangnya dan para ahli sihir bersiap merapalkan mantra sebisanya dengan tongkat yang ujungnya terdapat batu mana.

Sebuah batu hasil pengembangan dari para ilmuwan Kekaisaran Elde sebelum terpecah menjadi Kerajaan, yang memungkinkan manusia biasa bisa mengeluarkan energi sihir dengan medium tongkat atau benda lainnya dengan menempelkannya.

Metode ini sangat berbeda dengan murid penyihir yang bisa mengeluarkan energi sihir tanpa bantuan dari batu mana itu.

“Mundur! Semua mundur!” teriak Miza sambil mengarahkan pasukan ekspedisi untuk menghindari tanaman rambat yang bergerak cepat menuju mereka.

Tanaman-tanaman rambat itu hidup, bergerak seakan-akan memiliki pikiran sendiri. Mereka melilit dan merambat dengan kecepatan luar biasa, mencari mangsa di antara pasukan ekspedisi. 

“Arggh, tidak! Tolong!”

Beberapa prajurit yang kurang beruntung terjebak dalam lilitan tanaman tersebut, berteriak minta tolong.

“Lepaskan mereka!” teriak Putri Fania sambil menghunuskan pedangnya, membelah tanaman rambat yang mencoba melilit kakinya.

Para ksatria suci segera maju, mengayunkan pedang mereka dengan kekuatan dan ketangkasan, memotong tanaman-tanaman rambat yang menyerang.

“Penguat tubuh!”

“Tembakan bola api!”

“Meriam energi!”

Para ahli sihir merapalkan mantra perlindungan dan serangan, menghancurkan tanaman dengan bola api dan ledakan energi.

“Jangan biarkan tanaman-tanaman ini mendekat! Gunakan api, itu satu-satunya cara untuk menghentikan mereka!” perintah salah satu ahli sihir.

Dengan cepat, para prajurit menyalakan obor dan mengarahkan nyala api ke tanaman-tanaman rambat. Api berkobar, membakar tanaman-tanaman itu hingga menjadi abu.

Suasana hutan yang tadinya mencekam dengan gerakan tanaman hidup, kini dipenuhi dengan suara gemeretak dan aroma tanaman terbakar.

Setelah berhasil mengatasi serangan tanaman rambat, pasukan ekspedisi melanjutkan perjalanan mereka. Namun, mereka tetap waspada, mengetahui bahwa bahaya masih mengintai di setiap sudut hutan belantara ini.

Di tengah perjalanan, rombongan tiba di sebuah sungai yang mengalir deras. Sungai itu tampak indah dengan air yang jernih, tetapi Miza segera mengingatkan mereka untuk tetap berhati-hati. “Hati-hati saat menyeberangi sungai ini. Airnya mengandung zat beracun yang bisa melumpuhkan tubuh jika tersentuh,” katanya dengan nada tegas.

Para ahli sihir segera merapalkan mantra perlindungan, menciptakan jembatan magis yang memungkinkan pasukan menyeberangi sungai tanpa menyentuh air. Mereka melangkah hati-hati, satu per satu, memastikan tidak ada yang terjatuh ke dalam sungai.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Aliran sungai yang tenang tiba-tiba beriak, dan dari dasar sungai lompatlah seorang wanita cantik memakai kebaya berwarna hijau dengan mahkota emas di kepalanya, menghancurkan jembatan magis itu.

Byur! 

Byur! 

“Arrgghh!!”

Beberapa orang yang tercebur berusaha berenang menepi tetapi perlahan tubuh mereka meleleh, melepaskan jeritan mengerikan yang menggema di sepanjang tepi sungai. Semua orang yang melihat pemandangan itu histeris, termasuk Putri Fania dan Sarina yang menutup mulut mereka dengan tangan sambil gemetar.

"Ratu air! Segera menjauh dari sungai itu sekarang juga!" teriak Miza, wajahnya penuh dengan ketegangan.

Seketika itu juga, ratu air itu mulai bernyanyi, suaranya yang merdu dan mempesona menghipnotis semua yang mendengarnya, menarik mereka untuk berjalan mendekat ke arahnya di sungai. Satu per satu yang terjebak dalam pesonanya melangkah tanpa sadar ke dalam sungai hanya untuk meleleh seperti lilin di bawah terik matahari.

Ratu air itu tertawa dan menggoda para pria untuk mendekatinya, menikmati kekacauan yang dia ciptakan.

"Beri sihir petir pada dia!" teriak Miza dengan suara putus asa.

Para ahli sihir segera merapalkan mantra mereka. "Petir sihir!" Sebuah kilatan petir yang dahsyat menyambar ke arah ratu air itu.

Zraasshh!

“Aaaaaa-hahahaha!” dia berteriak kesakitan.  Suara tertawa dan jeritannya bercampur, sebelum akhirnya dia kembali menyelam ke dasar sungai, menghilang dalam pusaran air yang jernih.

Putri Fania dan yang lainnya berdiri terpaku, masih terpengaruh oleh pemandangan mengerikan yang baru saja mereka saksikan.

“Mengerikan... apa bisa kita melanjutkan perjalanan ini?” Putri Fania bertanya dengan suara yang goyah, matanya dipenuhi ketakutan dan kelelahan.

Miza menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan pasukan yang tersisa. “Kita tidak punya pilihan lain, Putri. Kita sudah sejauh ini. Kita harus melanjutkan perjalanan, untuk menyelesaikan masalah kerajaan kita dengan Loven. Ini adalah ujian yang harus kita hadapi.”

Dengan semangat yang tergugah, meski tubuh dan jiwa mereka dipenuhi ketakutan, rombongan Putri Fania melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan sungai beracun yang kini menjadi saksi bisu dari keganasan alam dan makhluk-makhluk yang menghuni tempat tersebut.

Setelah menyeberangi sungai, mereka melanjutkan perjalanan melalui hutan yang semakin gelap dan menakutkan. Suara-suara aneh dan bayangan-bayangan misterius terus menghantui mereka. Namun, mereka terus maju dengan tekad dan keberanian.

Groaar!

Terdengar suara auman binatang yang sangat jelas terdengar di telinga mereka, suasana hutan semakin mencekam.

“Arrghh! Tolong!” Teriak salah satu ahli sihir yang dengan cepat terseret akar hidup.

Semua orang melihat ahli sihir itu berada di atas mereka dengan kaki yang terlilit akar sambil meronta-ronta melepaskan diri.

Tiba-tiba dari tingginya pepohonan turun tanaman-tanaman kantong semar berukuran raksasa dan memakan ahli sihir yang tergantung itu. Semua orang histeris dan ketakutan, mereka saling berdempetan dan berhimpitan agar tak dimangsa kantong semar raksasa itu.

Roarrr!

Tiba-tiba dari arah belakang mereka muncul seekor lembuswana besar.

Sosok berwarna keemasan berwujud sapi yang mengenakan mahkota di atas kepalanya, memiliki belalai dan gading seperti gajah, sayap yang mengepak seperti garuda, kuku dan taji yang menyerupai ayam jantan dengan bagian tubuh yang bersisik seperti naga itu mengaum keras ke arah ribuan orang yang ada dihadapannya.

“Binatang apa itu?!” tanya Putri Fania dengan panik.

“Itu adalah lembuswana, Tuan Putri. Makhluk mitologi yang dipanggil oleh para penyihir kuno yang ditugaskan untuk menjaga Kadipaten Elzir,” jawab Miza yang sudah paham betul dengan seluk-beluk belantara itu.

“Bagaimana cara mengalahkannya?” tanya Sarina yang tak kalah panik.

“Ini juga pertama kali aku berhadapan dengannya, mungkin dengan berusaha keras kita bisa mengalahkannya!” jawab Miza.

“Jawabanmu itu tak berguna dan tak menjawab pertanyaanku!” sergah Sarina.

Roarrr!

Lembuswana kembali mengaum dan kini mengangkat kedua kaki depannya dan-

Duaar!

Tanah tergoncang! Semua pasukan ekspedisi berusaha tetap berdiri tetapi satu persatu dari mereka dilahap para kantong semar yang mulai mendekat.

Situasi tak terkendali ketika dari langit semburan bola api besar menghantam pasukan ekspedisi dengan keras.

Duaar!

Seketika api itu membakar mereka hidup-hidup, jeritan dan teriakan orang-orang meminta pertolongan terdengar keras di udara.

“Itu adalah serangannya,” ujar Putri Fania.

“Bukan, itu adalah serangan dari naga besukih,” jawab Miza.

“Na-naga katamu? Tapi aku tidak melihatnya!”

Groaaarrr!

Dari langit, auman terdengar dan memekikkan telinga. Lalu seekor naga besar muncul dari balik pepohonan, bentuknya seperti ular yang memanjang tanpa sayap dengan kepala seperti naga pada umumnya, tetapi naga itu memiliki mahkota di kepalanya dan bisa terbang di udara.

Putri Fania jatuh terduduk melihat semua pemandangan mengerikan ini, kantong semar raksasa yang memangsa para ahli sihir, lembuswana yang menyerang para ksatria suci, dan naga besukih yang menyemburkan api membakar mereka hingga menjadi abu.

“Pilihanku untuk ke tempat ini adalah sebuah kesalahan...” gumamnya, mentalnya terguncang melihat makhluk-makhluk mengerikan itu membantai pasukan ekspedisinya satu persatu.

Namun, dalam keputusasaan, Putri Fania berdiri kembali, menggenggam pedangnya dengan erat.

"Kita tidak bisa mundur sekarang! Semua ksatria, fokus serangan pada lembuswana! Para ahli sihir, ciptakan penghalang untuk menghentikan tanaman rambat dan kantong semar! Kita akan bertahan dan melawan!"

Di tengah keputusasaan, harapan menyala di mata pasukan yang tersisa. Mereka menyusun formasi baru, siap bertarung dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Ksatria suci mengerahkan seluruh kekuatan mereka, menyerang lembuswana dengan keberanian yang luar biasa. Para ahli sihir merapalkan mantra pelindung, menciptakan perisai energi yang melindungi pasukan dari serangan tanaman rambat dan kantong semar.

Roarrr!

Lembuswana mengaum marah, tetapi serangan gabungan dari ksatria dan ahli sihir mulai melemahkannya. Sementara itu, naga besukih melayang rendah, bersiap untuk menyemburkan api lagi.

Putri Fania, dengan tekad yang kuat, mengangkat pedangnya yang dilengkapi dengan batu mana ke langit, mengarahkan energi sihir ke arah naga. “Cahaya suci!”

Dengan satu serangan terkoordinasi, pasukan ekspedisi menghancurkan tanaman rambat dan kantong semar, memukul mundur lembuswana, dan melukai naga besukih.

Pertarungan sengit itu berlangsung lama, tetapi akhirnya, dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, mereka berhasil mengalahkan semua ancaman.

Ketika hutan kembali tenang setelah lembuswana dan naga besukih melarikan diri, pasukan yang tersisa berdiri di tengah-tengah orang yang selamat, napas mereka terengah-engah. Putri Fania melihat ke sekeliling, mata penuh dengan kelelahan dan kemenangan.

“Kita berhasil... kita berhasil,” katanya, suaranya bergetar dengan campuran rasa lega dan kebanggaan.

Lalu Putri Fania melanjutkan, suaranya menurun menjadi nada duka. “Dari dua ribu orang pasukan ekspedisi, kini hanya tersisa sepuluh orang saja akibat pertarungan dahsyat tadi. Kita tak bisa kembali jika keadaannya seperti ini,” katanya, hatinya nampak terluka melihat kenyataan pahit ini.

Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan, langkah mereka terasa lebih berat. Mayat-mayat rekan mereka dengan cepat dililit tanaman rambat dan dibawa ke atas pohon oleh kantong semar yang masih tersisa, menambah beban mental yang sudah berat.

Kini sepuluh orang itu tak bisa kembali lagi karena sudah berhadapan dengan bahaya yang begitu mengerikan. Mau tidak mau, mereka harus melanjutkan perjalanan.

Ketika malam mulai menyelimuti hutan, mereka tiba di sebuah area terbuka yang luas. Di tengah area tersebut, mereka melihat reruntuhan yang tampak kuno dan misterius—reruntuhan ibu kota Kadipaten Elzir.

Putri Fania memandang reruntuhan itu dengan mata yang penuh kebahagiaan dan rasa lega yang mendalam. “Akhirnya, setelah perjuangan yang tak sebanding ini, kita telah sampai. Sekarang saatnya mencari kebenaran dan harta yang tersembunyi di tempat ini.”

Dengan hati-hati, mereka memasuki reruntuhan, siap menghadapi segala bahaya yang mungkin menunggu di dalamnya. Cahaya bulan yang menembus pepohonan memberikan sinar lembut yang menerangi jalan mereka, menciptakan suasana magis yang menegangkan. Bayangan-bayangan panjang dari puing-puing kuno tampak seolah hidup, bergerak perlahan di bawah sinar rembulan.

Langkah-langkah mereka menggema di antara reruntuhan, menciptakan harmoni suara yang aneh namun indah. Aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk mengisi udara, menambah kesan misterius yang menyelimuti tempat itu. Mereka bergerak dalam diam, setiap orang fokus pada setiap langkah dan suara di sekitar mereka.

Tiba-tiba, Sarina berhenti dan berbisik, “Lihat! Ada sesuatu di depan kita.”

Mereka mendekati sebuah patung kuno yang setengah terkubur di tanah. Wajah patung itu tampak sangat mirip dengan seorang raja dari zaman dahulu, matanya tertutup dengan ekspresi tenang namun penuh kewibawaan. 

Suasana semakin mencekam ketika mereka mendengar suara gemerisik yang tidak wajar di sekitar mereka. Angin dingin tiba-tiba berhembus, membawa bisikan-bisikan aneh yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Cahaya obor yang mereka bawa bergetar, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan di dinding-dinding batu yang kasar.

“Siapapun yang tinggal di sini dulu, mereka pasti ingin melindungi sesuatu yang sangat berharga,” bisik Miza.

Putri Fania mengangguk, wajahnya tegang namun bertekad. “Kita harus berhati-hati. Kita sudah sejauh ini, kita tidak boleh menyerah sekarang.”

Dengan semangat yang diperbarui, mereka melangkah maju, menghadapi segala rintangan dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan-

“Siapa kalian dan mau apa datang ke tempat ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status