“Hati-hati terhadap tanaman rambat ini, mereka bisa merambat secepat kilat dan melilit kalian! Ingat, ini bekas wilayah yang pernah dihuni para penyihir!” Miza memberi saran pada pasukan ekspedisi yang mulai memasuki hutan pagi ini.
Mereka berangkat saat fajar menyingsing setelah semua orang yang akan ikut masuk ke dalam hutan belantara terkumpul dengan peralatan lengkap. Sebanyak dua ribu orang ikut dalam ekspedisi ini, melebihi perkiraan Miza sang penguasa kota dan Putri Fania.
Perlahan namun pasti, mereka memasuki hutan itu dengan bimbingan dari Miza dan beberapa ahli lainnya, merangsek belantara yang mengerikan itu.
Desiran angin di dalam hutan membuat semua orang merinding, ditambah suara-suara aneh yang mengerikan. Semak belukar dan tanaman rambat bergerak perlahan mengikuti langkah kaki mereka.
“Ada apa dengan hutan ini? Kenapa semuanya hidup di dalam sini?” tanya Sarina yang terlihat heran sambil meremas seragam militernya.
“Itu sudah pasti karena ini adalah bekas wilayah penyihir,” jawab Miza dengan tenang.
Krek!
Brak!
Tiba-tiba, sebuah batang pohon besar jatuh di samping mereka, membuat semua orang siap siaga. Sebagian ksatria suci menghunuskan pedangnya dan para ahli sihir bersiap merapalkan mantra sebisanya dengan tongkat yang ujungnya terdapat batu mana.
Sebuah batu hasil pengembangan dari para ilmuwan Kekaisaran Elde sebelum terpecah menjadi Kerajaan, yang memungkinkan manusia biasa bisa mengeluarkan energi sihir dengan medium tongkat atau benda lainnya dengan menempelkannya.
Metode ini sangat berbeda dengan murid penyihir yang bisa mengeluarkan energi sihir tanpa bantuan dari batu mana itu.
“Mundur! Semua mundur!” teriak Miza sambil mengarahkan pasukan ekspedisi untuk menghindari tanaman rambat yang bergerak cepat menuju mereka.
Tanaman-tanaman rambat itu hidup, bergerak seakan-akan memiliki pikiran sendiri. Mereka melilit dan merambat dengan kecepatan luar biasa, mencari mangsa di antara pasukan ekspedisi.
“Arggh, tidak! Tolong!”
Beberapa prajurit yang kurang beruntung terjebak dalam lilitan tanaman tersebut, berteriak minta tolong.
“Lepaskan mereka!” teriak Putri Fania sambil menghunuskan pedangnya, membelah tanaman rambat yang mencoba melilit kakinya.
Para ksatria suci segera maju, mengayunkan pedang mereka dengan kekuatan dan ketangkasan, memotong tanaman-tanaman rambat yang menyerang.
“Penguat tubuh!”
“Tembakan bola api!”
“Meriam energi!”
Para ahli sihir merapalkan mantra perlindungan dan serangan, menghancurkan tanaman dengan bola api dan ledakan energi.
“Jangan biarkan tanaman-tanaman ini mendekat! Gunakan api, itu satu-satunya cara untuk menghentikan mereka!” perintah salah satu ahli sihir.
Dengan cepat, para prajurit menyalakan obor dan mengarahkan nyala api ke tanaman-tanaman rambat. Api berkobar, membakar tanaman-tanaman itu hingga menjadi abu.
Suasana hutan yang tadinya mencekam dengan gerakan tanaman hidup, kini dipenuhi dengan suara gemeretak dan aroma tanaman terbakar.
Setelah berhasil mengatasi serangan tanaman rambat, pasukan ekspedisi melanjutkan perjalanan mereka. Namun, mereka tetap waspada, mengetahui bahwa bahaya masih mengintai di setiap sudut hutan belantara ini.
Di tengah perjalanan, rombongan tiba di sebuah sungai yang mengalir deras. Sungai itu tampak indah dengan air yang jernih, tetapi Miza segera mengingatkan mereka untuk tetap berhati-hati. “Hati-hati saat menyeberangi sungai ini. Airnya mengandung zat beracun yang bisa melumpuhkan tubuh jika tersentuh,” katanya dengan nada tegas.
Para ahli sihir segera merapalkan mantra perlindungan, menciptakan jembatan magis yang memungkinkan pasukan menyeberangi sungai tanpa menyentuh air. Mereka melangkah hati-hati, satu per satu, memastikan tidak ada yang terjatuh ke dalam sungai.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Aliran sungai yang tenang tiba-tiba beriak, dan dari dasar sungai lompatlah seorang wanita cantik memakai kebaya berwarna hijau dengan mahkota emas di kepalanya, menghancurkan jembatan magis itu.
Byur!
Byur!
“Arrgghh!!”
Beberapa orang yang tercebur berusaha berenang menepi tetapi perlahan tubuh mereka meleleh, melepaskan jeritan mengerikan yang menggema di sepanjang tepi sungai. Semua orang yang melihat pemandangan itu histeris, termasuk Putri Fania dan Sarina yang menutup mulut mereka dengan tangan sambil gemetar.
"Ratu air! Segera menjauh dari sungai itu sekarang juga!" teriak Miza, wajahnya penuh dengan ketegangan.
Seketika itu juga, ratu air itu mulai bernyanyi, suaranya yang merdu dan mempesona menghipnotis semua yang mendengarnya, menarik mereka untuk berjalan mendekat ke arahnya di sungai. Satu per satu yang terjebak dalam pesonanya melangkah tanpa sadar ke dalam sungai hanya untuk meleleh seperti lilin di bawah terik matahari.
Ratu air itu tertawa dan menggoda para pria untuk mendekatinya, menikmati kekacauan yang dia ciptakan.
"Beri sihir petir pada dia!" teriak Miza dengan suara putus asa.
Para ahli sihir segera merapalkan mantra mereka. "Petir sihir!" Sebuah kilatan petir yang dahsyat menyambar ke arah ratu air itu.
Zraasshh!
“Aaaaaa-hahahaha!” dia berteriak kesakitan. Suara tertawa dan jeritannya bercampur, sebelum akhirnya dia kembali menyelam ke dasar sungai, menghilang dalam pusaran air yang jernih.
Putri Fania dan yang lainnya berdiri terpaku, masih terpengaruh oleh pemandangan mengerikan yang baru saja mereka saksikan.
“Mengerikan... apa bisa kita melanjutkan perjalanan ini?” Putri Fania bertanya dengan suara yang goyah, matanya dipenuhi ketakutan dan kelelahan.
Miza menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan pasukan yang tersisa. “Kita tidak punya pilihan lain, Putri. Kita sudah sejauh ini. Kita harus melanjutkan perjalanan, untuk menyelesaikan masalah kerajaan kita dengan Loven. Ini adalah ujian yang harus kita hadapi.”
Dengan semangat yang tergugah, meski tubuh dan jiwa mereka dipenuhi ketakutan, rombongan Putri Fania melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan sungai beracun yang kini menjadi saksi bisu dari keganasan alam dan makhluk-makhluk yang menghuni tempat tersebut.
Setelah menyeberangi sungai, mereka melanjutkan perjalanan melalui hutan yang semakin gelap dan menakutkan. Suara-suara aneh dan bayangan-bayangan misterius terus menghantui mereka. Namun, mereka terus maju dengan tekad dan keberanian.
Groaar!
Terdengar suara auman binatang yang sangat jelas terdengar di telinga mereka, suasana hutan semakin mencekam.
“Arrghh! Tolong!” Teriak salah satu ahli sihir yang dengan cepat terseret akar hidup.
Semua orang melihat ahli sihir itu berada di atas mereka dengan kaki yang terlilit akar sambil meronta-ronta melepaskan diri.
Tiba-tiba dari tingginya pepohonan turun tanaman-tanaman kantong semar berukuran raksasa dan memakan ahli sihir yang tergantung itu. Semua orang histeris dan ketakutan, mereka saling berdempetan dan berhimpitan agar tak dimangsa kantong semar raksasa itu.
Roarrr!
Tiba-tiba dari arah belakang mereka muncul seekor lembuswana besar.
Sosok berwarna keemasan berwujud sapi yang mengenakan mahkota di atas kepalanya, memiliki belalai dan gading seperti gajah, sayap yang mengepak seperti garuda, kuku dan taji yang menyerupai ayam jantan dengan bagian tubuh yang bersisik seperti naga itu mengaum keras ke arah ribuan orang yang ada dihadapannya.
“Binatang apa itu?!” tanya Putri Fania dengan panik.
“Itu adalah lembuswana, Tuan Putri. Makhluk mitologi yang dipanggil oleh para penyihir kuno yang ditugaskan untuk menjaga Kadipaten Elzir,” jawab Miza yang sudah paham betul dengan seluk-beluk belantara itu.
“Bagaimana cara mengalahkannya?” tanya Sarina yang tak kalah panik.
“Ini juga pertama kali aku berhadapan dengannya, mungkin dengan berusaha keras kita bisa mengalahkannya!” jawab Miza.
“Jawabanmu itu tak berguna dan tak menjawab pertanyaanku!” sergah Sarina.
Roarrr!
Lembuswana kembali mengaum dan kini mengangkat kedua kaki depannya dan-
Duaar!
Tanah tergoncang! Semua pasukan ekspedisi berusaha tetap berdiri tetapi satu persatu dari mereka dilahap para kantong semar yang mulai mendekat.
Situasi tak terkendali ketika dari langit semburan bola api besar menghantam pasukan ekspedisi dengan keras.
Duaar!
Seketika api itu membakar mereka hidup-hidup, jeritan dan teriakan orang-orang meminta pertolongan terdengar keras di udara.
“Itu adalah serangannya,” ujar Putri Fania.
“Bukan, itu adalah serangan dari naga besukih,” jawab Miza.
“Na-naga katamu? Tapi aku tidak melihatnya!”
Groaaarrr!
Dari langit, auman terdengar dan memekikkan telinga. Lalu seekor naga besar muncul dari balik pepohonan, bentuknya seperti ular yang memanjang tanpa sayap dengan kepala seperti naga pada umumnya, tetapi naga itu memiliki mahkota di kepalanya dan bisa terbang di udara.
Putri Fania jatuh terduduk melihat semua pemandangan mengerikan ini, kantong semar raksasa yang memangsa para ahli sihir, lembuswana yang menyerang para ksatria suci, dan naga besukih yang menyemburkan api membakar mereka hingga menjadi abu.
“Pilihanku untuk ke tempat ini adalah sebuah kesalahan...” gumamnya, mentalnya terguncang melihat makhluk-makhluk mengerikan itu membantai pasukan ekspedisinya satu persatu.
Namun, dalam keputusasaan, Putri Fania berdiri kembali, menggenggam pedangnya dengan erat.
"Kita tidak bisa mundur sekarang! Semua ksatria, fokus serangan pada lembuswana! Para ahli sihir, ciptakan penghalang untuk menghentikan tanaman rambat dan kantong semar! Kita akan bertahan dan melawan!"
Di tengah keputusasaan, harapan menyala di mata pasukan yang tersisa. Mereka menyusun formasi baru, siap bertarung dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Ksatria suci mengerahkan seluruh kekuatan mereka, menyerang lembuswana dengan keberanian yang luar biasa. Para ahli sihir merapalkan mantra pelindung, menciptakan perisai energi yang melindungi pasukan dari serangan tanaman rambat dan kantong semar.
Roarrr!
Lembuswana mengaum marah, tetapi serangan gabungan dari ksatria dan ahli sihir mulai melemahkannya. Sementara itu, naga besukih melayang rendah, bersiap untuk menyemburkan api lagi.
Putri Fania, dengan tekad yang kuat, mengangkat pedangnya yang dilengkapi dengan batu mana ke langit, mengarahkan energi sihir ke arah naga. “Cahaya suci!”
Dengan satu serangan terkoordinasi, pasukan ekspedisi menghancurkan tanaman rambat dan kantong semar, memukul mundur lembuswana, dan melukai naga besukih.
Pertarungan sengit itu berlangsung lama, tetapi akhirnya, dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, mereka berhasil mengalahkan semua ancaman.
Ketika hutan kembali tenang setelah lembuswana dan naga besukih melarikan diri, pasukan yang tersisa berdiri di tengah-tengah orang yang selamat, napas mereka terengah-engah. Putri Fania melihat ke sekeliling, mata penuh dengan kelelahan dan kemenangan.
“Kita berhasil... kita berhasil,” katanya, suaranya bergetar dengan campuran rasa lega dan kebanggaan.
Lalu Putri Fania melanjutkan, suaranya menurun menjadi nada duka. “Dari dua ribu orang pasukan ekspedisi, kini hanya tersisa sepuluh orang saja akibat pertarungan dahsyat tadi. Kita tak bisa kembali jika keadaannya seperti ini,” katanya, hatinya nampak terluka melihat kenyataan pahit ini.
Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan, langkah mereka terasa lebih berat. Mayat-mayat rekan mereka dengan cepat dililit tanaman rambat dan dibawa ke atas pohon oleh kantong semar yang masih tersisa, menambah beban mental yang sudah berat.
Kini sepuluh orang itu tak bisa kembali lagi karena sudah berhadapan dengan bahaya yang begitu mengerikan. Mau tidak mau, mereka harus melanjutkan perjalanan.
Ketika malam mulai menyelimuti hutan, mereka tiba di sebuah area terbuka yang luas. Di tengah area tersebut, mereka melihat reruntuhan yang tampak kuno dan misterius—reruntuhan ibu kota Kadipaten Elzir.
Putri Fania memandang reruntuhan itu dengan mata yang penuh kebahagiaan dan rasa lega yang mendalam. “Akhirnya, setelah perjuangan yang tak sebanding ini, kita telah sampai. Sekarang saatnya mencari kebenaran dan harta yang tersembunyi di tempat ini.”
Dengan hati-hati, mereka memasuki reruntuhan, siap menghadapi segala bahaya yang mungkin menunggu di dalamnya. Cahaya bulan yang menembus pepohonan memberikan sinar lembut yang menerangi jalan mereka, menciptakan suasana magis yang menegangkan. Bayangan-bayangan panjang dari puing-puing kuno tampak seolah hidup, bergerak perlahan di bawah sinar rembulan.
Langkah-langkah mereka menggema di antara reruntuhan, menciptakan harmoni suara yang aneh namun indah. Aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk mengisi udara, menambah kesan misterius yang menyelimuti tempat itu. Mereka bergerak dalam diam, setiap orang fokus pada setiap langkah dan suara di sekitar mereka.
Tiba-tiba, Sarina berhenti dan berbisik, “Lihat! Ada sesuatu di depan kita.”
Mereka mendekati sebuah patung kuno yang setengah terkubur di tanah. Wajah patung itu tampak sangat mirip dengan seorang raja dari zaman dahulu, matanya tertutup dengan ekspresi tenang namun penuh kewibawaan.
Suasana semakin mencekam ketika mereka mendengar suara gemerisik yang tidak wajar di sekitar mereka. Angin dingin tiba-tiba berhembus, membawa bisikan-bisikan aneh yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Cahaya obor yang mereka bawa bergetar, menciptakan bayangan-bayangan menakutkan di dinding-dinding batu yang kasar.
“Siapapun yang tinggal di sini dulu, mereka pasti ingin melindungi sesuatu yang sangat berharga,” bisik Miza.
Putri Fania mengangguk, wajahnya tegang namun bertekad. “Kita harus berhati-hati. Kita sudah sejauh ini, kita tidak boleh menyerah sekarang.”
Dengan semangat yang diperbarui, mereka melangkah maju, menghadapi segala rintangan dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan-
“Siapa kalian dan mau apa datang ke tempat ini?”
Zephyr merasakan adanya beberapa orang yang mulai masuk ke dalam reruntuhan kota melalui persepsi sihirnya. Dia beranjak dari kursinya, menerawang dengan sihirnya ke arah orang-orang yang melewati domain sihirnya.“Tidak mungkin ini terjadi! Mereka bisa melawati makhluk-makhluk mengerikan itu!” gumamnya yang sedikit terlihat khawatir.Zephyr memejamkan mata, tubuh astralnya keluar dari tubuh aslinya dan mulai berjalan meninggalkan rumahnya menuju orang-orang yang masuk ke reruntuhan kota ini.“Tiga, enam, delapan, sepuluh. Lima laki-laki dan lima perempuan,” Dia menghitung jumlah orang-orang itu. “Tujuh orang berzirah militer itu bisa kukalahkan dengan cepat, tapi tiga orang yang terlihat seperti para pemimpin itu terlihat agak menyusahkan,” gumamnya melalui tubuh astralnya sambil mengira-ngira kekuatan tempur mereka.Beberapa saat kemudian, tubuh astralnya kembali ke tubuh aslinya. Zephyr mulai bergerak perlahan, menyelinap di antara reruntuhan agar tidak ketahuan oleh sepuluh orang
Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanama
Terik matahari siang menjalar di antara hutan dan reruntuhan menuju rumah Zephyr. Zephyr terlihat was-was siang itu, pikirannya kalut ketika melihat kedua gadis yang diusirnya berlari ketakutan dari rumahnya menuju hutan.“Gawat!”Zephyr seketika teringat dengan segala bahaya dan ancaman dari makhluk yang ada di dalam hutan. Tanpa pikir panjang, dia segera keluar dari rumahnya dan mengeluarkan energi sihir membentuk sayap, lalu terbang ke atas untuk melihat keadaan kedua gadis itu di dalam hutan.Zephyr mempercepat laju terbangnya melewati belantara dan pepohonan yang tinggi menjulang, sambil menghindari ranting dan dahan pohon-pohon raksasa di hutan. Dia mengaktifkan sihir pencarian untuk menemukan kedua gadis itu.Benar saja, ketika dia menemukannya, mereka sedang bertarung dengan seekor serigala sihir. Sarina terluka akibat pertarungan itu dan banyak sekali darah mengalir dari lengan kirinya.Kekhawatirannya menjadi kenyataan, kedua gadis itu kewalahan dan kepayahan melawan serigal
Pasukan sebanyak seribu prajurit datang dengan cepat dan mengepung Zephyr yang dadanya tertancap sebuah panah perak besar.Tangannya memegang anak panah itu, dia berusaha keras untuk menariknya dengan bantuan sihir penyembuhnya, namun gagal.Darah mengalir dari lukanya, membuat situasi semakin genting.Dari antara seribu prajurit itu, seorang pria muda berpenampilan seperti seorang Jendral turun dari kudanya.Helm perangnya berkilauan di bawah matahari, dan ia memandang sekeliling dengan arogan.Dengan langkah pasti, dia mendekati Putri Fania yang berdiri ketakutan. Pria itu adalah Nado, tunangan Putri Fania yang dipilih langsung oleh ayahnya yaitu Raja Balz sesaat sebelum gugur dalam pertempuran."Nado, tidak perlu seperti ini," Fania berbisik, matanya penuh ketakutan.Namun, Nado tidak mendengarkan.Dia menarik Putri Fania ke dalam pelukannya dengan kasar, kemudian melepaskannya hanya untuk menampar pipinya dengan keras.Plak!“Berani-beraninya kau bertindak tanpa pengawasan dan per
Zephyr diseret dengan perlahan oleh beberapa orang yang telah diperintahkan oleh Nado. Di sekitar mereka, cahaya redup dari obor menerangi jalan sempit yang membawa mereka ke penjara bawah tanah.Setiap langkah yang mereka ambil, Zephyr merasakan getaran dari tanah dingin yang seolah menyatu dengan rasa sakit di dadanya, di mana panah besar masih tertancap dalam.Meskipun begitu, tatapan Zephyr tetap tenang. Dia memahami situasi yang dihadapinya dan menyadari bahwa orang-orang yang menyeretnya bukanlah musuh.Mereka adalah manusia yang terpaksa mengikuti perintah Nado karena ketakutan yang mencekam. Dalam hati, Zephyr bisa merasakan keraguan dan ketakutan mereka, seperti bisikan lembut yang berusaha memberontak dari penjara jiwa mereka sendiri.“Sialan Nado! Aku ingin sekali menghajarnya!” salah seorang penjaga berbisik pada temannya, berpikir bahwa Zephyr tidak bisa mendengar suara mereka.“Aku juga, tapi apa daya kita? Kita hanya prajurit biasa,” jawab temannya sambil memandang ke a
Panah besar yang menancap pada dada Zephyr mulai bergetar, perlahan terdorong keluar dengan sendirinya, seolah ditolak oleh kekuatan yang tak kasat mata.Rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya berubah menjadi denyutan yang nyaris tak tertahankan, namun Zephyr tetap diam, wajahnya menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam dirinya."Sebentar lagi... Tahan sebentar lagi, lalu kau boleh mengamuk dan melelehkan pria itu."Suara Zephyr bergema dalam benak Sri Roro, bertelepati dengan lembut namun tegas.Di atas penjara tempat Zephyr berada, Sri Roro yang berperan sebagai gadis lemah mencoba menahan rasa kesal dan amarah yang membuncah dalam dadanya.Dia harus tetap berperan hingga waktu yang tepat tiba.Dalam keheningan yang mencekam itu, panah besar yang tertancap dalam di dada Zephyr akhirnya terlepas dengan bunyi yang memuakkan.Luka menganga yang seharusnya fatal mulai tertutup perlahan, daging dan kulitnya kembali menyatu tanpa meninggalkan bekas. Tapi saat proses penyembuhan
Zephyr berdiri, tubuhnya terasa dingin seiring dengan tatapannya yang beku mengarah pada pria besar di hadapannya.Tangan Zephyr perlahan-lahan terangkat, telapak tangannya terbuka dan mengarahkannya ke arah pria besar tersebut, tatapan matanya dingin saat itu.Dalam kebisuan itu, bibir Zephyr mulai merapalkan mantra sihir. Perlahan-lahan jari-jari tangan Zephyr yang terbuka di depan pria besar itu tertutup, seolah-olah dia sedang mencengkeram sesuatu.“Mencengkeram jantung...” gumamnya pelan, suaranya beresonansi dengan kegelapan yang meliputi penjara bawah tanah itu.Sesaat dia merapalkan sihirnya, pria besar itu tersentak. Darah segar mengalir dari sudut mulutnya, matanya membelalak penuh dengan ketakutan.“Grah! Apa ini... apa yang kau lakukan padaku?!” suara seraknya terdengar penuh dengan kepanikan.Sebelum pria besar itu sempat memahami apa yang terjadi pada tubuhnya, napas terakhirnya tercabut. Tubuhnya ambruk terjatuh ke lantai yang dingin dan lembap dengan keras, suara tubuh
Malam itu, saat udara dingin yang merasuk hingga ke tulang di Ibu Kota Kerajaan Elde menjadi saksi bisu ketika dari kegelapan yang tidak diketahui asalnya muncul sebuah air mancur raksasa.Air tersebut memancar dengan kekuatan dahsyat, menghantam salah satu kamar di istana. Orang-orang di dalamnya berlarian dengan panik, berteriak ketakutan saat lantai di bawah kaki mereka mulai dipenuhi dari air mancur tersebut.Sementara sebagian penduduk ibu kota menganggap itu adalah fenomena alam yang luar biasa, tapi bagi Putri Fania dan Sarina itu bukanlah keajaiban.Tapi itu adalah bencana, bencana yang sangat dahsyat.Putri Fania bergegas melewati lorong-lorong panjang istana yang semakin tergenang. Hatinya berdegup kencang, perasaan tak menentu menggerogoti pikirannya.Dia dan Sarina tiba di depan kamar Nado setelah berlari penuh perjuangan di dalam genangan air.Tanpa ragu, Fania membuka pintu. Apa yang dilihatnya di dalam mengubah semua dugaan bu
Tepat saat Zephyr hendak melancarkan serangan terakhirnya pada Darian, sebuah ledakan besar mengguncang tanah di sekeliling mereka dan membuatnya berteleportasi jauh ke belakang untuk menghindari ledakan dari alat sihir yang ditembakkan seseorang.Walau tak mengenai Zephyr dan Darian, tembakan itu sukses membuat batu-batu beterbangan, debu tebal menyelimuti medan pertempuran.Darian yang nyaris kehilangan kesadaran, membuka matanya dengan lemah. Pandangannya kabur namun dia masih bisa melihat siluet dua sosok yang berjalan mendekat dari balik awan debu yang tercipta dari ledakan itu.Suara sepatu menghantam tanah, semakin dekat dan semakin keras.“Zephyr, tolong hentikan semua ini! Jika kau melangkah lebih jauh lagi, kau tak ada bedanya dengan leluhur kami yang membantai kaummu!”Fania berteriak dengan suara parau, darah terlihat mengalir dari luka di kepalanya yang terbalut perban.Vinna yang ada di sampingnya, terlihat membantu
Langit di atas Darian kini tampak semakin gelap, seolah alam semesta ikut merasakan ketegangan yang semakin memuncak di sana, di tanah yang sudah hancur hanya menyisakan reruntuhan saja.Asap tebal dari reruntuhan kompleks penjara masih membubung ke atas langit yang cerah, menyebarkan aroma terbakar dan kematian ke seluruh medan pertempuran yang sebelumnya terjadi.Darian mengamati setiap gerakan Zephyr dengan penuh waspada dari kejauhan di atas gedung tinggi tempatnya berpijak.Dia kini memposisikan tubuhnya di atas gedung tinggi yang dapat melihat posisi Zephyr dengan jelas tanpa terhalang melalui teropong senapan level tiganya.Kedua tangannya menggenggam erat senapan sihir level tiganya saat dia menggunakan teropongnya, senjata bencana yang gemuruhnya nyaris mengguncang udara di sekitarnya.“Penyihir brengsek ... Kau telah membunuh terlalu banyak orang-orang yang tak bersalah hari ini tanpa sebab, dan hidupmu akan berakhir sebentar lagi d
Langit di luar pusat komando Kerajaan Loven berwarna kelam, seolah menyuarakan kehancuran yang semakin mendekat setelah seluruh komunikasi mereka dengan pasukan elit dan kapten sipir penjara menghilang secara tiba-tiba.Di dalam gedung itu, deretan layar dari alat sihir yang juga menampilkan hologram peta besar dengan memancarkan cahaya biru ke wajah-wajah tegang para perwira militer.Di tengah ruangan, Jenderal Besar Rhadon duduk di kursi kebesarannya. Matanya menyipit ke arah seorang pemuda berambut pirang yang bersiap menerima perintah di hadapannya.Pemuda itu adalah Darian, dia menenteng senapan sihir besar yang berkilauan. Senjata dengan laras panjang dan berdesain tajam yang tampak lebih seperti senapan runduk daripada senjata sihir biasa.Senjata ini tidak mengandalkan peluru, tetapi kekuatan penggunanya agar bisa menembakkan peluru sihir dari senjata tersebut.“Lokasinya ada di kompleks penjara di selatan ibu kota.”Suar
Mino terhuyung, merasakan darah mengalir dari mulutnya, tapi dia tidak peduli dengan semua itu karena yang ada di dalam kepalanya saat ini hanyalah membalas dendam atas kematian Treo pada Zephyr.Dia berjuang untuk bangkit lagi, matanya merah karena marah dan tubuhnya bergetar karena rasa sakit akibat pertarungannya melawan Zephyr.Zephyr melangkah mendekat, langkahnya tenang namun matanya tertuju dan terkunci pada Mino.Mino tahu ini adalah pertarungan antara hidup dan mati, dan dia tidak akan mundur setelah berhasil membalas kematian Treo.“Beraninya kau mengganggu diriku,” gumam Zephyr, nada suaranya datar dan tanpa emosi.Tangan Zephyr terangkat, mempersiapkan serangan pamungkas yang akan mengakhiri semuanya.Mino merasakan napasnya tersengal, tapi dia menatap Zephyr dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Di dalam hatinya, dia berdoa agar dia bisa memberikan perlawanan terakhir yang cukup untuk menyelamatkan Rigel dan semua
Rigel tersungkur ke tanah akibat gelombang energi milik Zephyr yang menghantamnya, napasnya terengah-engah ketika dia tersungkur dan tak bisa bangkit untuk sementara waktu karena rasa sakit yang mendera tubuhnya.Di tengah rasa sakit dan kebingungan, Rigel melihat Zephyr kini sudah berdiri di depannya, tangan penyihir itu terangkat tinggi dan siap menghantamkan serangan terakhir yang bisa melenyapkan dirinya.“T-Tidak ... jangan...” Rigel berbisik, tubuhnya tak mau bergerak meski otaknya memerintahkan untuk bergerak.“Tak akan kubiarkan kau melakukannya pada Rigel, dasar binatang!”Treo yang sudah bangkit dan melihat Zephyr akan melakukan serangan terakhir pada Rigel segera berlari, dia menghampiri Rigel yang tak bisa bangkit untuk sementara waktu, tangannya mengarahkan pedang sihir miliknya pada Zephyr.Wushh!Zephyr, dia tanpa melihat tebasan dari Treo berhasil menghindarinya.“Apa? Sial! Nampaknya taha
Seorang sipir yang harusnya hari ini libur, dia mendapat panggilan dari atasannya untuk menunda hari liburnya karena kekacauan telah terjadi di penjara kerajaan.Ia berada tak jauh dari gedung penjara milik Kerajaan Loven yang luas dan besar, di sana ia melihat beberapa prajurit elit kerajaan bersenjata lengkap tengah berdiri di hadapan seorang pemuda.Hari ini dia harusnya sedang menikmati hari libur bersama dengan anak dan istrinya, namun kepala sipir memerintahkannya untuk menunda hal tersebut.“K-kenapa...? Kenapa tahanan nomor 999 keluar dari mesin itu? Bukankah harusnya benda bernama ‘iron maiden’ itu sangat kuat?”Wajahnya tampak ketakutan, pasalnya kepala sipir memberitahu sebelum dirinya di pindah tugaskan ke ruangan khusus penjara, bahwa tahanan yang berada di ruang khusus itu adalah seorang penyihir.Dan kini, penyihir yang bernama Zephyr itu telah berhasil mengeluarkan dirinya dari alat bernama iron maiden.
“Kakekku memang selalu saja memiliki rencana dan cara licik untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Zephyr yang merupakan seorang penyihir, masuk ke dalam daftar keinginannya. Dia tak akan bisa keluar dari ruangan itu walau memiliki kekuatan yang sangat besar sekali pun.”“Jika kau sudah tahu kalau yang kau lakukan itu salah, kenapa kau masih saja menuruti perintah kakekmu? Zephyr bukanlah alat, dia sama seperti kita!”“Apa aku tidak salah dengar? Dia itu seorang penyihir, lho. Jelas-jelas dia berbeda dengan kita, Fania.”Fania menggertakkan giginya, emosinya berkecamuk antara amarah dan kesedihan.“Itu hanya alasan!” tunjuknya. “Kau selalu mencari alasan untuk membenarkan semua tindakanmu, Vinna!”“Dan kau selalu mencari harapan di tempat yang tidak ada, Fania,” Vinna membalas, suaranya tajam seperti silet. "Zephyr, dia bukanlah manusia. Dia bisa saja melenyapkan kita semua
Para budak yang jumlahnya ribuan tengah berhamburan di dalam gedung penjara yang besar milik Kerajaan Loven.Ada yang menangis bahagia karena terbebas, ada yang membalaskan dendam mereka pada para penjaga dengan memukulinya, dan ada juga yang berusaha melenyapkan para penjaga yang telah melenyapkan sanak saudara mereka.Tapi yang terlihat di jelas di antara semuanya adalah para budak pria yang sedang melenyapkan para penjaga yang selama ini mengurung mereka dengan senjata sihir yang mereka rampas dari gudang senjata penjara.Tidak ada yang tahu bagaimana awalnya para budak ini memberontak, yang jelas mereka kini hanya membalaskan hasratnya saja akibat diperbudak dan diperlakukan buruk oleh kerajaan.Vinna dengan ditemani sekitar dua ratus orang prajurit bersenjata lengkap berjalan ke arah penjara kerajaan dengan tergesa-gesa.“Cepat, kita harus menyelesaikan pemberontakan ini sebelum menjalar ke seluru kerajaan!” perintahnya.Mer
Satu tahun kemudian.Di aula singgasana Kerajaan Loven yang sangat megah, berkumpul orang-orang yang merupakan petinggi dari Kerajaan Loven.Mereka memandang dua orang gadis yang tengah berlutut di hadapan Raja Ken yang awet muda. Dua orang gadis tersebut berpakaian sopan dan rapi.Yang satu adalah putri dari sebuah kerajaan, dan yang satunya lagi merupakan pengawal pribadinya.Sudah sekitar satu jam mereka memohon sambil berlutut untuk meminta sesuatu yang nampaknya tak didengarkan oleh Raja Ken.“Fania, sudah kukatakan berkali-kali padamu jika penyihir itu sekarang adalah milikku. Kau sudah diberi kesempatan untuk memanfaatkan penyihir itu, tapi kenapa tak kau memanfaatkannya dengan baik?”Fania mengepalkan tangannya, wajahnya nampak sangat kesal dengan gerak-gerik dari Raja Ken yang memandang rendah terhadap dirinya.“Aku hanya ingin membawanya kembali ke rumahnya, tolong lepaskan Zephyr sekarang juga.”“Zephyr? Siapa dia? O