“Tuan Putri, sepertinya kita akan sampai di kota perbatasan menuju reruntuhan Kadipaten Elzir sore nanti. Apakah sebaiknya sekarang kita beristirahat atau tetap melanjutkan perjalanan untuk mempersingkat waktu?” tanya Sarina pada Putri Fania yang sedang menunggangi kuda putih kesayangannya.
Putri Fania memperhatikan area sekitar dengan seksama, matanya melihati tiap sudut arah di tempatnya berada sambil memicingkan matanya. Ekspedisi Kerajaan Elde telah diberangkatkan dengan diperkuat tiga ratus orang terbaik dari kerajaan pagi ini. Formasi ekspedisi ini terdiri dari seratus ahli pemecah sihir dan ahli sihir, seratus ksatria suci, dan seratus petualang yang direkrut langsung oleh istana. “Kelihatannya tempat ini aman dari bandit,” kata Putri Fania sambil turun dari kudanya. “Semuanya, siang ini kita akan beristirahat selama satu jam untuk mengistirahatkan kuda-kuda kita!” “Baik, Putri!” Semua orang menyahuti perintah pemimpin mereka. Putri Fania adalah pemimpin Kerajaan Elde yang menggantikan ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan Kerajaan Loven setahun lalu. Saat itu usianya baru 19 tahun, dan mau tidak mau Putri Fania harus naik takhta menggantikan ayahnya. Ketika para pasukan ekspedisi mulai beristirahat, di dalam hutan terlihat beberapa orang yang tengah memperhatikan mereka. Tanpa disadari oleh Putri Fania dan pasukannya, sekelompok bandit besar telah merencanakan serangan terhadap mereka. SUIUUU! Tiba-tiba, suara siulan tajam terdengar dari arah pepohonan. Putri Fania langsung terjaga dari istirahatnya dan menghunus pedangnya. “Bersiaplah! Kita disergap!” teriaknya. “Ratakan mereka dan rampas hartanya!” Ratusan bandit bersenjata lengkap muncul dari balik pepohonan, menyerbu pasukan ekspedisi dengan teriakan perang yang mengerikan. Para ksatria suci Kerajaan Elde dengan cepat membentuk formasi bertahan, melindungi Putri Fania di tengah. Pertempuran pun dimulai dengan dentingan pedang dan teriakan keras. Para ksatria suci maju dengan perisai mereka, memblokir serangan panah yang diluncurkan oleh para bandit. Sementara itu, para ahli pemecah sihir dan ahli sihir mulai merapal mantra untuk melindungi pasukan mereka dari serangan sihir musuh. “Hujan api!” Sebuah bola-bola api berukuran kecil mulai menghantam para bandit setelah para ahli sihir merapalkan mantranya. Sementara di barisan terdepan, Sarina berkelahi dengan cekatan, pedangnya menari-nari memotong musuh yang mendekat. Dia berjuang keras, melindungi Putri Fania yang juga tengah bertarung dengan keahlian luar biasa. Putri Fania, meskipun muda, telah dilatih dalam seni bela diri dan strategi perang sejak kecil. Seorang bandit besar dengan kapak raksasa mencoba menyerang Putri Fania dari belakang, tetapi Sarina dengan cepat menghadangnya. “Kali ini aku akan melenyapkanmu, hahaha!” Bandit besar itu mengayunkan kapaknya ke arau Putri Fania. “Jangan berani-berani menyentuh Putri!” Sarina berteriak sambil menangkis serangan kapak dengan pedangnya. Tring! Dari penangkisan itu menciptakan percikan api yang menambah dramatis suasana pertempuran. Para petualang yang direkrut oleh istana juga tidak kalah hebat. Mereka bergerak lincah, menyerang dengan panah, belati, dan berbagai senjata lainnya. Salah satu petualang, seorang pemanah berbakat, berhasil menjatuhkan beberapa bandit dari kejauhan dengan ketepatan luar biasa. Pertempuran semakin sengit, tanah bergetar oleh langkah kaki dan suara pertempuran. Darah dan debu bercampur di udara, menciptakan suasana kacau. Putri Fania tidak mundur, dia terus bertarung dengan semangat yang berkobar memimpin pasukannya dengan keberanian. Dengan strategi yang matang dan kekuatan yang luar biasa, pasukan ekspedisi Kerajaan Elde berhasil memukul mundur bandit-bandit itu. “Mu-mundur!” teriak pemimpin mereka dari belakang barisan rekan-rekannya. Para bandit yang tersisa melarikan diri ke dalam hutan, meninggalkan mayat-mayat rekan mereka yang bergelimpangan di medan pertempuran. Putri Fania menghela napas panjang, matanya menyapu medan pertempuran yang kini sunyi. “Kita berhasil, tetapi ini hanya awal. Kita harus tetap waspada,” katanya dengan tegas. Sarina mengangguk, matanya masih waspada terhadap kemungkinan serangan lanjutan. “Kita harus melanjutkan perjalanan secepatnya, Tuan Putri. Tidak ada yang tahu apa lagi yang menunggu kita di depan.” Putri Fania memandang pasukannya yang kelelahan namun tetap semangat. “Kalian semua telah menunjukkan keberanian luar biasa. Mari kita lanjutkan perjalanan kita. Kita tidak akan mundur karena serangan seperti ini!” “Hoo!” para prajuritnya menyahut. Dengan semangat yang diperbarui, pasukan ekspedisi Kerajaan Elde melanjutkan perjalanan mereka menuju reruntuhan Kadipaten Elzir, siap menghadapi tantangan berikutnya yang mungkin mereka temui. Pertempuran itu hanya satu dari banyak rintangan yang akan mereka hadapi dalam pencarian mereka akan kebenaran dan harta yang tersembunyi di reruntuhan kuno tersebut. *** Saat sore menjelang malam tiba, pasukan ekspedisi Kerajaan Elde tiba di kota perbatasan dengan Kadipaten Elzir yang sekarang telah menjadi hutan belantara yang sangat lebat. Kota itu bernama Kota Mulla, awalnya adalah benteng milik Kekaisaran Elde yang sengaja dibangun untuk menahan serangan dari Kadipaten Elzir jika mereka menyerang Kekaisaran. Namun, pada akhirnya, kota itu menjadi awal mula pembantaian bagi para kaum penyihir dan sejak itulah tempat itu dinamakan dengan nama Mulla. Ketika pasukan ekspedisi Putri Fania memasuki kota, penguasa kota tersebut, Miza, menyambut mereka dengan meriah. Pesta dilangsungkan untuk menyambut pemimpin mereka. “Tuan Putri, jadi informasi yang aku terima tentang ekspedisi ke reruntuhan Elzir itu benar?” tanya Miza dengan penasaran. “Ya, Miza. Jika kita menemukan artefak atau harta berharga lainnya, kita bisa menyelesaikan urusan kita dengan Kerajaan Loven.” Pria muda penguasa kota Mulla itu tergugah hatinya. “Tuan Putri, biarkan aku ikut dalam ekspedisimu ini. Aku yakin orang-orang kami bisa berguna untuk Anda.” Putri Fania tampak berpikir sejenak. “Apakah ada yang pernah mencoba untuk ke reruntuhan Elzir?” Miza menggeleng. “Belum, Putri. Karena medannya sulit—hutan belantara ditambah hewan-hewan buas—tak ada yang berani memasukinya.” Putri Fania menyeruput tehnya. “Berapa banyak orang yang bisa kau siapkan untuk ikut denganku?” “Seribu orang!” Putri Fania tampak terkejut, lalu senyuman merekah di wajahnya yang putih mulus dan cantik itu. “Kau tidak bercanda, Miza?” “Tentu saja tidak, Putri. Seribu orang ini telah mencoba memasuki hutan itu namun akhirnya gagal karena peralatan kami tidak memadai. Namun sekarang ditambah dengan adanya para ksatria suci dan para ahli sihir, aku yakin kita akan bisa menembus belantara itu.” “Baiklah, berarti kalian memiliki gambaran tentang semua yang hidup di dalamnya?” “Tentu saja. Di belantara itu dihuni oleh tanaman beracun yang amat mematikan. Jika kita menyentuhnya maka akan berakhir dengan kematian.” Putri Fania terkejut. “Apa? Hanya karena menyentuhnya saja? Itu diluar dugaan!” “Kau pastinya tidak melupakan kalau belantara itu adalah bekas Kadipaten Elzir, bukan? Tempat itu bekas tempat tinggal para penyihir dan sudah pasti isinya sangat berbahaya karena itu mereka lakukan untuk melindungi diri mereka.” Putri Fania nampak memikirkan sesuatu. “Dan satu lagi, Putri,” Miza menambahkan. Putri Fania melirik ke arah Miza. “Di belantara itu hidup berbagai hewan buas dan hewan sihir.” “Hah? Hewan sihir katamu? Bukannya itu hanya dongeng dan legenda semata?” “Tidak, Putri. Aku ingatkan kembali kalau itu adalah bekas tempat tinggal penyihir. Para penyihir gemar melakukan pemanggilan hewan sihir. Dan dengan dibantainya mereka, hewan-hewan sihir itu menjadi liar dan berkeliaran bebas di dalam sana.” “Cih! Ternyata semua itu tidak ditulis dalam catatan tua itu!” Putri Fania menggeram kesal karena sepertinya ekspedisi ini akan sia-sia karena adanya hal-hal berbahaya itu. “Tenang saja, Tuan Putri. Aku akan membimbing pasukan ekspedisi ini merangsek menuju reruntuhan Ibu kota Kadipaten Elzir. Aku berjanji!”“Hati-hati terhadap tanaman rambat ini, mereka bisa merambat secepat kilat dan melilit kalian! Ingat, ini bekas wilayah yang pernah dihuni para penyihir!” Miza memberi saran pada pasukan ekspedisi yang mulai memasuki hutan pagi ini.Mereka berangkat saat fajar menyingsing setelah semua orang yang akan ikut masuk ke dalam hutan belantara terkumpul dengan peralatan lengkap. Sebanyak dua ribu orang ikut dalam ekspedisi ini, melebihi perkiraan Miza sang penguasa kota dan Putri Fania.Perlahan namun pasti, mereka memasuki hutan itu dengan bimbingan dari Miza dan beberapa ahli lainnya, merangsek belantara yang mengerikan itu.Desiran angin di dalam hutan membuat semua orang merinding, ditambah suara-suara aneh yang mengerikan. Semak belukar dan tanaman rambat bergerak perlahan mengikuti langkah kaki mereka.“Ada apa dengan hutan ini? Kenapa semuanya hidup di dalam sini?” tanya Sarina yang terlihat heran sambil meremas seragam militernya.“Itu sudah pasti karena ini adalah bekas wilayah peny
Zephyr merasakan adanya beberapa orang yang mulai masuk ke dalam reruntuhan kota melalui persepsi sihirnya. Dia beranjak dari kursinya, menerawang dengan sihirnya ke arah orang-orang yang melewati domain sihirnya.“Tidak mungkin ini terjadi! Mereka bisa melawati makhluk-makhluk mengerikan itu!” gumamnya yang sedikit terlihat khawatir.Zephyr memejamkan mata, tubuh astralnya keluar dari tubuh aslinya dan mulai berjalan meninggalkan rumahnya menuju orang-orang yang masuk ke reruntuhan kota ini.“Tiga, enam, delapan, sepuluh. Lima laki-laki dan lima perempuan,” Dia menghitung jumlah orang-orang itu. “Tujuh orang berzirah militer itu bisa kukalahkan dengan cepat, tapi tiga orang yang terlihat seperti para pemimpin itu terlihat agak menyusahkan,” gumamnya melalui tubuh astralnya sambil mengira-ngira kekuatan tempur mereka.Beberapa saat kemudian, tubuh astralnya kembali ke tubuh aslinya. Zephyr mulai bergerak perlahan, menyelinap di antara reruntuhan agar tidak ketahuan oleh sepuluh orang
Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanama
Terik matahari siang menjalar di antara hutan dan reruntuhan menuju rumah Zephyr. Zephyr terlihat was-was siang itu, pikirannya kalut ketika melihat kedua gadis yang diusirnya berlari ketakutan dari rumahnya menuju hutan.“Gawat!”Zephyr seketika teringat dengan segala bahaya dan ancaman dari makhluk yang ada di dalam hutan. Tanpa pikir panjang, dia segera keluar dari rumahnya dan mengeluarkan energi sihir membentuk sayap, lalu terbang ke atas untuk melihat keadaan kedua gadis itu di dalam hutan.Zephyr mempercepat laju terbangnya melewati belantara dan pepohonan yang tinggi menjulang, sambil menghindari ranting dan dahan pohon-pohon raksasa di hutan. Dia mengaktifkan sihir pencarian untuk menemukan kedua gadis itu.Benar saja, ketika dia menemukannya, mereka sedang bertarung dengan seekor serigala sihir. Sarina terluka akibat pertarungan itu dan banyak sekali darah mengalir dari lengan kirinya.Kekhawatirannya menjadi kenyataan, kedua gadis itu kewalahan dan kepayahan melawan serigal
Pasukan sebanyak seribu prajurit datang dengan cepat dan mengepung Zephyr yang dadanya tertancap sebuah panah perak besar.Tangannya memegang anak panah itu, dia berusaha keras untuk menariknya dengan bantuan sihir penyembuhnya, namun gagal.Darah mengalir dari lukanya, membuat situasi semakin genting.Dari antara seribu prajurit itu, seorang pria muda berpenampilan seperti seorang Jendral turun dari kudanya.Helm perangnya berkilauan di bawah matahari, dan ia memandang sekeliling dengan arogan.Dengan langkah pasti, dia mendekati Putri Fania yang berdiri ketakutan. Pria itu adalah Nado, tunangan Putri Fania yang dipilih langsung oleh ayahnya yaitu Raja Balz sesaat sebelum gugur dalam pertempuran."Nado, tidak perlu seperti ini," Fania berbisik, matanya penuh ketakutan.Namun, Nado tidak mendengarkan.Dia menarik Putri Fania ke dalam pelukannya dengan kasar, kemudian melepaskannya hanya untuk menampar pipinya dengan keras.Plak!“Berani-beraninya kau bertindak tanpa pengawasan dan per
Zephyr diseret dengan perlahan oleh beberapa orang yang telah diperintahkan oleh Nado. Di sekitar mereka, cahaya redup dari obor menerangi jalan sempit yang membawa mereka ke penjara bawah tanah.Setiap langkah yang mereka ambil, Zephyr merasakan getaran dari tanah dingin yang seolah menyatu dengan rasa sakit di dadanya, di mana panah besar masih tertancap dalam.Meskipun begitu, tatapan Zephyr tetap tenang. Dia memahami situasi yang dihadapinya dan menyadari bahwa orang-orang yang menyeretnya bukanlah musuh.Mereka adalah manusia yang terpaksa mengikuti perintah Nado karena ketakutan yang mencekam. Dalam hati, Zephyr bisa merasakan keraguan dan ketakutan mereka, seperti bisikan lembut yang berusaha memberontak dari penjara jiwa mereka sendiri.“Sialan Nado! Aku ingin sekali menghajarnya!” salah seorang penjaga berbisik pada temannya, berpikir bahwa Zephyr tidak bisa mendengar suara mereka.“Aku juga, tapi apa daya kita? Kita hanya prajurit biasa,” jawab temannya sambil memandang ke a
Panah besar yang menancap pada dada Zephyr mulai bergetar, perlahan terdorong keluar dengan sendirinya, seolah ditolak oleh kekuatan yang tak kasat mata.Rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya berubah menjadi denyutan yang nyaris tak tertahankan, namun Zephyr tetap diam, wajahnya menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam dirinya."Sebentar lagi... Tahan sebentar lagi, lalu kau boleh mengamuk dan melelehkan pria itu."Suara Zephyr bergema dalam benak Sri Roro, bertelepati dengan lembut namun tegas.Di atas penjara tempat Zephyr berada, Sri Roro yang berperan sebagai gadis lemah mencoba menahan rasa kesal dan amarah yang membuncah dalam dadanya.Dia harus tetap berperan hingga waktu yang tepat tiba.Dalam keheningan yang mencekam itu, panah besar yang tertancap dalam di dada Zephyr akhirnya terlepas dengan bunyi yang memuakkan.Luka menganga yang seharusnya fatal mulai tertutup perlahan, daging dan kulitnya kembali menyatu tanpa meninggalkan bekas. Tapi saat proses penyembuhan
Zephyr berdiri, tubuhnya terasa dingin seiring dengan tatapannya yang beku mengarah pada pria besar di hadapannya.Tangan Zephyr perlahan-lahan terangkat, telapak tangannya terbuka dan mengarahkannya ke arah pria besar tersebut, tatapan matanya dingin saat itu.Dalam kebisuan itu, bibir Zephyr mulai merapalkan mantra sihir. Perlahan-lahan jari-jari tangan Zephyr yang terbuka di depan pria besar itu tertutup, seolah-olah dia sedang mencengkeram sesuatu.“Mencengkeram jantung...” gumamnya pelan, suaranya beresonansi dengan kegelapan yang meliputi penjara bawah tanah itu.Sesaat dia merapalkan sihirnya, pria besar itu tersentak. Darah segar mengalir dari sudut mulutnya, matanya membelalak penuh dengan ketakutan.“Grah! Apa ini... apa yang kau lakukan padaku?!” suara seraknya terdengar penuh dengan kepanikan.Sebelum pria besar itu sempat memahami apa yang terjadi pada tubuhnya, napas terakhirnya tercabut. Tubuhnya ambruk terjatuh ke lantai yang dingin dan lembap dengan keras, suara tubuh