Bulan purnama bersinar sangat terang malam itu, memancarkan cahaya perak yang menyelimuti seluruh hutan bekas reruntuhan ibu kota Kadipaten Elzir.
Sinar bulan begitu kuat hingga memantulkan bayangan pohon-pohon kuno yang berdiri di sekeliling, menciptakan pemandangan magis yang seolah berasal dari dunia lain. Energi alam yang melimpah malam itu terasa begitu nyata, seakan-akan setiap molekul udara dipenuhi dengan kekuatan sihir yang murni. Di dalam rumah barunya, Zephyr merasakan aliran kekuatan sihir yang sangat besar menyusup ke dalam tubuhnya. Dia duduk di ruang tamu yang sederhana namun penuh dengan kenangan magis. Dinding-dinding batu yang telah disihir kembali berdiri tegak, memantulkan cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela besar. Bulan purnama memang memiliki kekuatan untuk menggandakan energi sihir, menjadikannya waktu yang paling dinantikan oleh para penyihir. Pada malam seperti ini, ritual dan perayaan besar sering diadakan, di mana para penyihir berkumpul untuk menghormati kekuatan alam dan memperkuat kemampuan mereka. Zephyr mengingat kembali masa-masa itu, saat dia masih kecil, berlari-lari di antara para penyihir dewasa yang merapalkan mantra di bawah sinar bulan. Pandangan Zephyr tertuju pada pedang Elzir yang disimpan di atas meja di tengah ruangan. Pedang itu tiba-tiba bercahaya, memancarkan sinar hitam pekat seperti energi sihir kegelapan yang menyeruak keluar dari bilahnya. Cahaya itu bukanlah cahaya biasa, melainkan energi yang terasa dingin dan mendalam, seolah-olah mengandung kekuatan yang tak terhingga. Aura di sekitar pedang berubah drastis. Bagi manusia biasa, aura itu akan terasa menyeramkan dan menakutkan, seolah-olah kematian dan kehancuran berbisik di telinga mereka. Namun, bagi seorang penyihir seperti Zephyr, energi itu adalah sumber kekuatan yang luar biasa. Dia merasakan kekuatannya berlipat ganda, tubuhnya seakan-akan terisi penuh dengan energi sihir yang murni dan kuat. Zephyr mendekati pedang itu dengan hati-hati, merasakan setiap denyut energi yang terpancar dari bilahnya. Dia merapalkan mantra pelindung secara otomatis, memastikan bahwa energi sihir yang begitu kuat ini tidak akan melukai dirinya. Tangannya perlahan menyentuh gagang pedang, dan seketika itu juga, aliran energi mengalir deras ke dalam tubuhnya, membuatnya merasa lebih kuat daripada sebelumnya. “Ini adalah malam yang sempurna,” gumamnya pelan, matanya tertuju pada bulan purnama di langit. “Malam untuk menguji batas kekuatan sihirku.” Zephyr mengangkat pedang Elzir tinggi-tinggi, membiarkan sinar bulan memantul dari bilah hitamnya. Mantra-mantra kuno yang telah dia pelajari mulai muncul di benaknya, siap untuk digunakan. Dia bisa merasakan kekuatan leluhur para penyihir mengalir melalui dirinya, memberinya keberanian dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang mungkin datang. Dalam keheningan malam, hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan yang terdengar. Zephyr berdiri tegap, merasakan energi bulan purnama mengalir melalui dirinya dan pedang Elzir. Malam ini, dia tidak hanya sekadar penyihir yang selamat tapi dia juga adalah pewaris kekuatan yang tak terhingga. Beberapa saat kemudian, Zephyr berjalan keluar dari rumahnya menuju reruntuhan alun-alun kota yang bentuknya sudah tak karuan lagi. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, membawa aroma tanah dan batu yang telah lama terlupakan. Cahaya bulan purnama memandikan reruntuhan dengan sinar peraknya, menciptakan bayangan-bayangan magis yang berkelip di sekelilingnya. Zephyr berhenti di tengah alun-alun yang hancur, memejamkan matanya lalu mengepalkan kedua tinjunya. Dia memandang ke arah sinar rembulan, merasakan kekuatan besar yang mengalir dari langit ke dalam dirinya. "Dengan kekuatan besar di malam hari ini, mungkin aku bisa membangun ulang kota... tidak, lebih baik aku bangun kembali alun-alun ini saja sebagai awal permulaan," gumamnya dengan tekad yang bulat. Dia membuka kedua telapak tangannya lalu merentangkannya. Angin berhembus kencang, mengelilingi tubuhnya yang berdiri kokoh di tengah reruntuhan. Debu dan pecahan batu mulai berputar di sekitarnya, membentuk lingkaran magis yang semakin lama semakin cepat. Zephyr memejamkan matanya lagi, merasakan setiap partikel sihir di udara. "Sihir tingkat lima, membangun ulang tempat," rapalnya dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan. Segera setelah kata-kata itu diucapkan, bebatuan dari reruntuhan mulai bergerak perlahan, seolah-olah memiliki kehendak sendiri. Mereka terangkat dari tanah dan melayang di udara, membentuk formasi yang harmonis. Pemandangan itu luar biasa dan penuh keajaiban. Lantai alun-alun perlahan kembali terbentuk, potongan-potongan batu saling terhubung dengan sempurna. Tiang-tiang besar mulai muncul dari tanah, berdiri tegak dan kokoh seperti dulu. Ornamen-ornamen kuno dan patung-patung yang pernah menghiasi alun-alun kembali ke tempatnya, menciptakan keindahan yang nyaris terlupakan. Zephyr membuka kedua matanya, kini bercahaya berwarna putih karena energi sihir yang amat besar dikeluarkannya untuk membangun ulang alun-alun kota itu. Kilauan matanya memantulkan kekuatan bulan purnama yang menyatu dengan kekuatan sihirnya. Dia merasakan puncak kekuatannya, siap untuk menyelesaikan tugasnya. "Hiyaa!" teriaknya dengan semangat yang membara. Setelah selesai, dia mengarahkan kedua tangannya ke langit dan membuang energi sihir yang tersisa ke angkasa. Energi itu terlihat seperti bintang jatuh yang berbalik arah, melesat ke langit malam. Kilauan putih terang membubung tinggi, menciptakan jejak cahaya yang mempesona. Energi besar itu terus naik ke angkasa hingga akhirnya mencapai puncaknya dan- DUAARR!! Energi besar itu meledak di angkasa, menciptakan ledakan cahaya yang luar biasa terang. Suara gemuruhnya menggetarkan seluruh dataran, menyebarkan getaran yang dapat dirasakan dari kejauhan. Ledakan itu seperti pertanda baru, simbol dari awal yang baru dan kekuatan yang kembali bangkit. Alun-alun kota kini berdiri megah di bawah sinar bulan purnama, kembali seperti sedia kala sebelum kehancuran. Zephyr berdiri di tengahnya, merasakan kekuatan dan keajaiban yang baru saja diciptakannya. Sementara itu, di luar barak tentara ibu kota Kerajaan Elde, Putri Fania bersama Sarina sedang membentuk pasukan ekspedisi yang akan diberangkatkan keesokan paginya. Langit malam yang biasanya tenang dipenuhi dengan aktivitas para prajurit yang mempersiapkan peralatan dan persediaan. "Tu-Tuan Putri," panggil Sarina dengan suara terbata-bata, matanya tak sengaja melihat cahaya besar aneh yang sangat jauh dari tempat mereka berdiri bersama Putri Fania. "Ada apa?" tanya Putri Fania dengan nada penuh perhatian. "I-itu, tolong lihat ke arah langit di belakangmu sekarang," pintanya, suaranya penuh dengan kekaguman dan kekhawatiran. Tanpa banyak tanya, Putri Fania membalikkan tubuhnya dan seketika matanya terbelalak melihat sebuah keajaiban yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Cahaya putih yang terang benderang, seperti bintang jatuh yang berbalik arah, melesat ke angkasa dengan kecepatan luar biasa. Semua orang yang ada di tempat itu memandang dengan mata terbuka lebar, beberapa dari mereka juga sampai membuka mulutnya karena terpesona oleh apa yang dilihatnya. Cahaya putih itu menerangi langit malam, menciptakan jejak yang mempesona dan magis. "Apa itu?" tanya Putri Fania dengan nada bingung. "Aku tidak tahu, Tuan Putri. Yang pasti itu adalah fenomena alam yang baru pertama kali aku lihat dalam hidupku," jawab Sarina dengan mata yang masih terpaku pada cahaya tersebut. Tak lama kemudian, cahaya putih itu meledak di angkasa, menciptakan gelombang besar yang menyapu seluruh dataran. Suara ledakannya begitu keras, seperti ribuan guntur yang meledak bersamaan. DUARRR! "Kyaa!" teriak Putri Fania. "Akhh!" Sarina juga berteriak saat suara ledakan yang sangat keras itu mencapai telinga mereka. Mereka berpegangan satu sama lain untuk menahan gelombang yang sangat dahsyat itu. Angin kencang dan getaran yang hebat membuat mereka hampir terjatuh. "Apa itu...?" Putri Fania bertanya-tanya dalam hatinya saat mereka terjatuh karena gelombang ledakan dahsyat itu. Mata mereka masih terpaku pada langit yang kini kembali tenang setelah ledakan tersebut. Para prajurit di sekitar mereka juga terkejut, beberapa di antaranya berusaha bangkit dan memulihkan diri dari kejutan itu. Semua mata tertuju ke langit, berusaha memahami fenomena luar biasa yang baru saja mereka saksikan. Gelombang ledakan itu masih terasa, mengguncang hati dan pikiran mereka dengan kekuatan magis yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Putri Fania menghela napas dalam-dalam, berusaha mengatur kembali perasaannya yang kalut. "Kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan ledakan itu. Siapkan pasukan ekspedisi secepatnya," perintahnya dengan tegas, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kebingungan dan rasa ingin tahu. Mereka tahu, sesuatu yang besar dan luar biasa baru saja terjadi, dan tugas mereka adalah untuk mengungkap misteri di balik fenomena magis itu.“Tuan Putri, sepertinya kita akan sampai di kota perbatasan menuju reruntuhan Kadipaten Elzir sore nanti. Apakah sebaiknya sekarang kita beristirahat atau tetap melanjutkan perjalanan untuk mempersingkat waktu?” tanya Sarina pada Putri Fania yang sedang menunggangi kuda putih kesayangannya.Putri Fania memperhatikan area sekitar dengan seksama, matanya melihati tiap sudut arah di tempatnya berada sambil memicingkan matanya.Ekspedisi Kerajaan Elde telah diberangkatkan dengan diperkuat tiga ratus orang terbaik dari kerajaan pagi ini. Formasi ekspedisi ini terdiri dari seratus ahli pemecah sihir dan ahli sihir, seratus ksatria suci, dan seratus petualang yang direkrut langsung oleh istana.“Kelihatannya tempat ini aman dari bandit,” kata Putri Fania sambil turun dari kudanya. “Semuanya, siang ini kita akan beristirahat selama satu jam untuk mengistirahatkan kuda-kuda kita!”“Baik, Putri!” Semua orang menyahuti perintah pemimpin mereka.Putri Fania adalah pemimpin Kerajaan Elde yang meng
“Hati-hati terhadap tanaman rambat ini, mereka bisa merambat secepat kilat dan melilit kalian! Ingat, ini bekas wilayah yang pernah dihuni para penyihir!” Miza memberi saran pada pasukan ekspedisi yang mulai memasuki hutan pagi ini.Mereka berangkat saat fajar menyingsing setelah semua orang yang akan ikut masuk ke dalam hutan belantara terkumpul dengan peralatan lengkap. Sebanyak dua ribu orang ikut dalam ekspedisi ini, melebihi perkiraan Miza sang penguasa kota dan Putri Fania.Perlahan namun pasti, mereka memasuki hutan itu dengan bimbingan dari Miza dan beberapa ahli lainnya, merangsek belantara yang mengerikan itu.Desiran angin di dalam hutan membuat semua orang merinding, ditambah suara-suara aneh yang mengerikan. Semak belukar dan tanaman rambat bergerak perlahan mengikuti langkah kaki mereka.“Ada apa dengan hutan ini? Kenapa semuanya hidup di dalam sini?” tanya Sarina yang terlihat heran sambil meremas seragam militernya.“Itu sudah pasti karena ini adalah bekas wilayah peny
Zephyr merasakan adanya beberapa orang yang mulai masuk ke dalam reruntuhan kota melalui persepsi sihirnya. Dia beranjak dari kursinya, menerawang dengan sihirnya ke arah orang-orang yang melewati domain sihirnya.“Tidak mungkin ini terjadi! Mereka bisa melawati makhluk-makhluk mengerikan itu!” gumamnya yang sedikit terlihat khawatir.Zephyr memejamkan mata, tubuh astralnya keluar dari tubuh aslinya dan mulai berjalan meninggalkan rumahnya menuju orang-orang yang masuk ke reruntuhan kota ini.“Tiga, enam, delapan, sepuluh. Lima laki-laki dan lima perempuan,” Dia menghitung jumlah orang-orang itu. “Tujuh orang berzirah militer itu bisa kukalahkan dengan cepat, tapi tiga orang yang terlihat seperti para pemimpin itu terlihat agak menyusahkan,” gumamnya melalui tubuh astralnya sambil mengira-ngira kekuatan tempur mereka.Beberapa saat kemudian, tubuh astralnya kembali ke tubuh aslinya. Zephyr mulai bergerak perlahan, menyelinap di antara reruntuhan agar tidak ketahuan oleh sepuluh orang
Di tengah indahnya pagi di reruntuhan bekas ibu kota Kadipaten Elzir, Zephyr sang penyihir bergerak dengan ketenangan yang menakutkan.Dia memandangi kedua gadis yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya, Putri Fania dan Sarina. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian dan keraguan yang saling bertubrukan.Mereka adalah keturunan dari musuh-musuh lamanya, manusia-manusia keji yang telah menghancurkan dan membantai penduduk Kadipaten Elzir seratus tahun yang lalu.Zephyr menatap dengan dingin pakaian seragam militer yang robek dan berdarah, simbol dari pengkhianatan dan kekejaman yang telah lama dia benci.Dengan perlahan, dia mulai membuka pakaian mereka, tangan-tangannya terampil namun penuh dengan kemarahan yang tertahan. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan terhadap dirinya sendiri, namun ada dorongan tak terelakkan untuk melakukan hal yang benar.Setelah pakaian mereka terbuka, Zephyr mengambil ramuan yang telah dia siapkan sebelumnya. Ramuan ini diramu dengan tanaman-tanama
Terik matahari siang menjalar di antara hutan dan reruntuhan menuju rumah Zephyr. Zephyr terlihat was-was siang itu, pikirannya kalut ketika melihat kedua gadis yang diusirnya berlari ketakutan dari rumahnya menuju hutan.“Gawat!”Zephyr seketika teringat dengan segala bahaya dan ancaman dari makhluk yang ada di dalam hutan. Tanpa pikir panjang, dia segera keluar dari rumahnya dan mengeluarkan energi sihir membentuk sayap, lalu terbang ke atas untuk melihat keadaan kedua gadis itu di dalam hutan.Zephyr mempercepat laju terbangnya melewati belantara dan pepohonan yang tinggi menjulang, sambil menghindari ranting dan dahan pohon-pohon raksasa di hutan. Dia mengaktifkan sihir pencarian untuk menemukan kedua gadis itu.Benar saja, ketika dia menemukannya, mereka sedang bertarung dengan seekor serigala sihir. Sarina terluka akibat pertarungan itu dan banyak sekali darah mengalir dari lengan kirinya.Kekhawatirannya menjadi kenyataan, kedua gadis itu kewalahan dan kepayahan melawan serigal
Pasukan sebanyak seribu prajurit datang dengan cepat dan mengepung Zephyr yang dadanya tertancap sebuah panah perak besar.Tangannya memegang anak panah itu, dia berusaha keras untuk menariknya dengan bantuan sihir penyembuhnya, namun gagal.Darah mengalir dari lukanya, membuat situasi semakin genting.Dari antara seribu prajurit itu, seorang pria muda berpenampilan seperti seorang Jendral turun dari kudanya.Helm perangnya berkilauan di bawah matahari, dan ia memandang sekeliling dengan arogan.Dengan langkah pasti, dia mendekati Putri Fania yang berdiri ketakutan. Pria itu adalah Nado, tunangan Putri Fania yang dipilih langsung oleh ayahnya yaitu Raja Balz sesaat sebelum gugur dalam pertempuran."Nado, tidak perlu seperti ini," Fania berbisik, matanya penuh ketakutan.Namun, Nado tidak mendengarkan.Dia menarik Putri Fania ke dalam pelukannya dengan kasar, kemudian melepaskannya hanya untuk menampar pipinya dengan keras.Plak!“Berani-beraninya kau bertindak tanpa pengawasan dan per
Zephyr diseret dengan perlahan oleh beberapa orang yang telah diperintahkan oleh Nado. Di sekitar mereka, cahaya redup dari obor menerangi jalan sempit yang membawa mereka ke penjara bawah tanah.Setiap langkah yang mereka ambil, Zephyr merasakan getaran dari tanah dingin yang seolah menyatu dengan rasa sakit di dadanya, di mana panah besar masih tertancap dalam.Meskipun begitu, tatapan Zephyr tetap tenang. Dia memahami situasi yang dihadapinya dan menyadari bahwa orang-orang yang menyeretnya bukanlah musuh.Mereka adalah manusia yang terpaksa mengikuti perintah Nado karena ketakutan yang mencekam. Dalam hati, Zephyr bisa merasakan keraguan dan ketakutan mereka, seperti bisikan lembut yang berusaha memberontak dari penjara jiwa mereka sendiri.“Sialan Nado! Aku ingin sekali menghajarnya!” salah seorang penjaga berbisik pada temannya, berpikir bahwa Zephyr tidak bisa mendengar suara mereka.“Aku juga, tapi apa daya kita? Kita hanya prajurit biasa,” jawab temannya sambil memandang ke a
Panah besar yang menancap pada dada Zephyr mulai bergetar, perlahan terdorong keluar dengan sendirinya, seolah ditolak oleh kekuatan yang tak kasat mata.Rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya berubah menjadi denyutan yang nyaris tak tertahankan, namun Zephyr tetap diam, wajahnya menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam dirinya."Sebentar lagi... Tahan sebentar lagi, lalu kau boleh mengamuk dan melelehkan pria itu."Suara Zephyr bergema dalam benak Sri Roro, bertelepati dengan lembut namun tegas.Di atas penjara tempat Zephyr berada, Sri Roro yang berperan sebagai gadis lemah mencoba menahan rasa kesal dan amarah yang membuncah dalam dadanya.Dia harus tetap berperan hingga waktu yang tepat tiba.Dalam keheningan yang mencekam itu, panah besar yang tertancap dalam di dada Zephyr akhirnya terlepas dengan bunyi yang memuakkan.Luka menganga yang seharusnya fatal mulai tertutup perlahan, daging dan kulitnya kembali menyatu tanpa meninggalkan bekas. Tapi saat proses penyembuhan