Share

Pembalasan Menantu Tertindas Yang Dikira Melarat
Pembalasan Menantu Tertindas Yang Dikira Melarat
Penulis: M.Ra

BAB 1. Pertikaian

     “Mana uangnya?” dengan jutek Yaslin menadahkan tangan di depan Tarun yang baru saja pulang setelah mencari pekerjaan.

     Tarun sama sekali belum sempat membuka sepatu yang dikenakannya. Ia memandang heran istrinya itu, “Aku belum ada uang, Yaslin. Aku baru saja selesai Interview kerja. Doain aku biar bisa langsung keterima kerja, ya.”

     Wajah Yaslin langsung murung. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memutar kedua bola matanya ke samping sambil membuang napas.

     “Gini banget sih punya suami. Gak punya penghasilan, kerjaannya Cuma makan sama tidur doang setiap hari,” ucap Yaslin sambil memalingkan wajahnya dari Tarun yang berada di hadapannya. Kemudian dia menoleh ke arah Tarun dan langsung menodong wajah, “Kamu pikir aku gak butuh makan, apa? Dari kemarin kamu bilangnya sudah habis Interview kerja terus, tapi kenapa kamu masih belum dapat panggilan juga sampai sekarang?”

     Tarun menarik napas, tak menyangka Yaslin akan mengatakan itu. “Kamu pikir aku enggak ada usaha untuk cari kerja? Aku juga lagi usaha buat dapat kerja. Emangnya kamu kira aku mau terus-terusan nganggur kayak gini?”

     Yaslin yang kesal langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan Tarun sendirian. Dia melampiaskan kekesalannya pada pintu yang dibuka dengan begitu kencang. “Halah! Gak usah alasan, Mas! Emang benar, kan, kamu itu gak mau cari kerja. Kalau emang kamu cari kerja pasti dari kemarin-kemarin kamu sudah dapat pekerjaan.”

     Tarun benar-benar terkejut dengan ucapan istrinya itu. Dia tak menyangka Yaslin akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan hatinya. Selama ini dia sudah berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi Yaslin masih tidak bisa menerima kenyataan saat Tarun mengatakan kalau dirinya sudah dikeluarkan dari pabrik tempatnya bekerja dua bulan yang lalu.

     Tarun memanggil-manggil Yaslin sambil berjalan menghampirinya, berharap Yaslin bisa mendengarkan penjelasan darinya. Tapi Yaslin tidak menghiraukannya dan terus berjalan menuju kamarnya dengan perasaan kesal.

     “Yaslin, maafin aku, Yaslin. Aku sudah usaha cari kerja. Cuma memang belum dapat saja.” Tarun terus berusaha menjelaskan semuanya pada Yaslin. Tapi istrinya itu tidak mau memalingkan wajahnya sama sekali.

     Karena tak kunjung dihiraukan, Tarun berusaha menarik tangan Yaslin untuk dapat menghentikan langkah kaki istrinya itu. Tapi tiba-tiba saja ibu mertuanya datang menyiak tangan Tarun dengan begitu kerasnya.

     “Jangan pegang-pegang anak saya!” ucap Riyeti—ibu Yaslin—dengan lantang sambil menunjuk-nunjuk Tarun.

     Tarun menoleh ke arah Riyeti sambil memegangi tangannya yang memerah karena siakan ibu mertuanya itu. Tarun memandang bingung, bertanya-tanya maksud dari ucapan Riyeti.

     Yaslin yang mendengar suara ibunya, langsung menoleh ke belakang dan menghampiri ibunya itu.

     “Kamu pikir kami percaya sama omong kosongmu itu? Sudahlah Yaslin, tinggalkan saja lelaki kayak dia ini! Masih banyak laki-laki kaya di luaran sana yang mau sama kamu.”

     Bagai tersengat listrik, hati Tarun begitu sakit mendengar ucapan Riyeti. Dia tak menyangka ibu mertuanya itu akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan. Matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya tak lagi dapat terbendung. Bibirnya gemetar tak tahu ingin berkata apa. Tarun hanya bisa menatap Riyeti dengan perasaan kecewa.

     Yaslin yang juga terlihat terkejut dengan perkataan ibunya, langsung saja pergi dari sana menuju kamarnya. Dia membanting pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Tak lama, suara tangisannya terdengar begitu keras dari dalam kamar.

     “Kenapa ibu tega ngomong kayak gitu? Aku–“

     “Halah! Gak usah sok kaget kamu. Seharusnya kamu mikir, kenapa ibu bisa ngomong kayak gini ke kamu,” Riyeti memotong ucapan Tarun. Dia kemudian mendekat ke arah Tarun, “Masih untung Yaslin masih punya rasa cinta ke kamu. Kalau enggak, dia pasti sudah ninggalin kamu sejak lama.” Ucapan Riyeti begitu menohok pada Tarun.

     Riyeti pergi dari sana dan dengan sengaja menabrakkan lengannya dengan lengan Tarun. Tarun yang begitu kecewa pada Riyeti, berusaha tidak menghiraukan perlakuan ibu mertuanya itu dan langsung bergegas menghampiri Yaslin di kamarnya.

     Tarun mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memanggil-manggil Yaslin, berharap segera dibukakan pintu. Sambil berderai air mata, Tarun terus memanggil-manggil Yaslin. Tapi Yaslin tak kunjung membukakannya pintu. Tarun mulai terlarut pada perasaan sedih, kecewa dan kesal yang bercampur menjadi satu. Ia membalikkan badannya membelakangi pintu kamar itu. Sambil menangis, dia perlahan duduk di sana menyesali semua yang terjadi. Ingin rasanya dirinya memberitahukan rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari istri dan ibu mertuanya. Tapi dirinya sadar, saat itu bukanlah waktu yang tepat. Tarun harus menunggu lebih lama lagi hingga pada akhirnya ia dapat memberitahukan rahasia tersebut.

     *****

     “Yaslin, buka pintunya. Ini ibu.”

     Pintu kamar pun dibukakan oleh Yaslin. Terlihat wajah Yaslin begitu sembab dan memerah. Matanya masih terlihat berkaca-kaca. Dengan isyarat tangan, ia pun mempersilahkan ibunya untuk masuk ke dalam kamarnya.

     Yaslin duduk bersebelahan dengan Riyeti di atas kasur. Ibunya mulai memasang wajah sangat prihatin dengan Yaslin. Ia merangkul Yaslin sambil mengelus-elus lengan Yaslin.

     “Sudah, jangan dipikirkan lagi. Ibu tahu kamu pasti benar-benar merasa terpukul,” ucap Riyeti mencoba menenangkan Yaslin. Tapi Yaslin hanya terdiam dengan pandangan kosong.

     “Lelaki seperti dia memang gak sebaiknya kamu maafkan.”

     “Aku kesal, Bu, sama mas Tarun. Dia gak pernah bikin aku senang sekali pun. Bahkan diawal pernikahan kami saja, aku langsung dapat kabar kalau dia sudah dikeluarkan dari tempatnya bekerja.” Air mata Yaslin kembali membasahi pipinya. Lalu dia melanjutkan, “Tapi aku masih belum bisa buat menyudahi hubungan ini. Aku masih cinta sama dia. Aku sayang sama dia, Bu.” Tangisan Yaslin semakin menjadi.

     Riyeti yang berada di sampingnya, berusaha menenangkan Yaslin sambil mengusap-usap bahu Yaslin dengan lembut.

     “Ibu sebenarnya gak mau buat kamu tambah kecewa, tapi ....” Riyeti merogoh kantong celananya, mengeluarkan selembar foto dan memberikannya pada Yaslin.

     “Ini apa, Bu?” Yaslin bingung menerima selembar foto dari ibunya.

     “Coba lihat foto itu,” ucap Riyeti sambil menunjuk foto itu.

     Yaslin sedikit mendekatkan foto yang dipegangnya itu ke wajahnya. Seketika tangisannya kembali pecah setelah melihat selembar foto yang berisi kemesraan suaminya dengan wanita lain. Hatinya begitu hancur, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

     “Enggak! Enggak mungkin! Mas Tarun enggak mungkin melakukan ini!” Yaslin berusaha menyangkal isi foto itu.

     “Buktinya sudah sejelas ini Yaslin. Buka matamu! Jangan mau dibodoh-bodohi suamimu lagi!” Riyeti tegas berbicara pada anaknya itu. “Ibu sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Yang jelas kamu harus sadar dari pelet suamimu ini!”

     Yaslin semakin dilema. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sebuah bukti yang tak pernah ia tanyakan sudah terpampang jelas di depan matanya. Wajahnya memerah, air matanya semakin deras bercucuran. Masalah seakan-akan datang bertubi-tubi menimpanya.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status