“Mana uangnya?” dengan jutek Yaslin menadahkan tangan di depan Tarun yang baru saja pulang setelah mencari pekerjaan.
Tarun sama sekali belum sempat membuka sepatu yang dikenakannya. Ia memandang heran istrinya itu, “Aku belum ada uang, Yaslin. Aku baru saja selesai Interview kerja. Doain aku biar bisa langsung keterima kerja, ya.”
Wajah Yaslin langsung murung. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memutar kedua bola matanya ke samping sambil membuang napas.
“Gini banget sih punya suami. Gak punya penghasilan, kerjaannya Cuma makan sama tidur doang setiap hari,” ucap Yaslin sambil memalingkan wajahnya dari Tarun yang berada di hadapannya. Kemudian dia menoleh ke arah Tarun dan langsung menodong wajah, “Kamu pikir aku gak butuh makan, apa? Dari kemarin kamu bilangnya sudah habis Interview kerja terus, tapi kenapa kamu masih belum dapat panggilan juga sampai sekarang?”
Tarun menarik napas, tak menyangka Yaslin akan mengatakan itu. “Kamu pikir aku enggak ada usaha untuk cari kerja? Aku juga lagi usaha buat dapat kerja. Emangnya kamu kira aku mau terus-terusan nganggur kayak gini?”
Yaslin yang kesal langsung masuk ke dalam rumah meninggalkan Tarun sendirian. Dia melampiaskan kekesalannya pada pintu yang dibuka dengan begitu kencang. “Halah! Gak usah alasan, Mas! Emang benar, kan, kamu itu gak mau cari kerja. Kalau emang kamu cari kerja pasti dari kemarin-kemarin kamu sudah dapat pekerjaan.”
Tarun benar-benar terkejut dengan ucapan istrinya itu. Dia tak menyangka Yaslin akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan hatinya. Selama ini dia sudah berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi Yaslin masih tidak bisa menerima kenyataan saat Tarun mengatakan kalau dirinya sudah dikeluarkan dari pabrik tempatnya bekerja dua bulan yang lalu.
Tarun memanggil-manggil Yaslin sambil berjalan menghampirinya, berharap Yaslin bisa mendengarkan penjelasan darinya. Tapi Yaslin tidak menghiraukannya dan terus berjalan menuju kamarnya dengan perasaan kesal.
“Yaslin, maafin aku, Yaslin. Aku sudah usaha cari kerja. Cuma memang belum dapat saja.” Tarun terus berusaha menjelaskan semuanya pada Yaslin. Tapi istrinya itu tidak mau memalingkan wajahnya sama sekali.
Karena tak kunjung dihiraukan, Tarun berusaha menarik tangan Yaslin untuk dapat menghentikan langkah kaki istrinya itu. Tapi tiba-tiba saja ibu mertuanya datang menyiak tangan Tarun dengan begitu kerasnya.
“Jangan pegang-pegang anak saya!” ucap Riyeti—ibu Yaslin—dengan lantang sambil menunjuk-nunjuk Tarun.
Tarun menoleh ke arah Riyeti sambil memegangi tangannya yang memerah karena siakan ibu mertuanya itu. Tarun memandang bingung, bertanya-tanya maksud dari ucapan Riyeti.
Yaslin yang mendengar suara ibunya, langsung menoleh ke belakang dan menghampiri ibunya itu.
“Kamu pikir kami percaya sama omong kosongmu itu? Sudahlah Yaslin, tinggalkan saja lelaki kayak dia ini! Masih banyak laki-laki kaya di luaran sana yang mau sama kamu.”
Bagai tersengat listrik, hati Tarun begitu sakit mendengar ucapan Riyeti. Dia tak menyangka ibu mertuanya itu akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan. Matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya tak lagi dapat terbendung. Bibirnya gemetar tak tahu ingin berkata apa. Tarun hanya bisa menatap Riyeti dengan perasaan kecewa.
Yaslin yang juga terlihat terkejut dengan perkataan ibunya, langsung saja pergi dari sana menuju kamarnya. Dia membanting pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Tak lama, suara tangisannya terdengar begitu keras dari dalam kamar.
“Kenapa ibu tega ngomong kayak gitu? Aku–“
“Halah! Gak usah sok kaget kamu. Seharusnya kamu mikir, kenapa ibu bisa ngomong kayak gini ke kamu,” Riyeti memotong ucapan Tarun. Dia kemudian mendekat ke arah Tarun, “Masih untung Yaslin masih punya rasa cinta ke kamu. Kalau enggak, dia pasti sudah ninggalin kamu sejak lama.” Ucapan Riyeti begitu menohok pada Tarun.
Riyeti pergi dari sana dan dengan sengaja menabrakkan lengannya dengan lengan Tarun. Tarun yang begitu kecewa pada Riyeti, berusaha tidak menghiraukan perlakuan ibu mertuanya itu dan langsung bergegas menghampiri Yaslin di kamarnya.
Tarun mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memanggil-manggil Yaslin, berharap segera dibukakan pintu. Sambil berderai air mata, Tarun terus memanggil-manggil Yaslin. Tapi Yaslin tak kunjung membukakannya pintu. Tarun mulai terlarut pada perasaan sedih, kecewa dan kesal yang bercampur menjadi satu. Ia membalikkan badannya membelakangi pintu kamar itu. Sambil menangis, dia perlahan duduk di sana menyesali semua yang terjadi. Ingin rasanya dirinya memberitahukan rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari istri dan ibu mertuanya. Tapi dirinya sadar, saat itu bukanlah waktu yang tepat. Tarun harus menunggu lebih lama lagi hingga pada akhirnya ia dapat memberitahukan rahasia tersebut.
*****
“Yaslin, buka pintunya. Ini ibu.”
Pintu kamar pun dibukakan oleh Yaslin. Terlihat wajah Yaslin begitu sembab dan memerah. Matanya masih terlihat berkaca-kaca. Dengan isyarat tangan, ia pun mempersilahkan ibunya untuk masuk ke dalam kamarnya.
Yaslin duduk bersebelahan dengan Riyeti di atas kasur. Ibunya mulai memasang wajah sangat prihatin dengan Yaslin. Ia merangkul Yaslin sambil mengelus-elus lengan Yaslin.
“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Ibu tahu kamu pasti benar-benar merasa terpukul,” ucap Riyeti mencoba menenangkan Yaslin. Tapi Yaslin hanya terdiam dengan pandangan kosong.
“Lelaki seperti dia memang gak sebaiknya kamu maafkan.”
“Aku kesal, Bu, sama mas Tarun. Dia gak pernah bikin aku senang sekali pun. Bahkan diawal pernikahan kami saja, aku langsung dapat kabar kalau dia sudah dikeluarkan dari tempatnya bekerja.” Air mata Yaslin kembali membasahi pipinya. Lalu dia melanjutkan, “Tapi aku masih belum bisa buat menyudahi hubungan ini. Aku masih cinta sama dia. Aku sayang sama dia, Bu.” Tangisan Yaslin semakin menjadi.
Riyeti yang berada di sampingnya, berusaha menenangkan Yaslin sambil mengusap-usap bahu Yaslin dengan lembut.
“Ibu sebenarnya gak mau buat kamu tambah kecewa, tapi ....” Riyeti merogoh kantong celananya, mengeluarkan selembar foto dan memberikannya pada Yaslin.
“Ini apa, Bu?” Yaslin bingung menerima selembar foto dari ibunya.
“Coba lihat foto itu,” ucap Riyeti sambil menunjuk foto itu.
Yaslin sedikit mendekatkan foto yang dipegangnya itu ke wajahnya. Seketika tangisannya kembali pecah setelah melihat selembar foto yang berisi kemesraan suaminya dengan wanita lain. Hatinya begitu hancur, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Enggak! Enggak mungkin! Mas Tarun enggak mungkin melakukan ini!” Yaslin berusaha menyangkal isi foto itu.
“Buktinya sudah sejelas ini Yaslin. Buka matamu! Jangan mau dibodoh-bodohi suamimu lagi!” Riyeti tegas berbicara pada anaknya itu. “Ibu sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Yang jelas kamu harus sadar dari pelet suamimu ini!”
Yaslin semakin dilema. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sebuah bukti yang tak pernah ia tanyakan sudah terpampang jelas di depan matanya. Wajahnya memerah, air matanya semakin deras bercucuran. Masalah seakan-akan datang bertubi-tubi menimpanya.
“Lelaki seperti dia memang gak sebaiknya kamu maafkan. Kalau bisa, kamu ikuti saja cara berselingkuhnya untukmu balas dendam.” Riyeti berusaha menghasut Yaslin. Yaslin menoleh ke arah ibunya, lalu berucap, “bagaimana caranya, Bu?” Riyeti tersenyum lebar mendengar ucapan Yaslin. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Yaslin. Mereka mulai serius membahas perihal rencana untuk membalaskan dendam Yaslin. ***** “Mumpung saat ini dia sedang ada di luar, kamu nikmati saja waktu luang ini.” Riyeti tersenyum lebar begitu antusias. Yaslin mengangguk kecil. Hatinya terasa begitu berat menjalankan rencana ibunya untuk membalaskan dendam pada suaminya. Tetapi amarah dan rasa cemburunya sudah begitu memuncak. Rasa cintanya sudah dilahap oleh rasa cemburu dan rasa balas dendam. Riyeti keluar dari kamar itu, meninggalkan Yaslin sendirian. Dia pergi ke luar rumah, berharap Yaslin tidak menguping percakapannya dengan orang yang akan diteleponn
"Seharusnya aku yang tanya ke kamu! Selama ini kamu anggap aku apa?" Yaslin menatap wajah Tarun dengan tatapan tajam. Tarun tentu saja bingung mendengar pertanyaan dari Yaslin. Dia tidak mengerti apa yang Yaslin maksud. Selama ini dirinya sudah berusaha keras menjadi suami yang baik. Tapi mengapa Yaslin malah menanyakan hal seperti itu, tanyanya di dalam hati. "Cepat kamu keluar dari rumah ini! Aku gak mau melihat kamu lagi!" ucap Yaslin dengan tegas sambil merangkul David yang babak belur. Tanpa memberikan Tarun kesempatan untuk berucap, ibu mertuanya langsung menarik lengannya dan menyeretnya ke luar rumah. "Mending sekarang kamu pergi saja dari rumah ini! Saya sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!" ucap Riyeti dengan keras sambil mendorong Tarun ke luar rumah. Tarun benar-benar tidak menyangka ibu mertuanya akan memperlakukannya seperti itu. Mengusirnya dari rumah, padahal Yaslin yang baru saja melakukan kesalahan. Ia benar-benar tidak mengerti den
"Baik, Pak! Nanti bakal langsung saya kirim ke Bapak," jawab Ussy. Tarun menyuruh Ussy membawa kembali berkas-berkas itu. Ia juga berpesan pada Ussy untuk menyuruh OB agar segera datang ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, pintu ruang kerja Tarun terbuka. Tarun yang sedang sibuk dengan komputernya, langsung berkata, "Tolong buatkan saya susu!" Bukannya mengiyakan perkataan Tarun, orang itu malah berdehem. Tarun yang bingung langsung menatap ke arahnya. "Ah, kamu ternyata, Zal," ucap Tarun sambil tersenyum menatap Rizal yang baru saja datang, lalu kembali fokus pada komputernya. "Apa Ussy sudah berikan berkas-berkas itu padamu?" "Sudah, emangnya kenapa kamu suruh dia kasih berkas-berkas itu ke aku?" Tarun masih fokus ke layar komputernya. Belum sempat Rizal menjawab, Tarun sudah mendahuluinya, menanyakan pegawai bernama 'David Darmawansyah' ke Rizal. "Bukannya dia salah satu orang pemasaran, ya?" jawab Rizal sambil menerka-nerka.
"Untung saja dia tidak tahu apa-apa tentang aku. Kau juga tidak memberitahukan informasi apa-apa tentang hubunganku dengan Yaslin, kan? Jangan sampai ada yang tahu tentang hubunganku dengan Yaslin!" ucap Tarun pada Rizal. Rizal mengangguk, mengkonfirmasi ucapan Tarun. ***** Dua hari setelahnya, Tarun sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Yaslin. Dia sudah tidak pernah tahu kabar dari Yaslin setelah hari pernikahan yang benar-benar berantakan pada saat itu. Dia juga berusaha melupakan mantan istrinya itu. Walau terkadang dirinya masih terbayang-bayang kenangan bersama Yaslin. "Pagi, Pak!" sapa salah seorang karyawan sambil tersenyum saat melihat Tarun yang baru saja turun dari mobilnya. Tarun hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis. Saat ingin masuk ke dalam gedung, dia melihat ada beberapa orang berpakaian putih hitam sedang menunggu di dekat pintu masuk. Tarun sadar orang-orang itu pasti ingin melamar kerja di perusahaannya. Dia menghampiri orang-orang it
“kalian semua ikuti saya!” Semua pelamar yang ada di sana merasa bingung dengan seruan HRD itu. Terutama Yaslin. Hatinya bertanya-tanya ke mana HRD akan membawanya dan pelamar lainnya. Mereka semua disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan sebelumnya. Ruangan itu cukup luas dengan kursi-kursi tersusun rapi. Semua pelamar mulai duduk di kursi yang sudah di sediakan. Sambil duduk di kursinya, Yaslin melihat ke sana dan ke mari mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terlihat HRD dan beberapa orang lainnya begitu sibuk berbisik sambil mondar-mandir ke sana ke mari. Lama menunggu, akhirnya HRD mulai berbicara, “Sebentar lagi pimpinan perusahaan ini akan masuk ke ruangan ini. Kemungkinan besar beliau ingin mengetes kemampuan kalian sesuai posisi yang kalian lamar. Jadi saya mohon untuk segera mempersiapkan diri kalian.” Jantung Yaslin mulai berdetak kencang setelah mendengar ucapan HRD itu. Dirinya mulai panik. Dia tidak tahu
Tarun berjalan meninggalkan ruangan itu diikuti Yaslin di belakangnya. Terlihat Yaslin masih bingung tentang Tarun yang tiba-tiba saja marah-marah membelanya dan mengajaknya pergi dari ruangan itu. “Yaslin, kamu sudah makan, belum? Kita ke kantin, ya?” Tarun melambatkan langkahnya sambil menatap Yaslin. Yaslin langsung menatap Tarun dengan bingung. Lalu dengan gugup dia menjawab, “Su–sudah, Pak!” “Ya sudah kamu temani saya makan, ya. Nanti sekalian kita ngobrol-ngobrol.” Yaslin semakin bingung melihat sikap Tarun pada dirinya. Mengapa Tarun begitu memedulikannya? Apa orang ini benar-benar Tarun mantan suaminya yang sudah dirinya selingkuhi, pikirnya. Di kantin, Tarun sudah mendapatkan makanannya di atas meja tempat dirinya dan Yaslin duduk setelah memesan beberapa saat yang lalu. Tarun mulai memakan makanan yang berupa telur orak-arik dengan beberapa sayuran rebus. “Kamu benar enggak mau makan? Saya bayarin, loh,” tanya Tarun setelah menyuap makanannya. Yaslin meng
David sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia langsung saja ingin mengarahkan pukulannya ke Tarun. “Eits! Sabar David, sabar!” Tarun menahan pukulan David. “Tenang, enggak usah pakai kekerasan. Lagi pula aku enggak akan merebut dia dari kamu, kok. Aku enggak suka sama wanita yang kayak dia. Apa lagi sama wanita yang kemampuannya hanya bisa menyalahkan komputer saja.” Tarun langsung saja pergi dari sana meninggalkan mereka berdua. Setelah Tarun sudah tak lagi ada di sana, David langsung menanyakan semua yang terjadi ke Yaslin dengan begitu kesalnya. “Apa-apaan ini? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kalian bisa ada di sini? Dan kenapa kamu bilang kalau dia itu mantan suamimu?” David benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang terjadi. Yaslin pun menceritakan semua yang terjadi pada David. Mulai dari dirinya yang ditertawakan sampai dia yang diajak makan di kantin. “Tapi kenapa kamu sampai mengira kalau dia itu mantan suami kamu?" tanya Ta
“Ternyata benar dugaanku. Pasti dia memang Tarun mantan suamiku,” gumam Yaslin yang sedang berada di rumah sakit setelah membaca pesan dari David. Tak lama, datang seorang suster menghampiri Yaslin yang sedang terbaring. Dia membawa nampan berisi obat dan segelas air putih. “Obatnya langsung di minum ya, Kak. Nanti sore kakak sudah bisa langsung pulang,” ucap suster itu sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Yaslin mengangguk. Suster itu kemudian pergi dari sana meninggalkan Yaslin. Yaslin langsung saja mengambil obatnya yang terletak di atas meja, lalu meminumnya. Sesaat setelahnya, rasa kantuk langsung menyerangnya dan membuatnya tertidur. ***** “Ussy, tolong kabari yang lain kalau besok pagi akan ada pertemuan besar-besaran di halaman gedung sebelum masuk ke kantor,” ucap Tarun yang terlihat begitu tergesa-gesa sambil membawa jasnya yang diletakkan di pundaknya. Ussy mengangguk. Tarun langsung saja pergi dari sana menuju Lift.
Sontak Tarun terkejut mendengar fakta yang diberitahukan oleh Rizal. Tarun benar-benar tidak menyangka akan ada seseorang yang melakukan hal itu. Tak terkecuali David. Dia juga terkejut mendengar fakta itu. “Apa jangan-jangan dalangnya adalah kompetitor perusahaan?” tebak David. “Benar juga. Pasti ini semua ulah pesaing bisnis. Bisa-bisanya mereka bermain curang seperti ini.” Tarun benar-benar marah. Ekspresinya langsung berubah seketika. Tangannya mengepal dengan kencangnya. Di sisi lain, Rizal malah mencurigai kalau David adalah dalang di balik semua kekacauan ini. Karena dia merasa David pasti sudah mengetahui rencana Tarun. Tak lama, Ussy datang menghampiri Tarun. Dia menanyakan mengenai perkumpulan para pegawai yang akan dilaksanakan. “Dalam keadaan seperti ini, sepertinya perkumpulannya harus ditunda. Mungkin besok,” jawab Tarun. Setelah mendapatkan konfirmasi dari Tarun, Ussy langsung bergegas pergi. Mendengar hal itu, tiba-tiba terbesit
Rizal terdiam, tak tahu mau menjawab apa. Dia baru teringat kalau dirinya tidak pernah berbicara dengan David sebelumnya. Dia langsung salah tingkah, tak tahu mau bilang apa. David yang melihat gelagatnya yang mencurigakan, tersenyum tipis. Dari awal dirinya sudah yakin kalau Rizal pasti terlibat dalam rencana Tarun. Tarun yang menyadari situasi itu, langsung berusaha mengalihkan pembicaraan. “David, kamu sudah tahu tentang demo di kantor?” “Demo? Demo apa?” jawab David bingung. Dia tidak tahu sama sekali tentang demo yang dibicarakan Tarun. Belum sempat Tarun menjelaskan, tiba-tiba saja ponsel David berdering. Dia langsung saja mengambil ponselnya dan melihat panggilan suara dari Yaslin. “Saya izin pamit dulu ya, Pak. Sekalian pergi ke kantor,” ucap David dan langsung saja pergi dari sana meninggalkan Tarun dan Rizal. Setelah David pergi dari sana, Rizal langsung saja mengatakan pada Tarun tentang kecurigaannya pada David. Dia mengatakan kala
Tarun tersadar dari pingsannya. Dia membuka matanya perlahan, sambil memegangi kepalanya yang masih terasa begitu sakit. Tapi dirinya malah mendapati perban yang sudah terikat di kepalanya. Tarun melihat sekitar. Dia sadar kalau dirinya sudah ada di ruang rawat rumah sakit. Dia mencoba bangun untuk duduk sambil meringis kesakitan. Sayangnya tubuhnya begitu lemah yang membuatnya terbanting kembali ke ranjang rumah sakit yang ditempatinya. Tubuhnya makin terasa sakit dan membuatnya meringis kesakitan. Di saat yang bersamaan, seorang suster datang dan terkejut melihat Tarun yang sedang meringis kesakitan. Dengan panik, dia langsung bergegas menghampiri Tarun. “Bapak jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kondisi bapak masih belum membaik,” ucap suster itu. “Kenapa saya bisa ada di sini, Sus?” tanya Tarun dengan lemah sambil meringis kesakitan. “Seseorang melihat mobil bapak yang kecelakaan. Dan dia menemukan bapak yang sudah bercucuran darah tak sadarka
12. "Tarun!" panggil Rizal sambil berlari menghampiri Tarun. Dirinya terlihat begitu compang-camping dengan jas lusuh dan rambut acak-acakan. "Bagaimana? Belum mulai kan? Maaf aku telat," sambungnya. Tarun memperhatikan Rizal dari kepala hingga kaki. Dia yang melihat tampilan Rizal yang acak-acakan, merasa bingung. "Kamu dari mana saja, sih? Dari tadi aku sudah menunggumu. Bahkan sampai pertemuannya sudah mau selesai kamu masih belum juga sampai. Dan sekarang, kau baru sampai saat aku sudah ingin pulang dengan tampilan yang acak-acakan seperti ini." Tarun kesal d nahn Rizal. Dia tak pikir panjang untuk memarahi Rizal. Mendengar pertanyaan Tarun, Rizal langsung menunjukkan gelagat yang aneh. Dia terlihat bingung seolah tak tahu apa yang harus dia katakan. "I–itu, ta–tadi aku, a–aku kejebak macet." Rizal seperti sedang berusaha menutup-nutupi sesuatu. Tarun yang melihat gelagatnya yang begitu aneh, menjadi curiga pada Rizal. Tampilanmu acak-acakan, g
Yaslin akhirnya menelan obat yang dimasukkan paksa oleh pria berseragam dokter itu. Tak lama, matanya mulai kembali berkunang-kunang. Penglihatannya semakin lama semakin memudar. Saat itu, pria berseragam dokter itu mulai melepaskan cengkeramannya. Yaslin melihat pria itu mulai membuka baju di depannya sambil tersenyum lebar. Dia berusaha keras untuk tetap tersadar. Tapi pengaruh obat itu membuatnya semakin lama semakin tidak berdaya. ***** David berlari menyusuri lorong rumah sakit untuk segera menjemput Yaslin. Saat sudah hampir sampai, dirinya menemui Riyeti. Dia langsung saja menghampirinya dan menanyakan Yaslin padanya. “Yaslin masih di dalam. Tadi kata dokter ibu harus keluar biar enggak ketularan alerginya,” ucap Riyeti menjawab pertanyaan Tarun. “Apa? Menular? Sejak kapan alergi menular?” David benar-benar terkejut mendengar ucapan Riyeti. Firasatnya semakin buruk. Dia langsung saja bergegas menuju ruangan Yaslin meninggalkan Riyeti. Riyeti yang bing
Yaslin merasa sangat aneh mendengar ucapan suster itu. Seingatnya, dirinya sudah diperbolehkan pulang sore itu oleh suster yang sebelumnya mengantarkan obat untuknya. "Bukannya saya sudah diperbolehkan pulang ya, Sus?" tanya Yaslin penuh kebingungan. Suster itu terlihat kebingungan mendengar ucapan Yaslin. Dia memperlihatkan gelagat yang aneh seakan xx berkata apa. Sambil mengucek matanya, Yaslin semakin bingung melihat gelagat aneh suster itu. "Pokoknya sekarang kakak langsung kembali saja ke kamar. Nanti dokter akan datang ke sini untuk memberikan kakak obat. Mungkin setelah itu kakak bisa langsung pulang." Suster itu kemudian mengantar Yaslin ke kamar rawatnya. Saat sedang menuju kamar, Riyeti tiba-tiba saja datang menghampiri Yaslin. Dengan wajah cemas dia berlari menuju Yaslin. "Loh, kamu habis dari mana? Kok sampai dipapah begini?" tanya Riyeti dengan begitu paniknya. "Enggak apa-apa, kok, Bu. Tadi aku habis dari toilet," jawab Yaslin. Ri
“Ternyata benar dugaanku. Pasti dia memang Tarun mantan suamiku,” gumam Yaslin yang sedang berada di rumah sakit setelah membaca pesan dari David. Tak lama, datang seorang suster menghampiri Yaslin yang sedang terbaring. Dia membawa nampan berisi obat dan segelas air putih. “Obatnya langsung di minum ya, Kak. Nanti sore kakak sudah bisa langsung pulang,” ucap suster itu sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Yaslin mengangguk. Suster itu kemudian pergi dari sana meninggalkan Yaslin. Yaslin langsung saja mengambil obatnya yang terletak di atas meja, lalu meminumnya. Sesaat setelahnya, rasa kantuk langsung menyerangnya dan membuatnya tertidur. ***** “Ussy, tolong kabari yang lain kalau besok pagi akan ada pertemuan besar-besaran di halaman gedung sebelum masuk ke kantor,” ucap Tarun yang terlihat begitu tergesa-gesa sambil membawa jasnya yang diletakkan di pundaknya. Ussy mengangguk. Tarun langsung saja pergi dari sana menuju Lift.
David sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia langsung saja ingin mengarahkan pukulannya ke Tarun. “Eits! Sabar David, sabar!” Tarun menahan pukulan David. “Tenang, enggak usah pakai kekerasan. Lagi pula aku enggak akan merebut dia dari kamu, kok. Aku enggak suka sama wanita yang kayak dia. Apa lagi sama wanita yang kemampuannya hanya bisa menyalahkan komputer saja.” Tarun langsung saja pergi dari sana meninggalkan mereka berdua. Setelah Tarun sudah tak lagi ada di sana, David langsung menanyakan semua yang terjadi ke Yaslin dengan begitu kesalnya. “Apa-apaan ini? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kalian bisa ada di sini? Dan kenapa kamu bilang kalau dia itu mantan suamimu?” David benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang terjadi. Yaslin pun menceritakan semua yang terjadi pada David. Mulai dari dirinya yang ditertawakan sampai dia yang diajak makan di kantin. “Tapi kenapa kamu sampai mengira kalau dia itu mantan suami kamu?" tanya Ta
Tarun berjalan meninggalkan ruangan itu diikuti Yaslin di belakangnya. Terlihat Yaslin masih bingung tentang Tarun yang tiba-tiba saja marah-marah membelanya dan mengajaknya pergi dari ruangan itu. “Yaslin, kamu sudah makan, belum? Kita ke kantin, ya?” Tarun melambatkan langkahnya sambil menatap Yaslin. Yaslin langsung menatap Tarun dengan bingung. Lalu dengan gugup dia menjawab, “Su–sudah, Pak!” “Ya sudah kamu temani saya makan, ya. Nanti sekalian kita ngobrol-ngobrol.” Yaslin semakin bingung melihat sikap Tarun pada dirinya. Mengapa Tarun begitu memedulikannya? Apa orang ini benar-benar Tarun mantan suaminya yang sudah dirinya selingkuhi, pikirnya. Di kantin, Tarun sudah mendapatkan makanannya di atas meja tempat dirinya dan Yaslin duduk setelah memesan beberapa saat yang lalu. Tarun mulai memakan makanan yang berupa telur orak-arik dengan beberapa sayuran rebus. “Kamu benar enggak mau makan? Saya bayarin, loh,” tanya Tarun setelah menyuap makanannya. Yaslin meng