"Seharusnya aku yang tanya ke kamu! Selama ini kamu anggap aku apa?" Yaslin menatap wajah Tarun dengan tatapan tajam.
Tarun tentu saja bingung mendengar pertanyaan dari Yaslin. Dia tidak mengerti apa yang Yaslin maksud. Selama ini dirinya sudah berusaha keras menjadi suami yang baik. Tapi mengapa Yaslin malah menanyakan hal seperti itu, tanyanya di dalam hati.
"Cepat kamu keluar dari rumah ini! Aku gak mau melihat kamu lagi!" ucap Yaslin dengan tegas sambil merangkul David yang babak belur.
Tanpa memberikan Tarun kesempatan untuk berucap, ibu mertuanya langsung menarik lengannya dan menyeretnya ke luar rumah.
"Mending sekarang kamu pergi saja dari rumah ini! Saya sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!" ucap Riyeti dengan keras sambil mendorong Tarun ke luar rumah.
Tarun benar-benar tidak menyangka ibu mertuanya akan memperlakukannya seperti itu. Mengusirnya dari rumah, padahal Yaslin yang baru saja melakukan kesalahan. Ia benar-benar tidak mengerti dengan situasi itu.
"Cepat pergi, dan jangan kembali lagi!" Riyeti langsung menutup pintu dengan cepat, meninggalkan Tarun di luar rumah.
Tarun terus menggedor-gedoran pintu rumah yang sudah dikunci dari dalam oleh Riyeti. Berusaha meminta kejelasan atas semua yang terjadi. Air matanya bercucuran deras. Tangisannya tak tertahan.
"Cepat buka pintunya! Kenapa kamu lakukan itu Yaslin? Aku masih cinta sama kamu! Aku gak mau kehilangan kamu!" ucap Tarun dengan keras sambil menangis sesenggukan. Tangannya masih saja menggedor-gedor pintu berharap segera dibukakan.
Dengan perasaan yang campur aduk, akhirnya Tarun pergi dari sana. Meninggalkan Yaslin dan ibu mertuanya bersama pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Hatinya benar-benar kecewa dengan perlakuan istri dan ibu mertuanya. Ia tak menyangka kalau dirinya akan diperlakukan seperti itu. Seolah sudah tidak ada tempat lagi untuknya di rumah itu.
Di dekat pangkalan ojek, Tarun menelepon seseorang. Memintanya untuk cepat menjemput dirinya.
[Tinggalkan saja warung kopi itu, dan segera jemput aku!"] ucap Tarun pada orang yang diteleponnya.
Dari kejauhan terlihat beberapa tukang ojek sedang memperhatikan Tarun sambil menunjuk-nunjuknya. Tak lama, salah seorang tukang ojek datang menghampirinya.
"Bapak mau naik ojek saya? Kebetulan saya belum dapat pelanggan dari pagi. Istri saja juga pasti berharap saya pulang bawa duit segepok," ucap si tukang ojek dengan malu-malu sambil menggosok-gosokan kedua telapak tangannya.
Tarun tak memedulikan ucap tukang ojek itu. Dia berusaha keras untuk menjaga emosinya, agar tidak melepaskan pukulan ke tukang ojek itu.
Tak lama menunggu, sebuah mobil sedan berwarna hitam datang dan berhenti tepat di depan Tarun. Seorang pria berjas hitam keluar dari dalam dan membukakan pintu, mempersilahkan Tarun untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa basa basi, Tarun langsung masuk ke dalam mobil, meninggalkan tukang ojek yang masih berada di dekatnya.
"Rizal, kasih orang itu uang," ucap Tarun yang sudah berada di dalam mobil pada pria berjas hitam yang merupakan orang yang sama yang sebelumnya menjaga warung kopi, sambil menunjuk tukang ojek yang masih memperhatikannya.
*****
Sekitar setengah jam perjalanan, mobil yang ditumpangi Tarun akhirnya berhenti di depan gerbang sebuah rumah megah yang berada di komplek perumahan elit. Tak lama, seorang satpam membukakan gerbang rumah, mempersilakan mobil yang ditumpangi Tarun untuk masuk.
Mobil hitam itu akhirnya kembali berhenti tepat di depan rumah megah itu. Rumah bernuansa futuristik dengan pohon-pohon besar yang mengelilinginya. Berbeda dari rumah-rumah lain di komplek itu, rumah itu benar-benar lebih megah dan mewah dengan halaman yang cukup luas.
Tarun turun dari mobil hitam itu setelah dibukakan pintu oleh Rizal, pria berjas hitam sebelumnya. Dengan langkah cepat Tarun menaiki beberapa anak tangga untuk bisa masuk ke dalam ruang itu.
Di dalam, Tarun di sambut oleh beberapa pelayan. Mereka semua berbaris dan menunduk hormat.
"Biarkan aku sendiri!" ucap Tarun mengisyaratkan para pelayan itu untuk pergi.
Ia duduk di di atas sofa sambil membuang napas. Rizal yang juga berada di sana, memberanikan diri untuk bertanya pada Tarun.
"A–apa yang terjadi, Run?" dengan sedikit gugup Rizal mengajukan pertanyaan.
"Tega, Zal! Dia tega banget, Zal! Dia bawa cowok lain ke kamar. Gak habis pikir aku sama dia!" jawab Tarun sambil berlinangan air mata.
Rizal hanya bisa terdiam mendengarnya. Merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Mereka bilang mereka mau nikah, Zal. Aku dilupain gitu aja, Zal! Aku dilupain gitu aja!" Tangisan Tarun kembali pecah. Dia begitu tersedu-sedu, menggambarkan kepedihan yang sedang rasakannya.
Tak lama, Tarun langsung menggosok air matanya. Dia berusaha keras menghentikan tangisannya. Dia kemudian bangun dari duduknya dan menghadap ke arah Rizal.
"Kalau memang itu cara mainnya, cara mainku bakal lebih kejam dari itu!" Tarun langsung pergi menuju Lift, meninggalkan Rizal sendirian di sana.
Pagi harinya, Tarun bersiap-siap untuk pergi ke kantornya, dengan mengenakan setelan jas abu-abu dan kacamata hitam. Dia masuk ke garasi memperhatikan setiap mobil yang ada di sana, memilih untuk memakai salah satunya. Pada akhirnya, pilihannya jatuh pada mobil Sport berwarna Silver. Mobil dua pintu yang hanya memiliki dua kursi.
Tarun sampai di depan gerbang komplek gedung-gedung pencakar langit, tempat yang sama seperti yang kemarin ia datangi. Ada sekitar 5 gedung di dalamnya. Dan yang paling tinggi berada di tengah, di antara empat gedung lainnya. Di gedung yang paling tinggi terdapat logo perusahaan dengan tulisan TODarma Company di sampingnya.
Tarun mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung yang paling tinggi. Saat baru saja membuka pintu kaca, pintu masuk gedung itu, para petugas di dalam langsung berbaris menunduk hormat.
"Sudahlah, tidak usah lakukan itu," ucap Tarun sambil berjalan menuju Lift.
Sesampainya di lantai dua puluh dari total empat puluh lima lantai, Tarun langsung masuk ke dalam ruang kerjanya. Ruangan seluas lapangan basket dengan meja kerja yang cukup besar. Ia duduk di kursinya sambil mengambil beberapa berkas yang sudah ada di atas mejanya.
Tarun merupakan petinggi perusahaan TODarma Company. Perusahaan swasta yang memproduksi berbagai macam pakaian dari berbagai merek. Beberapa merek pakaian terkenal lahir dari perusahaan itu. Contohnya seperti merek Gengci, Bagenciala, dan masih banyak lagi. Kesusksesan itu ia dapat berkat warisan dari orang tuanya yang sudah tiada.
"Pak, ini daftar para pegawai yang baru masuk bekerja, mengambil cuti dan keluar dari perusahaan ini." Seorang pegawai—Ussy—datang sambil memberikan beberapa berkas yang ia sebutkan sebelumnya, lalu meletakkannya di atas meja.
Tarun mengambil salah satu berkas yang di bawa Ussy. Berkas yang berisi daftar pegawai yang mengambil cuti.
"Kenapa kamu kasih ke saya? Saya kan enggak minta," ucap Tarun sambil melihat-lihat isi berkas itu.
"Pak Rizal yang menyuruh saya buat kasih berkas-berkas ini ke Bapak," dengan gemetar Ussy menjelaskan.
Dengan wajah datar, Tarun membaca sembarang nama yang ada di dalam berkas itu. Salah satu nama yang ia temukan adalah 'David Darmawansyah' yang berada di lembar kedua. Nama itu malah mengingatkannya pada David, yang telah meniduri istrinya. Dengan penuh rasa curiga, ia kembali membaca data-data mengenai orang itu yang ada di dalam berkas yang dipegangnya. Tetapi ia tidak bisa menemukan lebih banyak data mengenai orang itu.
"Boleh tolong berikan saya data mengenai pegawai-pegawai yang cuti? Berapa hari mereka cuti, alasan mereka cuti. Kalau bisa berikan juga alamat mereka. Terutama yang ada di lembar ke dua." Tarun tidak spesifik memberitahu kalau dirinya hanya ingin mengetahui data diri si pemilik nama 'David Darmawansyah.'
"Baik, Pak! Nanti bakal langsung saya kirim ke Bapak," jawab Ussy. Tarun menyuruh Ussy membawa kembali berkas-berkas itu. Ia juga berpesan pada Ussy untuk menyuruh OB agar segera datang ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, pintu ruang kerja Tarun terbuka. Tarun yang sedang sibuk dengan komputernya, langsung berkata, "Tolong buatkan saya susu!" Bukannya mengiyakan perkataan Tarun, orang itu malah berdehem. Tarun yang bingung langsung menatap ke arahnya. "Ah, kamu ternyata, Zal," ucap Tarun sambil tersenyum menatap Rizal yang baru saja datang, lalu kembali fokus pada komputernya. "Apa Ussy sudah berikan berkas-berkas itu padamu?" "Sudah, emangnya kenapa kamu suruh dia kasih berkas-berkas itu ke aku?" Tarun masih fokus ke layar komputernya. Belum sempat Rizal menjawab, Tarun sudah mendahuluinya, menanyakan pegawai bernama 'David Darmawansyah' ke Rizal. "Bukannya dia salah satu orang pemasaran, ya?" jawab Rizal sambil menerka-nerka.
"Untung saja dia tidak tahu apa-apa tentang aku. Kau juga tidak memberitahukan informasi apa-apa tentang hubunganku dengan Yaslin, kan? Jangan sampai ada yang tahu tentang hubunganku dengan Yaslin!" ucap Tarun pada Rizal. Rizal mengangguk, mengkonfirmasi ucapan Tarun. ***** Dua hari setelahnya, Tarun sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Yaslin. Dia sudah tidak pernah tahu kabar dari Yaslin setelah hari pernikahan yang benar-benar berantakan pada saat itu. Dia juga berusaha melupakan mantan istrinya itu. Walau terkadang dirinya masih terbayang-bayang kenangan bersama Yaslin. "Pagi, Pak!" sapa salah seorang karyawan sambil tersenyum saat melihat Tarun yang baru saja turun dari mobilnya. Tarun hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis. Saat ingin masuk ke dalam gedung, dia melihat ada beberapa orang berpakaian putih hitam sedang menunggu di dekat pintu masuk. Tarun sadar orang-orang itu pasti ingin melamar kerja di perusahaannya. Dia menghampiri orang-orang it
“kalian semua ikuti saya!” Semua pelamar yang ada di sana merasa bingung dengan seruan HRD itu. Terutama Yaslin. Hatinya bertanya-tanya ke mana HRD akan membawanya dan pelamar lainnya. Mereka semua disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan sebelumnya. Ruangan itu cukup luas dengan kursi-kursi tersusun rapi. Semua pelamar mulai duduk di kursi yang sudah di sediakan. Sambil duduk di kursinya, Yaslin melihat ke sana dan ke mari mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terlihat HRD dan beberapa orang lainnya begitu sibuk berbisik sambil mondar-mandir ke sana ke mari. Lama menunggu, akhirnya HRD mulai berbicara, “Sebentar lagi pimpinan perusahaan ini akan masuk ke ruangan ini. Kemungkinan besar beliau ingin mengetes kemampuan kalian sesuai posisi yang kalian lamar. Jadi saya mohon untuk segera mempersiapkan diri kalian.” Jantung Yaslin mulai berdetak kencang setelah mendengar ucapan HRD itu. Dirinya mulai panik. Dia tidak tahu
Tarun berjalan meninggalkan ruangan itu diikuti Yaslin di belakangnya. Terlihat Yaslin masih bingung tentang Tarun yang tiba-tiba saja marah-marah membelanya dan mengajaknya pergi dari ruangan itu. “Yaslin, kamu sudah makan, belum? Kita ke kantin, ya?” Tarun melambatkan langkahnya sambil menatap Yaslin. Yaslin langsung menatap Tarun dengan bingung. Lalu dengan gugup dia menjawab, “Su–sudah, Pak!” “Ya sudah kamu temani saya makan, ya. Nanti sekalian kita ngobrol-ngobrol.” Yaslin semakin bingung melihat sikap Tarun pada dirinya. Mengapa Tarun begitu memedulikannya? Apa orang ini benar-benar Tarun mantan suaminya yang sudah dirinya selingkuhi, pikirnya. Di kantin, Tarun sudah mendapatkan makanannya di atas meja tempat dirinya dan Yaslin duduk setelah memesan beberapa saat yang lalu. Tarun mulai memakan makanan yang berupa telur orak-arik dengan beberapa sayuran rebus. “Kamu benar enggak mau makan? Saya bayarin, loh,” tanya Tarun setelah menyuap makanannya. Yaslin meng
David sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia langsung saja ingin mengarahkan pukulannya ke Tarun. “Eits! Sabar David, sabar!” Tarun menahan pukulan David. “Tenang, enggak usah pakai kekerasan. Lagi pula aku enggak akan merebut dia dari kamu, kok. Aku enggak suka sama wanita yang kayak dia. Apa lagi sama wanita yang kemampuannya hanya bisa menyalahkan komputer saja.” Tarun langsung saja pergi dari sana meninggalkan mereka berdua. Setelah Tarun sudah tak lagi ada di sana, David langsung menanyakan semua yang terjadi ke Yaslin dengan begitu kesalnya. “Apa-apaan ini? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kalian bisa ada di sini? Dan kenapa kamu bilang kalau dia itu mantan suamimu?” David benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang terjadi. Yaslin pun menceritakan semua yang terjadi pada David. Mulai dari dirinya yang ditertawakan sampai dia yang diajak makan di kantin. “Tapi kenapa kamu sampai mengira kalau dia itu mantan suami kamu?" tanya Ta
“Ternyata benar dugaanku. Pasti dia memang Tarun mantan suamiku,” gumam Yaslin yang sedang berada di rumah sakit setelah membaca pesan dari David. Tak lama, datang seorang suster menghampiri Yaslin yang sedang terbaring. Dia membawa nampan berisi obat dan segelas air putih. “Obatnya langsung di minum ya, Kak. Nanti sore kakak sudah bisa langsung pulang,” ucap suster itu sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Yaslin mengangguk. Suster itu kemudian pergi dari sana meninggalkan Yaslin. Yaslin langsung saja mengambil obatnya yang terletak di atas meja, lalu meminumnya. Sesaat setelahnya, rasa kantuk langsung menyerangnya dan membuatnya tertidur. ***** “Ussy, tolong kabari yang lain kalau besok pagi akan ada pertemuan besar-besaran di halaman gedung sebelum masuk ke kantor,” ucap Tarun yang terlihat begitu tergesa-gesa sambil membawa jasnya yang diletakkan di pundaknya. Ussy mengangguk. Tarun langsung saja pergi dari sana menuju Lift.
Yaslin merasa sangat aneh mendengar ucapan suster itu. Seingatnya, dirinya sudah diperbolehkan pulang sore itu oleh suster yang sebelumnya mengantarkan obat untuknya. "Bukannya saya sudah diperbolehkan pulang ya, Sus?" tanya Yaslin penuh kebingungan. Suster itu terlihat kebingungan mendengar ucapan Yaslin. Dia memperlihatkan gelagat yang aneh seakan xx berkata apa. Sambil mengucek matanya, Yaslin semakin bingung melihat gelagat aneh suster itu. "Pokoknya sekarang kakak langsung kembali saja ke kamar. Nanti dokter akan datang ke sini untuk memberikan kakak obat. Mungkin setelah itu kakak bisa langsung pulang." Suster itu kemudian mengantar Yaslin ke kamar rawatnya. Saat sedang menuju kamar, Riyeti tiba-tiba saja datang menghampiri Yaslin. Dengan wajah cemas dia berlari menuju Yaslin. "Loh, kamu habis dari mana? Kok sampai dipapah begini?" tanya Riyeti dengan begitu paniknya. "Enggak apa-apa, kok, Bu. Tadi aku habis dari toilet," jawab Yaslin. Ri
Yaslin akhirnya menelan obat yang dimasukkan paksa oleh pria berseragam dokter itu. Tak lama, matanya mulai kembali berkunang-kunang. Penglihatannya semakin lama semakin memudar. Saat itu, pria berseragam dokter itu mulai melepaskan cengkeramannya. Yaslin melihat pria itu mulai membuka baju di depannya sambil tersenyum lebar. Dia berusaha keras untuk tetap tersadar. Tapi pengaruh obat itu membuatnya semakin lama semakin tidak berdaya. ***** David berlari menyusuri lorong rumah sakit untuk segera menjemput Yaslin. Saat sudah hampir sampai, dirinya menemui Riyeti. Dia langsung saja menghampirinya dan menanyakan Yaslin padanya. “Yaslin masih di dalam. Tadi kata dokter ibu harus keluar biar enggak ketularan alerginya,” ucap Riyeti menjawab pertanyaan Tarun. “Apa? Menular? Sejak kapan alergi menular?” David benar-benar terkejut mendengar ucapan Riyeti. Firasatnya semakin buruk. Dia langsung saja bergegas menuju ruangan Yaslin meninggalkan Riyeti. Riyeti yang bing