Share

BAB 3. Dirinya Yang Sebenarnya

     "Seharusnya aku yang tanya ke kamu! Selama ini kamu anggap aku apa?" Yaslin menatap wajah Tarun dengan tatapan tajam.

     Tarun tentu saja bingung mendengar pertanyaan dari Yaslin. Dia tidak mengerti apa yang Yaslin maksud. Selama ini dirinya sudah berusaha keras menjadi suami yang baik. Tapi mengapa Yaslin malah menanyakan hal seperti itu, tanyanya di dalam hati.

     "Cepat kamu keluar dari rumah ini! Aku gak mau melihat kamu lagi!" ucap Yaslin dengan tegas sambil merangkul David yang babak belur. 

     Tanpa memberikan Tarun kesempatan untuk berucap, ibu mertuanya langsung menarik lengannya dan menyeretnya ke luar rumah. 

     "Mending sekarang kamu pergi saja dari rumah ini! Saya sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!" ucap Riyeti dengan keras sambil mendorong Tarun ke luar rumah. 

     Tarun benar-benar tidak menyangka ibu mertuanya akan memperlakukannya seperti itu. Mengusirnya dari rumah, padahal Yaslin yang baru saja melakukan kesalahan. Ia benar-benar tidak mengerti dengan situasi itu.

     "Cepat pergi, dan jangan kembali lagi!" Riyeti langsung menutup pintu dengan cepat, meninggalkan Tarun di luar rumah. 

     Tarun terus menggedor-gedoran pintu rumah yang sudah dikunci dari dalam oleh Riyeti. Berusaha meminta kejelasan atas semua yang terjadi. Air matanya bercucuran deras. Tangisannya tak tertahan. 

     "Cepat buka pintunya! Kenapa kamu lakukan itu Yaslin? Aku masih cinta sama kamu! Aku gak mau kehilangan kamu!" ucap Tarun dengan keras sambil menangis sesenggukan. Tangannya masih saja menggedor-gedor pintu berharap segera dibukakan. 

     Dengan perasaan yang campur aduk, akhirnya Tarun pergi dari sana. Meninggalkan Yaslin dan ibu mertuanya bersama pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Hatinya benar-benar kecewa dengan perlakuan istri dan ibu mertuanya. Ia tak menyangka kalau dirinya akan diperlakukan seperti itu. Seolah sudah tidak ada tempat lagi untuknya di rumah itu. 

     Di dekat pangkalan ojek, Tarun menelepon seseorang. Memintanya untuk cepat menjemput dirinya. 

     [Tinggalkan saja warung kopi itu, dan segera jemput aku!"] ucap Tarun pada orang yang diteleponnya.

     Dari kejauhan terlihat beberapa tukang ojek sedang memperhatikan Tarun sambil menunjuk-nunjuknya. Tak lama, salah seorang tukang ojek datang menghampirinya.

     "Bapak mau naik ojek saya? Kebetulan saya belum dapat pelanggan dari pagi. Istri saja juga pasti berharap saya pulang bawa duit segepok," ucap si tukang ojek dengan malu-malu sambil menggosok-gosokan kedua telapak tangannya. 

     Tarun tak memedulikan ucap tukang ojek itu. Dia berusaha keras untuk menjaga emosinya, agar tidak melepaskan pukulan ke tukang ojek itu. 

     Tak lama menunggu, sebuah mobil sedan berwarna hitam datang dan berhenti tepat di depan Tarun. Seorang pria berjas hitam keluar dari dalam dan membukakan pintu, mempersilahkan Tarun untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa basa basi, Tarun langsung masuk ke dalam mobil, meninggalkan tukang ojek yang masih berada di dekatnya. 

     "Rizal, kasih orang itu uang," ucap Tarun yang sudah berada di dalam mobil pada pria berjas hitam yang merupakan orang yang sama yang sebelumnya menjaga warung kopi, sambil menunjuk tukang ojek yang masih memperhatikannya. 

     

     *****

     Sekitar setengah jam perjalanan, mobil yang ditumpangi Tarun akhirnya berhenti di depan gerbang sebuah rumah megah yang berada di komplek perumahan elit. Tak lama, seorang satpam membukakan gerbang rumah, mempersilakan mobil yang ditumpangi Tarun untuk masuk. 

     Mobil hitam itu akhirnya kembali berhenti tepat di depan rumah megah itu. Rumah bernuansa futuristik dengan pohon-pohon besar yang mengelilinginya. Berbeda dari rumah-rumah lain di komplek itu, rumah itu benar-benar lebih megah dan mewah dengan halaman yang cukup luas. 

     Tarun turun dari mobil hitam itu setelah dibukakan pintu oleh Rizal, pria berjas hitam sebelumnya. Dengan langkah cepat Tarun menaiki beberapa anak tangga untuk bisa masuk ke dalam ruang itu. 

     Di dalam, Tarun di sambut oleh beberapa pelayan. Mereka semua berbaris dan menunduk hormat.

     "Biarkan aku sendiri!" ucap Tarun mengisyaratkan para pelayan itu untuk pergi. 

     Ia duduk di di atas sofa sambil membuang napas. Rizal yang juga berada di sana, memberanikan diri untuk bertanya pada Tarun.

     "A–apa yang terjadi, Run?" dengan sedikit gugup Rizal mengajukan pertanyaan. 

     "Tega, Zal! Dia tega banget, Zal! Dia bawa cowok lain ke kamar. Gak habis pikir aku sama dia!" jawab Tarun sambil berlinangan air mata. 

     Rizal hanya bisa terdiam mendengarnya. Merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. 

     "Mereka bilang mereka mau nikah, Zal. Aku dilupain gitu aja, Zal! Aku dilupain gitu aja!" Tangisan Tarun kembali pecah. Dia begitu tersedu-sedu, menggambarkan kepedihan yang sedang rasakannya. 

     Tak lama, Tarun langsung menggosok air matanya. Dia berusaha keras menghentikan tangisannya. Dia kemudian bangun dari duduknya dan menghadap ke arah Rizal. 

     "Kalau memang itu cara mainnya, cara mainku bakal lebih kejam dari itu!" Tarun langsung pergi menuju Lift, meninggalkan Rizal sendirian di sana.

     Pagi harinya, Tarun bersiap-siap untuk pergi ke kantornya, dengan mengenakan setelan jas abu-abu dan kacamata hitam. Dia masuk ke garasi memperhatikan setiap mobil yang ada di sana, memilih untuk memakai salah satunya. Pada akhirnya, pilihannya jatuh pada mobil Sport berwarna Silver. Mobil dua pintu yang hanya memiliki dua kursi. 

     Tarun sampai di depan gerbang komplek gedung-gedung pencakar langit, tempat yang sama seperti yang kemarin ia datangi. Ada sekitar 5 gedung di dalamnya. Dan yang paling tinggi berada di tengah, di antara empat gedung lainnya. Di gedung yang paling tinggi terdapat logo perusahaan dengan tulisan TODarma Company di sampingnya. 

     Tarun mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung yang paling tinggi. Saat baru saja membuka pintu kaca, pintu masuk gedung itu, para petugas di dalam langsung berbaris menunduk hormat. 

     "Sudahlah, tidak usah lakukan itu," ucap Tarun sambil berjalan menuju Lift. 

     Sesampainya di lantai dua puluh dari total empat puluh lima lantai, Tarun langsung masuk ke dalam ruang kerjanya. Ruangan seluas lapangan basket dengan meja kerja yang cukup besar. Ia duduk di kursinya sambil mengambil beberapa berkas yang sudah ada di atas mejanya. 

     Tarun merupakan petinggi perusahaan TODarma Company. Perusahaan swasta yang memproduksi berbagai macam pakaian dari berbagai merek. Beberapa merek pakaian terkenal lahir dari perusahaan itu. Contohnya seperti merek Gengci, Bagenciala, dan masih banyak lagi. Kesusksesan itu ia dapat berkat warisan dari orang tuanya yang sudah tiada. 

     "Pak, ini daftar para pegawai yang baru masuk bekerja, mengambil cuti dan keluar dari perusahaan ini." Seorang pegawai—Ussy—datang sambil memberikan beberapa berkas yang ia sebutkan sebelumnya, lalu meletakkannya di atas meja.

     Tarun mengambil salah satu berkas yang di bawa Ussy. Berkas yang berisi daftar pegawai yang mengambil cuti. 

     "Kenapa kamu kasih ke saya? Saya kan enggak minta," ucap Tarun sambil melihat-lihat isi berkas itu. 

     "Pak Rizal yang menyuruh saya buat kasih berkas-berkas ini ke Bapak," dengan gemetar Ussy menjelaskan. 

     Dengan wajah datar, Tarun membaca sembarang nama yang ada di dalam berkas itu. Salah satu nama yang ia temukan adalah 'David Darmawansyah' yang berada di lembar kedua. Nama itu malah mengingatkannya pada David, yang telah meniduri istrinya. Dengan penuh rasa curiga, ia kembali membaca data-data mengenai orang itu yang ada di dalam berkas yang dipegangnya. Tetapi ia tidak bisa menemukan lebih banyak data mengenai orang itu. 

     "Boleh tolong berikan saya data mengenai pegawai-pegawai yang cuti? Berapa hari mereka cuti, alasan mereka cuti. Kalau bisa berikan juga alamat mereka. Terutama yang ada di lembar ke dua." Tarun tidak spesifik memberitahu kalau dirinya hanya ingin mengetahui data diri si pemilik nama 'David Darmawansyah.'

     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status