Share

BAB 2. Perselingkuhan

     “Lelaki seperti dia memang gak sebaiknya kamu maafkan. Kalau bisa, kamu ikuti saja cara berselingkuhnya untukmu balas dendam.” Riyeti berusaha menghasut Yaslin.

     Yaslin menoleh ke arah ibunya, lalu berucap, “bagaimana caranya, Bu?”

     Riyeti tersenyum lebar mendengar ucapan Yaslin. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Yaslin. Mereka mulai serius membahas perihal rencana untuk membalaskan dendam Yaslin.

     *****

     “Mumpung saat ini dia sedang ada di luar, kamu nikmati saja waktu luang ini.” Riyeti tersenyum lebar begitu antusias.

     Yaslin mengangguk kecil. Hatinya terasa begitu berat menjalankan rencana ibunya untuk membalaskan dendam pada suaminya. Tetapi amarah dan rasa cemburunya sudah begitu memuncak. Rasa cintanya sudah dilahap oleh rasa cemburu dan rasa balas dendam.

     Riyeti keluar dari kamar itu, meninggalkan Yaslin sendirian. Dia pergi ke luar rumah, berharap Yaslin tidak menguping percakapannya dengan orang yang akan diteleponnya.

     Riyeti menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. Sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang sedang berada di dekatnya.

     [“Ada apa, Bu?”] tanya seseorang dari telepon.

     [“Sudah saatnya. Cepat kamu datang ke sini!”] ucap Riyeti sambil berbisik.

     [“Sekarang juga, Bu? Ok, ok, aku segera ke sana!”]

     Di sisi lain, Tarun mendatangi sebuah warung kopi di samping gerbang kompleks gedung pencakar langit. Dengan mengenakan topi dan masker, dia duduk di bangku panjang depan warung kopi itu. Dengan sigap si pemilik warung langsung mendekati Tarun.

     “Ada apa, nih?” tanya si pemilik warung.

     Sambil membuang napas, Tarun mengambil air botol yang berada di atas meja warung dan langsung meneguknya.

     “Sepertinya aku harus segera membuka penyamaranku. Aku gak mau Yaslin terus-terusan kepikiran tentang uang. Sepertinya ia sudah terlalu lelah memikirkan tentang kehidupan miskin yang sebenarnya bagian dari rencanaku,” ucap Tarun sambil menghela napas.

     Si penjaga warung mengangguk kecil dan kembali bertanya, “Tapi, bukanya tinggal dua hari lagi, ya?”

     “Aku sudah terlalu berlebihan pada Yaslin. Ibunya juga sepertinya sudah sangat benci denganku. Aku gak mau terjadi hal yang lebih buruk lagi.” Tarun kembali meneguk air botol yang dipegangnya sampai habis. “Kayaknya aku mau langsung jujur ke Dia pas pulang nanti.”

     “Jangan! Mending kamu tunggu sampai dua hari lagi. Kamu sendiri kan yang buat peraturan seperti itu,” sahut si penjaga warung kopi itu.

     Tarun menoleh ke arah si pemilik warung kopi itu. “Tapi–“

     “Kalau selama dua bulan dia enggak bisa terima keadaanmu, berarti dia bukan wanita yang cocok untukmu.”

     Tarun menunduk membuang napas, “Tapi aku gak bisa biarin dia semakin tersiksa dengan keadaan yang aku buat-buat seperti ini.”

     “Aku tahu kamu cinta sama dia. Tapi kalau kamu enggak terapkan cara ini, dia bisa tenggelam dalam kekayaanmu. Kamu gak mau, kan, dia jadi wanita yang gila harta.” Si penjaga warung kopi semakin menekankan ucapannya.

     Tarun tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tak bisa menentang ucapan si pemilik warung kopi itu. Dirinya memang sudah terjebak oleh rasa cintanya. Membuatnya melupakan aturan yang sudah dibuatnya sendiri.

     Sejak awal menikah dengan Yaslin, Tarun memang sengaja berpura-pura menjadi orang miskin. Dia ingin melihat seberapa setianya Yaslin padanya.

     Tarun akhirnya pergi dari sana dan langsung bergegas pulang. Dirinya sangat dilema, memikirkan apa yang harus dilakukannya saat itu. Jika dirinya terus melanjutkan rencananya itu, kemungkinan besar Yaslin akan benar-benar meninggalkannya. Sudah sampai sejauh ini, Yaslin pasti sudah bisa menerima dan mengerti maksudnya melakukan semua ini, batinnya.

     Sesampainya di rumah, Tarun duduk dan membuka sepatunya di lantai teras depan rumah. Tak sengaja, ia melihat sepatu hitam berada di depan pintu rumah. Dia masuk ke dalam rumah sambil bertanya-tanya di dalam hati mengenai pemilik sepatu itu. Dirinya belum sempat sama sekali membuka topi dan maskernya karena sudah terlalu penasaran.

     Di depan pintu kamarnya, Tarun mendengar suara Yaslin berterima kasih pada seseorang. Sedetik kemudian terdengar sahutan seorang pria dari dalam kamar. Tarun benar-benar terkejut mendengarnya. Tanpa pikir panjang dia langsung memegang engsel pintu dan mendorongnya. Sayangnya pintu kamar terkunci.

     “Yaslin, buka Yaslin! Kamu lagi ngapain berduaan sama cowok di dalam kamar?” Tarun berteriak memanggil-manggil Yaslin sambil menggedor-gedor pintu kamar.

     Terdengar suara kepanikan di dalam kamar. Membuat Tarun semakin geram dan terus-menerus memanggil-manggil Yaslin, memaksanya untuk cepat membukakan pintu.

     Karena tak kunjung di bukakan, Tarun berniat mendobrak pintu kamar itu. Saat sedang ancang-ancang, Yaslin tiba-tiba saja membuka pintu kamar. Dengan penuh emosi Tarun memaksa ingin masuk ke dalam kamar. Tapi Yaslin malah menghalang-halanginya.

     “Lagi apa kamu di dalam?” tanya Tarun dengan tegas.

     “Memangnya apa urusanmu?” Yaslin balik bertanya.

     “Kamu lagi sama siapa di dalam? Cepat minggir!” ucap Tarun sambil menyiak tangan Yaslin yang menghalang-halanginya masuk ke dalam kamar.

     Karena tak kunjung diizinkan masuk, dengan terpaksa Tarun mendorong Yaslin ke dalam kamar, yang membuat istrinya itu terlempar ke atas kasur. Tarun langsung bergegas masuk ke dalam kamar, tak memedulikan Yaslin.

     Saat berada di dalam, ia menemukan seorang pria yang hanya mengenakan Boxer sedang bersembunyi di belakang pintu kamar. Tarun benar-benar terkejut melihatnya.

     “Siapa dia? Lagi ngapain kalian di dalam kamar? LAGI NGAPAIN??” tanya Tarun yang kemudian meninggikan suaranya dengan tegas menandakan kemarahannya.

     Bukannya menyesali perbuatannya, Yaslin malah tersenyum seolah tidak merasa bersalah. Ia kemudian menghampiri Tarun dan mendekatkan wajahnya yang membuat wajah mereka hanya berjarak satu inci.

     “Muasin hasratnya, David” ucap Yaslin sambil menunjuk pria yang hanya mengenakan Boxer.

     Tarun benar-benar tidak menyangka dengan semua yang terjadi. Ia tidak bisa membendung air matanya saat Yaslin dengan entengnya mengatakan kalimat barusan. Seolah rasa cintanya pada Tarun sudah benar-benar hilang.

     Tarun langsung melampiaskan kekesalannya dengan memukuli David, pria yang hanya mengenakan Boxer itu. Pipi David mulai memar, dan hidungnya mengeluarkan darah karena mendapatkan pukulan dari Tarun. Yaslin yang ada di sana berusaha melerai mereka berdua.

     Tak lama berselang Riyeti datang sambil menenteng kantong plastik berisi sayuran. Ia benar-benar terkejut melihat Tarun sudah berada di rumah sedang memukuli David.

     “Loh, sudah ketahuan?” tanya Riyeti sambil menatap Yaslin dari depan pintu.

     Tarun yang melihat kedatangan mertuanya itu langsung menghampirinya dan mengadukan perbuatan Yaslin dan David di dalam kamarnya. Alih-alih memarahi Yaslin, Riyeti malah membela Yaslin.

     “Memangnya apa yang salah? David itu calon suaminya Yaslin. Sebentar lagi mereka mau menikah,” ucap Riyeti sambil menghadap Tarun.

     Tarun benar-benar terkejut sekaligus tidak mengerti maksud dari perkataan Riyeti. Ia berusaha mencerna perkataan ibu mertuanya itu. Air matanya mulai kembali menetes tak dapat di tahan.

     “Calon suami? CALON SUAMI?? JADI SELAMA INI KALIAN MENGANGGAP AKU APA??” bentak Tarun sambil menggebrak meja yang berada di dekatnya. Membuat telapak tangannya mengeluarkan darah karena saking kencangnya gebrakan Tarun.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status