“Lelaki seperti dia memang gak sebaiknya kamu maafkan. Kalau bisa, kamu ikuti saja cara berselingkuhnya untukmu balas dendam.” Riyeti berusaha menghasut Yaslin.
Yaslin menoleh ke arah ibunya, lalu berucap, “bagaimana caranya, Bu?”
Riyeti tersenyum lebar mendengar ucapan Yaslin. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Yaslin. Mereka mulai serius membahas perihal rencana untuk membalaskan dendam Yaslin.
*****
“Mumpung saat ini dia sedang ada di luar, kamu nikmati saja waktu luang ini.” Riyeti tersenyum lebar begitu antusias.
Yaslin mengangguk kecil. Hatinya terasa begitu berat menjalankan rencana ibunya untuk membalaskan dendam pada suaminya. Tetapi amarah dan rasa cemburunya sudah begitu memuncak. Rasa cintanya sudah dilahap oleh rasa cemburu dan rasa balas dendam.
Riyeti keluar dari kamar itu, meninggalkan Yaslin sendirian. Dia pergi ke luar rumah, berharap Yaslin tidak menguping percakapannya dengan orang yang akan diteleponnya.
Riyeti menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. Sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang sedang berada di dekatnya.
[“Ada apa, Bu?”] tanya seseorang dari telepon.
[“Sudah saatnya. Cepat kamu datang ke sini!”] ucap Riyeti sambil berbisik.
[“Sekarang juga, Bu? Ok, ok, aku segera ke sana!”]
Di sisi lain, Tarun mendatangi sebuah warung kopi di samping gerbang kompleks gedung pencakar langit. Dengan mengenakan topi dan masker, dia duduk di bangku panjang depan warung kopi itu. Dengan sigap si pemilik warung langsung mendekati Tarun.
“Ada apa, nih?” tanya si pemilik warung.
Sambil membuang napas, Tarun mengambil air botol yang berada di atas meja warung dan langsung meneguknya.
“Sepertinya aku harus segera membuka penyamaranku. Aku gak mau Yaslin terus-terusan kepikiran tentang uang. Sepertinya ia sudah terlalu lelah memikirkan tentang kehidupan miskin yang sebenarnya bagian dari rencanaku,” ucap Tarun sambil menghela napas.
Si penjaga warung mengangguk kecil dan kembali bertanya, “Tapi, bukanya tinggal dua hari lagi, ya?”
“Aku sudah terlalu berlebihan pada Yaslin. Ibunya juga sepertinya sudah sangat benci denganku. Aku gak mau terjadi hal yang lebih buruk lagi.” Tarun kembali meneguk air botol yang dipegangnya sampai habis. “Kayaknya aku mau langsung jujur ke Dia pas pulang nanti.”
“Jangan! Mending kamu tunggu sampai dua hari lagi. Kamu sendiri kan yang buat peraturan seperti itu,” sahut si penjaga warung kopi itu.
Tarun menoleh ke arah si pemilik warung kopi itu. “Tapi–“
“Kalau selama dua bulan dia enggak bisa terima keadaanmu, berarti dia bukan wanita yang cocok untukmu.”
Tarun menunduk membuang napas, “Tapi aku gak bisa biarin dia semakin tersiksa dengan keadaan yang aku buat-buat seperti ini.”
“Aku tahu kamu cinta sama dia. Tapi kalau kamu enggak terapkan cara ini, dia bisa tenggelam dalam kekayaanmu. Kamu gak mau, kan, dia jadi wanita yang gila harta.” Si penjaga warung kopi semakin menekankan ucapannya.
Tarun tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tak bisa menentang ucapan si pemilik warung kopi itu. Dirinya memang sudah terjebak oleh rasa cintanya. Membuatnya melupakan aturan yang sudah dibuatnya sendiri.
Sejak awal menikah dengan Yaslin, Tarun memang sengaja berpura-pura menjadi orang miskin. Dia ingin melihat seberapa setianya Yaslin padanya.
Tarun akhirnya pergi dari sana dan langsung bergegas pulang. Dirinya sangat dilema, memikirkan apa yang harus dilakukannya saat itu. Jika dirinya terus melanjutkan rencananya itu, kemungkinan besar Yaslin akan benar-benar meninggalkannya. Sudah sampai sejauh ini, Yaslin pasti sudah bisa menerima dan mengerti maksudnya melakukan semua ini, batinnya.
Sesampainya di rumah, Tarun duduk dan membuka sepatunya di lantai teras depan rumah. Tak sengaja, ia melihat sepatu hitam berada di depan pintu rumah. Dia masuk ke dalam rumah sambil bertanya-tanya di dalam hati mengenai pemilik sepatu itu. Dirinya belum sempat sama sekali membuka topi dan maskernya karena sudah terlalu penasaran.
Di depan pintu kamarnya, Tarun mendengar suara Yaslin berterima kasih pada seseorang. Sedetik kemudian terdengar sahutan seorang pria dari dalam kamar. Tarun benar-benar terkejut mendengarnya. Tanpa pikir panjang dia langsung memegang engsel pintu dan mendorongnya. Sayangnya pintu kamar terkunci.
“Yaslin, buka Yaslin! Kamu lagi ngapain berduaan sama cowok di dalam kamar?” Tarun berteriak memanggil-manggil Yaslin sambil menggedor-gedor pintu kamar.
Terdengar suara kepanikan di dalam kamar. Membuat Tarun semakin geram dan terus-menerus memanggil-manggil Yaslin, memaksanya untuk cepat membukakan pintu.
Karena tak kunjung di bukakan, Tarun berniat mendobrak pintu kamar itu. Saat sedang ancang-ancang, Yaslin tiba-tiba saja membuka pintu kamar. Dengan penuh emosi Tarun memaksa ingin masuk ke dalam kamar. Tapi Yaslin malah menghalang-halanginya.
“Lagi apa kamu di dalam?” tanya Tarun dengan tegas.
“Memangnya apa urusanmu?” Yaslin balik bertanya.
“Kamu lagi sama siapa di dalam? Cepat minggir!” ucap Tarun sambil menyiak tangan Yaslin yang menghalang-halanginya masuk ke dalam kamar.
Karena tak kunjung diizinkan masuk, dengan terpaksa Tarun mendorong Yaslin ke dalam kamar, yang membuat istrinya itu terlempar ke atas kasur. Tarun langsung bergegas masuk ke dalam kamar, tak memedulikan Yaslin.
Saat berada di dalam, ia menemukan seorang pria yang hanya mengenakan Boxer sedang bersembunyi di belakang pintu kamar. Tarun benar-benar terkejut melihatnya.
“Siapa dia? Lagi ngapain kalian di dalam kamar? LAGI NGAPAIN??” tanya Tarun yang kemudian meninggikan suaranya dengan tegas menandakan kemarahannya.
Bukannya menyesali perbuatannya, Yaslin malah tersenyum seolah tidak merasa bersalah. Ia kemudian menghampiri Tarun dan mendekatkan wajahnya yang membuat wajah mereka hanya berjarak satu inci.
“Muasin hasratnya, David” ucap Yaslin sambil menunjuk pria yang hanya mengenakan Boxer.
Tarun benar-benar tidak menyangka dengan semua yang terjadi. Ia tidak bisa membendung air matanya saat Yaslin dengan entengnya mengatakan kalimat barusan. Seolah rasa cintanya pada Tarun sudah benar-benar hilang.
Tarun langsung melampiaskan kekesalannya dengan memukuli David, pria yang hanya mengenakan Boxer itu. Pipi David mulai memar, dan hidungnya mengeluarkan darah karena mendapatkan pukulan dari Tarun. Yaslin yang ada di sana berusaha melerai mereka berdua.
Tak lama berselang Riyeti datang sambil menenteng kantong plastik berisi sayuran. Ia benar-benar terkejut melihat Tarun sudah berada di rumah sedang memukuli David.
“Loh, sudah ketahuan?” tanya Riyeti sambil menatap Yaslin dari depan pintu.
Tarun yang melihat kedatangan mertuanya itu langsung menghampirinya dan mengadukan perbuatan Yaslin dan David di dalam kamarnya. Alih-alih memarahi Yaslin, Riyeti malah membela Yaslin.
“Memangnya apa yang salah? David itu calon suaminya Yaslin. Sebentar lagi mereka mau menikah,” ucap Riyeti sambil menghadap Tarun.
Tarun benar-benar terkejut sekaligus tidak mengerti maksud dari perkataan Riyeti. Ia berusaha mencerna perkataan ibu mertuanya itu. Air matanya mulai kembali menetes tak dapat di tahan.
“Calon suami? CALON SUAMI?? JADI SELAMA INI KALIAN MENGANGGAP AKU APA??” bentak Tarun sambil menggebrak meja yang berada di dekatnya. Membuat telapak tangannya mengeluarkan darah karena saking kencangnya gebrakan Tarun.
"Seharusnya aku yang tanya ke kamu! Selama ini kamu anggap aku apa?" Yaslin menatap wajah Tarun dengan tatapan tajam. Tarun tentu saja bingung mendengar pertanyaan dari Yaslin. Dia tidak mengerti apa yang Yaslin maksud. Selama ini dirinya sudah berusaha keras menjadi suami yang baik. Tapi mengapa Yaslin malah menanyakan hal seperti itu, tanyanya di dalam hati. "Cepat kamu keluar dari rumah ini! Aku gak mau melihat kamu lagi!" ucap Yaslin dengan tegas sambil merangkul David yang babak belur. Tanpa memberikan Tarun kesempatan untuk berucap, ibu mertuanya langsung menarik lengannya dan menyeretnya ke luar rumah. "Mending sekarang kamu pergi saja dari rumah ini! Saya sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!" ucap Riyeti dengan keras sambil mendorong Tarun ke luar rumah. Tarun benar-benar tidak menyangka ibu mertuanya akan memperlakukannya seperti itu. Mengusirnya dari rumah, padahal Yaslin yang baru saja melakukan kesalahan. Ia benar-benar tidak mengerti den
"Baik, Pak! Nanti bakal langsung saya kirim ke Bapak," jawab Ussy. Tarun menyuruh Ussy membawa kembali berkas-berkas itu. Ia juga berpesan pada Ussy untuk menyuruh OB agar segera datang ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, pintu ruang kerja Tarun terbuka. Tarun yang sedang sibuk dengan komputernya, langsung berkata, "Tolong buatkan saya susu!" Bukannya mengiyakan perkataan Tarun, orang itu malah berdehem. Tarun yang bingung langsung menatap ke arahnya. "Ah, kamu ternyata, Zal," ucap Tarun sambil tersenyum menatap Rizal yang baru saja datang, lalu kembali fokus pada komputernya. "Apa Ussy sudah berikan berkas-berkas itu padamu?" "Sudah, emangnya kenapa kamu suruh dia kasih berkas-berkas itu ke aku?" Tarun masih fokus ke layar komputernya. Belum sempat Rizal menjawab, Tarun sudah mendahuluinya, menanyakan pegawai bernama 'David Darmawansyah' ke Rizal. "Bukannya dia salah satu orang pemasaran, ya?" jawab Rizal sambil menerka-nerka.
"Untung saja dia tidak tahu apa-apa tentang aku. Kau juga tidak memberitahukan informasi apa-apa tentang hubunganku dengan Yaslin, kan? Jangan sampai ada yang tahu tentang hubunganku dengan Yaslin!" ucap Tarun pada Rizal. Rizal mengangguk, mengkonfirmasi ucapan Tarun. ***** Dua hari setelahnya, Tarun sudah tidak pernah lagi bertemu dengan Yaslin. Dia sudah tidak pernah tahu kabar dari Yaslin setelah hari pernikahan yang benar-benar berantakan pada saat itu. Dia juga berusaha melupakan mantan istrinya itu. Walau terkadang dirinya masih terbayang-bayang kenangan bersama Yaslin. "Pagi, Pak!" sapa salah seorang karyawan sambil tersenyum saat melihat Tarun yang baru saja turun dari mobilnya. Tarun hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis. Saat ingin masuk ke dalam gedung, dia melihat ada beberapa orang berpakaian putih hitam sedang menunggu di dekat pintu masuk. Tarun sadar orang-orang itu pasti ingin melamar kerja di perusahaannya. Dia menghampiri orang-orang it
“kalian semua ikuti saya!” Semua pelamar yang ada di sana merasa bingung dengan seruan HRD itu. Terutama Yaslin. Hatinya bertanya-tanya ke mana HRD akan membawanya dan pelamar lainnya. Mereka semua disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan sebelumnya. Ruangan itu cukup luas dengan kursi-kursi tersusun rapi. Semua pelamar mulai duduk di kursi yang sudah di sediakan. Sambil duduk di kursinya, Yaslin melihat ke sana dan ke mari mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terlihat HRD dan beberapa orang lainnya begitu sibuk berbisik sambil mondar-mandir ke sana ke mari. Lama menunggu, akhirnya HRD mulai berbicara, “Sebentar lagi pimpinan perusahaan ini akan masuk ke ruangan ini. Kemungkinan besar beliau ingin mengetes kemampuan kalian sesuai posisi yang kalian lamar. Jadi saya mohon untuk segera mempersiapkan diri kalian.” Jantung Yaslin mulai berdetak kencang setelah mendengar ucapan HRD itu. Dirinya mulai panik. Dia tidak tahu
Tarun berjalan meninggalkan ruangan itu diikuti Yaslin di belakangnya. Terlihat Yaslin masih bingung tentang Tarun yang tiba-tiba saja marah-marah membelanya dan mengajaknya pergi dari ruangan itu. “Yaslin, kamu sudah makan, belum? Kita ke kantin, ya?” Tarun melambatkan langkahnya sambil menatap Yaslin. Yaslin langsung menatap Tarun dengan bingung. Lalu dengan gugup dia menjawab, “Su–sudah, Pak!” “Ya sudah kamu temani saya makan, ya. Nanti sekalian kita ngobrol-ngobrol.” Yaslin semakin bingung melihat sikap Tarun pada dirinya. Mengapa Tarun begitu memedulikannya? Apa orang ini benar-benar Tarun mantan suaminya yang sudah dirinya selingkuhi, pikirnya. Di kantin, Tarun sudah mendapatkan makanannya di atas meja tempat dirinya dan Yaslin duduk setelah memesan beberapa saat yang lalu. Tarun mulai memakan makanan yang berupa telur orak-arik dengan beberapa sayuran rebus. “Kamu benar enggak mau makan? Saya bayarin, loh,” tanya Tarun setelah menyuap makanannya. Yaslin meng
David sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia langsung saja ingin mengarahkan pukulannya ke Tarun. “Eits! Sabar David, sabar!” Tarun menahan pukulan David. “Tenang, enggak usah pakai kekerasan. Lagi pula aku enggak akan merebut dia dari kamu, kok. Aku enggak suka sama wanita yang kayak dia. Apa lagi sama wanita yang kemampuannya hanya bisa menyalahkan komputer saja.” Tarun langsung saja pergi dari sana meninggalkan mereka berdua. Setelah Tarun sudah tak lagi ada di sana, David langsung menanyakan semua yang terjadi ke Yaslin dengan begitu kesalnya. “Apa-apaan ini? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kalian bisa ada di sini? Dan kenapa kamu bilang kalau dia itu mantan suamimu?” David benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang terjadi. Yaslin pun menceritakan semua yang terjadi pada David. Mulai dari dirinya yang ditertawakan sampai dia yang diajak makan di kantin. “Tapi kenapa kamu sampai mengira kalau dia itu mantan suami kamu?" tanya Ta
“Ternyata benar dugaanku. Pasti dia memang Tarun mantan suamiku,” gumam Yaslin yang sedang berada di rumah sakit setelah membaca pesan dari David. Tak lama, datang seorang suster menghampiri Yaslin yang sedang terbaring. Dia membawa nampan berisi obat dan segelas air putih. “Obatnya langsung di minum ya, Kak. Nanti sore kakak sudah bisa langsung pulang,” ucap suster itu sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Yaslin mengangguk. Suster itu kemudian pergi dari sana meninggalkan Yaslin. Yaslin langsung saja mengambil obatnya yang terletak di atas meja, lalu meminumnya. Sesaat setelahnya, rasa kantuk langsung menyerangnya dan membuatnya tertidur. ***** “Ussy, tolong kabari yang lain kalau besok pagi akan ada pertemuan besar-besaran di halaman gedung sebelum masuk ke kantor,” ucap Tarun yang terlihat begitu tergesa-gesa sambil membawa jasnya yang diletakkan di pundaknya. Ussy mengangguk. Tarun langsung saja pergi dari sana menuju Lift.
Yaslin merasa sangat aneh mendengar ucapan suster itu. Seingatnya, dirinya sudah diperbolehkan pulang sore itu oleh suster yang sebelumnya mengantarkan obat untuknya. "Bukannya saya sudah diperbolehkan pulang ya, Sus?" tanya Yaslin penuh kebingungan. Suster itu terlihat kebingungan mendengar ucapan Yaslin. Dia memperlihatkan gelagat yang aneh seakan xx berkata apa. Sambil mengucek matanya, Yaslin semakin bingung melihat gelagat aneh suster itu. "Pokoknya sekarang kakak langsung kembali saja ke kamar. Nanti dokter akan datang ke sini untuk memberikan kakak obat. Mungkin setelah itu kakak bisa langsung pulang." Suster itu kemudian mengantar Yaslin ke kamar rawatnya. Saat sedang menuju kamar, Riyeti tiba-tiba saja datang menghampiri Yaslin. Dengan wajah cemas dia berlari menuju Yaslin. "Loh, kamu habis dari mana? Kok sampai dipapah begini?" tanya Riyeti dengan begitu paniknya. "Enggak apa-apa, kok, Bu. Tadi aku habis dari toilet," jawab Yaslin. Ri