“kalian semua ikuti saya!”
Semua pelamar yang ada di sana merasa bingung dengan seruan HRD itu. Terutama Yaslin. Hatinya bertanya-tanya ke mana HRD akan membawanya dan pelamar lainnya. Mereka semua disuruh masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan sebelumnya. Ruangan itu cukup luas dengan kursi-kursi tersusun rapi. Semua pelamar mulai duduk di kursi yang sudah di sediakan. Sambil duduk di kursinya, Yaslin melihat ke sana dan ke mari mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terlihat HRD dan beberapa orang lainnya begitu sibuk berbisik sambil mondar-mandir ke sana ke mari. Lama menunggu, akhirnya HRD mulai berbicara, “Sebentar lagi pimpinan perusahaan ini akan masuk ke ruangan ini. Kemungkinan besar beliau ingin mengetes kemampuan kalian sesuai posisi yang kalian lamar. Jadi saya mohon untuk segera mempersiapkan diri kalian.” Jantung Yaslin mulai berdetak kencang setelah mendengar ucapan HRD itu. Dirinya mulai panik. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya nanti. Dia bahkan tidak mengerti tugas dari pekerjaan yang ingin dilamarnya. Dia hanya menuruti ucapan David untuk mengatakan kalau dia adalah istrinya David ketika sedang di Interview. “Siang semuanya!” Lamunan Yaslin dipecahkan oleh suara seorang pria yang berbicara menggunakan pengeras suara. Yaslin mengarahkan pandangannya ke depan, melihat ke arah orang yang memberikan salam barusan. “Tarun?” Yaslin dikejutkan dengan Tarun yang sudah berada di ruangan itu. Detak jantungnya semakin keras. Semakin banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya. “Mohon maaf kalau mendadak saya ingin bertemu dengan kalian semua.” Tarun menaruh beberapa barang bawaannya setelah itu berdiri menghadap semua pelamar. “Saya hanya ingin melihat seberapa jauh keahlian kalian. Nanti saya akan panggil nama kalian secara acak untuk maju ke depan dan jelaskan apa saja keahlian yang kalian miliki.” Jantung Yaslin semakin berdegup kencang. Dia panik, bingung apa yang harus dia lakukan. Ingin rasanya dia pergi dari sana, tapi hanya ada satu pintu keluar yang berada di depan. Jika dia ingin keluar dengan alasan apa pun, mau tidak mau dia harus melewati Tarun. “Ok, saya langsung mulai saja, ya!” seru Tarun sambil memegang selembar kertas berisi daftar nama para pelamar kerja. Yaslin semakin cemas. Telapak tangannya mulai terasa dingin. Dia menatap tajam ke arah Tarun, “Kalau dia memang bukan Tarun, mantan suamiku, dia pasti tidak akan memanggil namaku.” “Yang pertama, Yuliani silakan maju!” Tarun memanggil satu nama. Yaslin mulai sedikit bernapas lega. Dia bersyukur bukan namanya yang dipanggil. Tetapi jantungnya masih saja berdetak kencang, karena dia tahu yang dipanggil untuk maju ke depan pasti bukan hanya satu orang saja. Di depan, Tarun tersenyum tipis melihat gelagat Yaslin. Dia yakin pasti Yaslin sedang dalam kondisi gelisah. Dirinya tahu betul, pasti Yaslin melamar di perusahaannya menggunakan orang dalam. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah David, suami barunya. Karena sepengetahuannya Yaslin hannyalah lulusan SMK dan tidak pernah berkuliah. Sedangkan lowongan yang sedang di buka dikhususkan untuk orang-orang yang sudah berkuliah. “Yuliani tolong segera maju bersama dengan Yaslin,” ucap Tarun, melirik Yaslin sambil tersenyum tipis. Yaslin yang sedang menunduk langsung mendongak terkejut menatap tajam ke arah Tarun. “Tolong yang sudah di panggil segera maju!” ucap salah seorang staf yang berada di sana. Dengan penuh gelisah Yaslin mulai berdiri dari duduknya. Detak jantungnya begitu kencang, telapak tangannya semakin dingin. Dia mulai melangkah maju ke depan menghampiri Tarun. Sedangkan Yuliani yang terlebih dahulu maju sudah berada di depan. Saat Yaslin dan Yuliani sudah berada di depan menghadap para pelamar lainnya, Tarun mulai mengajukan pertanyaan pada mereka. “Jadi apa saja yang kalian bisa? Coba dari Yaslin dulu, deh.” Tarun berusaha membuat Yaslin semakin gelisah. Tujuan awalnya memang untuk mempermalukan Yaslin di depan orang-orang banyak. Yaslin hanya terpaku, dia tidak tahu harus mulai dari mana. Karena setiap yang dia katakan nantinya, akan mempermalukan dirinya sendiri. Mulutnya mulai gemetar, keringatan mulai bercucuran di dalam ruangan ber-AC tersebut. “Kok diam, sih?” Tarun memancing Yaslin, yang padahal dirinya sudah tahu apa alasan Yaslin terdiam. “kalau begitu seperti ini saja, deh, saat kuliah kamu ambil jurusan apa?” Yaslin melirik ke arah Tarun dengan gugup, “Teknik komputer, Pak!” Yaslin memilih untuk berbohong. “Loh, bagus itu. Lumayan sesuai sama posisi yang sedang kita cari sekarang.” Tarun mengangguk-angguk. Dia yang sadar Yaslin sedang berbohong, mencoba kembali memancing Yaslin. “Coba sekarang kamu sebutin satu saja keahlianmu. Agar saya bisa mempertimbangkan kamu untuk masuk di perusahaan saya.” Yaslin semakin panik. Dia bingung ingin menjawab apa. Dia malah semakin yakin kalau pria yang berada di sampingnya adalah mantan suaminya. Walau dirinya masih bingung bagaimana bisa mantan suaminya yang dulunya adalah seorang pengangguran tiba-tiba saja memiliki perusahaan besar seperti sekarang ini. “Saya bisa menyalahkan komputer, Pak,” Yaslin menjawab asal. Dia tidak tahu lagi apa yang ingin diunggulkan dari dirinya. Karena dia bukanlah murid pintar saat di sekolah dulu. Satu ruangan tertawa mendengar jawaban Yaslin. Tak terkecuali staf-staf yang ada di sana. Tapi tidak dengan Tarun. “Kenapa kalian semua tertawa? Memangnya apa yang salah kalau dia bisa menyalahkan komputer? Memangnya kalian tidak bisa?” Nada bicara Tarun mulai meninggi, menatap tajam semua orang yang berada di sana. Seketika satu ruangan hening. “Yaslin, kamu langsung saya terima menjadi pegawai di perusahaan ini! Sisanya terserah dengan HRD,” ucap Tarun sambil berjalan ke arah meja. Dia mengambil beberapa barangnya yang diletakkan di atas meja, lalu mengajak Yaslin untuk segera pergi dari ruangan itu.Loh, kok tiba-tiba Tarun langsung terima Yaslin jadi pegawai, sih? 😳
Tarun berjalan meninggalkan ruangan itu diikuti Yaslin di belakangnya. Terlihat Yaslin masih bingung tentang Tarun yang tiba-tiba saja marah-marah membelanya dan mengajaknya pergi dari ruangan itu. “Yaslin, kamu sudah makan, belum? Kita ke kantin, ya?” Tarun melambatkan langkahnya sambil menatap Yaslin. Yaslin langsung menatap Tarun dengan bingung. Lalu dengan gugup dia menjawab, “Su–sudah, Pak!” “Ya sudah kamu temani saya makan, ya. Nanti sekalian kita ngobrol-ngobrol.” Yaslin semakin bingung melihat sikap Tarun pada dirinya. Mengapa Tarun begitu memedulikannya? Apa orang ini benar-benar Tarun mantan suaminya yang sudah dirinya selingkuhi, pikirnya. Di kantin, Tarun sudah mendapatkan makanannya di atas meja tempat dirinya dan Yaslin duduk setelah memesan beberapa saat yang lalu. Tarun mulai memakan makanan yang berupa telur orak-arik dengan beberapa sayuran rebus. “Kamu benar enggak mau makan? Saya bayarin, loh,” tanya Tarun setelah menyuap makanannya. Yaslin meng
David sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia langsung saja ingin mengarahkan pukulannya ke Tarun. “Eits! Sabar David, sabar!” Tarun menahan pukulan David. “Tenang, enggak usah pakai kekerasan. Lagi pula aku enggak akan merebut dia dari kamu, kok. Aku enggak suka sama wanita yang kayak dia. Apa lagi sama wanita yang kemampuannya hanya bisa menyalahkan komputer saja.” Tarun langsung saja pergi dari sana meninggalkan mereka berdua. Setelah Tarun sudah tak lagi ada di sana, David langsung menanyakan semua yang terjadi ke Yaslin dengan begitu kesalnya. “Apa-apaan ini? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kalian bisa ada di sini? Dan kenapa kamu bilang kalau dia itu mantan suamimu?” David benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang terjadi. Yaslin pun menceritakan semua yang terjadi pada David. Mulai dari dirinya yang ditertawakan sampai dia yang diajak makan di kantin. “Tapi kenapa kamu sampai mengira kalau dia itu mantan suami kamu?" tanya Ta
“Ternyata benar dugaanku. Pasti dia memang Tarun mantan suamiku,” gumam Yaslin yang sedang berada di rumah sakit setelah membaca pesan dari David. Tak lama, datang seorang suster menghampiri Yaslin yang sedang terbaring. Dia membawa nampan berisi obat dan segelas air putih. “Obatnya langsung di minum ya, Kak. Nanti sore kakak sudah bisa langsung pulang,” ucap suster itu sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. Yaslin mengangguk. Suster itu kemudian pergi dari sana meninggalkan Yaslin. Yaslin langsung saja mengambil obatnya yang terletak di atas meja, lalu meminumnya. Sesaat setelahnya, rasa kantuk langsung menyerangnya dan membuatnya tertidur. ***** “Ussy, tolong kabari yang lain kalau besok pagi akan ada pertemuan besar-besaran di halaman gedung sebelum masuk ke kantor,” ucap Tarun yang terlihat begitu tergesa-gesa sambil membawa jasnya yang diletakkan di pundaknya. Ussy mengangguk. Tarun langsung saja pergi dari sana menuju Lift.
Yaslin merasa sangat aneh mendengar ucapan suster itu. Seingatnya, dirinya sudah diperbolehkan pulang sore itu oleh suster yang sebelumnya mengantarkan obat untuknya. "Bukannya saya sudah diperbolehkan pulang ya, Sus?" tanya Yaslin penuh kebingungan. Suster itu terlihat kebingungan mendengar ucapan Yaslin. Dia memperlihatkan gelagat yang aneh seakan xx berkata apa. Sambil mengucek matanya, Yaslin semakin bingung melihat gelagat aneh suster itu. "Pokoknya sekarang kakak langsung kembali saja ke kamar. Nanti dokter akan datang ke sini untuk memberikan kakak obat. Mungkin setelah itu kakak bisa langsung pulang." Suster itu kemudian mengantar Yaslin ke kamar rawatnya. Saat sedang menuju kamar, Riyeti tiba-tiba saja datang menghampiri Yaslin. Dengan wajah cemas dia berlari menuju Yaslin. "Loh, kamu habis dari mana? Kok sampai dipapah begini?" tanya Riyeti dengan begitu paniknya. "Enggak apa-apa, kok, Bu. Tadi aku habis dari toilet," jawab Yaslin. Ri
Yaslin akhirnya menelan obat yang dimasukkan paksa oleh pria berseragam dokter itu. Tak lama, matanya mulai kembali berkunang-kunang. Penglihatannya semakin lama semakin memudar. Saat itu, pria berseragam dokter itu mulai melepaskan cengkeramannya. Yaslin melihat pria itu mulai membuka baju di depannya sambil tersenyum lebar. Dia berusaha keras untuk tetap tersadar. Tapi pengaruh obat itu membuatnya semakin lama semakin tidak berdaya. ***** David berlari menyusuri lorong rumah sakit untuk segera menjemput Yaslin. Saat sudah hampir sampai, dirinya menemui Riyeti. Dia langsung saja menghampirinya dan menanyakan Yaslin padanya. “Yaslin masih di dalam. Tadi kata dokter ibu harus keluar biar enggak ketularan alerginya,” ucap Riyeti menjawab pertanyaan Tarun. “Apa? Menular? Sejak kapan alergi menular?” David benar-benar terkejut mendengar ucapan Riyeti. Firasatnya semakin buruk. Dia langsung saja bergegas menuju ruangan Yaslin meninggalkan Riyeti. Riyeti yang bing
12. "Tarun!" panggil Rizal sambil berlari menghampiri Tarun. Dirinya terlihat begitu compang-camping dengan jas lusuh dan rambut acak-acakan. "Bagaimana? Belum mulai kan? Maaf aku telat," sambungnya. Tarun memperhatikan Rizal dari kepala hingga kaki. Dia yang melihat tampilan Rizal yang acak-acakan, merasa bingung. "Kamu dari mana saja, sih? Dari tadi aku sudah menunggumu. Bahkan sampai pertemuannya sudah mau selesai kamu masih belum juga sampai. Dan sekarang, kau baru sampai saat aku sudah ingin pulang dengan tampilan yang acak-acakan seperti ini." Tarun kesal d nahn Rizal. Dia tak pikir panjang untuk memarahi Rizal. Mendengar pertanyaan Tarun, Rizal langsung menunjukkan gelagat yang aneh. Dia terlihat bingung seolah tak tahu apa yang harus dia katakan. "I–itu, ta–tadi aku, a–aku kejebak macet." Rizal seperti sedang berusaha menutup-nutupi sesuatu. Tarun yang melihat gelagatnya yang begitu aneh, menjadi curiga pada Rizal. Tampilanmu acak-acakan, g
Tarun tersadar dari pingsannya. Dia membuka matanya perlahan, sambil memegangi kepalanya yang masih terasa begitu sakit. Tapi dirinya malah mendapati perban yang sudah terikat di kepalanya. Tarun melihat sekitar. Dia sadar kalau dirinya sudah ada di ruang rawat rumah sakit. Dia mencoba bangun untuk duduk sambil meringis kesakitan. Sayangnya tubuhnya begitu lemah yang membuatnya terbanting kembali ke ranjang rumah sakit yang ditempatinya. Tubuhnya makin terasa sakit dan membuatnya meringis kesakitan. Di saat yang bersamaan, seorang suster datang dan terkejut melihat Tarun yang sedang meringis kesakitan. Dengan panik, dia langsung bergegas menghampiri Tarun. “Bapak jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kondisi bapak masih belum membaik,” ucap suster itu. “Kenapa saya bisa ada di sini, Sus?” tanya Tarun dengan lemah sambil meringis kesakitan. “Seseorang melihat mobil bapak yang kecelakaan. Dan dia menemukan bapak yang sudah bercucuran darah tak sadarka
Rizal terdiam, tak tahu mau menjawab apa. Dia baru teringat kalau dirinya tidak pernah berbicara dengan David sebelumnya. Dia langsung salah tingkah, tak tahu mau bilang apa. David yang melihat gelagatnya yang mencurigakan, tersenyum tipis. Dari awal dirinya sudah yakin kalau Rizal pasti terlibat dalam rencana Tarun. Tarun yang menyadari situasi itu, langsung berusaha mengalihkan pembicaraan. “David, kamu sudah tahu tentang demo di kantor?” “Demo? Demo apa?” jawab David bingung. Dia tidak tahu sama sekali tentang demo yang dibicarakan Tarun. Belum sempat Tarun menjelaskan, tiba-tiba saja ponsel David berdering. Dia langsung saja mengambil ponselnya dan melihat panggilan suara dari Yaslin. “Saya izin pamit dulu ya, Pak. Sekalian pergi ke kantor,” ucap David dan langsung saja pergi dari sana meninggalkan Tarun dan Rizal. Setelah David pergi dari sana, Rizal langsung saja mengatakan pada Tarun tentang kecurigaannya pada David. Dia mengatakan kala