Share

Pembalasan Kesatria Dari Neraka
Pembalasan Kesatria Dari Neraka
Author: Dandelion

Bab 1

Sanchia mengernyitkan dahinya, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi di langit yang diikuti bau hangus samar. Sanchia mempercepat laju kudanya, perasaannya tidak enak sekarang. Pandangannya menjadi suram kala melihat gerbang desa hancur sebagian.

Dia terbelalak, kala matanya menatap bagian dalam desa yang hampir menyerupai daerah tua tertinggal. Menyeramkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sanchia memacu kudanya cepat, banyak rumah yang hancur dan berganti menjadi arang.

“Ayah, Ibu, Sanchi harap kalian baik-baik saja.” Perempuan itu mencoba menepis pikiran negatif yang bersarang di kepalanya.

Sanchia melompat turun dari kuda, menghampiri sosok lelaki yang tertelungkup tertimpa pintu kayu yang menghitam. Tanpa basa-basi dia menghempas sembarang pintu yang telah berubah menjadi setengah arang itu. Air matanya lolos, saat wajah sayu itu menghitam, luka bakar hampir menutupi sebagian wajahnya.

“Ayah, bangun, Sanchi pulang.”

“Ayah, Sanchi telah kembali. Apakah Ayah tidak ingin memeluk putrimu ini?” Nada suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca.

“Ayah, kuat bukan? Ayo bangun, Ayah. Jangan seperti ini.”

“Sanchi takut.” Pertahanan Sanchia runtuh, dia menangis tersedu-seduh. Dia sangat menyayangi ayahnya, hanya lelaki itu yang menjadi sandarannya. Jika Ayahnya pergi, lantas di mana lagi tempat untuk dirinya bersandar?

Ayahnya adalah lelaki yang kuat. Dia bahkan bisa mengalahkan sekumpulan serigala liar. Tidak mungkin jika meninggal karena tertimpa pintu yang robohkan? Pintu rumah tidak terbuat dari batu yang bisa menumbangkan orang sekali timpa.

Siapa yang begitu tega menghancurkan dunia kecilnya yang berharga? Sanchia bersumpah untuk merenggut nyawanya dengan kejam.

“Ayah, tunggu sebentar, ya. Sanchi akan mencari Ibu.” Tubuh lelaki paruh baya itu Sanchia letakkan di depan rumah tanpa alas. Tidak ada apa pun yang bisa dia manfaatkan di tempat yang hampir menjadi arang ini.

Dengan langkah tidak sabar, Sanchia mencari sosok perempuan yang sangat dia sayangi. Matanya mengedar ke segala arah, tatanan rumah yang tampak kacau. Banyak serpihan kayu berwarna hitam di lantai, atap yang bolong dan dinding yang masih mengeluarkan asap.

Napasnya tercekat, kala melihat sosok ibunya yang tergeletak di lantai dapur. Dia hanya bisa menggigit bibir bawahnya kuat. Menahan isak yang telah reda beberapa saat lalu.

“Ibu juga meninggalkan Sanchi ternyata,” lirihnya sembari membawa tubuh kaku sang ibu ke dalam dekapannya. Ibunya terlihat mengerikan, goresan pedang melintang di bagian leher dan bekas tikaman di perutnya.

Perempuan setengah baya itu pasti melakukan perlawanan. Sanchia tahu betul, ibunya adalah sosok perempuan tangguh yang tidak akan menyerah dengan mudah. Meski harus mati, dia akan mempertahankan harga dirinya sebagai seorang kesatria terhormat. Tidak akan menyerah apa pun taruhannya.

Melihat ember kayu yang tidak jauh dari mayat ibunya dia tahu, jika perempuan itu menyiram dirinya dengan air. Ibunya masih berusaha menyelamatkan diri di detik-detik terakhir. Sanchia mengepalkan tangannya erat, kata andai menghantui kepalanya.

“Ayah, Ibu, maaf, Sanchi terlambat.”

“Andai Sanchi tiba lebih cepat, pasti kalian semua masih bisa terselamatkan.”

Andai, andai dan andai, kata-kata itu berputar di kepalanya. Menyesal? Iya dia menyesal. Mengapa dia tidak mampu menyelamatkan kedua orang tuanya di saat dia sudah memiliki kemampuan untuk itu.

Mengapa? Mengapa bisa? Sanchia mengacak-acak rambutnya marah sekaligus sedih. Dia gagal, cita-citanya pupus dan tujuannya tersendat. Sejenak, dia merasa kosong, seperti jiwanya hilang.

Berlinang air mata, dia mengangkat mayat ibunya yang terasa ringan. Bahkan bobot tubuhnya lebih berat dari pada wanita itu. “Ayah, Ibu, apakah kalian hidup dengan baik selama ini?” tanya tanpa jawab menjadi pengiring langkah Sanchia.

Sanchia menatap kosong kedua gundukan tanah di depannya. Tiga hari berlalu dan rasa tidak rela masih memenuhi relung dadanya. Dia telah melewati banyak derita fisik selama pelatihan dan peperangan.

Luka pedang, panah, sudah biasa menghujani tubuhnya. Namun, dia tidak akan mengira jika rasa sakit melihat keduanya dimakamkan lebih sakit dari segala derita yang pernah dia rasakan.

“Tuhan, mengapa harus sesakit ini,” lirih Sanchia sembari memukul dadanya yang sesak.

Bahkan air mata tidak bisa membuatnya lega dan ketenangan tidak lagi membuatnya nyaman. Emosinya bergejolak, amarah, benci dan sedih bercampur menjadi satu. Perasaannya sangat tidak nyaman.

“Kamu baik-baik saja?” Sosok lelaki berpakaian khas kesatria menepuk pundaknya pelan. Nada bicaranya terdengar pelan namun, menunjukkan emosi.

Sanchia menatap Lothar sekilas, tidak menunjukkan ekspresi lain selain muram.

“Tidak.”

“Siapa saja bisa mati, kedua orang tuamu tidak terkecuali. Jangan mengganggu mereka dengan perasaanmu yang tidak bisa merelakan. Biarkan mereka tenang.” Suara berat dan tegas mengalihkan pandangan Sanchia dan Lothar secara bersamaan.

“Jenderal.” Pelan keduanya kompak. Lelaki dewasa berbaju zirah itu membuat Sanchia gemetar. Pandangan tajam dan menusuk itu seolah membakar dirinya dari dalam.

Lelaki itu, Jenderal Berthar, sosok pimpinan yang Sanchia hormati. Pelatih sekaligus saudara seperjuangan yang sangat dia segani. Selain fisik mentalnya juga patut Sanchia kagumi, dia bahkan tidak menunjukkan emosi lebih ketika melihat mayat istrinya tergeletak hangus di hadapannya.

“Jenderal, kamu juga sangat kehilangan, kan?” lirih Sanchia sebari menundukkan pandangannya.

Mereka sama, kesedihan mereka sama begitu pun perasaan mereka. Tapi, Sanchia tidak bisa bertindak setegar itu, hatinya sakit dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

Meskipun, dia hanya mampu menangis tanpa suara. Ayah dan ibunya sudah ada di bawah sana, dia tidak bisa melihat mereka lagi. Apakah dia tidak bisa mendapatkan haknya untuk meratapi kepergian keduanya?

“Tidak ada waktu untuk meratapi kepergian mereka. Kamu harus bangkit dengan atau tanpa mereka. Seorang prajurit yang telah menghilangkan banyak nyawa, tidak pantas berduka,” ucap Berthar dengan nada dingin.

Hidup di tempat yang keras selama bertahun-tahun, ditambah dengan kehilangan yang telah dia alami, perlahan membuat hati lelaki itu mengeras. Bahkan Sanchia tidak bisa menebak perasaan Berthar ketika berbicara. Sungguhan atau hanya sekadar hasutan semata.

“Ya, tidak pantas, prajurit tidak dididik untuk lemah,” gumam Sanchia pelan namun, tatapan berubah menjadi kosong.

“Jangan terlalu dipikirkan, Jenderal hanya tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan.”

Lothar kembali bicara setelah melihat langkah Berthar yang mulai menjauh. Dia juga merasa kehilangan, di desa Odo ini, semua telah dia anggap keluarga. Tetua hingga warga biasa, mereka memiliki kenangan tersendiri bagi Lothar si anak yatim piatu.

“Jenderal benar, tidak ada waktu untuk meratapi kepergian mereka.” Mata Sanchia menajam, bahkan lebih tajam dari pada sorot mata Berthar. Amarah tergambar jelas di kedua bola matanya.

“Sekarang waktunya memikirkan bagaimana caranya untuk balas dendam. Pembunuh mereka tidak akan kubiarkan hidup tenang.”

“Setelah berbuat dosa yang begitu besar, mereka ingin hidup tenang? Jangan bermimpi!” Sanchia berdesis tajam.

Perempuan itu menggenggam tangannya erat. Kilat memori melintas di benaknya, tentang bagaimana tawa di meja makan tahun lalu. Ayah dan ibunya masih tersenyum saat itu.

Lelucon sederhana masih mampu menarik sudut bibir mereka. Tanpa sadar, Sanchia tertawa pelan dengan pandangan kosong.

Lalu, ekspresinya berubah muram kala ingatnya tertuju pada raga keduanya yang terbujur kaku. Bahkan, ingatannya tidak lagi terasa menyenangkan.

“Mereka harus mati!” desis Sanchia sekali lagi, disertai pukulan pada batu yang terletak di hadapannya. Sanchia kembali marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status