Sanchia mengernyitkan dahinya, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi di langit yang diikuti bau hangus samar. Sanchia mempercepat laju kudanya, perasaannya tidak enak sekarang. Pandangannya menjadi suram kala melihat gerbang desa hancur sebagian.
Dia terbelalak, kala matanya menatap bagian dalam desa yang hampir menyerupai daerah tua tertinggal. Menyeramkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sanchia memacu kudanya cepat, banyak rumah yang hancur dan berganti menjadi arang.
“Ayah, Ibu, Sanchi harap kalian baik-baik saja.” Perempuan itu mencoba menepis pikiran negatif yang bersarang di kepalanya.
Sanchia melompat turun dari kuda, menghampiri sosok lelaki yang tertelungkup tertimpa pintu kayu yang menghitam. Tanpa basa-basi dia menghempas sembarang pintu yang telah berubah menjadi setengah arang itu. Air matanya lolos, saat wajah sayu itu menghitam, luka bakar hampir menutupi sebagian wajahnya.
“Ayah, bangun, Sanchi pulang.”
“Ayah, Sanchi telah kembali. Apakah Ayah tidak ingin memeluk putrimu ini?” Nada suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca.
“Ayah, kuat bukan? Ayo bangun, Ayah. Jangan seperti ini.”
“Sanchi takut.” Pertahanan Sanchia runtuh, dia menangis tersedu-seduh. Dia sangat menyayangi ayahnya, hanya lelaki itu yang menjadi sandarannya. Jika Ayahnya pergi, lantas di mana lagi tempat untuk dirinya bersandar?
Ayahnya adalah lelaki yang kuat. Dia bahkan bisa mengalahkan sekumpulan serigala liar. Tidak mungkin jika meninggal karena tertimpa pintu yang robohkan? Pintu rumah tidak terbuat dari batu yang bisa menumbangkan orang sekali timpa.
Siapa yang begitu tega menghancurkan dunia kecilnya yang berharga? Sanchia bersumpah untuk merenggut nyawanya dengan kejam.
“Ayah, tunggu sebentar, ya. Sanchi akan mencari Ibu.” Tubuh lelaki paruh baya itu Sanchia letakkan di depan rumah tanpa alas. Tidak ada apa pun yang bisa dia manfaatkan di tempat yang hampir menjadi arang ini.
Dengan langkah tidak sabar, Sanchia mencari sosok perempuan yang sangat dia sayangi. Matanya mengedar ke segala arah, tatanan rumah yang tampak kacau. Banyak serpihan kayu berwarna hitam di lantai, atap yang bolong dan dinding yang masih mengeluarkan asap.
Napasnya tercekat, kala melihat sosok ibunya yang tergeletak di lantai dapur. Dia hanya bisa menggigit bibir bawahnya kuat. Menahan isak yang telah reda beberapa saat lalu.
“Ibu juga meninggalkan Sanchi ternyata,” lirihnya sembari membawa tubuh kaku sang ibu ke dalam dekapannya. Ibunya terlihat mengerikan, goresan pedang melintang di bagian leher dan bekas tikaman di perutnya.
Perempuan setengah baya itu pasti melakukan perlawanan. Sanchia tahu betul, ibunya adalah sosok perempuan tangguh yang tidak akan menyerah dengan mudah. Meski harus mati, dia akan mempertahankan harga dirinya sebagai seorang kesatria terhormat. Tidak akan menyerah apa pun taruhannya.
Melihat ember kayu yang tidak jauh dari mayat ibunya dia tahu, jika perempuan itu menyiram dirinya dengan air. Ibunya masih berusaha menyelamatkan diri di detik-detik terakhir. Sanchia mengepalkan tangannya erat, kata andai menghantui kepalanya.
“Ayah, Ibu, maaf, Sanchi terlambat.”
“Andai Sanchi tiba lebih cepat, pasti kalian semua masih bisa terselamatkan.”
Andai, andai dan andai, kata-kata itu berputar di kepalanya. Menyesal? Iya dia menyesal. Mengapa dia tidak mampu menyelamatkan kedua orang tuanya di saat dia sudah memiliki kemampuan untuk itu.
Mengapa? Mengapa bisa? Sanchia mengacak-acak rambutnya marah sekaligus sedih. Dia gagal, cita-citanya pupus dan tujuannya tersendat. Sejenak, dia merasa kosong, seperti jiwanya hilang.
Berlinang air mata, dia mengangkat mayat ibunya yang terasa ringan. Bahkan bobot tubuhnya lebih berat dari pada wanita itu. “Ayah, Ibu, apakah kalian hidup dengan baik selama ini?” tanya tanpa jawab menjadi pengiring langkah Sanchia.
Sanchia menatap kosong kedua gundukan tanah di depannya. Tiga hari berlalu dan rasa tidak rela masih memenuhi relung dadanya. Dia telah melewati banyak derita fisik selama pelatihan dan peperangan.
Luka pedang, panah, sudah biasa menghujani tubuhnya. Namun, dia tidak akan mengira jika rasa sakit melihat keduanya dimakamkan lebih sakit dari segala derita yang pernah dia rasakan.
“Tuhan, mengapa harus sesakit ini,” lirih Sanchia sembari memukul dadanya yang sesak.
Bahkan air mata tidak bisa membuatnya lega dan ketenangan tidak lagi membuatnya nyaman. Emosinya bergejolak, amarah, benci dan sedih bercampur menjadi satu. Perasaannya sangat tidak nyaman.
“Kamu baik-baik saja?” Sosok lelaki berpakaian khas kesatria menepuk pundaknya pelan. Nada bicaranya terdengar pelan namun, menunjukkan emosi.
Sanchia menatap Lothar sekilas, tidak menunjukkan ekspresi lain selain muram.
“Tidak.”
“Siapa saja bisa mati, kedua orang tuamu tidak terkecuali. Jangan mengganggu mereka dengan perasaanmu yang tidak bisa merelakan. Biarkan mereka tenang.” Suara berat dan tegas mengalihkan pandangan Sanchia dan Lothar secara bersamaan.
“Jenderal.” Pelan keduanya kompak. Lelaki dewasa berbaju zirah itu membuat Sanchia gemetar. Pandangan tajam dan menusuk itu seolah membakar dirinya dari dalam.
Lelaki itu, Jenderal Berthar, sosok pimpinan yang Sanchia hormati. Pelatih sekaligus saudara seperjuangan yang sangat dia segani. Selain fisik mentalnya juga patut Sanchia kagumi, dia bahkan tidak menunjukkan emosi lebih ketika melihat mayat istrinya tergeletak hangus di hadapannya.
“Jenderal, kamu juga sangat kehilangan, kan?” lirih Sanchia sebari menundukkan pandangannya.
Mereka sama, kesedihan mereka sama begitu pun perasaan mereka. Tapi, Sanchia tidak bisa bertindak setegar itu, hatinya sakit dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
Meskipun, dia hanya mampu menangis tanpa suara. Ayah dan ibunya sudah ada di bawah sana, dia tidak bisa melihat mereka lagi. Apakah dia tidak bisa mendapatkan haknya untuk meratapi kepergian keduanya?
“Tidak ada waktu untuk meratapi kepergian mereka. Kamu harus bangkit dengan atau tanpa mereka. Seorang prajurit yang telah menghilangkan banyak nyawa, tidak pantas berduka,” ucap Berthar dengan nada dingin.
Hidup di tempat yang keras selama bertahun-tahun, ditambah dengan kehilangan yang telah dia alami, perlahan membuat hati lelaki itu mengeras. Bahkan Sanchia tidak bisa menebak perasaan Berthar ketika berbicara. Sungguhan atau hanya sekadar hasutan semata.
“Ya, tidak pantas, prajurit tidak dididik untuk lemah,” gumam Sanchia pelan namun, tatapan berubah menjadi kosong.
“Jangan terlalu dipikirkan, Jenderal hanya tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan.”
Lothar kembali bicara setelah melihat langkah Berthar yang mulai menjauh. Dia juga merasa kehilangan, di desa Odo ini, semua telah dia anggap keluarga. Tetua hingga warga biasa, mereka memiliki kenangan tersendiri bagi Lothar si anak yatim piatu.
“Jenderal benar, tidak ada waktu untuk meratapi kepergian mereka.” Mata Sanchia menajam, bahkan lebih tajam dari pada sorot mata Berthar. Amarah tergambar jelas di kedua bola matanya.
“Sekarang waktunya memikirkan bagaimana caranya untuk balas dendam. Pembunuh mereka tidak akan kubiarkan hidup tenang.”
“Setelah berbuat dosa yang begitu besar, mereka ingin hidup tenang? Jangan bermimpi!” Sanchia berdesis tajam.
Perempuan itu menggenggam tangannya erat. Kilat memori melintas di benaknya, tentang bagaimana tawa di meja makan tahun lalu. Ayah dan ibunya masih tersenyum saat itu.
Lelucon sederhana masih mampu menarik sudut bibir mereka. Tanpa sadar, Sanchia tertawa pelan dengan pandangan kosong.
Lalu, ekspresinya berubah muram kala ingatnya tertuju pada raga keduanya yang terbujur kaku. Bahkan, ingatannya tidak lagi terasa menyenangkan.
“Mereka harus mati!” desis Sanchia sekali lagi, disertai pukulan pada batu yang terletak di hadapannya. Sanchia kembali marah.
“Jika marah, jangan menyakiti dirimu sendiri, Sanchi.” Sanchia bergeming, tidak memedulikan ucapan Lothar yang membuat telinganya panas.Dia juga mengabaikan rasa sakit yang menjalar dibalik jari-jari yang tengah dibalut kain itu. Tangannya terluka karena batu yang dia pukul beberapa saat yang lalu memiliki bagian-bagian runcing dan tajam. Meskipun pecah, tangan perempuan itu juga terluka.“Aku sudah mengatakannya berulang kali, mengapa kamu tidak juga mengerti?” tanya Lothar jengkel.Sanchia adalah sosok menyebalkan baginya, perempuan itu selalu punya cara untuk membuatnya marah. Kadang diamnya Sanchia mampu membuat emosi Lothar membuncah seperti sekarang ini.“Aku ingin sendiri Kak,” lirih Sanchia. Dia benar-benar ingin sendiri. Semakin lama, dadanya kian terasa sesak.Dia kehilangan sosok yang penting dalam hidupnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit sebesar itu. Dia lemah, lemah karena separuh jiwanya
“Ya, memang bukan obat tapi bisa membantu.” Mimik wajah Drogo membaik, Sanchia senang melihatnya. Setidaknya wajah datar lebih baik dari pada raut wajah kesal yang kentara.“Apa yang kamu inginkan?” Perempuan itu tersenyum tipis, Drogo tidak pernah salah membaca motif seseorang. Itu yang membuat Sanchia menyukainya.“Tidak banyak, hanya segelintir informasi.”Ya, segelintir, dia hanya perlu sebuah petunjuk yang berharga. Yang sama berharganya dengan rahasia yang dia miliki.Jika tidak untuk mendapatkan keuntungan dan mendesak Sanchia akan berpikir ribuan kali untuk melakukan hal berbahaya semacam ini. Dia harus membayar mahal untuk bantuan yang tidak seberapa pada lelaki itu.“Informasi? Kasus beberapa hari yang lalu?” tanyanya menimbang-nimbang. Di lihat dari sudut mana pun lelaki dewasa itu tengah bimbang. Akan sangat aneh jika dia tidak bimbang karena informasi yang Sanchia inginkan adalah hal sens
Hening, kamp kesehatan terasa hening meskipun ada banyak orang di dalamnya. Setelah teriakan yang begitu tiba-tiba, tidak ada yang berani bersuara. Terlebih lagi sosok lelaki yang berdiri dengan belati di tangannya.Kepala lelaki itu menunduk, tangannya bergetar, dia tampak tertekan.“Apa tidak ada di antara kalian yang ingin bicara?”Hening, tidak ada yang menjawab, Sanchia menghela napas lelah. Apakah mereka menjadi bisu mendadak?“Kau, katakan apa yang terjadi.” Sanchia menunjuk prajurit di sana secara acak. Tidak peduli siapa yang penting dia mendapatkan informasi. Perempuan itu tidak pernah menduga perbedaan keadaan luar dan dalam kamp sangat berbeda.“Nona, ini hanya kesalahpahaman,” jawab lelaki itu tanpa emosi. Ucapannya terdengar meyakinkan, tidak ada jejak keraguan di matanya. Jika saja Sanchia tidak melihat ketegangan sebelumnya mungkin dia akan percaya.“Shh,” desis seorang lelaki m
Pangan dan obat-obatan sudah diangkut secara rahasia, ternyata ada lorong tersembunyi untuk mengeluarkan pangan dibalik berbatuan samping benteng yang berbatasan langsung dengan hutan. “Sanchi, dari mana kamu mendapatkan begitu banyak pangan? Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Lothar. Lelaki itu tampak senang melihat tumpukan pangan dan obat di sudut gudang. “Aku mendapatkannya dari lumbung, aku rasa kerajaan tidak akan membiarkan warga desa kita mendapatkan pangan.” Sanchi sudah memikirkannya dengan matang. Tidak mungkin para prajurit di markas tidak tahu tentang pemberontak yang menghancurkan desa mereka. Setiap desa memiliki mata-mata yang diutus oleh kerajaan, Sanchia melupakan fakta besar itu. Akan sangat mungkin jika kerajaan mau maka dengan sekali titah desa Odo bisa diselamatkan. Mengingat kemampuan mata-mata yang bekerja dengan kerajaan memiliki keahlian tingkat tinggi. “Sebagai prajurit kamu tidak seharusnya berpikir buruk pada kerajaan Sanch
Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.Uhuk!Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia b
Deru napas yang teratur itu membuat Kakek Aren menghela napas lega. Bagaimana tidak, setelah setengah jam bergulat dengan maut akhirnya Sanchi bisa mendapatkan oksigen untuk dihirup. Seolah katup paru-parunya kembali terbuka setelah tertutup rapat beberapa saat. Dadanya tidak lagi sesak, begitu pun suhu tubuhnya berangsur normal. Perjuangannya tidak berakhir sia-sia. “Istirahatlah dulu, Kakek akan meracik obat untukmu.” Kakek Aren mulai beranjak. Kondisi Sanchia lebih parah dari yang dia duga. Persiapan yang telah disiapkan pun tidak cukup untuk memulihkan tenaga perempuan itu. “Kakek, bagaimana dengan lelaki itu?” tanya Sanchia lirih. Setelah berjuang dengan keras, dia tidak mengharap kegagalan. Sudah sejauh ini, akan sangat menyesakkan jika terjadi kesalahan dan berakibat fatal. “Setelah bertukar nasib denganmu, apa yang bisa terjadi dengan lelaki itu? Meskipun terlambat ditangani dia akan sembuh cepat atau lambat!” balas Kakek Aren dengan nada tidak suka di ujung
Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki
“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh