Hening, kamp kesehatan terasa hening meskipun ada banyak orang di dalamnya. Setelah teriakan yang begitu tiba-tiba, tidak ada yang berani bersuara. Terlebih lagi sosok lelaki yang berdiri dengan belati di tangannya.
Kepala lelaki itu menunduk, tangannya bergetar, dia tampak tertekan.
“Apa tidak ada di antara kalian yang ingin bicara?”
Hening, tidak ada yang menjawab, Sanchia menghela napas lelah. Apakah mereka menjadi bisu mendadak?
“Kau, katakan apa yang terjadi.” Sanchia menunjuk prajurit di sana secara acak. Tidak peduli siapa yang penting dia mendapatkan informasi. Perempuan itu tidak pernah menduga perbedaan keadaan luar dan dalam kamp sangat berbeda.
“Nona, ini hanya kesalahpahaman,” jawab lelaki itu tanpa emosi. Ucapannya terdengar meyakinkan, tidak ada jejak keraguan di matanya. Jika saja Sanchia tidak melihat ketegangan sebelumnya mungkin dia akan percaya.
“Shh,” desis seorang lelaki memegangi pergelangan tangannya. Mata Sanchia kembali terbelalak kala melihat titik dua di sana, kulit lelaki itu sudah mulai membiru.
“Air, cepat ambilkan air!” teriak Sanchia panik. Dia hafal dengan bekas luka itu, gigitan ular.
Tidak membunuh namun, dapat menyebabkan kelumpuhan. Seseorang yang memiliki racun ular semacam ini akan menjadi sampah dalam beberapa hari jika tidak mendapatkan perawatan.
Tangan Sanchia bergerak lincah dan cekatan, membasuh dan membersihkan luka tanpa membuatnya penderita mengalami kesakitan lebih. Tidak lupa pula Sanchia memerintahkan beberapa prajurit membuat obat, setidaknya masa kritisnya akan dilalui dengan cepat dan efek racun tidak begitu kuat.
“Ular itu menggigit Rex, saya langsung mengambil belati dan membunuhnya. Tapi tidak disangka mereka menuduh saya ingin membunuh Rex. Maaf atas tindakan saya yang gegabah, Nona,” ucap lelaki yang masih memegang belati itu berlutut, kepalanya menunduk. Namun, tidak ada raut menyesal di wajahnya.
Sanchia terdiam, lalu menatap kepala ular yang telah terpisah dari tubuh panjangnya, buntut ular itu masih bergerak seolah masih memiliki nyawa.
Tidak disangka, benar-benar salah paham.
“Kalian kembalilah istirahat, saya akan menangani masalah ini,” titah Sanchia datar.
Dia rasa masalah kali ini tidak perlu dibesar-besarkan, bisa saja semuanya memang salah paham. Meskipun begitu di lubuk hati Sanchia yang paling dalam, dia merasa puas. Mereka memiliki rasa saling peduli dan melindungi.
“Berapa banyak kesediaan obat yang tersisa?” tanya Sanchia pada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya sedari tadi.
Melihat lencana di dadanya membuat Sanchia yakin jika dia bertanya pada orang yang tepat. Hanya sedikit orang yang memiliki lencana di tempat ini, paling tidak pimpinan kelompok kecil yang bertugas dan cukup familier akan keadaan markas.
“Hanya sedikit, tidak cukup untuk semuanya,” ucapnya pelan tidak terperinci, Sanchia tidak bertanya lagi. Otaknya berpikir lebih keras, bagaimana cara untuk mendapatkan persediaan obat? Rumah di desa sudah terbakar, tidak mungkin ada yang tersisa.
“Ah, iya lumbung.” Sanchia tersenyum senang mengingat tempat tersembunyi yang mungkin menjadi solusi permasalahan mereka.
Menjadi keturunan tetua membuatnya mudah bergerak, tentu saja lumbung adalah pengetahuan khusus. Tidak semua orang tahu, hanya tetua dan para pewaris saja. Beruntung dia adalah satu-satunya cucu yang kakeknya miliki..
“Tidak tahu, apa isi di dalamnya,” gumam Sanchia berjalan cepat. Tanpa menghiraukan tatapan heran sekaligus bingung oleh lelaki yang dia ajak bicara tadi.
Empat orang prajurit mengikuti Sanchia dari belakang, mereka adalah bawahan yang gadis itu percayai. Meninggalkan benteng tanpa jejak dan menyusup ke balai desa yang terkenal angker dan terlarang.
Balai desa adalah bangunan tua berukuran sedang, cukup sederhana tapi memiliki ornamen yang indah. Tempat ketiga yang dihindari masyarakat desa.
Selain hanya diperuntukkan tetua desa, balai desa juga terkenal dengan kekuatan magis yang mengitarinya. Meskipun hanya rumor namun, beberapa orang pernah mengalami hal aneh kala melewati balai.
“Nona, apakah tidak apa jika kami mengikuti Anda ke dalam?” Hick bertanya sembari menatap ngeri aura suram dari aula tanpa cahaya di depan mereka. Tidak memiliki garis keturunan tetua membuat Hick merasa tidak pantas menginjakkan kaki di tempat khusus dan suci ini.
Keberadaannya akan menodai aula dengan aroma garis keturunannya.
“Siapa yang melarang? Aku satu dari tiga keturunan tetua yang tersisa. Keputusanku demi kebaikan desa, tidak ada yang bisa melarang meskipun ingin.” Sedikit angkuh namun Sanchia tidak peduli.
Dia melakukan hal semacam ini hanya demi desa meskipun harus mengekspos satu dari sekian banyak rahasia yang tetua simpan.
Ukiran kuno mengitari tujuh kursi tetua yang melingkar di lapangan kecil di depan mereka. Tanpa sebuah meja di sana. Ruangan itu pun masih terlihat luas karena tidak ada apa pun di dalamnya.
“Hanya ada kursi, Nona. Apakah para tetua benar-benar berdiskusi di aula ini?” Wilkin bertanya kali ini. Pemuda dengan topeng di wajah bagian kiri itu terlihat sangat penasaran.
Sanchia tersenyum tipis, itulah rahasianya. Sekilas biasa saja namun, jika diamati benar-benar aneh. “Ya dan tidak.”
Sanchia melangkah ke depan dengan tiga ketukan dari garis pintu, lalu mundur sebanyak dua langkah. Obor tiba-tiba menyala, menyinari kursi para tetua . Keempat prajurit itu melongo, tidak percaya, apakah mungkin dengan beberapa kali ketukan bisa menghidupkan obor?
Nyatanya tidak, pikiran mereka salah, bukan ketukan yang menyalakan obor tapi sistem bawah tanah yang terbuka menghidupkan obor secara otomatis.
“Aula ini telah dibangun semenjak zaman kuno dan sistem ruang bawah tanah ini telah ada selama bertahun-tahun. Sistem keamanan semacam ini belum dikembangkan, selain rumit bahan pokok dalam pembuatannya sangat sulit ditemukan.”
Sanchia berjalan menuju kursi tetua ke tiga berusaha untuk menggeser kursi berat itu seorang diri. Empat prajurit itu tidak tinggal diam, dalam diam mereka membantu Sanchia menggeser kursi itu hingga beberapa langkah.
Di bantu Calvin dan Drew Sanchia mengangkat ubin di lantai hingga terlihat anak tangga sebagai penghubung ke lantai dasar.
“Tidak disangka desa kita memiliki harta sebanyak ini,” ucap Wilkin terkesima.
Tidak disangka ‘Lumbung’ yang orang tuanya maksud adalah penyimpanan harta leluhur. Tidak heran jika balai desa menjadi tempat terlarang. Tidak hanya pangan dan obat-obatan ada beberapa peti emas yang tersimpan rapi di pojok ruangan.
Sanchia terpaku, mereka bisa membangun desa dengan jumlah emas yang mereka miliki. Setidaknya warga desa tidak akan mati kelaparan.
“Nona, apakah semua ini adalah pajak yang ditimbun dari kerajaan?” Tubuh Sanchia tersentak, dia baru menyadarinya.
Akan sangat mungkin jika harta yang ditimbun tetua desa menjadi satu dari sekian banyak alasan yang menjadikan desanya target penjahat.
Lantas, apakah kerajaan mengetahui hal ini dan sengaja mengabaikan desanya?
Pangan dan obat-obatan sudah diangkut secara rahasia, ternyata ada lorong tersembunyi untuk mengeluarkan pangan dibalik berbatuan samping benteng yang berbatasan langsung dengan hutan. “Sanchi, dari mana kamu mendapatkan begitu banyak pangan? Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Lothar. Lelaki itu tampak senang melihat tumpukan pangan dan obat di sudut gudang. “Aku mendapatkannya dari lumbung, aku rasa kerajaan tidak akan membiarkan warga desa kita mendapatkan pangan.” Sanchi sudah memikirkannya dengan matang. Tidak mungkin para prajurit di markas tidak tahu tentang pemberontak yang menghancurkan desa mereka. Setiap desa memiliki mata-mata yang diutus oleh kerajaan, Sanchia melupakan fakta besar itu. Akan sangat mungkin jika kerajaan mau maka dengan sekali titah desa Odo bisa diselamatkan. Mengingat kemampuan mata-mata yang bekerja dengan kerajaan memiliki keahlian tingkat tinggi. “Sebagai prajurit kamu tidak seharusnya berpikir buruk pada kerajaan Sanch
Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.Uhuk!Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia b
Deru napas yang teratur itu membuat Kakek Aren menghela napas lega. Bagaimana tidak, setelah setengah jam bergulat dengan maut akhirnya Sanchi bisa mendapatkan oksigen untuk dihirup. Seolah katup paru-parunya kembali terbuka setelah tertutup rapat beberapa saat. Dadanya tidak lagi sesak, begitu pun suhu tubuhnya berangsur normal. Perjuangannya tidak berakhir sia-sia. “Istirahatlah dulu, Kakek akan meracik obat untukmu.” Kakek Aren mulai beranjak. Kondisi Sanchia lebih parah dari yang dia duga. Persiapan yang telah disiapkan pun tidak cukup untuk memulihkan tenaga perempuan itu. “Kakek, bagaimana dengan lelaki itu?” tanya Sanchia lirih. Setelah berjuang dengan keras, dia tidak mengharap kegagalan. Sudah sejauh ini, akan sangat menyesakkan jika terjadi kesalahan dan berakibat fatal. “Setelah bertukar nasib denganmu, apa yang bisa terjadi dengan lelaki itu? Meskipun terlambat ditangani dia akan sembuh cepat atau lambat!” balas Kakek Aren dengan nada tidak suka di ujung
Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki
“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Sanchia setelah menjelaskan situasi markas saat ini. Air muka kesembilan laki-laki itu tampak sama yaitu kemarahan yang kentara.Sanchia tersenyum puas. Bukankah rencananya akan berjalan dengan mudah jika semuanya memiliki tujuan yang sama?“Pergi dan selamatkan mereka, jika pun harus menanggung penghinaan dengan label pengkhianat di belakang nama juga tidak masalah.” Jenderal Berthar menyuarakan pendapatnya.“Tidak, kita tidak bisa menjadi pengkhianat,” bantah Froc dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Sanchia menatap Froc dengan wajah ingin tahu. ‘Apa rencananya?’“Apa maksudmu Froc?! Apakah kamu ingin mereka yang tidak bersalah meninggal dengan hina semacam itu? Meninggal di eksekusi dengan tuduhan pengkhianat adalah penghinaan untuk seluruh kesatria!” bentakan keras itu berasal dari Berthar. Tampaknya lelaki itu sudah mulai kesal dengan keadaan yang tid
Waktu dini hari, langit tengah gelap gulita. Hanya api obor yang kian bergerak setiap saat ketika terhembus angin menghantar perubahan musim. Sanchia dan Orella berlari tanpa suara menuju dinding samping markas militer kala pergantian penjaga terjadi. Mereka bergerak secepat mungkin dan menghitung dalam hati secara konstan.Melakukan segalanya sesuai rencana yang telah ditetapkan.“Ash.” Sanchia menundukkan kepalanya kala tidak sengaja melihat prajurit berjalan tidak jauh dari posisinya berdiri. Dinding yang berdiri di dekatnya benar-benar berfungsi untuk menutupi keberadaannya.“Di mana mereka ditahan?” tanya Sanchia pada Orella dengan isyarat.Seolah paham, Orella mengkode Sanchia untuk bergerak mengikutinya. Setelah beberapa saat bersembunyi dan menghindar akhirnya mereka melihat sebuah kurungan besi besar yang diisi oleh dua puluh orang dengan kain hitam yang menutupi kepala mereka satu persatu.Sanchia dan Orella berjalan mengendap-endap di tengah kege
Sanchia menatap puas atas keputusan akhir yang diperoleh. Tidak, bukan hanya Sanchia tapi semua orang juga merasa puas. Bagaimana tidak, jika lelaki yang sebelumnya dikuasai oleh aura membunuh itu kini memegang pedang untuk berjuang bersama. Bukankah itu keberuntungan mereka?Hanya orang-orang yang telah merasakan keputusasaan yang memiliki tekad baja untuk berjuang. Hanya mereka yang pernah berada di ujung tombak yang memahami pentingnya kesempatan dan jalan keluar.“Peringatan terakhir, kami hanya bekerja sama dengan orang-orang yang tahu pentingnya kejujuran. Kami tidak ingin direpotkan dengan pengkhianatan ataupun trik remeh. Jika ada yang keberatan dan tidak terima dengan keputusannya. Silakan pergi, kami dengan senang hati akan menghitung utang budi suatu saat nanti,” kata Kenno dengan senyum tipis khasnya.Sanchia bisa melihat kekejaman di balik kilat matanya yang menajam. ‘Silakan pergi katanya?’ bukankah itu berarti dia meminta m