Sanchia menatap puas atas keputusan akhir yang diperoleh. Tidak, bukan hanya Sanchia tapi semua orang juga merasa puas. Bagaimana tidak, jika lelaki yang sebelumnya dikuasai oleh aura membunuh itu kini memegang pedang untuk berjuang bersama. Bukankah itu keberuntungan mereka?
Hanya orang-orang yang telah merasakan keputusasaan yang memiliki tekad baja untuk berjuang. Hanya mereka yang pernah berada di ujung tombak yang memahami pentingnya kesempatan dan jalan keluar.
“Peringatan terakhir, kami hanya bekerja sama dengan orang-orang yang tahu pentingnya kejujuran. Kami tidak ingin direpotkan dengan pengkhianatan ataupun trik remeh. Jika ada yang keberatan dan tidak terima dengan keputusannya. Silakan pergi, kami dengan senang hati akan menghitung utang budi suatu saat nanti,” kata Kenno dengan senyum tipis khasnya.
Sanchia bisa melihat kekejaman di balik kilat matanya yang menajam. ‘Silakan pergi katanya?’ bukankah itu berarti dia meminta m
Kawasan hutan yang mereka lewati adalah bagian utara gunung yang terkenal akan hewan buas dan bandit gunung. Entah mengapa mereka baru menyadari hal itu ketika melihat banyaknya perangkap yang membentang di sepanjang jalan. “Perhatikan jalan, bandit gunung kemungkinan besar berada tidak jauh dari sini,” ujar Kenno waspada. Manik matanya menatap tanda kecil di pohon sebagai identitas kejahatan yang meresahkan masyarakat itu. “Bandit gunung? Bukankah mereka adalah pemberontak yang berjuang untuk membebaskan wilayah mereka dari kerajaan. Karena mereka kalah jumlah, akhirnya mereka dipukul mundur menuju gunung supaya mati diserang hewan buas.” “Iya, tapi itu hanya sebagian kebenarannya saja. Bandit gunung sebenarnya adalah warga desa Qrx. Warga minoritas yang dilindungi oleh raja terdahulu. Mereka sangat setia, setelah mereka mengetahui pergantian raja dan menemukan kejanggalan dalam kematiannya mereka menuntut keadilan.” “Apalah daya, warga biasa akan kalah oleh penguasa dan prajurit
Kenno dan Yurz saling bertukar pandang. Situasinya lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Bagaimana mungkin klan pedagang yang memiliki ambisi menguasai benua berada di tengah hutan penuh perangkap dan bahaya seperti ini?“Buktikan kalau kalian bukan musuh,” ujar Kenno tegas. Klan pedagang atau perampok, jika mereka memiliki hati nurani yang baik maka semuanya adalah teman, jika tidak ketidaknyamanan ini hanya bisa di selesaikan oleh pertumpahan darah. Laki-laki atau perempuan, muda atau tua, selagi itu bersebrangan semuanya pantas mati.Setelah mempertimbangkan cukup lama, perempuan itu menghela nafas pelan seraya mengangguk dan mengeluarkan sebuah gulungan dari balik pakaiannya. Gulungan itu berisi segel kerajaan lama, tanda bahwa mereka dulunya adalah sekutu kerajaan.“Kami membawa ini sebagai bukti. Kami dulu adalah bagian dari kerajaan, tapi setelah pergantian raja, kami dijadikan kambing hitam dan diasingkan,” jelas perempuan itu. “Nama saya Elara, dan kami adalah bandit gunun
Sanchia mengernyitkan dahinya, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi di langit yang diikuti bau hangus samar. Sanchia mempercepat laju kudanya, perasaannya tidak enak sekarang. Pandangannya menjadi suram kala melihat gerbang desa hancur sebagian.Dia terbelalak, kala matanya menatap bagian dalam desa yang hampir menyerupai daerah tua tertinggal. Menyeramkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sanchia memacu kudanya cepat, banyak rumah yang hancur dan berganti menjadi arang.“Ayah, Ibu, Sanchi harap kalian baik-baik saja.” Perempuan itu mencoba menepis pikiran negatif yang bersarang di kepalanya.Sanchia melompat turun dari kuda, menghampiri sosok lelaki yang tertelungkup tertimpa pintu kayu yang menghitam. Tanpa basa-basi dia menghempas sembarang pintu yang telah berubah menjadi setengah arang itu. Air matanya lolos, saat wajah sayu itu menghitam, luka bakar hampir menutupi sebagian wajahnya.“Ayah, bangun, Sanchi pulang.”&ld
“Jika marah, jangan menyakiti dirimu sendiri, Sanchi.” Sanchia bergeming, tidak memedulikan ucapan Lothar yang membuat telinganya panas.Dia juga mengabaikan rasa sakit yang menjalar dibalik jari-jari yang tengah dibalut kain itu. Tangannya terluka karena batu yang dia pukul beberapa saat yang lalu memiliki bagian-bagian runcing dan tajam. Meskipun pecah, tangan perempuan itu juga terluka.“Aku sudah mengatakannya berulang kali, mengapa kamu tidak juga mengerti?” tanya Lothar jengkel.Sanchia adalah sosok menyebalkan baginya, perempuan itu selalu punya cara untuk membuatnya marah. Kadang diamnya Sanchia mampu membuat emosi Lothar membuncah seperti sekarang ini.“Aku ingin sendiri Kak,” lirih Sanchia. Dia benar-benar ingin sendiri. Semakin lama, dadanya kian terasa sesak.Dia kehilangan sosok yang penting dalam hidupnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit sebesar itu. Dia lemah, lemah karena separuh jiwanya
“Ya, memang bukan obat tapi bisa membantu.” Mimik wajah Drogo membaik, Sanchia senang melihatnya. Setidaknya wajah datar lebih baik dari pada raut wajah kesal yang kentara.“Apa yang kamu inginkan?” Perempuan itu tersenyum tipis, Drogo tidak pernah salah membaca motif seseorang. Itu yang membuat Sanchia menyukainya.“Tidak banyak, hanya segelintir informasi.”Ya, segelintir, dia hanya perlu sebuah petunjuk yang berharga. Yang sama berharganya dengan rahasia yang dia miliki.Jika tidak untuk mendapatkan keuntungan dan mendesak Sanchia akan berpikir ribuan kali untuk melakukan hal berbahaya semacam ini. Dia harus membayar mahal untuk bantuan yang tidak seberapa pada lelaki itu.“Informasi? Kasus beberapa hari yang lalu?” tanyanya menimbang-nimbang. Di lihat dari sudut mana pun lelaki dewasa itu tengah bimbang. Akan sangat aneh jika dia tidak bimbang karena informasi yang Sanchia inginkan adalah hal sens
Hening, kamp kesehatan terasa hening meskipun ada banyak orang di dalamnya. Setelah teriakan yang begitu tiba-tiba, tidak ada yang berani bersuara. Terlebih lagi sosok lelaki yang berdiri dengan belati di tangannya.Kepala lelaki itu menunduk, tangannya bergetar, dia tampak tertekan.“Apa tidak ada di antara kalian yang ingin bicara?”Hening, tidak ada yang menjawab, Sanchia menghela napas lelah. Apakah mereka menjadi bisu mendadak?“Kau, katakan apa yang terjadi.” Sanchia menunjuk prajurit di sana secara acak. Tidak peduli siapa yang penting dia mendapatkan informasi. Perempuan itu tidak pernah menduga perbedaan keadaan luar dan dalam kamp sangat berbeda.“Nona, ini hanya kesalahpahaman,” jawab lelaki itu tanpa emosi. Ucapannya terdengar meyakinkan, tidak ada jejak keraguan di matanya. Jika saja Sanchia tidak melihat ketegangan sebelumnya mungkin dia akan percaya.“Shh,” desis seorang lelaki m
Pangan dan obat-obatan sudah diangkut secara rahasia, ternyata ada lorong tersembunyi untuk mengeluarkan pangan dibalik berbatuan samping benteng yang berbatasan langsung dengan hutan. “Sanchi, dari mana kamu mendapatkan begitu banyak pangan? Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Lothar. Lelaki itu tampak senang melihat tumpukan pangan dan obat di sudut gudang. “Aku mendapatkannya dari lumbung, aku rasa kerajaan tidak akan membiarkan warga desa kita mendapatkan pangan.” Sanchi sudah memikirkannya dengan matang. Tidak mungkin para prajurit di markas tidak tahu tentang pemberontak yang menghancurkan desa mereka. Setiap desa memiliki mata-mata yang diutus oleh kerajaan, Sanchia melupakan fakta besar itu. Akan sangat mungkin jika kerajaan mau maka dengan sekali titah desa Odo bisa diselamatkan. Mengingat kemampuan mata-mata yang bekerja dengan kerajaan memiliki keahlian tingkat tinggi. “Sebagai prajurit kamu tidak seharusnya berpikir buruk pada kerajaan Sanch
Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.Uhuk!Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia b