“Ya, memang bukan obat tapi bisa membantu.” Mimik wajah Drogo membaik, Sanchia senang melihatnya. Setidaknya wajah datar lebih baik dari pada raut wajah kesal yang kentara.
“Apa yang kamu inginkan?” Perempuan itu tersenyum tipis, Drogo tidak pernah salah membaca motif seseorang. Itu yang membuat Sanchia menyukainya.
“Tidak banyak, hanya segelintir informasi.”
Ya, segelintir, dia hanya perlu sebuah petunjuk yang berharga. Yang sama berharganya dengan rahasia yang dia miliki.
Jika tidak untuk mendapatkan keuntungan dan mendesak Sanchia akan berpikir ribuan kali untuk melakukan hal berbahaya semacam ini. Dia harus membayar mahal untuk bantuan yang tidak seberapa pada lelaki itu.
“Informasi? Kasus beberapa hari yang lalu?” tanyanya menimbang-nimbang. Di lihat dari sudut mana pun lelaki dewasa itu tengah bimbang. Akan sangat aneh jika dia tidak bimbang karena informasi yang Sanchia inginkan adalah hal sensitif yang bisa menjadi bom waktu.
“Benar sekali, jadi informasi apa yang Paman tahu?” Sanchia tersenyum tipis, berusaha setenang mungkin. Dia sudah memprovokasi Jenderal Hantu hingga sejauh ini. Dia hanya berharap lelaki itu tidak mematahkan lehernya karena bersikap sembarangan.
Bagaimana pun juga di masa lalu, Drogo adalah lelaki yang bertindak tanpa menggunakan perasaan. Terkecuali untuk saudara perempuannya, Leffeda.
Drogo tersudut, tidak bisa menemukan jalan tengah, otaknya terasa buntu. Dia iba namun, terasa sulit mengiyakan tawaran Sanchia. Sesekali dia melirik kenalannya itu dari ekor matanya, raut wajah pucat disertai rintihan kecil dengan tubuh yang menggigil.
Lelaki asing itu benar-benar mempengaruhi Drogo, Sanchia tersenyum tipis melihat hal tersebut.
“Bantu dia dan Paman akan memberitahu beberapa informasi padamu,” ucap Drogo menghembuskan napasnya pelan. Sedikit informasi, dia bisa merelakannya meskipun enggan.
Sanchia menggelengkan kepalanya, dia tidak menginginkan beberapa informasi, tapi semua. Beberapa informasi tidak akan cukup membayar pengorbanannya. Bilang saja dia serakah, Sanchia tidak peduli. Semuanya setimpal.
Drogo terlalu banyak pertimbangan, lelaki itu tidak akan membiarkannya bertindak sendiri dalam membalas dendam. Akan ada banyak pihak yang terlibat dan tentunya akan sangat berbahaya.
Bahkan negara pun bisa terlibat di dalamnya dan kemungkinan terburuknya adalah perpecahan antar wilayah. Pemberontakan tidak akan terelakkan.
“Semua atau tidak sama sekali, kita memang cukup dekat tapi semuanya memiliki bayaran yang sepadan. Iya atau tidak, itu keputusan Paman. Waktunya dua jam atau tawaran saya tidak ada artinya lagi.”
Sanchia pergi, meninggalkan Drogo yang terdiam sembari mengepalkan tangannya. Dia kembali terpojok, nyawa atau kesetiaan?
“Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Sanchia pada Orella yang tengah mengawasi para prajurit yang tengah mengemas pangan yang sudah mulai menipis.
Sisa pangan hanya seperdelapan dari jumlah ruang kesediaan empat bulan ke depan. Sama sekali tidak akan cukup bahkan untuk tiga minggu ke depan. Selain prajurit mereka juga harus membagikan beberapa makanan untuk warga desa.
Mereka tidak bisa membiarkan saudara mereka mati kelaparan.
“Prajurit yang dikirim ke markas belum kunjung tiba dari beberapa hari yang lalu, Nona,” balas Orella seadanya. Dia tidak bisa berbicara banyak meskipun ingin. Otoritasnya tidak sebesar itu. Seorang buronan sepertinya harus bersyukur diberikan kebebasan bergerak, meskipun terbatas.
“Kirim beberapa prajurit terlatih sebagai mata-mata ke markas, jika ada yang mencurigakan segera laporkan,” perintah Sanchia.
Prajurit utusan tanpa kabar hanya ada dua kemungkinan pertama terbunuh di perjalanan dan kedua tertahan karena beberapa keadaan.
“Prajurit terlatih tidak bisa pergi, Nona. sebagian dari mereka terluka dan sebagian lagi menjaga keamanan, jika dikurangi formasi akan kacau dan bisa membahayakan.”
Prajurit terlatih di markas hanya ada empat kelompok yang terdiri dari dua belas orang masing-masing. Mereka bertugas menjaga pertahanan di setiap bagian markas.Sebagai pertahanan pertama benteng, merekalah yang memiliki luka serius.
Sanchia tidak memikirkan hal itu, kali ini dia salah langkah.
“Kalau begitu bersiaplah Orella, kamu akan menjadi mata-mata desa Odo. Awasi markas dan berikan kabar secepatnya, jika ada cela kamu bisa memberitahukan keadaan desa Odo pada komandan sayap kiri, Hann. Beliau adalah salah satu kepercayaan desa Odo, dia akan membantu.”
Kali ini Sanchia telah memikirkannya. Sebelum mengabdi pada desa Odo, Orella bekerja sebagai mata-mata. Tentu saja mengintai bukan pekerjaan yang sulit untuknya yang sudah berpengalaman.
Selain itu kemampuan Orella tidak bisa dianggap remeh, oleh karena itu dia termasuk salah satu buronan kelas berat.
“Saya akan menjalankan perintah, Nona.” Badan Orella membungkuk, hormat pada cucu dari salah satu tetua desa Odo sekaligus bangsawan dari keluarga kemiliteran.
Dia sangat menghormati Sanchia karena kakek perempuan itu dia bisa menghirup udara dengan bebas, tanpa perlu tercekat udara pengap penjara bawah tanah.
“Jangan terlalu mempercayainya, Sanchi. Dia bisa saja membelot,” ucap Lothar memandang tubuh Orella yang kian menjauh. Sedari awal Lothar sudah tidak menyukai Orella yang mendapatkan pengampunan dengan mudah.
Sanchia menolehkan kepalanya, memandang Lothar dengan senyum tipis, “Mereka juga berhak memiliki kesempatan untuk membuktikan diri Kak.”
Kata ‘Mereka’ yang Sanchia ucapkan tentu saja mengacu pada buronan atau penjahat yang mengharapkan kesempatan kedua.
Setiap orang bisa berubah, Sanchia percaya hal tersebut.
“Di saat genting seperti ini? Akan sangat merepotkan jika dia membelot,” ungkap Lothar masih dengan nada tidak setuju.
Selain tidak menyukai Orella lelaki itu juga sangat hati-hati dalam bertindak. Dia tidak ingin melakukan hal yang tidak dia yakini.
“Kakak tenang saja, Sanchi sudah mengurusnya.” Ucapan Sanchia tidak bisa menghilangkan kegelisahan Lothar, bukannya tidak percaya namun keadaan yang memaksanya.
Jika kehidupan desa dan luar benteng tidak sekacau ini. Mungkin Lothar akan mendengarkan dan berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman di hatinya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan jika keadaannya pelik seperti ini?
Kamp medis diperluas mengingat banyaknya korban luka-luka. Menurut data bahkan ada beberapa puluh prajurit yang harus tinggal di kamp prajurit karena tidak cukup tempat. Prajurit yang terluka lebih parah diobati terlebih dahulu dan prajurit dengan luka sedang serta ringan akan menunggu giliran.
Mata Sanchia membelalak, “Apa yang terjadi?!” tanyanya sembari teriak keras.
Hening, kamp kesehatan terasa hening meskipun ada banyak orang di dalamnya. Setelah teriakan yang begitu tiba-tiba, tidak ada yang berani bersuara. Terlebih lagi sosok lelaki yang berdiri dengan belati di tangannya.Kepala lelaki itu menunduk, tangannya bergetar, dia tampak tertekan.“Apa tidak ada di antara kalian yang ingin bicara?”Hening, tidak ada yang menjawab, Sanchia menghela napas lelah. Apakah mereka menjadi bisu mendadak?“Kau, katakan apa yang terjadi.” Sanchia menunjuk prajurit di sana secara acak. Tidak peduli siapa yang penting dia mendapatkan informasi. Perempuan itu tidak pernah menduga perbedaan keadaan luar dan dalam kamp sangat berbeda.“Nona, ini hanya kesalahpahaman,” jawab lelaki itu tanpa emosi. Ucapannya terdengar meyakinkan, tidak ada jejak keraguan di matanya. Jika saja Sanchia tidak melihat ketegangan sebelumnya mungkin dia akan percaya.“Shh,” desis seorang lelaki m
Pangan dan obat-obatan sudah diangkut secara rahasia, ternyata ada lorong tersembunyi untuk mengeluarkan pangan dibalik berbatuan samping benteng yang berbatasan langsung dengan hutan. “Sanchi, dari mana kamu mendapatkan begitu banyak pangan? Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Lothar. Lelaki itu tampak senang melihat tumpukan pangan dan obat di sudut gudang. “Aku mendapatkannya dari lumbung, aku rasa kerajaan tidak akan membiarkan warga desa kita mendapatkan pangan.” Sanchi sudah memikirkannya dengan matang. Tidak mungkin para prajurit di markas tidak tahu tentang pemberontak yang menghancurkan desa mereka. Setiap desa memiliki mata-mata yang diutus oleh kerajaan, Sanchia melupakan fakta besar itu. Akan sangat mungkin jika kerajaan mau maka dengan sekali titah desa Odo bisa diselamatkan. Mengingat kemampuan mata-mata yang bekerja dengan kerajaan memiliki keahlian tingkat tinggi. “Sebagai prajurit kamu tidak seharusnya berpikir buruk pada kerajaan Sanch
Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.Uhuk!Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia b
Deru napas yang teratur itu membuat Kakek Aren menghela napas lega. Bagaimana tidak, setelah setengah jam bergulat dengan maut akhirnya Sanchi bisa mendapatkan oksigen untuk dihirup. Seolah katup paru-parunya kembali terbuka setelah tertutup rapat beberapa saat. Dadanya tidak lagi sesak, begitu pun suhu tubuhnya berangsur normal. Perjuangannya tidak berakhir sia-sia. “Istirahatlah dulu, Kakek akan meracik obat untukmu.” Kakek Aren mulai beranjak. Kondisi Sanchia lebih parah dari yang dia duga. Persiapan yang telah disiapkan pun tidak cukup untuk memulihkan tenaga perempuan itu. “Kakek, bagaimana dengan lelaki itu?” tanya Sanchia lirih. Setelah berjuang dengan keras, dia tidak mengharap kegagalan. Sudah sejauh ini, akan sangat menyesakkan jika terjadi kesalahan dan berakibat fatal. “Setelah bertukar nasib denganmu, apa yang bisa terjadi dengan lelaki itu? Meskipun terlambat ditangani dia akan sembuh cepat atau lambat!” balas Kakek Aren dengan nada tidak suka di ujung
Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki
“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Sanchia setelah menjelaskan situasi markas saat ini. Air muka kesembilan laki-laki itu tampak sama yaitu kemarahan yang kentara.Sanchia tersenyum puas. Bukankah rencananya akan berjalan dengan mudah jika semuanya memiliki tujuan yang sama?“Pergi dan selamatkan mereka, jika pun harus menanggung penghinaan dengan label pengkhianat di belakang nama juga tidak masalah.” Jenderal Berthar menyuarakan pendapatnya.“Tidak, kita tidak bisa menjadi pengkhianat,” bantah Froc dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Sanchia menatap Froc dengan wajah ingin tahu. ‘Apa rencananya?’“Apa maksudmu Froc?! Apakah kamu ingin mereka yang tidak bersalah meninggal dengan hina semacam itu? Meninggal di eksekusi dengan tuduhan pengkhianat adalah penghinaan untuk seluruh kesatria!” bentakan keras itu berasal dari Berthar. Tampaknya lelaki itu sudah mulai kesal dengan keadaan yang tid
Waktu dini hari, langit tengah gelap gulita. Hanya api obor yang kian bergerak setiap saat ketika terhembus angin menghantar perubahan musim. Sanchia dan Orella berlari tanpa suara menuju dinding samping markas militer kala pergantian penjaga terjadi. Mereka bergerak secepat mungkin dan menghitung dalam hati secara konstan.Melakukan segalanya sesuai rencana yang telah ditetapkan.“Ash.” Sanchia menundukkan kepalanya kala tidak sengaja melihat prajurit berjalan tidak jauh dari posisinya berdiri. Dinding yang berdiri di dekatnya benar-benar berfungsi untuk menutupi keberadaannya.“Di mana mereka ditahan?” tanya Sanchia pada Orella dengan isyarat.Seolah paham, Orella mengkode Sanchia untuk bergerak mengikutinya. Setelah beberapa saat bersembunyi dan menghindar akhirnya mereka melihat sebuah kurungan besi besar yang diisi oleh dua puluh orang dengan kain hitam yang menutupi kepala mereka satu persatu.Sanchia dan Orella berjalan mengendap-endap di tengah kege
Kenno dan Yurz saling bertukar pandang. Situasinya lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Bagaimana mungkin klan pedagang yang memiliki ambisi menguasai benua berada di tengah hutan penuh perangkap dan bahaya seperti ini?“Buktikan kalau kalian bukan musuh,” ujar Kenno tegas. Klan pedagang atau perampok, jika mereka memiliki hati nurani yang baik maka semuanya adalah teman, jika tidak ketidaknyamanan ini hanya bisa di selesaikan oleh pertumpahan darah. Laki-laki atau perempuan, muda atau tua, selagi itu bersebrangan semuanya pantas mati.Setelah mempertimbangkan cukup lama, perempuan itu menghela nafas pelan seraya mengangguk dan mengeluarkan sebuah gulungan dari balik pakaiannya. Gulungan itu berisi segel kerajaan lama, tanda bahwa mereka dulunya adalah sekutu kerajaan.“Kami membawa ini sebagai bukti. Kami dulu adalah bagian dari kerajaan, tapi setelah pergantian raja, kami dijadikan kambing hitam dan diasingkan,” jelas perempuan itu. “Nama saya Elara, dan kami adalah bandit gunun
Kawasan hutan yang mereka lewati adalah bagian utara gunung yang terkenal akan hewan buas dan bandit gunung. Entah mengapa mereka baru menyadari hal itu ketika melihat banyaknya perangkap yang membentang di sepanjang jalan. “Perhatikan jalan, bandit gunung kemungkinan besar berada tidak jauh dari sini,” ujar Kenno waspada. Manik matanya menatap tanda kecil di pohon sebagai identitas kejahatan yang meresahkan masyarakat itu. “Bandit gunung? Bukankah mereka adalah pemberontak yang berjuang untuk membebaskan wilayah mereka dari kerajaan. Karena mereka kalah jumlah, akhirnya mereka dipukul mundur menuju gunung supaya mati diserang hewan buas.” “Iya, tapi itu hanya sebagian kebenarannya saja. Bandit gunung sebenarnya adalah warga desa Qrx. Warga minoritas yang dilindungi oleh raja terdahulu. Mereka sangat setia, setelah mereka mengetahui pergantian raja dan menemukan kejanggalan dalam kematiannya mereka menuntut keadilan.” “Apalah daya, warga biasa akan kalah oleh penguasa dan prajurit
Sanchia menatap puas atas keputusan akhir yang diperoleh. Tidak, bukan hanya Sanchia tapi semua orang juga merasa puas. Bagaimana tidak, jika lelaki yang sebelumnya dikuasai oleh aura membunuh itu kini memegang pedang untuk berjuang bersama. Bukankah itu keberuntungan mereka?Hanya orang-orang yang telah merasakan keputusasaan yang memiliki tekad baja untuk berjuang. Hanya mereka yang pernah berada di ujung tombak yang memahami pentingnya kesempatan dan jalan keluar.“Peringatan terakhir, kami hanya bekerja sama dengan orang-orang yang tahu pentingnya kejujuran. Kami tidak ingin direpotkan dengan pengkhianatan ataupun trik remeh. Jika ada yang keberatan dan tidak terima dengan keputusannya. Silakan pergi, kami dengan senang hati akan menghitung utang budi suatu saat nanti,” kata Kenno dengan senyum tipis khasnya.Sanchia bisa melihat kekejaman di balik kilat matanya yang menajam. ‘Silakan pergi katanya?’ bukankah itu berarti dia meminta m
Waktu dini hari, langit tengah gelap gulita. Hanya api obor yang kian bergerak setiap saat ketika terhembus angin menghantar perubahan musim. Sanchia dan Orella berlari tanpa suara menuju dinding samping markas militer kala pergantian penjaga terjadi. Mereka bergerak secepat mungkin dan menghitung dalam hati secara konstan.Melakukan segalanya sesuai rencana yang telah ditetapkan.“Ash.” Sanchia menundukkan kepalanya kala tidak sengaja melihat prajurit berjalan tidak jauh dari posisinya berdiri. Dinding yang berdiri di dekatnya benar-benar berfungsi untuk menutupi keberadaannya.“Di mana mereka ditahan?” tanya Sanchia pada Orella dengan isyarat.Seolah paham, Orella mengkode Sanchia untuk bergerak mengikutinya. Setelah beberapa saat bersembunyi dan menghindar akhirnya mereka melihat sebuah kurungan besi besar yang diisi oleh dua puluh orang dengan kain hitam yang menutupi kepala mereka satu persatu.Sanchia dan Orella berjalan mengendap-endap di tengah kege
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Sanchia setelah menjelaskan situasi markas saat ini. Air muka kesembilan laki-laki itu tampak sama yaitu kemarahan yang kentara.Sanchia tersenyum puas. Bukankah rencananya akan berjalan dengan mudah jika semuanya memiliki tujuan yang sama?“Pergi dan selamatkan mereka, jika pun harus menanggung penghinaan dengan label pengkhianat di belakang nama juga tidak masalah.” Jenderal Berthar menyuarakan pendapatnya.“Tidak, kita tidak bisa menjadi pengkhianat,” bantah Froc dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Sanchia menatap Froc dengan wajah ingin tahu. ‘Apa rencananya?’“Apa maksudmu Froc?! Apakah kamu ingin mereka yang tidak bersalah meninggal dengan hina semacam itu? Meninggal di eksekusi dengan tuduhan pengkhianat adalah penghinaan untuk seluruh kesatria!” bentakan keras itu berasal dari Berthar. Tampaknya lelaki itu sudah mulai kesal dengan keadaan yang tid
“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh
Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki
Deru napas yang teratur itu membuat Kakek Aren menghela napas lega. Bagaimana tidak, setelah setengah jam bergulat dengan maut akhirnya Sanchi bisa mendapatkan oksigen untuk dihirup. Seolah katup paru-parunya kembali terbuka setelah tertutup rapat beberapa saat. Dadanya tidak lagi sesak, begitu pun suhu tubuhnya berangsur normal. Perjuangannya tidak berakhir sia-sia. “Istirahatlah dulu, Kakek akan meracik obat untukmu.” Kakek Aren mulai beranjak. Kondisi Sanchia lebih parah dari yang dia duga. Persiapan yang telah disiapkan pun tidak cukup untuk memulihkan tenaga perempuan itu. “Kakek, bagaimana dengan lelaki itu?” tanya Sanchia lirih. Setelah berjuang dengan keras, dia tidak mengharap kegagalan. Sudah sejauh ini, akan sangat menyesakkan jika terjadi kesalahan dan berakibat fatal. “Setelah bertukar nasib denganmu, apa yang bisa terjadi dengan lelaki itu? Meskipun terlambat ditangani dia akan sembuh cepat atau lambat!” balas Kakek Aren dengan nada tidak suka di ujung
Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.Uhuk!Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia b