Share

Bab 2

“Jika marah, jangan menyakiti dirimu sendiri, Sanchi.” Sanchia bergeming, tidak memedulikan ucapan Lothar yang membuat telinganya panas.

Dia juga mengabaikan rasa sakit yang menjalar dibalik jari-jari yang tengah dibalut kain itu. Tangannya terluka karena batu yang dia pukul beberapa saat yang lalu memiliki bagian-bagian runcing dan tajam. Meskipun pecah, tangan perempuan itu juga terluka.

“Aku sudah mengatakannya berulang kali, mengapa kamu tidak juga mengerti?” tanya Lothar jengkel.

Sanchia adalah sosok menyebalkan baginya, perempuan itu selalu punya cara untuk membuatnya marah. Kadang diamnya Sanchia mampu membuat emosi Lothar membuncah seperti sekarang ini.

“Aku ingin sendiri Kak,” lirih Sanchia. Dia benar-benar ingin sendiri. Semakin lama, dadanya kian terasa sesak.

Dia kehilangan sosok yang penting dalam hidupnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit sebesar itu. Dia lemah, lemah karena separuh jiwanya telah hilang. Dia tidak bisa berpura-pura kuat.

Di desa Odo tidak ada tempat yang bisa dikatakan baik. Puing-puing reruntuhan bekas kebakaran masih terasa panas. Bangunan tertinggi di desa itu bahkan runtuh dan tidak berbentuk lagi, apa lagi tempat tahanan bawah tanah juga terbuka.

“Tunggu? Ruang tahanan bawah tanah terbuka?” Sanchia berdiri tanpa aba-aba, menghapus air matanya cepat. Tidak mungkin desa mereka dihancurkan hanya karena dijarah. Pasti ada hal yang lebih besar. Mata Sanchia membulat, seketika otaknya berpikir jernih.

Perempuan itu berlari, menuju benteng timur desa yang memiliki penjagaan paling ketat sebelumnya. Mengabaikan isak tangis dan teriakan yang memekakkan telinga.

Banyak dari keluarga yang ditinggalkan terpuruk, terkhusus anak cucu yang usianya jauh dari kata dewasa.

“Sial, bagaimana aku bisa melupakan hal sebesar ini,” gerutu Sanchia sembari mempercepat langkahnya.

Benteng tinggi berada di depan sana, bangunan tinggi itu tampak masih berfungsi walau tidak cukup optimal. Pemanah yang berdiri di atas benteng itu siaga, bersiap untuk melepaskan anak panah jika dia masih melangkah maju.

Sanchia tidak tersinggung atas sikap kurang ajar mereka, dia paham kondisi sekarang ini sangat kacau.

Jika menurut aturan desa, prajurit benteng dilarang mengacungkan senjata pada tetua dan para keturunannya. Jika ada yang melakukannya, mereka akan dianggap memberontak dan dihukum dua puluh pukulan kayu.

“Sanchia, cucu ketua ketiga.”

Token berwarna cokelat corak zaman kuno Sanchia acungkan, sebagai tanda pengenal bangsawan dan keturunan tetua desa Odo. Anak panah ditarik kembali, mereka menundukkan kepalanya singkat sebagai penghormatan dan permintaan maaf.

Gerbang kayu tebal dan berlapis besi itu terbuka, menampilkan kondisi kacau yang terjadi di dalam benteng.

“Bagaimana keadaan di sini?” tanya Sanchia pada seorang perempuan yang sangat dia kenal. Orella seorang tahanan wanita yang tangguh, mengabdikan diri pada desa Odo yang melindunginya dari eksekusi enam tahun lalu.

“Buruk, hampir setengah dari pangan terbakar dan seperempatnya menghilang. Dua ratus tujuh puluh sembilan prajurit tewas dengan dua komandan dan empat ratus tiga puluh dua luka-luka.”

“Di sini tidak ada pemimpin dan hampir dari keseluruhan benteng terbakar. Hanya gudang bawah tanah dan tempat persembunyian bawah tanah yang masih aman.”

Mereka bicara sembari berjalan, sesekali Sanchia menatap sekelilingnya. Para prajurit tengah membangun kembali tempat pertahanan terakhir desa Odo ini dengan bahan seadanya.

“Para tahanan?”

“Tahanan kelas ringan dan sedang, mereka semua kabur. Sedangkan kelas berat masih berada di tempatnya, mereka juga yang membantu prajurit mempertahankan benteng. Tanpa mereka, tidak akan ada yang tersisa di benteng ini.” Sanchia menganggukkan kepalanya, dia sudah menduganya.

Penjahat kelas sedang dan ringan cenderung tidak bisa diajak bicara. Mereka bertindak sesuka hati karena tidak memiliki seseorang yang ditakuti. Sedangkan tahanan kelas berat mereka memiliki pemimpin yang ditakuti, yaitu Drogo.

Jenderal Hantu yang ditakuti. Dulu, dia adalah jenderal yang tidak terkalahkan namun, semua kehormatan itu ada sebelum dia membantai keluarga bangsawan yang melecehkan adiknya. Karena kekuasaan dan keresahan bangsawan lainnya dia mendapatkan pengasingan dan penjara seumur hidup dengan kategori kejahatan kelas berat.

“Saya akan pergi menemui Drogo.” Orella memberikan hormat sebelum meninggalkan Sanchia seorang diri di dekat pintu masuk penjara bawah tanah.

Sanchia menyembunyikan dirinya kala mendengar langkah kaki ringan mendekat. Seolah merasa terancam, perempuan itu meningkatkan kewaspadaannya. Dia yakin, yang mendekat ke arahnya bukan prajurit dari benteng.

Sosok lelaki menggunakan zirah itu berdiri di depan pintu penjara bawah tanah. Penyusup, itu yang Sanchia duga. Seorang prajurit biasa tidak mungkin memiliki teknik khusus.

“Siapa?” tanya Sanchia setelah mengunci tubuh lelaki itu setelah melemparkan jarum racun racikannya.

Sanchia bisa melihat, racun yang dia gunakan sudah mulai menyebar, terbukti tubuh tegap lelaki itu sudah bergetar lemas dan jatuh berlutut. Tapi, racun yang dia berikan tidak terlalu kuat mengapa lelaki itu mengalami reaksi yang berlebihan?

Sanchia terdiam beberapa saat. Lelaki itu tergeletak pingsan, darah hitam keluar dari sudut bibirnya. Dia mendesis pelan, racun racikannya tampak bereaksi dengan racun lainnya. Lelaki itu telah diracuni sebelum tiba di tempat ini.

“Sanchi kamu kembali?” Suara berat dan familier itu mengalihkan perhatian Sanchia dari sosok lelaki asing yang dia curigai.

“Ya, Paman, Sanchi kembali” balas Sanchia singkat, dia kembali mengalihkan perhatiannya pada lelaki yang meringis pelan di ambang kesadarannya.

Drogo mendekati lelaki yang tergeletak sembarang itu, tangannya bergerak memeriksa, “Apa yang terjadi dengannya?” Sanchia terpaku, sikap Drogo kali ini tidak pernah dia harapkan.

Drogo yang dia kenal adalah sosok lelaki dingin nan acuh, lalu ada apa sekarang? Apakah mereka saling mengenal?

“Paman mengenalnya? Awalnya aku memberinya racun pelumpuh namun, siapa sangka racun itu beradu dengan racun lain,” cetus Sanchia jujur. Tidak ada alasan untuknya berbohong.

“Hanya kenalan biasa, Paman akan membawanya ke dalam.” Sanchia membantu Drogo untuk menempatkan lelaki asing itu di tempat yang bersih. Setidaknya tempat yang cukup nyaman untuk berbaring.

“Sanchi, apakah kamu bisa mengobatinya?” tanya Drogo tanpa emosi, tatapannya tertuju pada wajah pucat tanpa kesadaran itu.

“Tidak ada obat untuk racunnya, Paman,” jawab Sanchia serius. Terlalu banyak racun yang berada di tubuh lelaki itu. Menetralkan racunnya hanya akan memberikan efek yang lebih menyakitkan.

 Sanchia tidak ingin mengambil risiko, satu kesalahan lelaki itu bisa mati.

“Kesembuhannya, tergantung dari tekadnya. Jika dia kalah, dalam kurun waktu kurang dari seminggu dia akan menghembuskan napas terakhirnya.” Drogo terdiam, tidak ada ekspresi yang kentara di wajah setengah baya itu. Drogo terlalu pandai menyembunyikan ekspresinya. Namun, Sanchia tahu, lelaki itu bukan orang asing bagi Drogo.

“Dia bukan orang sembarangan.” Lelaki itu masih terdiam, tidak berniat untuk menjawab atau menjelaskan.

Sanchia hanya menatap ekspresi wajahnya sekilas lalu duduk di tumpukan jerami di pinggir sel tahanan. Jika dilihat-lihat, tinggal di penjara tidaklah buruk, selain memiliki tempat sendiri ada tiga kali jatah makan setiap harinya.

Ruang selnya juga cukup bersih, dengan jerami yang menumpuk di bagian sisi dan alas tikar usang untuk tidur. Cukup layak dibandingkan dengan gelandangan di pinggir jalan kumuh samping pasar.

Meskipun begitu, Sanchia tidak ingin berlama-lama di tempat ini, terlalu pengap dan gelap, mata dan pernapasannya sedikit terganggu.

“Aku bisa melakukan sesuatu untuknya,” ucap Sanchia mengalihkan perhatian Drogo.

“Bukankah katamu tadi tidak ada obat?” Ekspresi Drogo berubah muram, tidak senang. Apakah dia sedang dipermainkan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status