Pangan dan obat-obatan sudah diangkut secara rahasia, ternyata ada lorong tersembunyi untuk mengeluarkan pangan dibalik berbatuan samping benteng yang berbatasan langsung dengan hutan.
“Sanchi, dari mana kamu mendapatkan begitu banyak pangan? Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Lothar. Lelaki itu tampak senang melihat tumpukan pangan dan obat di sudut gudang.
“Aku mendapatkannya dari lumbung, aku rasa kerajaan tidak akan membiarkan warga desa kita mendapatkan pangan.” Sanchi sudah memikirkannya dengan matang. Tidak mungkin para prajurit di markas tidak tahu tentang pemberontak yang menghancurkan desa mereka.
Setiap desa memiliki mata-mata yang diutus oleh kerajaan, Sanchia melupakan fakta besar itu. Akan sangat mungkin jika kerajaan mau maka dengan sekali titah desa Odo bisa diselamatkan. Mengingat kemampuan mata-mata yang bekerja dengan kerajaan memiliki keahlian tingkat tinggi.
“Sebagai prajurit kamu tidak seharusnya berpikir buruk pada kerajaan Sanchi, kamu bisa dicap sebagai pengkhianat jika ada yang mendengar ucapanmu,” tegur Lothar.
Matanya menajam, dia dilatih dengan keras, tidak ada keraguan pada kerajaan di dalam dirinya. Dia hidup dari berkah keluarga kerajaan.
“Kamu akan menyesal setelah aku membuktikannya.” Sanchia meninggalkan Lothar dengan kemarahan.
Lothar hanya memandang kepergian Sanchia datar. Mengabaikan opini Sanchia yang tidak masuk akal menurutnya. Desa Odo adalah desa terpencil dengan kekuatan yang besar. Kerajaan akan sangat rugi jika desa Odo hilang dari peradaban.
Keyakinannya pada kerajaan sanggatlah kuat.
“Kamu dari mana saja Sanchi?” Drogo bertanya dengan nada panik.
“Eh, mengapa Paman bertanya? Bukankah Paman tidak ingin membuat kesepakatan?”
Ah, Sanchia lupa dengan lelaki yang tengah sekarat itu. Jika dia ingat-ingat sekarang telah empat jam berlalu. Astaga, memindahkan pangan membutuhkan waktu yang sangat lama ternyata.
‘Uhuk’
Laki-laki itu terbatuk, mengeluarkan darah hitam yang pekat. Sanchia melihatnya dengan kerlingan mata jijik. Semua orang tahu, betapa menjijikkannya muntah seseorang. Terlebih lagi ini darah hitam pekat dengan bau yang tidak sedap.
“Kamu yang tidak kunjung datang Sanchi, Paman sudah menunggu sedari dua jam yang lalu,” bantah Drogo dengan nada tinggi. Urat lehernya menunjukkan bahwa lelaki itu tengah marah.
‘He, apa salahnya, bukankah sedari awal lelaki itu enggan menyetujui kesepakatan yang dia buat?’ pikir Sanchia. Setidaknya jika Drogo tidak mau buka mulut, dia akan mencari seseorang yang dengan suka rela menjelaskan informasi yang dia inginkan.
“Dua jam telah berlalu Paman, kesepakatan kita otomatis batal,” balas Sanchia ringan tanpa emosi.
“Tidakkah ada cara lain Sanchi? Paman akan memberitahu apa pun yang kamu mau, tolong lakukan sesuatu untuknya,” mohon Drogo.
Lelaki berbadan besar itu tampak putus asa. Mungkin melihat penampakan lelaki itu yang berlumur darah hitam membuatnya khawatir.
“Paman, kamu tidak akan mampu membayarnya.” Sanchia berucap sungguh-sungguh, tidak bermaksud meremehkan.Setiap menitnya adalah pengurangan nyawa bagi lelaki itu. Semakin lama, rasa sakit yang menggerogoti organ dalam tubuh lelaki itu kian bertambah.
Sanchia bergidik ngeri, rasa sakitnya tidak main-main. Terlebih lagi jika menggunakan api neraka rasa sakitnya akan berlipat-lipat.
Konon beribu-ribu tahun yang lalu, sebelum zaman ini ada. Ada seorang ahli, menciptakan api neraka dengan darahnya. Api neraka dapat menjadi obat terampuh dalam menangani racun.
Namun, untuk menciptakannya api neraka membutuhkan darah garis keturunannya sendiri. Dengan ciri khusus yaitu, darah merah kehitaman yang mengental.
“Jika pun tidak bisa dibayar dengan emas, saya akan membayarnya dengan nyawa saya.” Drogo berkata dengan penuh keyakinan. Lelaki itu putus asa. Dia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan junjungannya.
“Kamu berutang denganku Paman,” ucap Sanchia setelah menghela napas berat. Demi segenggam informasi Sanchia rela melakukan hal gila semacam ini.
‘Ayah, Ibu, maaf,’ lirih Sanchia dalam hati. Dia hanya bisa berdoa, memohon ayah dan ibunya tidak marah di atas sana.
Malam hari yang dingin, udara menghembus. Rambut panjang Sanchia beterbangan. Balai desa, di tanah lapang tempat biasa eksekusi tahanan. Sanchia menatap lamat-lamat langit malam yang mendung. Tanpa bulan, hanya obor yang menyinari tempat ter-larang itu.
“Apakah kamu yakin Sanchi?” tanya lelaki tua dengan janggut putih panjang memenuhi dagunya. Penjaga tempat terlarang, satu-satunya tetua yang masih hidup hingga saat ini.
Awalnya Sanchia kaget melihat sosok lelaki yang sudah menua itu berdiri di depannya. Namun, tidak lama setelah itu dia memahami mengapa lelaki itu masih ada di sana setelah bertahun-tahun tidak menunjukkan keberadaannya.
“Sanchi yakin Kakek.” Lelaki tua itu menganggukkan kepalanya paham. Tidak ada gunanya membujuk seseorang yang sudah mengambil keputusan. Hanya ada kesia-siaan.
“Kakek akan membantu, setidaknya kamu tidak harus menukar nyawa untuk lelaki itu,” ucap Kakek Aren. Jika saja dia tidak mengenal leluhur perempuan itu dia tidak mau repot-repot membantu.
“Jangan coba-coba untuk menyerah atau kamu yang akan terbakar api neraka.” Kakek Aren berkata dengan penuh penekanan.
Kayu bakar telah disusun menyerupai portal, rempah-rempah telah ditabur tepat di atas tumpukan kayu. Kakek Aren menyiram minyak dengan hati-hati, Sanchia memejamkan matanya membuka balutan hitam di tangannya. Terlihat goresan besar di tangan perempuan itu, goresan berwarna gelap melintang bekas darah mengering.
“Itu ....” Mata Kakek Aren melotot melihat bekas luka yang begitu familier. Kenangan masa lalu menyeruak di kepalanya. Ritual yang serupa mengorbankan bayi perempuan yang masih berusia lima bulan.
Pisau tajam, menyayat tangan mungil bayi perempuan itu. Tangisnya bahkan tidak membuat para keluarga kerajaan iba, hanya kedua orang tua bayi itu yang menangis dalam ikatan rantai besi. Tidak mampu mencegah putrinya dilukai.
Semua orang melihatnya namun, tidak ada yang membantu. Tidak disangka bayi perempuan itu adalah Sanchi, cucu temannya sendiri. Kakek Aren merasa tidak berdaya untuk kedua kalinya.
Cepat-cepat kakek Aren mengusap air matanya, kali ini dia tidak akan gagal. Jika dulu dia tidak mampu berbuat apa pun, sekarang dia mampu. Dia memiliki pengetahuan untuk mempercepat reaksi api neraka. Sanchia, gadis itu tidak akan menderita dalam waktu yang lama.
“Tidak akan,” lirih kakek Aren dengan tekad. Darah merah kehitaman mengalir dilalap api, semakin bayak darah yang mengalir semakin besar nyala api.
Drogo mengepalkan tangannya, dia tidak tahu cara yang Sanchia maksud adalah cara terlarang. Masuk akal jika Sanchia berkata dia tidak akan mampu membayarnya. Karena taruhannya adalah nyawa.
Drogo ingat, ketika usianya menginjak lima belas tahun. Adik kandung raja mengalami pendarahan hebat karena panah beracun. Kala itu, pangeran kritis, tidak ada seorang dokter pun yang mampu menyembuhkannya.
Hanya satu metode yang bisa menyembuhkannya yaitu Api Neraka. Nyala api merah yang dibangkitkan dari darah merah kehitaman. Setelah beberapa hari mencari akhirnya peramal memberikan jawaban, yaitu bayi berusia lima bulan dari keluarga ternama.
“Cari bayi itu dan dapatkan dengan selamat,” titah panglima yang masih duduk di atas kudanya depan kediaman keluarga Carloman.
“Habisi semua yang menghalangi!” Sejak perintah dijatuhkan maka sejak itulah kehancuran dipastikan.
Para prajurit termasuk Drogo, menghunus pedang mereka. Membasuh kediaman itu dengan darah. Mengingat kenyataan pahit itu membuat Drogo ingin membunuh dirinya sendiri.
Ternyata, orang yang selalu baik padanya adalah orang yang pernah dia lukai di masa lalu, lantas jika Sanchia tahu kenyataan pahit ini, apa yang akan perempuan itu lakukan?
Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.Uhuk!Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia b
Deru napas yang teratur itu membuat Kakek Aren menghela napas lega. Bagaimana tidak, setelah setengah jam bergulat dengan maut akhirnya Sanchi bisa mendapatkan oksigen untuk dihirup. Seolah katup paru-parunya kembali terbuka setelah tertutup rapat beberapa saat. Dadanya tidak lagi sesak, begitu pun suhu tubuhnya berangsur normal. Perjuangannya tidak berakhir sia-sia. “Istirahatlah dulu, Kakek akan meracik obat untukmu.” Kakek Aren mulai beranjak. Kondisi Sanchia lebih parah dari yang dia duga. Persiapan yang telah disiapkan pun tidak cukup untuk memulihkan tenaga perempuan itu. “Kakek, bagaimana dengan lelaki itu?” tanya Sanchia lirih. Setelah berjuang dengan keras, dia tidak mengharap kegagalan. Sudah sejauh ini, akan sangat menyesakkan jika terjadi kesalahan dan berakibat fatal. “Setelah bertukar nasib denganmu, apa yang bisa terjadi dengan lelaki itu? Meskipun terlambat ditangani dia akan sembuh cepat atau lambat!” balas Kakek Aren dengan nada tidak suka di ujung
Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki
“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Sanchia setelah menjelaskan situasi markas saat ini. Air muka kesembilan laki-laki itu tampak sama yaitu kemarahan yang kentara.Sanchia tersenyum puas. Bukankah rencananya akan berjalan dengan mudah jika semuanya memiliki tujuan yang sama?“Pergi dan selamatkan mereka, jika pun harus menanggung penghinaan dengan label pengkhianat di belakang nama juga tidak masalah.” Jenderal Berthar menyuarakan pendapatnya.“Tidak, kita tidak bisa menjadi pengkhianat,” bantah Froc dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Sanchia menatap Froc dengan wajah ingin tahu. ‘Apa rencananya?’“Apa maksudmu Froc?! Apakah kamu ingin mereka yang tidak bersalah meninggal dengan hina semacam itu? Meninggal di eksekusi dengan tuduhan pengkhianat adalah penghinaan untuk seluruh kesatria!” bentakan keras itu berasal dari Berthar. Tampaknya lelaki itu sudah mulai kesal dengan keadaan yang tid
Waktu dini hari, langit tengah gelap gulita. Hanya api obor yang kian bergerak setiap saat ketika terhembus angin menghantar perubahan musim. Sanchia dan Orella berlari tanpa suara menuju dinding samping markas militer kala pergantian penjaga terjadi. Mereka bergerak secepat mungkin dan menghitung dalam hati secara konstan.Melakukan segalanya sesuai rencana yang telah ditetapkan.“Ash.” Sanchia menundukkan kepalanya kala tidak sengaja melihat prajurit berjalan tidak jauh dari posisinya berdiri. Dinding yang berdiri di dekatnya benar-benar berfungsi untuk menutupi keberadaannya.“Di mana mereka ditahan?” tanya Sanchia pada Orella dengan isyarat.Seolah paham, Orella mengkode Sanchia untuk bergerak mengikutinya. Setelah beberapa saat bersembunyi dan menghindar akhirnya mereka melihat sebuah kurungan besi besar yang diisi oleh dua puluh orang dengan kain hitam yang menutupi kepala mereka satu persatu.Sanchia dan Orella berjalan mengendap-endap di tengah kege
Sanchia menatap puas atas keputusan akhir yang diperoleh. Tidak, bukan hanya Sanchia tapi semua orang juga merasa puas. Bagaimana tidak, jika lelaki yang sebelumnya dikuasai oleh aura membunuh itu kini memegang pedang untuk berjuang bersama. Bukankah itu keberuntungan mereka?Hanya orang-orang yang telah merasakan keputusasaan yang memiliki tekad baja untuk berjuang. Hanya mereka yang pernah berada di ujung tombak yang memahami pentingnya kesempatan dan jalan keluar.“Peringatan terakhir, kami hanya bekerja sama dengan orang-orang yang tahu pentingnya kejujuran. Kami tidak ingin direpotkan dengan pengkhianatan ataupun trik remeh. Jika ada yang keberatan dan tidak terima dengan keputusannya. Silakan pergi, kami dengan senang hati akan menghitung utang budi suatu saat nanti,” kata Kenno dengan senyum tipis khasnya.Sanchia bisa melihat kekejaman di balik kilat matanya yang menajam. ‘Silakan pergi katanya?’ bukankah itu berarti dia meminta m
Kawasan hutan yang mereka lewati adalah bagian utara gunung yang terkenal akan hewan buas dan bandit gunung. Entah mengapa mereka baru menyadari hal itu ketika melihat banyaknya perangkap yang membentang di sepanjang jalan. “Perhatikan jalan, bandit gunung kemungkinan besar berada tidak jauh dari sini,” ujar Kenno waspada. Manik matanya menatap tanda kecil di pohon sebagai identitas kejahatan yang meresahkan masyarakat itu. “Bandit gunung? Bukankah mereka adalah pemberontak yang berjuang untuk membebaskan wilayah mereka dari kerajaan. Karena mereka kalah jumlah, akhirnya mereka dipukul mundur menuju gunung supaya mati diserang hewan buas.” “Iya, tapi itu hanya sebagian kebenarannya saja. Bandit gunung sebenarnya adalah warga desa Qrx. Warga minoritas yang dilindungi oleh raja terdahulu. Mereka sangat setia, setelah mereka mengetahui pergantian raja dan menemukan kejanggalan dalam kematiannya mereka menuntut keadilan.” “Apalah daya, warga biasa akan kalah oleh penguasa dan prajurit