Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.
Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki itu berubah, Sanchia tahu jika lelaki itu percaya padanya.“Minum obat dan tidur, Paman Drogo akan kembali,” ujar Sanchia acuh. Dia tidak benar-benar ingin menjaga orang dari istana ini.Setelah merawatnya selama dua hari, Sanchia bisa mengambil kesimpulan atas identitasnya. Dari simbol di anting lelaki itu Sanchia tahu, bahwa dia adalah salah satu anggota keluarga kerajaan. Tapi, tidak tahu bagaimana identitas jelasnya.Orang awam mungkin tidak tahu namun, Sanchia adalah prajurit yang dilatih. Orang tuanya mantan bangsawan yang disingkirkan. Sedikit banyak tahu pertikaian orang-orang besar di ibu kota terlebih lagi istana.Mereka mungkin serumpun namun, Sanchia tidak bisa bersikap buta sehingga tidak bisa mengenali musuh dan kawan.“Paman, bagaimana dengan Kakek?” tanya Sanchia ketika melihat sosok Drogo kembali dengan wajah datarnya.“Cukup baik, hanya lelah, tubuh Kakek Aren sudah tua. Tidak tahan dengan udara dingin dan aktivitas berlebih.” Drogo menjawab seadanya. Dia tidak terlalu suka membuang kata-katanya secara percuma.“Sanchi mengerti. Obat dan resep ada di atas meja. Berikan padanya tiga kali sehari sesudah makan. Malam nanti kita akan bicara.” Sanchia pergi tanpa banyak basa-basi. Baginya beberapa hari sudah cukup memberikan kelonggaran untuk mereka.“Apa yang Anda tukar untuk kesembuhan saya?” Lelaki itu bicara dengan nada sedang, sorot matanya begitu tenang. Tapi, tidak ada yang tahu, jika sorot itu jatuh bisa menghancurkan siapa saja.“Kesepakatan awal hanya kebenaran atas kejadian yang menimpa desa akhir-akhir ini namun, sekarang mungkin tidak lagi. Bahkan nyawa saya pun tidak akan mampu membayarnya, Tuan.” Drogo berkata dengan nada bergetar.“Tahu kesalahan Anda apa?” Nada bicaranya bertambah dingin dan berat, ketenangan yang sebelumnya ada hanyalah selubung gelembung untuk menutupi aura membunuh yang menguar.“Mohon ampun Tuan, saya tidak berdaya. Sebelumnya Sanchi hanya menjanjikan metode pencegahan. Tapi, kondisi Anda tidak memungkinkan sehingga bisa berakhir seperti ini.”“Saya mengakui kesalahan dan siap dihukum.” Drogo adalah seorang lelaki tentu saja dia tidak akan mengambil ucapan yang telah dimuntahkan.Seorang lelaki yang terhormat, dialah lelaki yang mampu menanggung tanggung jawabnya.“Apa hukuman yang pantas untuk seorang pengkhianat?”Drogo berlutut dan menundukkan kepalanya, dia benar-benar tidak bermaksud. “Tuan, saya tidak memiliki niat buruk. Semuanya demi Anda. Anda satu-satunya jalan keluar, bagaimana mungkin saya membiarkan nyawa anda pergi dengan sia-sia?”“Tuan, meskipun saya memilih jalan bertentangan namun, tujuannya tetap sama. Hanya untuk kerajaan. Sanchia juga bukanlah orang luar dan berbahaya. Dia bisa menerima kepercayaan dari Anda.” Drogo benar-benar berusaha keras untuk meyakinkan lelaki itu.Terbukti, dahinya berkerut dan terdiam cukup lama.Gelap, ruangan itu terasa amat sangat hening namun, tanpa desir udara tipis yang menghantam tubuh. Suasana cukup hangat. “Bagaimana?” Sanchia menatap Drogo yang baru saja muncul dari balik pintu.Wajah lelaki itu tampak tenang.“Kamu bisa bertanya dan Paman akan menjawabnya dengan jelas.” Sanchia menyadari Drogo yang tampak enggan bicara.“Baiklah, dimulai dari, Apa yang Paman ketahui tentang kondisi di istana beberapa tahu terakhir ini?” Mimik Drogo berubah, menatap Sanchia serius.“Apa yang telah kamu ketahui?” Pandangan mata dingin itu membuat tubuh Sanchia menggigil tanpa sadar.“Tidak banyak, jadi apa yang Paman ketahui?” Sanchia hanya ingin mendapatkan informasi tanpa mau memberikan informasi. Tidak peduli apa akibatnya nanti yang pasti Sanchia harus berhati-hati.“Huh, terlepas apa pun yang kamu ketahui, kamu harus bertindak logis. Jangan biarkan amarah dan dendam mengendalikan dirimu. Karena yang kamu ketahui belum tentu kebenaran yang sesungguhnya.” Bibir Sanchia berkedut.Apa maksudnya itu? Dirinya ditipu? Yang benar saja. Tapi, apa yang disampaikan oleh Drogo tidak sepenuhnya salah. Kakek Aren juga mengisyaratkan hal yang sama.“Karena Paman sangat mengkhawatirkan Sanchi salah mengambil keputusan karena separuh informasi, mengapa tidak Paman katakan semuanya saja?”“Yang Paman ketahui tidaklah banyak, bagaimanapun melihat dengan mata orang lain tidaklah leluasa.”Sanchia menganggukkan kepalanya paham. Dia mengerti walaupun Drogo memiliki banyak bawahan dan mata-mata . Tapi, selama ini dia terkurung di sangkar besi dan gelap. Bagaimana mungkin dia bisa menggambarkan secara rinci keadaan di luar sana. Belum lagi, bila ada kesalahan informasi dan kecerobohan lainnya.“Sebenarnya, kondisi kerajaan tidak cukup baik. Sebagai kesatria kamu juga tahu, ada banyak masalah yang muncul beberapa tahun terakhir ini. Konflik dengan beberapa kerajaan juga kian memburuk hingga mencapai batas toleransi.” Sanchia mendengarkan dengan serius.“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Sanchia setelah menjelaskan situasi markas saat ini. Air muka kesembilan laki-laki itu tampak sama yaitu kemarahan yang kentara.Sanchia tersenyum puas. Bukankah rencananya akan berjalan dengan mudah jika semuanya memiliki tujuan yang sama?“Pergi dan selamatkan mereka, jika pun harus menanggung penghinaan dengan label pengkhianat di belakang nama juga tidak masalah.” Jenderal Berthar menyuarakan pendapatnya.“Tidak, kita tidak bisa menjadi pengkhianat,” bantah Froc dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Sanchia menatap Froc dengan wajah ingin tahu. ‘Apa rencananya?’“Apa maksudmu Froc?! Apakah kamu ingin mereka yang tidak bersalah meninggal dengan hina semacam itu? Meninggal di eksekusi dengan tuduhan pengkhianat adalah penghinaan untuk seluruh kesatria!” bentakan keras itu berasal dari Berthar. Tampaknya lelaki itu sudah mulai kesal dengan keadaan yang tid
Waktu dini hari, langit tengah gelap gulita. Hanya api obor yang kian bergerak setiap saat ketika terhembus angin menghantar perubahan musim. Sanchia dan Orella berlari tanpa suara menuju dinding samping markas militer kala pergantian penjaga terjadi. Mereka bergerak secepat mungkin dan menghitung dalam hati secara konstan.Melakukan segalanya sesuai rencana yang telah ditetapkan.“Ash.” Sanchia menundukkan kepalanya kala tidak sengaja melihat prajurit berjalan tidak jauh dari posisinya berdiri. Dinding yang berdiri di dekatnya benar-benar berfungsi untuk menutupi keberadaannya.“Di mana mereka ditahan?” tanya Sanchia pada Orella dengan isyarat.Seolah paham, Orella mengkode Sanchia untuk bergerak mengikutinya. Setelah beberapa saat bersembunyi dan menghindar akhirnya mereka melihat sebuah kurungan besi besar yang diisi oleh dua puluh orang dengan kain hitam yang menutupi kepala mereka satu persatu.Sanchia dan Orella berjalan mengendap-endap di tengah kege
Sanchia menatap puas atas keputusan akhir yang diperoleh. Tidak, bukan hanya Sanchia tapi semua orang juga merasa puas. Bagaimana tidak, jika lelaki yang sebelumnya dikuasai oleh aura membunuh itu kini memegang pedang untuk berjuang bersama. Bukankah itu keberuntungan mereka?Hanya orang-orang yang telah merasakan keputusasaan yang memiliki tekad baja untuk berjuang. Hanya mereka yang pernah berada di ujung tombak yang memahami pentingnya kesempatan dan jalan keluar.“Peringatan terakhir, kami hanya bekerja sama dengan orang-orang yang tahu pentingnya kejujuran. Kami tidak ingin direpotkan dengan pengkhianatan ataupun trik remeh. Jika ada yang keberatan dan tidak terima dengan keputusannya. Silakan pergi, kami dengan senang hati akan menghitung utang budi suatu saat nanti,” kata Kenno dengan senyum tipis khasnya.Sanchia bisa melihat kekejaman di balik kilat matanya yang menajam. ‘Silakan pergi katanya?’ bukankah itu berarti dia meminta m
Kawasan hutan yang mereka lewati adalah bagian utara gunung yang terkenal akan hewan buas dan bandit gunung. Entah mengapa mereka baru menyadari hal itu ketika melihat banyaknya perangkap yang membentang di sepanjang jalan. “Perhatikan jalan, bandit gunung kemungkinan besar berada tidak jauh dari sini,” ujar Kenno waspada. Manik matanya menatap tanda kecil di pohon sebagai identitas kejahatan yang meresahkan masyarakat itu. “Bandit gunung? Bukankah mereka adalah pemberontak yang berjuang untuk membebaskan wilayah mereka dari kerajaan. Karena mereka kalah jumlah, akhirnya mereka dipukul mundur menuju gunung supaya mati diserang hewan buas.” “Iya, tapi itu hanya sebagian kebenarannya saja. Bandit gunung sebenarnya adalah warga desa Qrx. Warga minoritas yang dilindungi oleh raja terdahulu. Mereka sangat setia, setelah mereka mengetahui pergantian raja dan menemukan kejanggalan dalam kematiannya mereka menuntut keadilan.” “Apalah daya, warga biasa akan kalah oleh penguasa dan prajurit
Kenno dan Yurz saling bertukar pandang. Situasinya lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Bagaimana mungkin klan pedagang yang memiliki ambisi menguasai benua berada di tengah hutan penuh perangkap dan bahaya seperti ini?“Buktikan kalau kalian bukan musuh,” ujar Kenno tegas. Klan pedagang atau perampok, jika mereka memiliki hati nurani yang baik maka semuanya adalah teman, jika tidak ketidaknyamanan ini hanya bisa di selesaikan oleh pertumpahan darah. Laki-laki atau perempuan, muda atau tua, selagi itu bersebrangan semuanya pantas mati.Setelah mempertimbangkan cukup lama, perempuan itu menghela nafas pelan seraya mengangguk dan mengeluarkan sebuah gulungan dari balik pakaiannya. Gulungan itu berisi segel kerajaan lama, tanda bahwa mereka dulunya adalah sekutu kerajaan.“Kami membawa ini sebagai bukti. Kami dulu adalah bagian dari kerajaan, tapi setelah pergantian raja, kami dijadikan kambing hitam dan diasingkan,” jelas perempuan itu. “Nama saya Elara, dan kami adalah bandit gunun
Sanchia mengernyitkan dahinya, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi di langit yang diikuti bau hangus samar. Sanchia mempercepat laju kudanya, perasaannya tidak enak sekarang. Pandangannya menjadi suram kala melihat gerbang desa hancur sebagian.Dia terbelalak, kala matanya menatap bagian dalam desa yang hampir menyerupai daerah tua tertinggal. Menyeramkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sanchia memacu kudanya cepat, banyak rumah yang hancur dan berganti menjadi arang.“Ayah, Ibu, Sanchi harap kalian baik-baik saja.” Perempuan itu mencoba menepis pikiran negatif yang bersarang di kepalanya.Sanchia melompat turun dari kuda, menghampiri sosok lelaki yang tertelungkup tertimpa pintu kayu yang menghitam. Tanpa basa-basi dia menghempas sembarang pintu yang telah berubah menjadi setengah arang itu. Air matanya lolos, saat wajah sayu itu menghitam, luka bakar hampir menutupi sebagian wajahnya.“Ayah, bangun, Sanchi pulang.”&ld
“Jika marah, jangan menyakiti dirimu sendiri, Sanchi.” Sanchia bergeming, tidak memedulikan ucapan Lothar yang membuat telinganya panas.Dia juga mengabaikan rasa sakit yang menjalar dibalik jari-jari yang tengah dibalut kain itu. Tangannya terluka karena batu yang dia pukul beberapa saat yang lalu memiliki bagian-bagian runcing dan tajam. Meskipun pecah, tangan perempuan itu juga terluka.“Aku sudah mengatakannya berulang kali, mengapa kamu tidak juga mengerti?” tanya Lothar jengkel.Sanchia adalah sosok menyebalkan baginya, perempuan itu selalu punya cara untuk membuatnya marah. Kadang diamnya Sanchia mampu membuat emosi Lothar membuncah seperti sekarang ini.“Aku ingin sendiri Kak,” lirih Sanchia. Dia benar-benar ingin sendiri. Semakin lama, dadanya kian terasa sesak.Dia kehilangan sosok yang penting dalam hidupnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit sebesar itu. Dia lemah, lemah karena separuh jiwanya