Deru napas yang teratur itu membuat Kakek Aren menghela napas lega. Bagaimana tidak, setelah setengah jam bergulat dengan maut akhirnya Sanchi bisa mendapatkan oksigen untuk dihirup. Seolah katup paru-parunya kembali terbuka setelah tertutup rapat beberapa saat.
Dadanya tidak lagi sesak, begitu pun suhu tubuhnya berangsur normal. Perjuangannya tidak berakhir sia-sia.“Istirahatlah dulu, Kakek akan meracik obat untukmu.” Kakek Aren mulai beranjak. Kondisi Sanchia lebih parah dari yang dia duga. Persiapan yang telah disiapkan pun tidak cukup untuk memulihkan tenaga perempuan itu.“Kakek, bagaimana dengan lelaki itu?” tanya Sanchia lirih. Setelah berjuang dengan keras, dia tidak mengharap kegagalan. Sudah sejauh ini, akan sangat menyesakkan jika terjadi kesalahan dan berakibat fatal.“Setelah bertukar nasib denganmu, apa yang bisa terjadi dengan lelaki itu? Meskipun terlambat ditangani dia akan sembuh cepat atau lambat!” balas Kakek Aren dengan nada tidak suka di ujung kalimatnya.“Kakek benar, biarkan saja dia menanggung rasa sakit itu sendiri. Jika bukan karena kesepakatan mana mungkin Sanchi menanggung sakit semacam ini.” Wajah Sanchia muram, dia tidak berharap rasa sakitnya hingga ke tulang.“Kamu, anak bodoh! Bagaimana mungkin kamu melanggar batas wajar. Seharusnya kamu tahu untuk tidak menggunakan Darah Neraka lebih dari satu kali. Jika tidak ada aku, apakah kamu masih hidup hingga saat ini?” maki Kakek Aren. Lelaki tua itu benar-benar marah.Dahi Sanchia berkerut. “Mana mungkin? Ini yang pertama,” bantah Sanchia tidak terima.“Apakah kamu tidak tahu?”Sanchia menggelengkan kepalanya, dia tidak tahu apa pun. Di masa lalu, ketika dia merasa buruk dengan luka melintang di telapak tangannya. Orang tuanya mengatakan jika darahnya berharga, karena itu dia memiliki tanda istimewa.Tidak ada yang tahu pasti mengapa demikian namun, seiring dengan berjalannya waktu Sanchia tahu dia memiliki darah langka yang dinamakan Darah Neraka. Darah yang hanya dimiliki oleh garis keturunan sah yang terpilih.“Seharusnya Kakek tahu, mereka tidak akan memberi tahu kebenarannya. Sehingga kamu melakukan hal bodoh.” Kakek Aren menghela napas sekali lagi. Dia benar-benar tidak habis pikir. Kebiasaan generasi tua menyembunyikan masalah benar-benar membuat generasi muda kehilangan arah.Kakek Aren memberikan semangkuk obat kepada Sanchia, alu berkata, “Tanda di tanganmu itu, jangan pernah menganggapnya sebagai tanda lahir atau semacamnya.”Sanchia menatap luka di telapak tangannya. Darah hitam itu telah mengering namun, tidak akan pernah menutup. Luka lebar itu memang terlihat menyeramkan namun, itu tidak berarti apa-apa karena Sanchia sudah terbiasa.“Saat itu, kondisi kerajaan tengah genting. Setelah perang besar yang merenggut dua orang pangeran dan paman raja. Pangeran yang merupakan adik kandung raja menderita luka parah yang diakibatkan oleh panah beracun.”“Pangeran kritis, di ambang kematian. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali Darah Neraka.”“Darah Neraka adalah alternatif pengobatan terlarang. Selain mengorbankan nyawa, pemiliknya juga tidak terprediksi. Namun, lain cerita ketika peramal agung berkunjung dan mencetus identitas pemilih darah Neraka yaitu kamu yang masih berusia lima bulan.”“Bayi perempuan yang hanya tahu menangis itu dikorbankan setelah membanjiri kediaman Carloman dengan darah bawahan yang setia.”“Semua yang berada di kediaman Carloman dibantai dengan sadis, menyisakan kamu dan orang tuamu serta kakek, nenekmu yang memang telah berada di desa ini untuk diasingkan.”“Luka di tanganmu itu adalah bukti nyata kisah ini dan kekejaman mereka yang duduk di singgasana.”Sanchia terdiam, tidak bisa berkata-kata. Fakta besar ini mengejutkannya. Tidak heran, jika seluruh penduduk desa kurang menyukai kerajaan apa lagi raja.Meskipun sebagian besar dari mereka adalah prajurit dan kesatria. Mereka tidak benar-benar ingin melakukannya. Ada sebagian besar orang memang ingin mendapatkan posisi yang baik untuk kehidupan dan tujuan khusus.Tapi, Sanchia berbeda. Dia bertarung di medan perang dengan tulus. Semata-mata hanya untuk mengabdi. Rasa kasih dan baktinya pada kerajaan yang telah memberikan banyak berkah untuk mereka.“Apakah Sanchia salah langkah selama ini?”“Tentu saja! Bagaimana mungkin kamu tidak salah langkah.” Kakek Aren benar-benar tahu bagaimana menjawab.“Kakek, ada beberapa hal yang tidak Sanchi pahami. Mengapa kakek dan nenek diasingkan? Apakah semua warga desa juga sama, diasingkan?”“Semua orang di desa ini adalah mereka yang diasingkan. Mereka disingkirkan dari kota karena rasa iri dan upaya dalam menyingkirkan orang-orang setia raja terdahulu. Kakek, nenek, ayah dan ibumu adalah orang-orang yang setia. Tidak meninggalkan raja terdahulu meskipun beliau sudah turun dari singgasananya.”“Untuk mempertahankan posisinya, raja sekarang harus membangun simpati rakyat dan memainkan sedikit intrik.”“Kakek, bagaimana dengan masalah yang menimpa desa kita, apakah murni karena imbas perang atau sengaja untuk mengambil keuntungan?”Kakek Aren mengalihkan tatapannya pada langit hitam yang kelam. “Terlalu cepat untuk menyimpulkan semuanya, Sanchi. Ada banyak hal yang tidak diketahui, ada beberapa hal yang terlihat dan juga ada yang tidak. Akan sangat mungkin kesalahan terjadi jika hanya mengandalkan pandangan satu sisi.”“Kakek, apa maksud kamu sebenarnya? Beberapa saat lalu kamu menarik Sanchi kembali untuk balas dendam. Sekarang kamu tidak membiarkan Sanchi menyimpulkan beberapa fakta. Apa niat Kakek sebenarnya?” Mata Sanchia menggelap.Tidakkah Kakek Aren tahu jika dirinya memahami trik yang telah lelaki tua itu mainkan. Sebenarnya, apa tujuan Kakek Aren muncul? Bukankah selama ini dia bersembunyi dengan kematian palsu? Mengapa terjadi kebetulan semacam ini?“Huh, apa yang bisa Kakek lakukan? Tubuh ini sudah tua, napas pun sudah lemah. Tidak banyak hal yang Kakek inginkan dalam hidup ini.”“Tapi, Nak, generasi tua hanya sisa beberapa, generasi muda tidak tahu apa-apa. Kakek selaku salah satu Tetua yang tersisa tentu harus memberikan penjelasan atas kesuraman yang kalian terima. Akan rasa sakit dan kehilangan yang kalian rasakan.”“Generasi tua adalah pintu dan generasi muda adalah kunci.”“Nak, tanpa informasi yang bisa di percaya kalian tidak bisa bergerak. Mata-mata dan pengkhianat bersebaran di mana-mana. Mereka memiliki wujud namun, tidak bisa dilihat dengan pandangan biasa.”“Maksud Kakek ....”“Ya, mungkin kamu benar, bisa juga salah. Sanchi, kamu satu-satunya murid dari anakku karena itu aku membantu kamu. Rendri sangat kagum dan bangga pada kamu, Sanchi. Dia berharap banyak untukmu.”Sanchia menatap kosong lelaki yang tengah terbaring lemah di depannya. Wajah pucat itu tampak menyedihkan. Tapi tidak, bukan itu yang Sanchia pikirkan. Melainkan, ucapan tersirat yang Kakek Aren coba sampaikan.Semuanya terasa benar di dalam pikirannya namun, mengapa terasa mengganjal? Sanchia sedikit bimbang atas dirinya sendiri. Mengapa dia tidak mampu menyambungkan benang merah yang ada di setiap fakta.Dirinya yang tidak mampu atau ....“Sudah bangun? Jangan bergerak berlebihan.” Sanchia menahan lelaki itu untuk duduk dengan tiba-tiba. Tubuh itu terlalu lemah untuk digunakan dengan tenaga yang begitu besar. Alih-alih bisa bergerak sempurna, dia mungkin akan merusak organ intinya.“Siapa?” tanyanya dengan aura dingin samar menguar. Mencoba mengintimidasi namun, apa daya tubuhnya tidak cukup untuk menakuti seseorang.“Masih ingin bertingkah? Sebaiknya perhatikan tubuhmu dahulu. Jika aku adalah musuh, kamu tidak akan bisa membuka matamu lagi.” Mimik lelaki
“Paman, apakah informasi ini sudah dibuktikan kebenarannya?” Mata bulat Sanchia bersinar kejam. Pandangannya terlalu rumit untuk dijabarkan secara singkat. Drogo tidak bisa membacanya, terlalu abstrak dan kelam.“Jangan melakukan hal yang gegabah, Sanchi. Kamu hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan penduduk desa!” Drogo mulai resah. Sulit untuk memahami karakter Sanchia yang suka berubah-ubah.“Pengorbanan macam apa yang mereka lakukan Paman? Membakar desa sendiri dan mati di lalap api dengan suka hati, apakah itu semua kebenarannya?”“Paman, jika Sanchi mampu menyembuhkan lelaki itu maka Sanchi juga mampu menghabisinya!" Sanchia pergi dengan amarah. Menurutnya kematian orang tuanya terlalu konyol, bunuh diri? Dengan dalih penyerangan? Bukankah itu hanya sia-sia?“Jika itu semua kebenarannya maka ibu tidak akan berusaha menyelamatkan diri di akhir hayatnya. Ibu tidak akan meninggal dengan luka pedang di tubuh
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Sanchia setelah menjelaskan situasi markas saat ini. Air muka kesembilan laki-laki itu tampak sama yaitu kemarahan yang kentara.Sanchia tersenyum puas. Bukankah rencananya akan berjalan dengan mudah jika semuanya memiliki tujuan yang sama?“Pergi dan selamatkan mereka, jika pun harus menanggung penghinaan dengan label pengkhianat di belakang nama juga tidak masalah.” Jenderal Berthar menyuarakan pendapatnya.“Tidak, kita tidak bisa menjadi pengkhianat,” bantah Froc dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Sanchia menatap Froc dengan wajah ingin tahu. ‘Apa rencananya?’“Apa maksudmu Froc?! Apakah kamu ingin mereka yang tidak bersalah meninggal dengan hina semacam itu? Meninggal di eksekusi dengan tuduhan pengkhianat adalah penghinaan untuk seluruh kesatria!” bentakan keras itu berasal dari Berthar. Tampaknya lelaki itu sudah mulai kesal dengan keadaan yang tid
Waktu dini hari, langit tengah gelap gulita. Hanya api obor yang kian bergerak setiap saat ketika terhembus angin menghantar perubahan musim. Sanchia dan Orella berlari tanpa suara menuju dinding samping markas militer kala pergantian penjaga terjadi. Mereka bergerak secepat mungkin dan menghitung dalam hati secara konstan.Melakukan segalanya sesuai rencana yang telah ditetapkan.“Ash.” Sanchia menundukkan kepalanya kala tidak sengaja melihat prajurit berjalan tidak jauh dari posisinya berdiri. Dinding yang berdiri di dekatnya benar-benar berfungsi untuk menutupi keberadaannya.“Di mana mereka ditahan?” tanya Sanchia pada Orella dengan isyarat.Seolah paham, Orella mengkode Sanchia untuk bergerak mengikutinya. Setelah beberapa saat bersembunyi dan menghindar akhirnya mereka melihat sebuah kurungan besi besar yang diisi oleh dua puluh orang dengan kain hitam yang menutupi kepala mereka satu persatu.Sanchia dan Orella berjalan mengendap-endap di tengah kege
Sanchia menatap puas atas keputusan akhir yang diperoleh. Tidak, bukan hanya Sanchia tapi semua orang juga merasa puas. Bagaimana tidak, jika lelaki yang sebelumnya dikuasai oleh aura membunuh itu kini memegang pedang untuk berjuang bersama. Bukankah itu keberuntungan mereka?Hanya orang-orang yang telah merasakan keputusasaan yang memiliki tekad baja untuk berjuang. Hanya mereka yang pernah berada di ujung tombak yang memahami pentingnya kesempatan dan jalan keluar.“Peringatan terakhir, kami hanya bekerja sama dengan orang-orang yang tahu pentingnya kejujuran. Kami tidak ingin direpotkan dengan pengkhianatan ataupun trik remeh. Jika ada yang keberatan dan tidak terima dengan keputusannya. Silakan pergi, kami dengan senang hati akan menghitung utang budi suatu saat nanti,” kata Kenno dengan senyum tipis khasnya.Sanchia bisa melihat kekejaman di balik kilat matanya yang menajam. ‘Silakan pergi katanya?’ bukankah itu berarti dia meminta m
Kawasan hutan yang mereka lewati adalah bagian utara gunung yang terkenal akan hewan buas dan bandit gunung. Entah mengapa mereka baru menyadari hal itu ketika melihat banyaknya perangkap yang membentang di sepanjang jalan. “Perhatikan jalan, bandit gunung kemungkinan besar berada tidak jauh dari sini,” ujar Kenno waspada. Manik matanya menatap tanda kecil di pohon sebagai identitas kejahatan yang meresahkan masyarakat itu. “Bandit gunung? Bukankah mereka adalah pemberontak yang berjuang untuk membebaskan wilayah mereka dari kerajaan. Karena mereka kalah jumlah, akhirnya mereka dipukul mundur menuju gunung supaya mati diserang hewan buas.” “Iya, tapi itu hanya sebagian kebenarannya saja. Bandit gunung sebenarnya adalah warga desa Qrx. Warga minoritas yang dilindungi oleh raja terdahulu. Mereka sangat setia, setelah mereka mengetahui pergantian raja dan menemukan kejanggalan dalam kematiannya mereka menuntut keadilan.” “Apalah daya, warga biasa akan kalah oleh penguasa dan prajurit
Kenno dan Yurz saling bertukar pandang. Situasinya lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Bagaimana mungkin klan pedagang yang memiliki ambisi menguasai benua berada di tengah hutan penuh perangkap dan bahaya seperti ini?“Buktikan kalau kalian bukan musuh,” ujar Kenno tegas. Klan pedagang atau perampok, jika mereka memiliki hati nurani yang baik maka semuanya adalah teman, jika tidak ketidaknyamanan ini hanya bisa di selesaikan oleh pertumpahan darah. Laki-laki atau perempuan, muda atau tua, selagi itu bersebrangan semuanya pantas mati.Setelah mempertimbangkan cukup lama, perempuan itu menghela nafas pelan seraya mengangguk dan mengeluarkan sebuah gulungan dari balik pakaiannya. Gulungan itu berisi segel kerajaan lama, tanda bahwa mereka dulunya adalah sekutu kerajaan.“Kami membawa ini sebagai bukti. Kami dulu adalah bagian dari kerajaan, tapi setelah pergantian raja, kami dijadikan kambing hitam dan diasingkan,” jelas perempuan itu. “Nama saya Elara, dan kami adalah bandit gunun
Sanchia mengernyitkan dahinya, ketika melihat asap hitam membumbung tinggi di langit yang diikuti bau hangus samar. Sanchia mempercepat laju kudanya, perasaannya tidak enak sekarang. Pandangannya menjadi suram kala melihat gerbang desa hancur sebagian.Dia terbelalak, kala matanya menatap bagian dalam desa yang hampir menyerupai daerah tua tertinggal. Menyeramkan, sekaligus mengkhawatirkan. Sanchia memacu kudanya cepat, banyak rumah yang hancur dan berganti menjadi arang.“Ayah, Ibu, Sanchi harap kalian baik-baik saja.” Perempuan itu mencoba menepis pikiran negatif yang bersarang di kepalanya.Sanchia melompat turun dari kuda, menghampiri sosok lelaki yang tertelungkup tertimpa pintu kayu yang menghitam. Tanpa basa-basi dia menghempas sembarang pintu yang telah berubah menjadi setengah arang itu. Air matanya lolos, saat wajah sayu itu menghitam, luka bakar hampir menutupi sebagian wajahnya.“Ayah, bangun, Sanchi pulang.”&ld