Share

Pembalasan Istri Tersakiti
Pembalasan Istri Tersakiti
Penulis: Say_the name

Bab.1 Kehilangan

“Istri anda harus segera dioperasi, Tuan Anderson.” 

Seorang dokter meminta persetujuan dari Garvi Anderson tentang istrinya yang datang ke Rumah sakit karena mengalami pendarahan parah dan dalam keadaan hamil besar. 

Ia adalah Anais, wanita yang sudah menjadi istri Garvi Anderson sejak 3 tahun kebelakang. Semua berawal dari Eis— wanita itu kerap disapa, memergoki suaminya tengah berbuat tidak senonoh dengan seorang wanita di dalam kamarnya. Dan lebih parahnya, wanita itu juga tengah hamil besar.

Alih-alih merasa malu, Garvi justru murka karena merasa terganggu dengan kedatangan istrinya. Perdebatan penuh emosi yang melibatkan pertengkaran fisik pun tidak dapat dihindari. Membuat perut Anais membentur meja dengan keras.

Garvi Anderson, Wakil Direktur dari ADS Grup itu mengusap kasar wajahnya seraya menatap sang istri yang terbaring di atas brankar UGD dan tidak sadarkan diri dengan netra berkaca-kaca. Rasa takut terlukis di wajahnya saat dirinya dihadapkan sebuah keputusan yang sulit. 

‘Apa yang harus kulakukan?’ raungnya dalam hati. 

Suara-suara dari penghuni lain di balik tirai membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih. Kedua tangannya tertahan di wajah, menatap kosong ke arah sang istri. Keputusan harus dibuat, dan setiap pilihan pasti ada resikonya.

“Lakukan saja yang terbaik,” pungkas Garvi pada Dokter yang menangani istrinya. 

Ia kembali menatap wajah Anais yang diiringi hembusan napas berat.

***

“Kenapa kamu tega melakukan hal itu padaku, Gar?” tanya Anais dengan cairan bening yang mulai turun membasahi pipinya. Dengan posisi setengah duduk, ia menepuk-nepuk dadanya lantaran rasa sesak mulai melanda. Sejam yang lalu, Anais baru siuman setelah dua hari tidak sadarkan diri. Dan mendapati sebuah kenyataan yang pahit, ia harus kehilangan bayinya.

Garvi tidak terima jika Anais menyalahkannya atas keputusan yang sudah diambilnya. Dan bukannya berterima kasih padanya.

“Anais Adiyaksa! Mengertilah. Bayi itu sudah tidak bernyawa ketika kamu sampai di Rumah Sakit. Lalu apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku membiarkannya tetap berada dalam perutmu, bukan?” serunya seraya menggeser kursi dengan kasar.

Isakan tangis Anais yang menggema di ruang VVIP yang sunyi, membuat Louis Anderson—ayah mertuanya murka dan menyuruhnya untuk berhenti menangis. 

Pria paruh baya pemilik Grup ADS itu duduk dengan menyilangkan kaki dan melipat kedua tangannya di sofa yang berada di sudut ruangan menatap menantunya dengan tatapan tajam penuh amarah. Seakan seluruh kebenciannya tertumpah pada wanita malang itu. 

Di sebelahnya,  adik Garvi yang bernama Casie yang tengah menatap Anais dengan pandangan tidak suka. Tak ada satupun anggota keluarga Garvi yang menyukai Anais. Sungguh wanita yang malang.

Anais menangis tanpa suara dan tertunduk sambil meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya saat ayah mertua juga turut andil menyalahkan dirinya.

Selama ini, Anais tidak pernah mempermasalahkan perlakuan seluruh anggota Anderson padanya. Karena baginya, Garvi adalah segalanya. Sikap Garvi selama ini juga tidak ada yang aneh, hingga kejadian Garvi yang  kepergok bersama dengan Sarah beberapa hari lalu, dan itu merubah sikapnya.

“Tidak ada yang perlu dipermasalahkan, Anais. Daripada menyalahkanku terus, lebih baik kamu diam dan istirahat,” ucap Garvi dengan nada kesal. 

“Lagi pun, menangis darah juga nggak akan membuat anak kita kembali hidup,” imbuh Garvi lagi. Kemudian Garvi menyeret kakinya menjauh dari brankar Anais. Anais hanya bisa menatap suaminya penuh tanda tanya.

Louis sudah pergi lebih dulu yang diikuti oleh Casie.  Dan sekarang putra sulungnya juga ikut meninggalkan kamar Anais. Padahal Anais itu butuh penghiburan.

“Kamu mau kemana, Gar?” tanya Anais saat melihat Garvi menjauh.

Garvi yang sudah berdiri diambang pintu menoleh menatap Anais. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata, “Aku mau ke kamar Sarah.”

“Tapi aku membutuhkanmu di sini,” rengek Anais seraya bangkit dari ranjang. Ia turun dari ranjang dengan bersusah payah dan hampir jatuh untuk mengejar Garvi. Ia bahkan melepas jarum infus yang melekat di punggung tangannya untuk meraih lengan kekar pria itu.

“Jangan manja, Anais. Sarah baru saja melahirkan anakku. Aku harus menemaninya!” ucap Garvi seraya melepaskan tangan Anais dari lengannya.

“Tapi, Gar. Aku—”

“Anais! Sudah aku katakan jangan manja!” seru Garvi seraya mendorong tubuh Anais hingga tersungkur di atas lantai Rumah sakit yang dingin. Anais menangis karena merasakan sakit luar dalam.

Garvi pergi begitu saja tanpa memedulikan Anais yang menangis memanggil nama Garvi.

Di sisi lain, seorang pria berdiri menatap sepasang suami istri tersebut. Kedua tangannya mengepal dan tatapannya tajam namun tak dapat diartikan.

***

“Makanlah sedikit. Jika tidak, kamu akan tambah sakit,” pinta seorang pria paruh baya pada Anais. Ia adalah Jordan, orang yang selama ini menjaga Anais setelah kakeknya meninggal 10 tahun yang lalu karena penyakit yang dideritanya. Sedangkan orang tuanya sendiri meninggal saat Anais berusia 8 tahun.

Anais setengah duduk di atas brankar dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Sebagai tanda penolakannya terhadap permintaan Paman Jordan. Netranya tak sengaja beradu dengan pria yang sedari tadi duduk manis di sudut sofa. Pria yang menyaksikan Anais di tinggalkan oleh suaminya.

“Ia langsung datang saat mendengar kamu kehilangan bayimu.” Anais kembali menoleh menatap pria tua yang wajahnya sudah dipenuhi keriput itu.

“Aku tidak menyuruhnya,” balas Anais tak acuh. 

Pria yang kerap disapa Jati itu adalah paman angkatnya yang bekerja di luar kota Snowdee. Setelah mendapat kabar musibah yang menimpa adik angkatnya itu, ia segera kembali untuk melihat keadaan Anais.

Kumarajati diadopsi oleh Adiyaksa—kakek Anais saat Anais berusia 10 tahun. Awalnya hubungan mereka baik-baik saja. Namun, sikap Anais berubah acuh pada Jati setelah kakeknya meninggal.

“Kalian pergilah. Aku nggak mau Garvin atau keluarganya melihat kalian ada di sini,” usir Anais pada Paman Jordan.

Paman Jordan menatap sekilas pada Jati. Setelah Jati mengangguk samar, mereka segera bangkit dan meninggalkan kamar inap Anais.

“Istirahatlah. Jika butuh sesuatu, hubungi Paman atau Jati,” pesan Paman Jordan.

Anais mengangguk lemah, namun tak berkeinginan untuk menatap Jati meskipun pria itu sangat berharap jika kedatangannya akan disambut oleh Anais.

Anais berbaring dan menyembunyikan  tubuhnya di bawah selimut, berniat untuk memejamkan netranya. Beberapa bagian dari tubuhnya terasa nyeri akibat terjatuh saat didorong oleh Garvi.

Anais mendengus kesal karena matanya tak kunjung terpejam. Akhirnya ia memutuskan untuk jalan-jalan sebentar mencari udara segar.

Dengan menyeret kakinya dan tiang infus di tangan kirinya, Anais berjalan menyusuri lorong bangsal VIP Rumah sakit. Sesekali ia mengusap jejak air matanya. Teringat bagaimana ia harus kehilangan buah hati yang dengan susah payah ia dapatkan. Nyatanya, Garvin bahkan seakan tak ambil pusing dengan hal itu.

“Menikahlah denganku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status