Share

Bab.6 Rencana Pertama

“Ini masih pagi buta. Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Ganggu tau nggak?” keluh Anais dengan suara serak, seraya menjauhkan ponsel itu dari yang menelponnya.

Anais menganggap hari masih gelap, padahal matahari sudah hampir berada di atas kepala. Namun, kata-kata kasar yang ia tangkap oleh indra pendengarannya menyadarkannya bahwa hari gelap yang ia pikirkan ternyata salah. Umpatan-umpatan itu juga menandakannya bahwa Garvi sudah menerima surat gugatan yang ia kirimkan untuknya. Anais membuka matanya cepat, menoleh ke arah benda kecil yang duduk manis di atas nakas.

Waktu menunjukan pukul 08.25, waktu yang cukup siang untuk memulai hari. Tanpa ingin mendengar keluhan apapun dari Garvi, Anais segera menutup telponnya secara sepihak. Kemudian turun dari peraduan dan menuju kamar mandi. Dapat ditebak apa yang terjadi di ujung sambungan. Pria itu masti semakin menggila.

“Ini baru langkah pertama, Garvi. Sebelum kamu menggugat cerai, aku melakukannya lebih dulu. Dan aku janji, aku nggak akan kalah darimu,” gumam Anais seraya menatap pantulan wajahnya pada cermin wastafel.

***

“Argh!!” pekik Garvi seraya melempar ponselnya sembarang.

Ia mengusap kasar wajahnya, mengeratkan giginya. Kedua tangannya mengepal dan memukul angin, kemudian mengerang kembali.

Ia tidak menyangka jika Anais anak mengajukan gugatan perceraian terlebih dulu. Ia bahkan menyewa seorang pengacara dan mengajukan beberapa tuntutan. Salah satunya adalah harta gono-gini. 

“Apa yang ada di pikiran Anais sebenarnya? Apa benar ia sudah berubah?” gumam Garvi.

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu nggak berangkat ke kantor?” Suara barito milik Louis menggema di ambang pintu. Hingga pria paruh baya itu masuk dan menghampiri putranya.

Garvi tersentak dengan kedatangan ayahnya. Ia merasa gugup saat pria itu mendekat ke arahnya.

Netra Louis menangkap lembaran kertas yang berserakan di atas ranjang. Karena merasa penasaran, ia meraih kertas-kertas itu dan membacanya. Garvi merasa gelisah karena tak sempat menahan ayahnya untuk tidak mengambil surat yang dikirim oleh Anais untuknya.

Louis mengerutkan keningnya setelah membaca apa yang tertulis di dalamnya. Kemudian ia menatap tajam ke arah Garvi dan bertanya, “Apa maksudnya?”

“I- itu, Anais mengajukan gugatan dan menuntut harta gono-gini. Surat itu datang kemarin dan baru sempat aku buka,” jawab Garvi terbata.

Louis menyipitkan mata menatap Garvi. Melihat ekspresi yang ditunjukan oleh ayahnya, ia tahu kalau sesuatu akan terjadi. Mengingat bagaimana temperamen sang ayah.

“Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk cepat mengurusnya? Lalu kenapa ada tuntutan seperti ini?” 

Garvi menggelengkan kepalanya lemah sembari tertunduk. Ia juga menautkan jari-jari tangannya karena merasa gelisah saat ayahnya mengerang menahan emosi.

“Wanita ini bahkan menuntut jumlah uang yang banyak,” gumam Louis kemudian. 

“200 juta dollar bukan jumlah uang yang sedikit. Memangnya ia pikir sudah berkontribusi pada kita? Seenaknya saja minta uang. Ck! Apa ia pikir uang bisa didapatkan dengan mudah?” ucap Louis berkacak pinggang.

Ia adalah orang yang paling kesal saat mengetahui menantunya menuntut hartanya begitu banyak. Padahal ia sudah mewanti-wanti pada putranya untuk tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk menantunya. Lalu, apa sekarang? Louis menganggap jika menantunya ingin membuatnya bangkrut.

Louis menatap tajam penuh kemarahan ke arah Garvi. Kenapa putranya tidak segera melakukan apa yang ia perintahkan. Ia sangat lamban. Bukannya segera mengurus berkas perceraian, ia justru asik mengurus hatinya yang sedang kasmaran.

Tatapan Louis membuat putra sulung yang berusia 30an itu bergetar ketakutan. Seakan disorot dengan sebuah sinar laser dan bersiap untuk dibidik.

“Aku tidak mau tahu. Pokoknya jangan sampai wanita itu mendapatkan harta milik Anderson, bahkan sepeser!” seru Louis pada Garvi yang masih tertunduk.

Garvi mengangguk cepat. Secepat debaran jantungnya saat ini. Dalam hati, ia merutuki kebodohannya. Andaikan ia segera menyimpan berkas-berkas itu, pasti ayahnya tidak akan tahu. Dan ia tidak akan berada di situasi seperti sekarang. Dan ia yakin, suasana hati ayahnya akan buruk seharian ini. Bisa jadi, sampai besok suasana hatinya belum berubah.

Louis melempar kertas-kertas itu sembarang sebelum keluar dari kamar Garvi. Tak lupa mengingatkan putranya untuk segera mengurus masalah Anais.

“Mengurus wanita seperti itu saja nggak becus,” gumam Louis saat meninggalkan kamar Garvi.

Garvi mengerang, kemudian menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang dan kembali mengusap kasar wajahnya. Memikirkan cara untuk menghadapi tuntutan dari Anais. Serba salah menjadi dirinya. 

***

“Hm, sangat lezat. Sudah lama aku tidak makan kue ini. Rasanya tetap sama,” gumam Anais seraya menikmati suapan pertama dari sponge cake rasa black forest kesukaannya.

Anais datang mengunjungi toko kue langganannya sejak remaja. Dan semenjak menikah, ia sudah tidak bisa lagi menikmati kelezatan kue kesukaannya. Entah kenapa hari ini ia sangat ingin menikmati sepotong kue manis dan segelas jus.

Anais menyeret bola matanya memindai sekitar. Suasana yang ramai dan terdengar percakapan ringan dari pengunjung, membuat Anais tersenyum. Ia merasa bersyukur dengan kejadian beberapa waktu lalu, yang menyadarkannya dari kebodohan. Membuka wajah dari pria yang selama ini ia kagumi. Ah! Keluar dari neraka yang berbentuk rumah itu rasanya patut disyukuri.

Hingga atensi Anais kembali pada kue berwarna coklat pekat dengan hiasan krim dan buah ceri itu, seseorang yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menyambar gelas minumnya dan menyiramkan pada wajahnya seraya berteriak,”Dasar, wanita tidak tahu diuntung!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status