“Baguslah!” seru Jati merasa girang. “Tanpa diminta, aku pasti akan membantumu. tenang saja,” lanjutnya dengan senyum lebar.
Senyuman Jati justru membuat Anais kesal. Membuatnya teringat kejadian saat di Rumah sakit. Saat Anais memeluk Jati secara tiba-tiba karena membutuhkan seseorang untuk bersandar. Anais melakukan itu karena emosi yang sedang menguasai hati dan pikirannya. Tapi karena kejadian itu, hubungan mereka berangsur membaik meski Anais masih merasa canggung.
Memberikan pelukan pada Jati, memang bukan pertama kalinya bagi Anais. Tapi sudah sekian lama ia tidak melakukannya, membuatnya merasa aneh dan canggung.
‘Apa kejadian hari itu tidak membuatnya merasa canggung sama sekali?’ pikirnya dalam hati.
“Saya akan selalu siap kapanpun dibutuhkan. Jadi jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu, Nona,” ucap Paman Jordan hormat.
Paman Jordan selalu memanggil Anais dengan sebutan Nona. Dan itu tidak berubah meski Anais sudah melarangnya. Paman Jordan mengatakan jika itu sudah menjadi kebiasaan baginya.
Anais, menghabiskan hari-harinya dengan tenang. Hingga sebuah panggilan dari Garvi yang mengatakan sudah menyuruh pengacara keluarga Anderson untuk mengurus perceraian mereka. Garvi mewanti-wanti jika Anais tidak akan mendapat harta gono-gini atau apapun.
Anais menanggapi ucapan suaminya dengan santai dan tidak ambil pusing. Ia juga sudah memiliki rencana tentang perceraian mereka.
Anais menghubungi seorang pengacara yang akan mendampinginya. Ia juga sudah menyiapkan beberapa tuntutan pada Garvi Anderson. Ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan kalah dari pria brengsek yang menjadi suaminya itu.
“Pakailah untuk acara nanti malam.” Suara Jati memecah lamunan Anais. Menoleh pada Jati yang meletakkan sebuah kotak di atas ranjangnya.
Anais menatap kotak dengan hiasan pita merah muda di atasnya. “Apa ini?”
“Buka saja,” pinta Jati.
Dengan malas, Anais mengikuti perintah Jati untuk membuka kotak yang ia bawa. Sebuah gaun berwarna biru langit sudah berada di tangan Anais. Anais mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa Jati memberinya sebuah gaun.
“Untuk apa?”
Jati menjatuhkan bobot tubuhnya di bibir ranjang Anais yang disertai nafas panjang. “Aku sudah bilang, untuk memakainya nanti malam. Makanya jangan banyak melamun.”
Anais teringat jika perusahaan mendapat undangan dari salah satu kolega. Dan Paman Jordan mengajak Anais untuk turut serta. Karena biar bagaimanapun, Anais adalah pemilik Adiyaksa Grup.
“Aku sendiri yang memilihnya,” ucap Jati kemudian.
“Tidak ada yang bertanya,” balas Anais dengan ketus.
Namun, seulas senyum samar tercipta di bibir Jati. Ia senang dengan sikap yang ditunjukan Anais padanya. Yang artinya, ia sudah menjadi dirinya yang dulu. Meski belum sepenuhnya.
“Kamu tidak kembali?” tanya Anais penasaran.
“Tidak,” jawab Jati yang disertai dengan gelengan kepala.
Anais menyipitkan netranya. Kemudian kembali bertanya, “Kenapa?”
Jati tersenyum. Ia tidak menyangka jika keberadaannya membuat keponakannya penasaran. Atau, ada maksud lain dibalik rasa pertanyaannya. Entahlah!
“Paman Jordan yang memintaku untuk di sini membantunya. Di sana sudah ada Paman Rodge yang mengurus,” ucapnya sembari mengulas senyum.
“Keluar!” seru Anais tiba-tiba.
“Ke— kenapa?” tanya Jati kebingungan.
Jati baru saja menikmati waktu yang sudah lama ia tidak nikmati, malah tiba-tiba diminta pergi oleh Anais.
Anais berkacak pinggang menatap Jati tajam. Lalu berucap, “Bukankah kedatanganmu kemari untuk memberiku gaun ini? Gaun ini sudah aku terima. Sekarang waktunya kamu pergi.”
Jati terdiam sesaat. Sebelum akhirnya ia mengiyakan permintaan Anais yang menyuruhnya keluar dari kamarnya, meski hatinya enggan. Kenapa suasana hatinya mudah sekali berubah?
“Jangan terlambat. Kita akan berangkat pukul tujuh malam,” ucap Jati diambang pintu kamar Anais sebelum ia benar-benar pergi.
“Itu urusanku, mau terlambat atau tidak!” gerutu Anais seraya memasukkan kembali gaun itu ke dalam kotak.
***
Anais keluar dari kamarnya dengan mengenakan gaun yang diberikan oleh Jati. Gaun sabrina dengan panjang selutut berbahan sutra yang dipadukan dengan kain tile warna senada. Rambut panjang yang tergerai menutupi bahunya yang terbuka, serta sepatu hak tinggi berwarna emas yang menambah penampilan Anais semakin elegan.
Jati tersenyum puas. Ternyata pilihannya tidak salah. Penampilan Anais malam ini pasti akan menarik perhatian di pesta nanti.
Mereka bertiga segera menuju hotel tempat pesta itu diselenggarakan. Sky Hotel, Hotel mewah bintang lima yang sangat terkenal di kota Snowdee. Penyelenggara pesta adalah Agung Group. Yang tengah merayakan kelahiran cucu pertama mereka.
Anais tiba di Sky Hotel. Mereka diarahkan menuju taman. Konsep pesta itu adalah garden party. Tempat itu dihias sedemikian rupa, memanjakan mata memandang. Tidak lupa hiasan balon warna-warni di setiap sudut taman.
Suasana pesta masih terbilang sepi, hanya ada beberapa tamu yang sudah hadir. Paman Jordan membawa Anais dan Jati untuk menyapa tuan rumah, Tuan Agung.
“Aku tidak pernah bertemu dengan cucu Tuan Adiyaksa. Hanya mendengar nama dan ceritanya saja. Tidak disangka, ternyata cantik juga,” ucap Tuan Agung yang disertai dengan tawa di akhir kalimatnya.
“Terima kasih, Tuan Agung,” balas Anais canggung. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan pria asing yang baru dikenalnya.
“Kenapa kamu menyembunyikannya Tuan Jordan? Kalau putraku masih sendiri, ‘kan kita bisa menjadi besan,” canda Tuan Agung.
“Bukan menyembunyikan, tapi memang Nona Anais tidak mau menampakkan diri,” kilah Paman Jordan yang dibenarkan oleh Anais langsung.
“Jadi, apa estafet kepemimpinan akan diserahkan padamu?” tanya Tuan Agung pada Anais.
Anais tersenyum simpul dan berkata, “Saya masih harus banyak belajar, Tuan. Belum berani menerima tanggung jawab yang besar.”
Tuan Agung membenarkan ucapan Anais. Karena memimpin sebuah perusahaan tidaklah semudah membeli makanan. Ia harus banyak belajar untuk bisa menjadi layak sebagai penerus Adiyaksa.
Begitu banyak orang yang mengenal Paman Jordan, sehingga pria itu kewalahan untuk menyapa tamu undangan yang hadir. Begitu juga dengan Jati yang sesekali bercengkrama dengan CEO dari berbagai perusahaan.
“Ayo, aku kenalkan dengan temanku,” ajak Jati pada Anais yang mulai merasa bosan. Ia memakaikan jas miliknya supaya Anais tidak merasa kedinginan.
Anais menoleh menatap Jati. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. “Nggak. Aku mau di sini saja. Kalau kamu mau pergi, ya pergi saja.”
Anais menolak ajakan Jati dengan acuh. Anais bahkan tidak menatap wajah Jati. Ia masih memandang ke arah lain. Karena Anais menolak ajakan Jati, pria itu kemudian meninggalkan Anais yang sedang menikmati pemandangan.
Anais menghembuskan napas panjang sembari bergumam, “Aku bahkan nggak ingat kalau pemandangan malam begitu indah.”
“Aku nggak tahu kalau wanita sepertimu bisa berada di sebuah pesta seperti ini.”
Anais menoleh ke sosok pemilik suara yang berada di sampingnya. Wanita dengan gaun malam berwarna hitam yang terbuka dan menampilkan hampir seluruh dadanya. Anais memutar bola matanya malas, sepertinya akan ada perdebatan sengit antara mereka. Jujur saja, pertemuannya dengan Sarah, adalah sesuatu yang tidak baik. Anais yakin jika salah satu dari keluarga Anderson juga berada di tempat ini. Atau mungkin semua.“Apa maksudmu dengan wanita sepertiku?” tanya Anais pura-pura menanggapi. Dalam hatinya, ia sangat malas untuk berurusan dengan Sarah.Mereka berdua berdiri berdampingan menatap angin kosong. Tentu saja dengan pikiran mereka masing-masing.“Apa kamu datang untuk menggoda pria di pesta ini?” tuduh Sarah pada Anais.Anais menertawakan pertanyaan Sarah dalam hati. ‘Menggoda? Bukankah kata-kata itu tepat untuk menggambarkan dirimu?’ batin Anais sinis.Melihat tidak ada perlawanan dari Anais, Sarah kembali memprovokasi Anais. Ia beralih menatap wanita dengan surai panjang yang terger
“Ini masih pagi buta. Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Ganggu tau nggak?” keluh Anais dengan suara serak, seraya menjauhkan ponsel itu dari yang menelponnya.Anais menganggap hari masih gelap, padahal matahari sudah hampir berada di atas kepala. Namun, kata-kata kasar yang ia tangkap oleh indra pendengarannya menyadarkannya bahwa hari gelap yang ia pikirkan ternyata salah. Umpatan-umpatan itu juga menandakannya bahwa Garvi sudah menerima surat gugatan yang ia kirimkan untuknya. Anais membuka matanya cepat, menoleh ke arah benda kecil yang duduk manis di atas nakas.Waktu menunjukan pukul 08.25, waktu yang cukup siang untuk memulai hari. Tanpa ingin mendengar keluhan apapun dari Garvi, Anais segera menutup telponnya secara sepihak. Kemudian turun dari peraduan dan menuju kamar mandi. Dapat ditebak apa yang terjadi di ujung sambungan. Pria itu masti semakin menggila.“Ini baru langkah pertama, Garvi. Sebelum kamu menggugat cerai, aku melakukannya lebih dulu. Dan aku janji, aku n
Bab.6“Aak!” pekik Anais saat segelas jus yang ada di mejanya berpindah mengenai wajah dan bajunya.Anais mengusap kasar wajahnya yang terasa dingin, serta bajunya yang kotor. Dihadapannya, seorang wanita tengah berdiri dengan santai namun menatapnya dengan pandangan sinis.Sarah Dania! Wanita yang telah merebut suaminya, saat ini ada dihadapannya. Benar-benar hari yang buruk.Anais refleks berdiri sembari menatap tajam pada wanita itu dan berseru, “Apa-apaan kamu ini?!” Sarah tidak bergeming dengan teriakan Anais yang menampilkan sebagian emosinya. Namun, wanita yang menjadi lawan bicaranya hanya diam berdiri di tempat. Sarah melihat sekeliling, mereka berdua menjadi pusat perhatian. Terdapat banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka karena suara Anais cukup keras. “Nona, aku nggak melakukan apapun, kenapa kamu berteriak padaku?” tanya Sarah memutar balikan fakta.Anais mengerutkan dahinya, mencoba mengerti maksud ucapan Sarah. Baru beberapa detik yang lalu ia datang dan menyi
“Hei! Minggir kamu, jangan menghalangi!”Jati melihat pria yang berteriak padanya melalui ekor matanya. Tanpa menggubris keributan yang sedang terjadi, kemudian menarik lengan Anais untuk menjauh dari tempat itu.Sepanjang langkah mereka keluar, Anais meronta minta untuk dilepaskan, tapi Jati juga tidak memedulikan teriakan Anais. Ia tetap membawa Anais hingga ke tempat parkir.“Lepasin nggak!” teriak Anais sembari melepaskan cengkraman tangan Jati. Anais menatap Jati penuh kesal seraya mengusap lengannya yang sedikit terasa sakit karena Jati menariknya terlalu kuat.Menyadari hal itu, Jati sadar dengan tindakannya dan meminta maaf pada Anais karena telah membuatnya kesakitan.“Apa-apaan sih, kamu! Main tarik aja! Kamu pikir aku kambing?” kesal Anais.Anais yang merasa kesal pada Jati, memalingkan wajahnya ke arah lain seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Aku menarikmu dari tempat itu karena aku nggak mau kamu terluka,” jawab Jati dengan wajah datar.Anais menjadi semakin kesal
“Kamu nggak percaya sama aku? Kamu anggap kalau aku ini bohong dan ngarang cerita ke kamu? Gitu?”Sarah tersulut emosi saat ucapan Garvi seolah membela Anais. Ia merasa tidak terima dengan sikap Garvi yang terkesan membela mantan istrinya itu.Bagai orang yang kebakaran jenggot, Garvi mencari alasan agar Sarah tidak marah dengan ucapannya. Dengan terbata, ia berucap, “Bukan gitu, aku cuma nggak percaya kalau Anais—”Sarah meletakkan kedua tangan di pinggang dengan wajah merah padam. Menatap penuh amarah pada pria yang rencananya sebentar lagi akan menjadi suaminya.“Jadi, kamu lebih percaya Anais daripada aku?” potong Sarah kemudian.Garvi melipat bibirnya menyadari kesalahan yang dibuatnya. Ia tak menyangka jika kata-kata yang tak sengaja ia ucapkan kini membuatnya dalam masalah. Ia segera bangkit dari tempat duduknya yang nyaman untuk menghampiri Sarah dan menenangkan wanita pujaan hatinya itu agar tidak marah padanya.Garvi mencoba membujuk Sarah dan beralasan tidak melihatnya seca
Anais, bisa kita bicara sebentar?” tanya Jati pada Anais yang hendak melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Anais baru saja kembali ke rumah setelah seharian berada di luar rumah. Setelah kejadian di toko kue tadi siang, Anais pergi untuk melihat butik milik temannya sekaligus mengganti pakaiannya yang kotor terkena jus dan juga bercak kue. Anais menghentikan langkahnya, kemudian menoleh pada Jati dengan menaikan satu alisnya. Ia memutuskan untuk menyetujui ajakan Jati meski dalam hatinya merasa enggan untuk berbicara dengan anak angkat dari kakeknya tersebut. Anais menyilangkan kedua tangan di dadanya. Lalu bertanya, “Ngomong apa?” Jati mengutarakan keresahannya tentang acara yang akan diadakan oleh perusahaan, yang akan melibatkan Sarah dan juga keluarga Garvi karena mereka ada di daftar undangan. Jati juga bertanya tentang tanggapan Anais jika ADS Grup yang notabene adalah perusahaan milik keluarga suaminya dibatalkan dalam daftar undangan. Mendengar ucapan Paman angkatnya
“Anais? Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Sarah dengan menoleh ke kanan dan ke kiri seperti tengah mencari sesuatu. Kemudian memandang Anais dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bertanya dalam hati kenapa ada istri dari Garvi berada di Adhyaksa Grup.Sedangkan Anais sedikit terkesiap, melihat kedatangan Sarah. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah karena bertemu dengan wanita yang sudah merebut suami dan menghancurkan hidupnya.Sarah tersenyum sinis, karena Anais sedang membawa alat-alat kebersihan bersama dengan petugas kebersihan. Pakaiannya sedikit berantakan karena ia baru saja membantu membersihkan ruangan yang akan dipakainya untuk bekerja. Sarah menganggap jika Anais bagian dari petugas kebersihan di Perusahaan.‘Setelah berpisah dari Garvi, ternyata wanita ini hanya mampu bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Pantas saja ia minta harta gono-gini.” Sarah membatin senang.Sarah membusungkan dada merasa lebih segalanya dari Anais. Selain ia dipilih oleh Garvi, kehid
“Sialan!” gumam Sarah saat pria yang dicintainya mengejar wanita yang masih menjadi istri sahnya.Namun, Garvi tidak peduli dengan seruan Sarah. Sarah pun tidak bisa berbuat lebih karena banyak pasang mata yang tengah menatap mereka. Ia hanya bisa menatap kesal ke arah mereka berdua. Dan memutuskan untuk meninggalkan lobby saat beberapa orang mulai menggunakan ponsel mereka untuk mengambil gambarnya.***“Lepaskan!” perintah Anais seraya mencoba melepaskan cengkraman tangan Garvi. “Kalau mau bahas perceraian kita, hubungi saja pengacaraku!”“Aku maunya ngomong langsung sama kamu!” Garvi menarik tangan Anais untuk menjauh dan mencari tempat yang sedikit sepi. Garvi membawa Anais menuju sudut lain lobby, berdekatan dengan tangga darurat.“Aku nggak mau ngomong apapun sama kamu!” tolak Anais.Ia berusaha pergi, namun Garvi tetap menahan Anais. Secara tenaga, Anais tidak sebanding dan terpaksa menuruti kemauan Garvi. Anais melipat kedua tangan di depan dada dan membuang pandangannya ke a