Share

Bab.4 Hari Baru

“Baguslah!” seru Jati merasa girang. “Tanpa diminta, aku pasti akan membantumu.   tenang saja,” lanjutnya dengan senyum lebar.

Senyuman Jati justru membuat Anais kesal. Membuatnya teringat kejadian saat di Rumah sakit. Saat Anais memeluk Jati secara tiba-tiba karena membutuhkan seseorang untuk bersandar. Anais melakukan itu karena emosi yang sedang menguasai hati dan pikirannya. Tapi karena kejadian itu, hubungan mereka berangsur membaik meski Anais masih merasa canggung.

Memberikan pelukan pada Jati, memang bukan pertama kalinya bagi Anais. Tapi sudah sekian lama ia tidak melakukannya, membuatnya merasa aneh dan canggung. 

‘Apa kejadian hari itu tidak membuatnya merasa canggung sama sekali?’ pikirnya dalam hati.

“Saya akan selalu siap kapanpun dibutuhkan. Jadi jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu, Nona,” ucap Paman Jordan hormat.

Paman Jordan selalu memanggil Anais dengan sebutan Nona. Dan itu tidak berubah meski Anais sudah melarangnya. Paman Jordan mengatakan jika itu sudah menjadi kebiasaan baginya.

Anais, menghabiskan hari-harinya dengan tenang. Hingga sebuah panggilan dari Garvi yang mengatakan sudah menyuruh pengacara keluarga Anderson untuk mengurus perceraian mereka. Garvi mewanti-wanti jika Anais tidak akan mendapat harta gono-gini atau apapun. 

Anais menanggapi ucapan suaminya dengan santai dan tidak ambil pusing. Ia juga sudah memiliki rencana tentang perceraian mereka. 

Anais menghubungi seorang pengacara yang akan mendampinginya. Ia juga sudah menyiapkan beberapa tuntutan pada Garvi Anderson. Ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan kalah dari pria brengsek yang menjadi suaminya itu.

“Pakailah untuk acara nanti malam.” Suara Jati memecah lamunan Anais. Menoleh pada Jati yang meletakkan sebuah kotak di atas ranjangnya.

Anais menatap kotak dengan hiasan pita merah muda di atasnya. “Apa ini?”

“Buka saja,” pinta Jati.

Dengan malas, Anais mengikuti perintah Jati untuk membuka kotak yang ia bawa. Sebuah gaun berwarna biru langit sudah berada di tangan Anais. Anais mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa Jati memberinya sebuah gaun.

“Untuk apa?”

Jati menjatuhkan bobot tubuhnya di bibir ranjang Anais yang disertai nafas panjang. “Aku sudah bilang, untuk memakainya nanti malam. Makanya jangan banyak melamun.”

Anais teringat jika perusahaan mendapat undangan dari salah satu kolega. Dan Paman Jordan mengajak Anais untuk turut serta. Karena biar bagaimanapun, Anais adalah pemilik Adiyaksa Grup.

“Aku sendiri yang memilihnya,” ucap Jati kemudian.

“Tidak ada yang bertanya,” balas Anais dengan ketus.

Namun, seulas senyum samar tercipta di bibir Jati. Ia senang dengan sikap yang ditunjukan Anais padanya. Yang artinya, ia sudah menjadi dirinya yang dulu. Meski belum sepenuhnya.

“Kamu tidak kembali?” tanya Anais penasaran.

“Tidak,” jawab Jati yang disertai dengan gelengan kepala.

Anais menyipitkan netranya. Kemudian kembali bertanya, “Kenapa?”

Jati tersenyum. Ia tidak menyangka jika keberadaannya membuat keponakannya penasaran. Atau, ada maksud lain dibalik rasa pertanyaannya. Entahlah!

“Paman Jordan yang memintaku untuk di sini membantunya. Di sana sudah ada Paman Rodge yang mengurus,” ucapnya sembari mengulas senyum.

“Keluar!” seru Anais tiba-tiba.

“Ke— kenapa?” tanya Jati kebingungan.

Jati baru saja menikmati waktu yang sudah lama ia tidak nikmati, malah tiba-tiba diminta pergi oleh Anais.

Anais berkacak pinggang menatap Jati tajam. Lalu berucap, “Bukankah kedatanganmu kemari untuk memberiku gaun ini? Gaun ini sudah aku terima. Sekarang waktunya kamu pergi.”

Jati terdiam sesaat. Sebelum akhirnya ia mengiyakan permintaan Anais yang menyuruhnya keluar dari kamarnya, meski hatinya enggan. Kenapa suasana hatinya mudah sekali berubah?

“Jangan terlambat. Kita akan berangkat pukul tujuh malam,” ucap Jati diambang pintu kamar Anais sebelum ia benar-benar pergi.

“Itu urusanku, mau terlambat atau tidak!” gerutu Anais seraya memasukkan kembali gaun itu ke dalam kotak.

***

Anais keluar dari kamarnya dengan mengenakan gaun yang diberikan oleh Jati. Gaun sabrina dengan panjang selutut berbahan sutra yang dipadukan dengan kain tile warna senada. Rambut panjang yang tergerai menutupi bahunya yang terbuka, serta sepatu hak tinggi berwarna emas yang menambah penampilan Anais semakin elegan.

Jati tersenyum puas. Ternyata pilihannya tidak salah. Penampilan Anais malam ini pasti akan menarik perhatian di pesta nanti.

Mereka bertiga segera menuju hotel tempat pesta itu diselenggarakan. Sky Hotel, Hotel mewah bintang lima yang sangat terkenal di kota Snowdee. Penyelenggara pesta adalah Agung Group. Yang tengah merayakan kelahiran cucu pertama mereka.

Anais tiba di Sky Hotel. Mereka diarahkan menuju taman. Konsep pesta itu adalah garden party. Tempat itu dihias sedemikian rupa, memanjakan mata memandang. Tidak lupa hiasan balon warna-warni di setiap sudut taman.

Suasana pesta masih terbilang sepi, hanya ada beberapa tamu yang sudah hadir. Paman Jordan membawa Anais dan Jati untuk menyapa tuan rumah, Tuan Agung. 

“Aku tidak pernah bertemu dengan cucu Tuan Adiyaksa. Hanya mendengar nama dan ceritanya saja. Tidak disangka, ternyata cantik juga,” ucap Tuan Agung yang disertai dengan tawa di akhir kalimatnya.

“Terima kasih, Tuan Agung,” balas Anais canggung. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan pria asing yang baru dikenalnya.

“Kenapa kamu menyembunyikannya Tuan Jordan? Kalau putraku masih sendiri, ‘kan kita bisa menjadi besan,” canda Tuan Agung.

“Bukan menyembunyikan, tapi memang Nona Anais tidak mau menampakkan diri,” kilah Paman Jordan yang dibenarkan oleh Anais langsung.

“Jadi, apa estafet kepemimpinan akan diserahkan padamu?” tanya Tuan Agung pada Anais.

Anais tersenyum simpul dan berkata, “Saya masih harus banyak belajar, Tuan. Belum berani menerima tanggung jawab yang besar.” 

Tuan Agung membenarkan ucapan Anais. Karena memimpin sebuah perusahaan tidaklah semudah membeli makanan. Ia harus banyak belajar untuk bisa menjadi layak sebagai penerus Adiyaksa.

Begitu banyak orang yang mengenal Paman Jordan, sehingga pria itu kewalahan untuk menyapa tamu undangan yang hadir. Begitu juga dengan Jati yang sesekali bercengkrama dengan CEO dari berbagai perusahaan.

“Ayo, aku kenalkan dengan temanku,” ajak Jati pada Anais yang mulai merasa bosan. Ia memakaikan jas miliknya supaya Anais tidak merasa kedinginan.

Anais menoleh menatap Jati. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. “Nggak. Aku mau di sini saja. Kalau kamu mau pergi, ya pergi saja.” 

Anais menolak ajakan Jati dengan acuh. Anais bahkan tidak menatap wajah Jati. Ia masih memandang ke arah lain. Karena Anais menolak ajakan Jati, pria itu kemudian meninggalkan Anais yang sedang menikmati pemandangan.

Anais menghembuskan napas panjang sembari bergumam, “Aku bahkan nggak ingat kalau pemandangan malam begitu indah.”

“Aku nggak tahu kalau wanita sepertimu bisa berada di sebuah pesta seperti ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status