Share

Bab.3 Aku Pergi!

“Apa di rumahmu, kamu nggak punya kaca? Sehingga kamu nggak melihat seperti apa dirimu itu?” tanya Louis Anderson dengan nada angkuhnya.

“Jika kamu masih berharap untuk menjadi bagian keluarga Anderson, jangan pernah bermimpi. Aku tidak akan menerimamu kembali di rumahku. Meski hanya menjadi pelayan. Pelayan saja kamu tidak pantas!” hina Louis.

“Sarah, masuklah! Di luar udara sangat dingin. Tidak baik untukmu. Banyak mata melihat juga,” ucap Louis pada Sarah. Dan nada bicaranya sangat berbeda. 

Jika bicara dengan Sarah ia akan lembut dan bernada rendah, namun jika dengan Anais, maka pria paruh baya itu akan meledak-ledak penuh emosi. Seakan Anais sudah melakukan kesalahan yang fatal baginya dan keluarganya.

Awalnya, saat Anais dikenalkan pada keluarga Anderson oleh Garvi, sikap itu sudah terlihat bahkan sangat kentara. Terlebih mengetahui jika Anais adalah seorang yatim piatu. Bahkan tanpa menunggu penjelasan Anais lebih lanjut, Louis sudah memandang dirinya dengan sebelah mata.

Anais pikir jika hubungannya dengan Garvi akan kandas di tengah jalan karena orang tua mereka. Nyatanya, Garvi tetap menikahi Anais dan memperlakukannya dengan baik. Tapi sekarang, rasanya tidak ada lagi orang yang menginginkan Anais untuk tetap tinggal di keluarga Anderson.

Garvi menuntun Sarah untuk kembali masuk ke kamarnya yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Dan Louis menyusul mereka di belakang.

Jati memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Karena jika ia terus menjadi penonton, ia takut tidak bisa mengontrol emosinya. Ia juga merasa kesal dengan Anais yang hanya diam dan menangis saat dirinya dihina. Seperti bukan Anais yang ia kenal. Atau cinta itu yang membuatnya bodoh?

 “Baiklah. Jika itu maumu, Garvi,” ucap Anais. Ia menyeka wajah yang dipenuhi air mata dengan kasar sebelum melanjutkan ucapannya. “Alasan aku datang adalah karena kamu, maka aku pergi juga karena kamu. Tapi kamu harus ingat satu hal, Garvi. Kamu akan membayar mahal atas 3 tahunku yang kamu buang sia-sia.”

Tawa Louis menggema saat mendengar ucapan Anais. Baginya ucapan menantunya itu terdengar sangat lucu.

“Lakukan saja apa yang kamu mau.” Louis masih dengan tawa yang merekah di bibirnya. “Kamu harus ingat kalau kamu itu tidak berguna. Seperti punya kuasa saja!” imbuhnya mencibir. Kemudian ia juga meninggalkan Anais dengan para penonton yang masih setia menyaksikan drama mereka.

Tak sedikit yang merasa iba. Namun hujatan juga menghiasi dengungan suara di sekitar Anais.

Tubuh Anais limbung. Jatuh, seakan kakinya tidak memiliki tulang. Ia terduduk dengan mata terpejam, berusaha menahan air mata yang kian membanjiri pipinya.

Anais menuju kamar inapnya dengan langkah gontai. Dengan air mata yang masih terus mengalir tentunya. 

Di kamarnya, sudah ada Jati yang duduk diam di atas sofa sembari menyilangkan kaki dan tangannya. Matanya terpejam, mengontrol emosi yang takut akan meledak.

Jati beranjak dari sofa, lalu menatap Anais yang berdiri diambang pintu dengan keadaan yang menyedihkan. Baju yang berantakan dan wajah yang sembab dan masih mengeluarkan air mata. Oh, tidak! Ini bukan Anais yang ia kenal.

“Apa kamu nggak bisa balas ucapan mereka?!” seru Jati pada Anais yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.

“Sebegitu pentingkah mereka sampai kamu nggak mau menyakiti mereka dengan ucapan tajam yang biasa kamu lakukan? Apa mereka lebih berharga daripada harga dirimu sendiri? Sehingga kamu membiarkan mereka menginjak-injak harga dirimu? Mana Anais yang aku kenal dulu?”

Amarah Jati sudah berada di ubun-ubun. Bila perlu, saat ini juga ia akan menghampiri Garvi dan menghajarnya hingga pria itu tidak bisa keluar dari Rumah sakit. Anais mau marah padanya pun, ia sudah tidak peduli. 

Anais menghambur ke dalam pelukan Jati dan membenamkan wajahnya pada dada pria itu dan menangis di sana. Dengan terkejut dan rasa tidak percaya, Jati membalas pelukan Anais dan menepuk pundaknya pelan untuk menenangkannya.

***

“Selamat datang kembali di rumah, Nona,” ucap Paman Jordan mempersilahkan Anais masuk ke dalam rumah. Rumah yang selama tiga tahun kebelakang ia tinggalkan demi pria seperti Garvi. Rasanya ada sedikit sesal dalam hati Anais. Meninggalkan semua kemewahan untuk menjadi seorang istri dari Garvi Anderson. Oh, tidak. Bukan istri, melainkan pembantu.

Mata Anais bergerak liar memindai setiap sudut rumah. Tidak ada yang berubah. Dari pintu masuk utama akan disambut oleh ruang tamu besar dengan gaya modern. Di satu sisi dinding terpampang foto Adiyaksa dalam ukuran yang besar. Ia adalah kakek Anais dan pendiri Adiyaksa Grup. Ada juga foto kedua orang tuanya dan dirinya saat masih berusia 3 tahun.

Anais ingat jika tempat itu pernah menjadi arena bermainnya bersama sang kakek setelah orang tuanya meninggal. Meski kakeknya sibuk dengan semua pekerjaan, ia selalu mempunyai waktu untuk cucu satu-satunya itu. Mengingat hal itu, Anais mengambil napas panjang. Ternyata ia merindukan suasana itu.

“Aku mau istirahat, Paman. Tolong jangan ada yang mengganggu,” pinta Anais pada Paman Jordan.

Jati yang berdiri di belakang Paman Jordan, hanya mendapat lirikan sekilas dari wanita itu. Yang membuat Jati mendengus kesal dalam hati.

“Apa Paman akan kembali ke kantor?” tanya Jati pada Paman Jordan.

“Hm,” jawab Paman Jordan singkat. “Ayo kita kembali ke kantor, biarkan bocah itu sendiri dengan tenang,” ajak Paman Jordan kemudian.

‘Bocah? Yang benar saja. Umur sudah hampir kepala tiga masih disebut bocah?’ Jati membatin sebelum mengikuti langkah Paman Jordan di belakangnya.

Jordan Mois, ia adalah orang kepercayaan Adiyaksa saat pria itu masih hidup. Hingga saat ini, ia masih dipercaya untuk mengurus perusahaan dan keluarga Adiyaksa satu-satunya. Yaitu Anais Adiyaksa.

Adiyaksa grup adalah perusahaan besar yang bergerak dibidang properti.  Berperan sebagai pemilik, pengembang, dan pengelola real estat terbesar di Negara Snowdee. Dan Anais adalah pewaris sah dari semua aset, properti dan kekayaan atas nama Adiyaksa. Bisa dibayangkan berapa kekayaan dari wanita bernama Anais Adiyaksa.

Mereka bertiga kembali dipertemukan pada saat jam makan malam tiba. Anais masih betah dengan diamnya sejak wanita itu kembali dari Rumah sakit siang tadi.

“Bagaimana perasaan Anda hari ini, Nona? Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Paman Jordan memecah keheningan.

Anais hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil. Kemudian kembali menikmati makanannya. Daging tumis pedas, itu adalah makanan kesukaannya dulu. Namun sekarang terlihat biasa saja. Atau, seleranya yang sudah berubah.

“Tentang Tuan Garvi—” Paman Jordan menyebut nama suami Anais dengan hati-hati sebelum ia mengutarakan niatnya. “Mungkin ini bukan ranah saya tapi, apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Apa harus saya—”

“Tidak!” Anais memotong cepat ucapan Paman Jordan.

“Apa kamu masih ingin membela pria itu?!” tanya Jati dengan penuh amarah. 

‘Sudah disakiti dan dihina, masih saja Anais tidak mau membalas perlakuan Garvi padanya. Apa ia sudah hilang akal?’ batin Jati kesal.

“Siapa yang bilang aku membela pria itu?” tanya Anais kesal. Ia belum selesai bicara tapi Jati sudah berasumsi yang membuatnya kesal.

“Untuk urusan Anderson, kalian jangan ikut campur tanpa aku minta. Aku ingin balas mereka dengan tanganku sendiri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status