“Apa di rumahmu, kamu nggak punya kaca? Sehingga kamu nggak melihat seperti apa dirimu itu?” tanya Louis Anderson dengan nada angkuhnya.
“Jika kamu masih berharap untuk menjadi bagian keluarga Anderson, jangan pernah bermimpi. Aku tidak akan menerimamu kembali di rumahku. Meski hanya menjadi pelayan. Pelayan saja kamu tidak pantas!” hina Louis.
“Sarah, masuklah! Di luar udara sangat dingin. Tidak baik untukmu. Banyak mata melihat juga,” ucap Louis pada Sarah. Dan nada bicaranya sangat berbeda.
Jika bicara dengan Sarah ia akan lembut dan bernada rendah, namun jika dengan Anais, maka pria paruh baya itu akan meledak-ledak penuh emosi. Seakan Anais sudah melakukan kesalahan yang fatal baginya dan keluarganya.
Awalnya, saat Anais dikenalkan pada keluarga Anderson oleh Garvi, sikap itu sudah terlihat bahkan sangat kentara. Terlebih mengetahui jika Anais adalah seorang yatim piatu. Bahkan tanpa menunggu penjelasan Anais lebih lanjut, Louis sudah memandang dirinya dengan sebelah mata.
Anais pikir jika hubungannya dengan Garvi akan kandas di tengah jalan karena orang tua mereka. Nyatanya, Garvi tetap menikahi Anais dan memperlakukannya dengan baik. Tapi sekarang, rasanya tidak ada lagi orang yang menginginkan Anais untuk tetap tinggal di keluarga Anderson.
Garvi menuntun Sarah untuk kembali masuk ke kamarnya yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Dan Louis menyusul mereka di belakang.
Jati memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Karena jika ia terus menjadi penonton, ia takut tidak bisa mengontrol emosinya. Ia juga merasa kesal dengan Anais yang hanya diam dan menangis saat dirinya dihina. Seperti bukan Anais yang ia kenal. Atau cinta itu yang membuatnya bodoh?
“Baiklah. Jika itu maumu, Garvi,” ucap Anais. Ia menyeka wajah yang dipenuhi air mata dengan kasar sebelum melanjutkan ucapannya. “Alasan aku datang adalah karena kamu, maka aku pergi juga karena kamu. Tapi kamu harus ingat satu hal, Garvi. Kamu akan membayar mahal atas 3 tahunku yang kamu buang sia-sia.”
Tawa Louis menggema saat mendengar ucapan Anais. Baginya ucapan menantunya itu terdengar sangat lucu.
“Lakukan saja apa yang kamu mau.” Louis masih dengan tawa yang merekah di bibirnya. “Kamu harus ingat kalau kamu itu tidak berguna. Seperti punya kuasa saja!” imbuhnya mencibir. Kemudian ia juga meninggalkan Anais dengan para penonton yang masih setia menyaksikan drama mereka.
Tak sedikit yang merasa iba. Namun hujatan juga menghiasi dengungan suara di sekitar Anais.
Tubuh Anais limbung. Jatuh, seakan kakinya tidak memiliki tulang. Ia terduduk dengan mata terpejam, berusaha menahan air mata yang kian membanjiri pipinya.
Anais menuju kamar inapnya dengan langkah gontai. Dengan air mata yang masih terus mengalir tentunya.
Di kamarnya, sudah ada Jati yang duduk diam di atas sofa sembari menyilangkan kaki dan tangannya. Matanya terpejam, mengontrol emosi yang takut akan meledak.
Jati beranjak dari sofa, lalu menatap Anais yang berdiri diambang pintu dengan keadaan yang menyedihkan. Baju yang berantakan dan wajah yang sembab dan masih mengeluarkan air mata. Oh, tidak! Ini bukan Anais yang ia kenal.
“Apa kamu nggak bisa balas ucapan mereka?!” seru Jati pada Anais yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.
“Sebegitu pentingkah mereka sampai kamu nggak mau menyakiti mereka dengan ucapan tajam yang biasa kamu lakukan? Apa mereka lebih berharga daripada harga dirimu sendiri? Sehingga kamu membiarkan mereka menginjak-injak harga dirimu? Mana Anais yang aku kenal dulu?”
Amarah Jati sudah berada di ubun-ubun. Bila perlu, saat ini juga ia akan menghampiri Garvi dan menghajarnya hingga pria itu tidak bisa keluar dari Rumah sakit. Anais mau marah padanya pun, ia sudah tidak peduli.
Anais menghambur ke dalam pelukan Jati dan membenamkan wajahnya pada dada pria itu dan menangis di sana. Dengan terkejut dan rasa tidak percaya, Jati membalas pelukan Anais dan menepuk pundaknya pelan untuk menenangkannya.
***
“Selamat datang kembali di rumah, Nona,” ucap Paman Jordan mempersilahkan Anais masuk ke dalam rumah. Rumah yang selama tiga tahun kebelakang ia tinggalkan demi pria seperti Garvi. Rasanya ada sedikit sesal dalam hati Anais. Meninggalkan semua kemewahan untuk menjadi seorang istri dari Garvi Anderson. Oh, tidak. Bukan istri, melainkan pembantu.
Mata Anais bergerak liar memindai setiap sudut rumah. Tidak ada yang berubah. Dari pintu masuk utama akan disambut oleh ruang tamu besar dengan gaya modern. Di satu sisi dinding terpampang foto Adiyaksa dalam ukuran yang besar. Ia adalah kakek Anais dan pendiri Adiyaksa Grup. Ada juga foto kedua orang tuanya dan dirinya saat masih berusia 3 tahun.
Anais ingat jika tempat itu pernah menjadi arena bermainnya bersama sang kakek setelah orang tuanya meninggal. Meski kakeknya sibuk dengan semua pekerjaan, ia selalu mempunyai waktu untuk cucu satu-satunya itu. Mengingat hal itu, Anais mengambil napas panjang. Ternyata ia merindukan suasana itu.
“Aku mau istirahat, Paman. Tolong jangan ada yang mengganggu,” pinta Anais pada Paman Jordan.
Jati yang berdiri di belakang Paman Jordan, hanya mendapat lirikan sekilas dari wanita itu. Yang membuat Jati mendengus kesal dalam hati.
“Apa Paman akan kembali ke kantor?” tanya Jati pada Paman Jordan.
“Hm,” jawab Paman Jordan singkat. “Ayo kita kembali ke kantor, biarkan bocah itu sendiri dengan tenang,” ajak Paman Jordan kemudian.
‘Bocah? Yang benar saja. Umur sudah hampir kepala tiga masih disebut bocah?’ Jati membatin sebelum mengikuti langkah Paman Jordan di belakangnya.
Jordan Mois, ia adalah orang kepercayaan Adiyaksa saat pria itu masih hidup. Hingga saat ini, ia masih dipercaya untuk mengurus perusahaan dan keluarga Adiyaksa satu-satunya. Yaitu Anais Adiyaksa.
Adiyaksa grup adalah perusahaan besar yang bergerak dibidang properti. Berperan sebagai pemilik, pengembang, dan pengelola real estat terbesar di Negara Snowdee. Dan Anais adalah pewaris sah dari semua aset, properti dan kekayaan atas nama Adiyaksa. Bisa dibayangkan berapa kekayaan dari wanita bernama Anais Adiyaksa.
Mereka bertiga kembali dipertemukan pada saat jam makan malam tiba. Anais masih betah dengan diamnya sejak wanita itu kembali dari Rumah sakit siang tadi.
“Bagaimana perasaan Anda hari ini, Nona? Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Paman Jordan memecah keheningan.
Anais hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil. Kemudian kembali menikmati makanannya. Daging tumis pedas, itu adalah makanan kesukaannya dulu. Namun sekarang terlihat biasa saja. Atau, seleranya yang sudah berubah.
“Tentang Tuan Garvi—” Paman Jordan menyebut nama suami Anais dengan hati-hati sebelum ia mengutarakan niatnya. “Mungkin ini bukan ranah saya tapi, apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Apa harus saya—”
“Tidak!” Anais memotong cepat ucapan Paman Jordan.
“Apa kamu masih ingin membela pria itu?!” tanya Jati dengan penuh amarah.
‘Sudah disakiti dan dihina, masih saja Anais tidak mau membalas perlakuan Garvi padanya. Apa ia sudah hilang akal?’ batin Jati kesal.
“Siapa yang bilang aku membela pria itu?” tanya Anais kesal. Ia belum selesai bicara tapi Jati sudah berasumsi yang membuatnya kesal.
“Untuk urusan Anderson, kalian jangan ikut campur tanpa aku minta. Aku ingin balas mereka dengan tanganku sendiri.”
“Baguslah!” seru Jati merasa girang. “Tanpa diminta, aku pasti akan membantumu. tenang saja,” lanjutnya dengan senyum lebar.Senyuman Jati justru membuat Anais kesal. Membuatnya teringat kejadian saat di Rumah sakit. Saat Anais memeluk Jati secara tiba-tiba karena membutuhkan seseorang untuk bersandar. Anais melakukan itu karena emosi yang sedang menguasai hati dan pikirannya. Tapi karena kejadian itu, hubungan mereka berangsur membaik meski Anais masih merasa canggung.Memberikan pelukan pada Jati, memang bukan pertama kalinya bagi Anais. Tapi sudah sekian lama ia tidak melakukannya, membuatnya merasa aneh dan canggung. ‘Apa kejadian hari itu tidak membuatnya merasa canggung sama sekali?’ pikirnya dalam hati.“Saya akan selalu siap kapanpun dibutuhkan. Jadi jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu, Nona,” ucap Paman Jordan hormat.Paman Jordan selalu memanggil Anais dengan sebutan Nona. Dan itu tidak berubah meski Anais sudah melarangnya. Paman Jordan mengatakan jika itu sudah menj
Anais menoleh ke sosok pemilik suara yang berada di sampingnya. Wanita dengan gaun malam berwarna hitam yang terbuka dan menampilkan hampir seluruh dadanya. Anais memutar bola matanya malas, sepertinya akan ada perdebatan sengit antara mereka. Jujur saja, pertemuannya dengan Sarah, adalah sesuatu yang tidak baik. Anais yakin jika salah satu dari keluarga Anderson juga berada di tempat ini. Atau mungkin semua.“Apa maksudmu dengan wanita sepertiku?” tanya Anais pura-pura menanggapi. Dalam hatinya, ia sangat malas untuk berurusan dengan Sarah.Mereka berdua berdiri berdampingan menatap angin kosong. Tentu saja dengan pikiran mereka masing-masing.“Apa kamu datang untuk menggoda pria di pesta ini?” tuduh Sarah pada Anais.Anais menertawakan pertanyaan Sarah dalam hati. ‘Menggoda? Bukankah kata-kata itu tepat untuk menggambarkan dirimu?’ batin Anais sinis.Melihat tidak ada perlawanan dari Anais, Sarah kembali memprovokasi Anais. Ia beralih menatap wanita dengan surai panjang yang terger
“Ini masih pagi buta. Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Ganggu tau nggak?” keluh Anais dengan suara serak, seraya menjauhkan ponsel itu dari yang menelponnya.Anais menganggap hari masih gelap, padahal matahari sudah hampir berada di atas kepala. Namun, kata-kata kasar yang ia tangkap oleh indra pendengarannya menyadarkannya bahwa hari gelap yang ia pikirkan ternyata salah. Umpatan-umpatan itu juga menandakannya bahwa Garvi sudah menerima surat gugatan yang ia kirimkan untuknya. Anais membuka matanya cepat, menoleh ke arah benda kecil yang duduk manis di atas nakas.Waktu menunjukan pukul 08.25, waktu yang cukup siang untuk memulai hari. Tanpa ingin mendengar keluhan apapun dari Garvi, Anais segera menutup telponnya secara sepihak. Kemudian turun dari peraduan dan menuju kamar mandi. Dapat ditebak apa yang terjadi di ujung sambungan. Pria itu masti semakin menggila.“Ini baru langkah pertama, Garvi. Sebelum kamu menggugat cerai, aku melakukannya lebih dulu. Dan aku janji, aku n
Bab.6“Aak!” pekik Anais saat segelas jus yang ada di mejanya berpindah mengenai wajah dan bajunya.Anais mengusap kasar wajahnya yang terasa dingin, serta bajunya yang kotor. Dihadapannya, seorang wanita tengah berdiri dengan santai namun menatapnya dengan pandangan sinis.Sarah Dania! Wanita yang telah merebut suaminya, saat ini ada dihadapannya. Benar-benar hari yang buruk.Anais refleks berdiri sembari menatap tajam pada wanita itu dan berseru, “Apa-apaan kamu ini?!” Sarah tidak bergeming dengan teriakan Anais yang menampilkan sebagian emosinya. Namun, wanita yang menjadi lawan bicaranya hanya diam berdiri di tempat. Sarah melihat sekeliling, mereka berdua menjadi pusat perhatian. Terdapat banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka karena suara Anais cukup keras. “Nona, aku nggak melakukan apapun, kenapa kamu berteriak padaku?” tanya Sarah memutar balikan fakta.Anais mengerutkan dahinya, mencoba mengerti maksud ucapan Sarah. Baru beberapa detik yang lalu ia datang dan menyi
“Hei! Minggir kamu, jangan menghalangi!”Jati melihat pria yang berteriak padanya melalui ekor matanya. Tanpa menggubris keributan yang sedang terjadi, kemudian menarik lengan Anais untuk menjauh dari tempat itu.Sepanjang langkah mereka keluar, Anais meronta minta untuk dilepaskan, tapi Jati juga tidak memedulikan teriakan Anais. Ia tetap membawa Anais hingga ke tempat parkir.“Lepasin nggak!” teriak Anais sembari melepaskan cengkraman tangan Jati. Anais menatap Jati penuh kesal seraya mengusap lengannya yang sedikit terasa sakit karena Jati menariknya terlalu kuat.Menyadari hal itu, Jati sadar dengan tindakannya dan meminta maaf pada Anais karena telah membuatnya kesakitan.“Apa-apaan sih, kamu! Main tarik aja! Kamu pikir aku kambing?” kesal Anais.Anais yang merasa kesal pada Jati, memalingkan wajahnya ke arah lain seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Aku menarikmu dari tempat itu karena aku nggak mau kamu terluka,” jawab Jati dengan wajah datar.Anais menjadi semakin kesal
“Kamu nggak percaya sama aku? Kamu anggap kalau aku ini bohong dan ngarang cerita ke kamu? Gitu?”Sarah tersulut emosi saat ucapan Garvi seolah membela Anais. Ia merasa tidak terima dengan sikap Garvi yang terkesan membela mantan istrinya itu.Bagai orang yang kebakaran jenggot, Garvi mencari alasan agar Sarah tidak marah dengan ucapannya. Dengan terbata, ia berucap, “Bukan gitu, aku cuma nggak percaya kalau Anais—”Sarah meletakkan kedua tangan di pinggang dengan wajah merah padam. Menatap penuh amarah pada pria yang rencananya sebentar lagi akan menjadi suaminya.“Jadi, kamu lebih percaya Anais daripada aku?” potong Sarah kemudian.Garvi melipat bibirnya menyadari kesalahan yang dibuatnya. Ia tak menyangka jika kata-kata yang tak sengaja ia ucapkan kini membuatnya dalam masalah. Ia segera bangkit dari tempat duduknya yang nyaman untuk menghampiri Sarah dan menenangkan wanita pujaan hatinya itu agar tidak marah padanya.Garvi mencoba membujuk Sarah dan beralasan tidak melihatnya seca
Anais, bisa kita bicara sebentar?” tanya Jati pada Anais yang hendak melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Anais baru saja kembali ke rumah setelah seharian berada di luar rumah. Setelah kejadian di toko kue tadi siang, Anais pergi untuk melihat butik milik temannya sekaligus mengganti pakaiannya yang kotor terkena jus dan juga bercak kue. Anais menghentikan langkahnya, kemudian menoleh pada Jati dengan menaikan satu alisnya. Ia memutuskan untuk menyetujui ajakan Jati meski dalam hatinya merasa enggan untuk berbicara dengan anak angkat dari kakeknya tersebut. Anais menyilangkan kedua tangan di dadanya. Lalu bertanya, “Ngomong apa?” Jati mengutarakan keresahannya tentang acara yang akan diadakan oleh perusahaan, yang akan melibatkan Sarah dan juga keluarga Garvi karena mereka ada di daftar undangan. Jati juga bertanya tentang tanggapan Anais jika ADS Grup yang notabene adalah perusahaan milik keluarga suaminya dibatalkan dalam daftar undangan. Mendengar ucapan Paman angkatnya
“Anais? Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Sarah dengan menoleh ke kanan dan ke kiri seperti tengah mencari sesuatu. Kemudian memandang Anais dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bertanya dalam hati kenapa ada istri dari Garvi berada di Adhyaksa Grup.Sedangkan Anais sedikit terkesiap, melihat kedatangan Sarah. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah karena bertemu dengan wanita yang sudah merebut suami dan menghancurkan hidupnya.Sarah tersenyum sinis, karena Anais sedang membawa alat-alat kebersihan bersama dengan petugas kebersihan. Pakaiannya sedikit berantakan karena ia baru saja membantu membersihkan ruangan yang akan dipakainya untuk bekerja. Sarah menganggap jika Anais bagian dari petugas kebersihan di Perusahaan.‘Setelah berpisah dari Garvi, ternyata wanita ini hanya mampu bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Pantas saja ia minta harta gono-gini.” Sarah membatin senang.Sarah membusungkan dada merasa lebih segalanya dari Anais. Selain ia dipilih oleh Garvi, kehid