Share

Bab.2 Mendapat Hinaan

“Garvi?!” seru Anais seraya mengerutkan keningnya. Melihat pria yang masih berstatus sebagai suaminya dengan buket bunga besar di tangannya tengah berlutut di hadapan seorang wanita. 

“Sarah Dania!” gumam Anais.

Wanita yang bernama Sarah dan Garvi mengalihkan atensinya pada Anais. Garvi sedikit tersentak dengan kedatangan Anais yang tak terduga. Namun ia kembali menguasai perasaannya, dan menatap Anais penuh amarah.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Garvi tidak suka. Ia kemudian menarik pinggang Sarah dalam pelukannya. Membuat mata Anais memanas.

“Harusnya aku yang tanya, Garvi. Kamu ngapain di sini?” ucap Anais balik bertanya. Meski sebenarnya ia tahu sedang apa Garvin bersama Sarah. Ia hanya menolak kenyataan yang ia lihat.

Sarah Dania, seorang aktris yang cukup terkenal. Ia dikenal sebagai wanita baik-baik dan lemah lembut, sehingga banyak orang memuja kebaikan dan kecantikannya. Termasuk para kaum adam.

Tapi siapa sangka, justru wanita baik-baik itu merebut seorang pria beristri. Dan ia adalah Anais Adiyaksa.

Sarah menatap sinis pada Anais karena merasa telah menang. Ia memberikan seorang putri untuk Garvin. Sedangkan Anais, kehilangan putranya dan tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Anderson.

“Anais! Terima saja kekalahanmu. Garvin sudah melamarku dan memintaku untuk jadi istrinya. Jadi kamu tidak usah berharap lebih pada Garvi. Kamu harus sadar diri kalau tidak bisa memberikan anak untuk Garvi,” ucap Sarah yang disertai dengan senyuman dengan nada mengejek.

Koridor yang saat Anais datang hanya terlihat segelintir orang, makin detik bertambah makin banyak pasang mata yang menyaksikan kejadian tersebut. Entah itu pasien atau dokter yang lewat.

Jati pun mengamati kejadian itu dari sudut lain koridor. Ia mengikutinya sejak wanita itu keluar dari kamar inapnya. Ia meradang, melihat Anais mengemis cinta pada pria yang menjadi suaminya itu.

“Apa perlu aku patahkan tulang kaki pria itu?” bisik pria yang berdiri di samping Jati.

Dengan pandangan mata yang tak luput dari sosok Anais, Jati berkata, “Jangan. Biarkan saja!”

Meskipun bibirnya mengatakan untuk membiarkan saja pemandangan yang tidak menyenangkan itu, nyatanya tangannya mengepal menahan amarah. Ia hanya menunggu waktu yang tepat. Tidak mau kecerobohan yang ia lakukan akan berdampak bagi hubungannya dengan Anais yang sudah lama renggang.

Anais mendekat dan meraih jemari Garvi seraya berucap, “Garvi, kita belum bercerai. Tapi kamu—”

“Aku akan segera menceraikanmu!” Garvi kembali mendorong tubuh Anais. Untungnya, tubuh Anais ditangkap oleh seseorang dan membawa kedalam pelukannya. Sehingga tubuhnya yang masih ringkih itu tidak beradu dengan lantai keramik Rumah sakit.

‘Jati!’ pekik Anais dalam hati. 

Matanya melebar tatkala manik hitam keduanya beradu. Terlihat sebuah kemarahan dalam netra pria itu. Anais segera mendorong tubuh Jati agar menjauh. Dan pria itu hanya bisa menurut dalam diam.

Menjauh dari Anais, sudah ia lakukan sejak dulu. Itu sebabnya mereka berada di kota yang berbeda. Yang Jati sendiri tak tahu alasan pasti kenapa Anais membangun tembok besar nan tinggi diantara mereka. Jati bahkan dilarang datang ke pernikahan Anais dan Garvi. Ia hanya mendengar dari Paman Jordan cerita-cerita tentang pria yang menjadi suami keponakannya. 

Garvi mendekat ke arah Anais, kemudian berbisik, “Tunggulah dengan tenang dan jangan buat keributan. Setidaknya menunggu kamu pulih, baru akan aku bicarakan dengan pengacaraku.”

“Garvi, kamu tahu ‘kan? Kalau aku sangat mencintaimu? Aku sudah berkorban untukmu dan—”

Genangan air mata sudah berkumpul di pelupuk. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat sebelum genangan itu menerobos pertahanan yang Anais buat.

“Sarah juga berkorban untukku dengan melahirkan anak untukku. Aku juga tidak mau selalu berdebat dengan Papa hanya untuk membelamu setiap saat,” ucap Garvi menatap wajah Anais yang sudah basah karena air mata.

“Aku capek, lelah, Anais!” imbuhnya penuh penekanan.

Kecewa? Tentu saja hal itu yang dirasakan oleh Anais. Wanita itu sudah berkorban untuk keluarga suaminya selama 3 tahun pernikahan mereka. 

Selama menjadi menantu keluarga Anderson, yang Anais lakukan hanya berkutat dengan pekerjaan dapur. Tidak ada waktu sedikitpun untuknya merasakan jalan-jalan menikmati angin senja, memanjakan diri dengan pijatan yang menenangkan, ataupun hanya sekedar santai menikmati secangkir teh dan cemilan sembari menatap hujan di halaman belakang.

Setiap hari hanya kerja, kerja dan kerja. Namun, tak sekalipun Anais mengeluh. Sikap itu ia dapatkan lantaran Anais hanya seorang yatim piatu. Bukan putri seorang pemimpin perusahaan besar atau seseorang yang memiliki nama. Dan ia sering mendengar kata-kata seperti itu dari mulut mertuanya.

Lain hal dengan Sarah Dania. Siapa yang tak kenal dengan aktris yang sedang naik daun itu. Wajahnya terpampang di berbagai majalah maupun papan iklan besar pinggir jalan.

Anais tertunduk dengan isakan kecil terdengar. “Kamu berjanji padaku untuk—”

“Anais! Aku mohon mengertilah! “ bentak Garvi. “Lihatlah tubuhmu itu!”

Sarah tersenyum remeh saat Garvi menyinggung tentang penampilan Anais. Garvi membandingkannya dengan tubuh Sarah yang tetap terlihat langsing meski setelah melahirkan. Tidak seperti Anais yang memakai pakaian Rumah Sakit yang longgar, wajah kusam tanpa riasan, serta rambut yang dikuncir asal.

Anais memindai sendiri tubuhnya. Tapi Anais juga baru saja melahirkan, meski putranya tak selamat. Anais juga tidak terlalu mementingkan penampilan. 

Apa yang salah dari penampilannya? Sebelum kejadian kemarin, Garvi tak pernah mempermasalahkan penampilannya. Apalagi setelah ia hamil besar dan berat badannya bertambah dua kali lipat. Lalu kenapa sekarang ia menjadi masalah?

“Ayolah Anais. Kenapa kamu mengemis cinta dari calon suamiku? Salahkan saja takdirmu atau orang tuamu. Salah siapa terlahir miskin dan nggak punya apa-apa,” cibir Sarah seraya mendekat dan membenamkan tubuhnya dalam pelukan Garvi.

Dahi Anais mengerut seiring tontonan yang ia lihat dengan matanya. Calon suaminya? Bukankah yang ia maksud dengan calon suami adalah suami dari Anais?

Pandangan Anais mengunci pada Garvi yang terlihat salah tingkah. ‘Benarkah yang dikatakan Sarah? Ini semua karena aku tidak punya apa-apa?’

Anais menarik satu sudut bibirnya. Inikah alasan Garvi berubah? Dulu, ia bilang akan mencintai dan menyayanginya setulus hati. Lalu sekarang ia membahas masalah Anais yang tidak punya apa-apa? Konyol sekali!

Jati yang sedari tadi menjadi pengamat, mengeraskan rahangnya. Rasanya ia ingin sekali menghabisi pria yang menjadi suami Anais itu. Pria pengecut yang melukai hati wanita demi wanita lain. Menjijikan!

“Ada apa ini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status