“Garvi?!” seru Anais seraya mengerutkan keningnya. Melihat pria yang masih berstatus sebagai suaminya dengan buket bunga besar di tangannya tengah berlutut di hadapan seorang wanita.
“Sarah Dania!” gumam Anais.
Wanita yang bernama Sarah dan Garvi mengalihkan atensinya pada Anais. Garvi sedikit tersentak dengan kedatangan Anais yang tak terduga. Namun ia kembali menguasai perasaannya, dan menatap Anais penuh amarah.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Garvi tidak suka. Ia kemudian menarik pinggang Sarah dalam pelukannya. Membuat mata Anais memanas.
“Harusnya aku yang tanya, Garvi. Kamu ngapain di sini?” ucap Anais balik bertanya. Meski sebenarnya ia tahu sedang apa Garvin bersama Sarah. Ia hanya menolak kenyataan yang ia lihat.
Sarah Dania, seorang aktris yang cukup terkenal. Ia dikenal sebagai wanita baik-baik dan lemah lembut, sehingga banyak orang memuja kebaikan dan kecantikannya. Termasuk para kaum adam.
Tapi siapa sangka, justru wanita baik-baik itu merebut seorang pria beristri. Dan ia adalah Anais Adiyaksa.
Sarah menatap sinis pada Anais karena merasa telah menang. Ia memberikan seorang putri untuk Garvin. Sedangkan Anais, kehilangan putranya dan tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Anderson.
“Anais! Terima saja kekalahanmu. Garvin sudah melamarku dan memintaku untuk jadi istrinya. Jadi kamu tidak usah berharap lebih pada Garvi. Kamu harus sadar diri kalau tidak bisa memberikan anak untuk Garvi,” ucap Sarah yang disertai dengan senyuman dengan nada mengejek.
Koridor yang saat Anais datang hanya terlihat segelintir orang, makin detik bertambah makin banyak pasang mata yang menyaksikan kejadian tersebut. Entah itu pasien atau dokter yang lewat.
Jati pun mengamati kejadian itu dari sudut lain koridor. Ia mengikutinya sejak wanita itu keluar dari kamar inapnya. Ia meradang, melihat Anais mengemis cinta pada pria yang menjadi suaminya itu.
“Apa perlu aku patahkan tulang kaki pria itu?” bisik pria yang berdiri di samping Jati.
Dengan pandangan mata yang tak luput dari sosok Anais, Jati berkata, “Jangan. Biarkan saja!”
Meskipun bibirnya mengatakan untuk membiarkan saja pemandangan yang tidak menyenangkan itu, nyatanya tangannya mengepal menahan amarah. Ia hanya menunggu waktu yang tepat. Tidak mau kecerobohan yang ia lakukan akan berdampak bagi hubungannya dengan Anais yang sudah lama renggang.
Anais mendekat dan meraih jemari Garvi seraya berucap, “Garvi, kita belum bercerai. Tapi kamu—”
“Aku akan segera menceraikanmu!” Garvi kembali mendorong tubuh Anais. Untungnya, tubuh Anais ditangkap oleh seseorang dan membawa kedalam pelukannya. Sehingga tubuhnya yang masih ringkih itu tidak beradu dengan lantai keramik Rumah sakit.
‘Jati!’ pekik Anais dalam hati.
Matanya melebar tatkala manik hitam keduanya beradu. Terlihat sebuah kemarahan dalam netra pria itu. Anais segera mendorong tubuh Jati agar menjauh. Dan pria itu hanya bisa menurut dalam diam.
Menjauh dari Anais, sudah ia lakukan sejak dulu. Itu sebabnya mereka berada di kota yang berbeda. Yang Jati sendiri tak tahu alasan pasti kenapa Anais membangun tembok besar nan tinggi diantara mereka. Jati bahkan dilarang datang ke pernikahan Anais dan Garvi. Ia hanya mendengar dari Paman Jordan cerita-cerita tentang pria yang menjadi suami keponakannya.
Garvi mendekat ke arah Anais, kemudian berbisik, “Tunggulah dengan tenang dan jangan buat keributan. Setidaknya menunggu kamu pulih, baru akan aku bicarakan dengan pengacaraku.”
“Garvi, kamu tahu ‘kan? Kalau aku sangat mencintaimu? Aku sudah berkorban untukmu dan—”
Genangan air mata sudah berkumpul di pelupuk. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat sebelum genangan itu menerobos pertahanan yang Anais buat.
“Sarah juga berkorban untukku dengan melahirkan anak untukku. Aku juga tidak mau selalu berdebat dengan Papa hanya untuk membelamu setiap saat,” ucap Garvi menatap wajah Anais yang sudah basah karena air mata.
“Aku capek, lelah, Anais!” imbuhnya penuh penekanan.
Kecewa? Tentu saja hal itu yang dirasakan oleh Anais. Wanita itu sudah berkorban untuk keluarga suaminya selama 3 tahun pernikahan mereka.
Selama menjadi menantu keluarga Anderson, yang Anais lakukan hanya berkutat dengan pekerjaan dapur. Tidak ada waktu sedikitpun untuknya merasakan jalan-jalan menikmati angin senja, memanjakan diri dengan pijatan yang menenangkan, ataupun hanya sekedar santai menikmati secangkir teh dan cemilan sembari menatap hujan di halaman belakang.
Setiap hari hanya kerja, kerja dan kerja. Namun, tak sekalipun Anais mengeluh. Sikap itu ia dapatkan lantaran Anais hanya seorang yatim piatu. Bukan putri seorang pemimpin perusahaan besar atau seseorang yang memiliki nama. Dan ia sering mendengar kata-kata seperti itu dari mulut mertuanya.
Lain hal dengan Sarah Dania. Siapa yang tak kenal dengan aktris yang sedang naik daun itu. Wajahnya terpampang di berbagai majalah maupun papan iklan besar pinggir jalan.
Anais tertunduk dengan isakan kecil terdengar. “Kamu berjanji padaku untuk—”
“Anais! Aku mohon mengertilah! “ bentak Garvi. “Lihatlah tubuhmu itu!”
Sarah tersenyum remeh saat Garvi menyinggung tentang penampilan Anais. Garvi membandingkannya dengan tubuh Sarah yang tetap terlihat langsing meski setelah melahirkan. Tidak seperti Anais yang memakai pakaian Rumah Sakit yang longgar, wajah kusam tanpa riasan, serta rambut yang dikuncir asal.
Anais memindai sendiri tubuhnya. Tapi Anais juga baru saja melahirkan, meski putranya tak selamat. Anais juga tidak terlalu mementingkan penampilan.
Apa yang salah dari penampilannya? Sebelum kejadian kemarin, Garvi tak pernah mempermasalahkan penampilannya. Apalagi setelah ia hamil besar dan berat badannya bertambah dua kali lipat. Lalu kenapa sekarang ia menjadi masalah?
“Ayolah Anais. Kenapa kamu mengemis cinta dari calon suamiku? Salahkan saja takdirmu atau orang tuamu. Salah siapa terlahir miskin dan nggak punya apa-apa,” cibir Sarah seraya mendekat dan membenamkan tubuhnya dalam pelukan Garvi.
Dahi Anais mengerut seiring tontonan yang ia lihat dengan matanya. Calon suaminya? Bukankah yang ia maksud dengan calon suami adalah suami dari Anais?
Pandangan Anais mengunci pada Garvi yang terlihat salah tingkah. ‘Benarkah yang dikatakan Sarah? Ini semua karena aku tidak punya apa-apa?’
Anais menarik satu sudut bibirnya. Inikah alasan Garvi berubah? Dulu, ia bilang akan mencintai dan menyayanginya setulus hati. Lalu sekarang ia membahas masalah Anais yang tidak punya apa-apa? Konyol sekali!
Jati yang sedari tadi menjadi pengamat, mengeraskan rahangnya. Rasanya ia ingin sekali menghabisi pria yang menjadi suami Anais itu. Pria pengecut yang melukai hati wanita demi wanita lain. Menjijikan!
“Ada apa ini!”
“Apa di rumahmu, kamu nggak punya kaca? Sehingga kamu nggak melihat seperti apa dirimu itu?” tanya Louis Anderson dengan nada angkuhnya.“Jika kamu masih berharap untuk menjadi bagian keluarga Anderson, jangan pernah bermimpi. Aku tidak akan menerimamu kembali di rumahku. Meski hanya menjadi pelayan. Pelayan saja kamu tidak pantas!” hina Louis.“Sarah, masuklah! Di luar udara sangat dingin. Tidak baik untukmu. Banyak mata melihat juga,” ucap Louis pada Sarah. Dan nada bicaranya sangat berbeda. Jika bicara dengan Sarah ia akan lembut dan bernada rendah, namun jika dengan Anais, maka pria paruh baya itu akan meledak-ledak penuh emosi. Seakan Anais sudah melakukan kesalahan yang fatal baginya dan keluarganya.Awalnya, saat Anais dikenalkan pada keluarga Anderson oleh Garvi, sikap itu sudah terlihat bahkan sangat kentara. Terlebih mengetahui jika Anais adalah seorang yatim piatu. Bahkan tanpa menunggu penjelasan Anais lebih lanjut, Louis sudah memandang dirinya dengan sebelah mata.Anais
“Baguslah!” seru Jati merasa girang. “Tanpa diminta, aku pasti akan membantumu. tenang saja,” lanjutnya dengan senyum lebar.Senyuman Jati justru membuat Anais kesal. Membuatnya teringat kejadian saat di Rumah sakit. Saat Anais memeluk Jati secara tiba-tiba karena membutuhkan seseorang untuk bersandar. Anais melakukan itu karena emosi yang sedang menguasai hati dan pikirannya. Tapi karena kejadian itu, hubungan mereka berangsur membaik meski Anais masih merasa canggung.Memberikan pelukan pada Jati, memang bukan pertama kalinya bagi Anais. Tapi sudah sekian lama ia tidak melakukannya, membuatnya merasa aneh dan canggung. ‘Apa kejadian hari itu tidak membuatnya merasa canggung sama sekali?’ pikirnya dalam hati.“Saya akan selalu siap kapanpun dibutuhkan. Jadi jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu, Nona,” ucap Paman Jordan hormat.Paman Jordan selalu memanggil Anais dengan sebutan Nona. Dan itu tidak berubah meski Anais sudah melarangnya. Paman Jordan mengatakan jika itu sudah menj
Anais menoleh ke sosok pemilik suara yang berada di sampingnya. Wanita dengan gaun malam berwarna hitam yang terbuka dan menampilkan hampir seluruh dadanya. Anais memutar bola matanya malas, sepertinya akan ada perdebatan sengit antara mereka. Jujur saja, pertemuannya dengan Sarah, adalah sesuatu yang tidak baik. Anais yakin jika salah satu dari keluarga Anderson juga berada di tempat ini. Atau mungkin semua.“Apa maksudmu dengan wanita sepertiku?” tanya Anais pura-pura menanggapi. Dalam hatinya, ia sangat malas untuk berurusan dengan Sarah.Mereka berdua berdiri berdampingan menatap angin kosong. Tentu saja dengan pikiran mereka masing-masing.“Apa kamu datang untuk menggoda pria di pesta ini?” tuduh Sarah pada Anais.Anais menertawakan pertanyaan Sarah dalam hati. ‘Menggoda? Bukankah kata-kata itu tepat untuk menggambarkan dirimu?’ batin Anais sinis.Melihat tidak ada perlawanan dari Anais, Sarah kembali memprovokasi Anais. Ia beralih menatap wanita dengan surai panjang yang terger
“Ini masih pagi buta. Bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Ganggu tau nggak?” keluh Anais dengan suara serak, seraya menjauhkan ponsel itu dari yang menelponnya.Anais menganggap hari masih gelap, padahal matahari sudah hampir berada di atas kepala. Namun, kata-kata kasar yang ia tangkap oleh indra pendengarannya menyadarkannya bahwa hari gelap yang ia pikirkan ternyata salah. Umpatan-umpatan itu juga menandakannya bahwa Garvi sudah menerima surat gugatan yang ia kirimkan untuknya. Anais membuka matanya cepat, menoleh ke arah benda kecil yang duduk manis di atas nakas.Waktu menunjukan pukul 08.25, waktu yang cukup siang untuk memulai hari. Tanpa ingin mendengar keluhan apapun dari Garvi, Anais segera menutup telponnya secara sepihak. Kemudian turun dari peraduan dan menuju kamar mandi. Dapat ditebak apa yang terjadi di ujung sambungan. Pria itu masti semakin menggila.“Ini baru langkah pertama, Garvi. Sebelum kamu menggugat cerai, aku melakukannya lebih dulu. Dan aku janji, aku n
Bab.6“Aak!” pekik Anais saat segelas jus yang ada di mejanya berpindah mengenai wajah dan bajunya.Anais mengusap kasar wajahnya yang terasa dingin, serta bajunya yang kotor. Dihadapannya, seorang wanita tengah berdiri dengan santai namun menatapnya dengan pandangan sinis.Sarah Dania! Wanita yang telah merebut suaminya, saat ini ada dihadapannya. Benar-benar hari yang buruk.Anais refleks berdiri sembari menatap tajam pada wanita itu dan berseru, “Apa-apaan kamu ini?!” Sarah tidak bergeming dengan teriakan Anais yang menampilkan sebagian emosinya. Namun, wanita yang menjadi lawan bicaranya hanya diam berdiri di tempat. Sarah melihat sekeliling, mereka berdua menjadi pusat perhatian. Terdapat banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka karena suara Anais cukup keras. “Nona, aku nggak melakukan apapun, kenapa kamu berteriak padaku?” tanya Sarah memutar balikan fakta.Anais mengerutkan dahinya, mencoba mengerti maksud ucapan Sarah. Baru beberapa detik yang lalu ia datang dan menyi
“Hei! Minggir kamu, jangan menghalangi!”Jati melihat pria yang berteriak padanya melalui ekor matanya. Tanpa menggubris keributan yang sedang terjadi, kemudian menarik lengan Anais untuk menjauh dari tempat itu.Sepanjang langkah mereka keluar, Anais meronta minta untuk dilepaskan, tapi Jati juga tidak memedulikan teriakan Anais. Ia tetap membawa Anais hingga ke tempat parkir.“Lepasin nggak!” teriak Anais sembari melepaskan cengkraman tangan Jati. Anais menatap Jati penuh kesal seraya mengusap lengannya yang sedikit terasa sakit karena Jati menariknya terlalu kuat.Menyadari hal itu, Jati sadar dengan tindakannya dan meminta maaf pada Anais karena telah membuatnya kesakitan.“Apa-apaan sih, kamu! Main tarik aja! Kamu pikir aku kambing?” kesal Anais.Anais yang merasa kesal pada Jati, memalingkan wajahnya ke arah lain seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Aku menarikmu dari tempat itu karena aku nggak mau kamu terluka,” jawab Jati dengan wajah datar.Anais menjadi semakin kesal
“Kamu nggak percaya sama aku? Kamu anggap kalau aku ini bohong dan ngarang cerita ke kamu? Gitu?”Sarah tersulut emosi saat ucapan Garvi seolah membela Anais. Ia merasa tidak terima dengan sikap Garvi yang terkesan membela mantan istrinya itu.Bagai orang yang kebakaran jenggot, Garvi mencari alasan agar Sarah tidak marah dengan ucapannya. Dengan terbata, ia berucap, “Bukan gitu, aku cuma nggak percaya kalau Anais—”Sarah meletakkan kedua tangan di pinggang dengan wajah merah padam. Menatap penuh amarah pada pria yang rencananya sebentar lagi akan menjadi suaminya.“Jadi, kamu lebih percaya Anais daripada aku?” potong Sarah kemudian.Garvi melipat bibirnya menyadari kesalahan yang dibuatnya. Ia tak menyangka jika kata-kata yang tak sengaja ia ucapkan kini membuatnya dalam masalah. Ia segera bangkit dari tempat duduknya yang nyaman untuk menghampiri Sarah dan menenangkan wanita pujaan hatinya itu agar tidak marah padanya.Garvi mencoba membujuk Sarah dan beralasan tidak melihatnya seca
Anais, bisa kita bicara sebentar?” tanya Jati pada Anais yang hendak melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Anais baru saja kembali ke rumah setelah seharian berada di luar rumah. Setelah kejadian di toko kue tadi siang, Anais pergi untuk melihat butik milik temannya sekaligus mengganti pakaiannya yang kotor terkena jus dan juga bercak kue. Anais menghentikan langkahnya, kemudian menoleh pada Jati dengan menaikan satu alisnya. Ia memutuskan untuk menyetujui ajakan Jati meski dalam hatinya merasa enggan untuk berbicara dengan anak angkat dari kakeknya tersebut. Anais menyilangkan kedua tangan di dadanya. Lalu bertanya, “Ngomong apa?” Jati mengutarakan keresahannya tentang acara yang akan diadakan oleh perusahaan, yang akan melibatkan Sarah dan juga keluarga Garvi karena mereka ada di daftar undangan. Jati juga bertanya tentang tanggapan Anais jika ADS Grup yang notabene adalah perusahaan milik keluarga suaminya dibatalkan dalam daftar undangan. Mendengar ucapan Paman angkatnya