Share

Pembalasan Dewa Perang
Pembalasan Dewa Perang
Penulis: Cutegurl

Bab 1

Di Bandara Internasional Kota A, sebuah pesawat milik kemiliteran yang di jaga oleh pesawat tempur baru saja mendarat.

Bandara sudah ditutup sejak pagi untuk menyambut kedatangan orang super penting yang ada di pesawat tersebut.

Di pintu masuk, ada banyak pria dengan tubuh tegap dan jas yang rapi sesekali mengecek jam di pergelangan tangan mereka.

Setelah sekian lama, orang yang mereka tunggu-tunggu itu muncul.

“Jenderal!!”

Mereka semua yang ada di sana memberikan hormat pada sosok Jenderal tersebut, seorang pria yang usianya masih terbilang muda. Dialah Ansel.

Ansel yang kini tampak gagah dan memesona, sangat berbeda dengan keadaannya yang nahas lima tahun lalu.

Dulu, Ansel hanyalah seorang pecundang yang dihina dan juga diolok-olok oleh seluruh orang di Ibu Kota.

Itu semua karena status sosial Ansel yang langsung merosot jatuh setelah ayahnya meninggal sebab terkena serangan jantung.

Perusahaan milik ayah Ansel mengalami kebangkrutan karena ada sabotase dari pamannya sendiri.

Tak lama setelah ayahnya meninggal, mama Ansel kemudian menyusul suaminya ke surga.

Ansel terlunta-lunta di jalanan. Mau meminta tolong, tapi hanya penghinaan yang ia dapat.

Tak ada seorangpun yang mau membantunya. Bahkan, tunangannya sendiri membuangnya seperti sampah.

Tapi kini ia kembali ke kota ini sebagai sang Jenderal perang yang sangat ditakuti.

Saat itu, di tengah kelaparan, putus asa, serta batas antara hidup dan mati menjadi kabur, seseorang misterius dan berpengaruh tiba-tiba datang dan menolongya.

Sosok itulah yang kemudian memasukkannya ke Kemiliteran, dan kini telah mengharumkan nama Ansel sendiri.

Lalu, setelah kemenangan gemilang yang membuat pangkat dan reputasinya melesat, Ansel memilih beristirahat sebelum akhirnya kembali lagi ke medan perang.

Dan, tentu saja, ia kembali untuk menghancurkan orang-orang yang dulu telah membuatnya menderita!

“Hati-hati, Jenderal. Cedera yang Anda derita belum sepenuhnya pulih,” kata seorang laki-laki bertubuh tinggi yang mengikuti Ansel dari belakang.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Ansel.

Saat Ansel melewati orang-orang yang menyambutnya itu, tak ada satu pun yang berani mengangkat kepala.

Aura Sang Dewa Perang yang menyeruak dari tubuh Ansel memang mampu membuat sebuah ruangan yang semula ramai tiba-tiba hening.

Ansel masuk ke dalam mobil. Dia menghela napas, menyandarkan punggungnya ke jok. Mobil melaju.

“Apa penyelidikanmu sudah ada kemajuan?” tanya Ansel, menatap lurus pada jalanan di depan.

“Ada sedikit kemajuan, Jenderal. Akhir-akhir ini, Sadewa Group mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kantor pusat mereka juga sudah pindah ke pusat Kota A. Tapi kami sedikit kesulitan menyelidiki mereka, karena sepertinya mereka bekerja sama dengan perusahaan lain yang lebih besar,” jelas laki-laki tersebut, yang kini tengah menyetir.

Ansel tersenyum miring. "Heh?! Perusahaan lain?" Kata-katanya terdengar sangat meremehkan.

“Lanjutkan penyelidikan kalian. Aku harus mengungkapkan siapa orang-orang yang berperan penting dalam menghancurkan hidupku dulu!” kata Ansel penuh keseriusan.

Tak akan pernah Ansel lupakan tentang Paman dan juga sepupunya. Orang-orang yang paling berperan penting dalam kehancuran hidupnya. Ia akan merebut kembali semua miliknya dulu yang kini mereka kuasai.

“Baik, Jenderal.”

Tidak lama setelah itu, mobil yang ditumpangi oleh Ansel berhenti di depan sebuah mobil mewah.

Seorang perempuan cantik turun dari mobil itu seraya melepas kaca mata hitamnya. Pandangannya beringsut ke arah mobil jeep yang datang ke arah mereka.

Melihat Ansel keluar dari pintu belakang dengan seragam militer biasa, perempuan itu menatapnya seraya mengernyitkan dahi.

“Kak Mona, jadi ini suamimu itu?” kata seorang perempuan cantik berkuncir kuda kepada atasannya.

“Langsung masuk saja!” perintah Mona dari dalam mobil tanpa mempedulikan pertanyaan Defi, asistennya itu.

Mendengar sambutan dingin istrinya itu, Ansel hanya tersenyum kecil. Ia hanya melihat perempuan berambut curly dan wajah yang sangat cantik itu dengan datar.

Empat tahun lalu, Ansel yang tengah berpatroli berhasil menyelamatkan seorang pria tua yang hampir mati sebab percobaan pembunuhan orang-orang jahat.

Sebagai bentuk terima kasih, pria tua itu menikahkan Ansel dengan Mona, putrinya.

Pria itu berharap Ansel kelak akan menjadi pelindung putrinya itu, seperti yang Ansel lakukan padanya.

Keputusan itu ditentang oleh keluarga besarnya. Namun, tidak ada yang bisa menghalangi Dante, pria tua yang Ansel selamatkan itu.

Mona menatap suaminya tersebut dengan malas. Walaupun sudah empat tahun tidak bertemu, Mona dapat mengenali wajah Ansel dengan baik. Rasa muak memenuhi dadanya.

Ansel masuk ke dalam mobil dan duduk di jok belakang di samping Mona. Defi di depan, di samping supir.

“Kenapa nggak suruh tunggu di dalam bandara saja, sih?” tanya Mona kesal.

“Tidak apa-apa,” jawab Ansel singkat.

Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara mereka. Kecanggungan tetap terasa meski usia pernikahan mereka telah cukup lama.

Memang, selama beberapa hari mereka pernah tidur sekamar, Ansel dan Mona tidak pernah benar-benar berinteraksi layaknya suami-istri.

Mereka belum pernah berpelukan apalagi berciuman. Bahkan Ansel selalu tidur di sofa sementara Mona tidur di kasur.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Ansel, mencoba mencairkan suasana.

“Bukan urusanmu,” jawab Mona, ketus.

Ansel mengernyit. Sepertinya memang akan sulit baginya untuk meluluhkan hati istrinya.

Setelah melangsungkan pernikahan empat tahun lalu, hanya selang beberapa hari, Ansel langsung mendapat panggilan untuk sebuah tugas mendesak. Dia tak mengira akan butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melihat istrinya lagi.

Saat mereka larut dalam keterdiaman, ponsel Defi berdering.

“Kak, kata Pak Riko, dia akan langsung datang ke rumahmu untuk membahas masalah pekerjaan itu,” ujar Defi setelah selesai bicara dengan orang yang menghubunginya.

Mona mengerutkan keningnya.

“Kenapa harus ke rumahku?” tanyanya heran.

Mona dan Riko akan membicarakan masalah bisnis. Sedikit aneh kalau itu harus dilakukan di rumahnya.

“Mungkin dia mau melamarmu,” celetuk Defi.

Tak senang Defi menyebut hal itu di situasi seperti ini, Mona membulatkan matanya, menatap Defi.

Ansel sendiri sementara itu mengerutkan keningnya.

“Jangan asal bicara,” kata Mona, menegur Defi.

Ansel masih mengerutkan kening. Dia memang tidak tahu apa-apa soal kondisi perusahaan keluarganya Mona maupun soal Riko.

Tiba di rumah Mona, mereka langsung keluar dari mobil. Sudah ada mobil lain yang terparkir di halaman rumah yang lumayan besar itu. Dan mobil itu adalah mobil mahal yang harganya miliaran.

“Ayo cepat, dia sudah datang,” kata Mona pada Defi. Dia mengabaikan Ansel yang berdiri di samping mobil.

Ansel menatap istrinya dari belakang, melihat bagaimana Mona terburu-buru untuk menemui orang yang bernama Riko itu.

Dia semakin penasaran tentang orang yang disebut bernama Riko ini. Apa benar, dia ingin melamar Mona, istrinya?

Di pintu masuk, Ansel melihat seorang wanita paruh baya yang masih cantik sedang tertawa bersama seorang laki-laki berpenampilan rapi.

Wanita itu adalah ibu mertuanya. Dan si pria yang tertawa bersamanya adalah Riko.

Mereka serentak melihat ke arah Ansel. Raut wajah mereka langsung berubah masam. Si ibu mertua menatap Ansel tajam.

“Mona, kamu sudah pulang?” Riko tersenyum lebar ke arah Mona.

“Pak Riko, kita bisa membicarakan masalah ini di kantor. Kenapa harus di rumah saya?” tanya Mona, tak senang.

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya… ingin membicarakan sesuatu hal penting dengan ibumu. Sekalian saja,” jawab Riko santai.

Dia melirik ke arah Ansel yang masih berdiri di pintu masuk. Ini kali pertama dia melihat Ansel, dan penilaiannya langsung buruk.

Ansel berjalan mendekat, hendak memberikan salam pada ibu mertuanya. Tetapi, ibu mertuanya itu malah menepis tangannya.

“Tidak usah!” ucapnya ketus.

“Dia siapa, Tante?” tanya Riko, memindai Ansel dari atas ke bawah.

Meski penampilan Ansel biasa saja, sebab memang itulah ciri khasnya, Ansel sebenarnya memiliki postur yang sangat bagus, dan dia juga terbilang tampan. Menyadari hal ini, Riko menatapnya tak senang.

Belum apa-apa dia sudah merasa tersaingi.

“Dia ini tentara rendahan yang jadi suaminya Mona!” jawab Lidia, ibu mertuanya Ansel.

Jelas sekali kalau dia tidak suka dengan menantunya itu.

Riko mengerutkan keningnya.

“Oh, jadi dia anjing buangan itu?” jawab Riko, tersenyum meremehkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status