Share

Bab 2

“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam.

Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya.

“Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.

Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan.

Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa sejak awal Lidia tidak pernah menyukainya, menentang pernikahannya dengan Mona empat tahun lalu. Tapi mengapa sekarang Lidia sekejam ini? Ansel memandang Mona, berharap mendapatkan dukungan, namun Mona hanya menunduk, menghindari tatapannya.

“Apa?! Sekarang malah bengong! Apa jadi tentara bikin kamu bego? Ya ampun, kasihan banget Mona punya suami kayak kamu! Untung aja selama empat tahun ini kamu nggak ada di rumah ini! Memang sebaiknya kamu tetap di medan perang saja! Mati saja sekalian sana!” Lidia melanjutkan, menambah luka di hati Ansel dengan kata-kata tajamnya.

“Ma, sudah! Nggak perlu sampai segitunya!” protes Mona akhirnya, meskipun suaranya terdengar bergetar, menunjukkan ketidakpastian di dalam hatinya.

Lidia dan Ansel langsung menatap Mona, terkejut oleh keberaniannya. Lidia tidak senang melihat putrinya membela Ansel, sementara Ansel merasa terkejut dan sedikit lega karena istrinya, meski ragu-ragu, tetap berusaha membelanya.

Lidia tak suka mendapati Mona membela suaminya. Baginya, ini adalah penghinaan yang tak bisa diterima. “Apa maksudmu, Mona? Kamu berpihak pada Ansel? Setelah semua yang dia lakukan?” bentaknya, matanya bersinar marah.

Mona menunduk, air mata menggenang di matanya. “Ma, aku...”

Sebelum Mona bisa menyelesaikan kalimatnya, Ansel memotong, “Maaf, Ma, tapi aku tidak akan pernah menceraikan Mona,” tegas Ansel, sorot matanya mantap, penuh keyakinan.

Kali ini, Mona dan Lidia menatap Ansel serentak, raut wajah mereka memperlihatkan campuran antara ketidakpuasan dan kemarahan yang mendalam. Ansel tahu, ucapannya barusan adalah tantangan langsung kepada Lidia, dan dia siap menghadapi konsekuensinya.

“Harus! Kamu harus menceraikan Mona! Kamu nggak pantas jadi suami anakku!” ucap Lidia berapi-api, suaranya meninggi, mencerminkan kebenciannya yang mendalam. “Kamu hanya tentara rendahan! Apa yang bisa kamu berikan pada Mona? Hanya penderitaan!”

“Lagipula, siapa yang bilang kamu punya hak menolak, hah?! Nggak ada! Kamu nggak punya hak buat menolak! Pokoknya kalian harus bercerai, dan setelah itu Mona akan menikah dengan Riko!” lanjut Lidia, nadanya semakin tajam, seolah ingin memotong setiap pertahanan yang dimiliki Ansel.

Mendapati ibu mertuanya blak-blakan seperti itu, Ansel mulai menunjukkan ketidaksukaannya.

Dia tak punya hak untuk untuk menolak? Yang benar saja! Dia Sang Dewa Perang!

Dan ketika mendengar nama Riko disebut, Ansel mengepalkan tangan. Dia menoleh ke arah pria yang berdiri di sudut ruangan, Riko, yang selama ini diam, menyaksikan drama keluarga ini dengan senyum sinis di wajahnya.

“Perusahaan Mona butuh dana tiga miliar supaya tidak bangkrut. Dan hanya aku yang bisa membantunya sekarang. Jadi, kamu, si anjing yang jadi tentara nggak berguna, lebih baik ceraikan Mona sekarang juga!” kata Riko, nadanya mengejek, penuh kesombongan.

Ansel menatap Riko tajam, matanya menyiratkan kemarahan yang sudah di ambang batas. Dia tidak bisa membiarkan orang asing ini meremehkannya, menghina profesinya, dan mengancam pernikahannya.

“Aku bukan anjing! Jaga ucapanmu! Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang!” usir Ansel, suaranya penuh wibawa, menunjukkan otoritasnya sebagai pemimpin yang terlatih.

Riko sedikit terkejut dan ciut, apalagi suara Ansel terdengar berat dan bergetar layaknya seorang bos yang memberi perintah.

Ia mundur sejenak, tetapi kemudian kembali dengan senyum mengejek. “Beraninya kamu mengusirku! Kamu bukan siapa-siapa di sini! Kamu hanya anjing tak berguna. Aku yang bantu Mona, bukan kamu!”

Lidia segera menimpali, “Heh! Beraninya kamu mengusir Riko! Memangnya kamu pikir kamu siapa? Riko ini orang yang banyak membantu Mona selama ini! Nggak kayak kamu! Memangnya kamu bisa apa?! Nggak bisa apa-apa! Kamu bahkan nggak tahu kalau Mona saat ini butuh duit buat menyelamatkan perusahaan, kan? Dasar nggak berguna! Kamu nggak punya hak buat bicara di sini!” cecarnya dengan nada menghina.

“Ansel, cepat minta maaf pada Riko sekarang!” desak Mona, suaranya terdengar panik. Ia menatap Ansel dengan mata memohon, takut kehilangan dukungan Riko yang dianggapnya sangat penting untuk menyelamatkan perusahaan keluarganya.

Namun Ansel bergeming, wajahnya tetap tenang meskipun hatinya bergolak. “Aku tidak salah. Untuk apa aku minta maaf?” protesnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Mona.

Mona tercengang, tidak menyangka Ansel menentangnya di depan umum, di depan ibunya dan Riko. “Ansel, tolong! Demi perusahaan!” suaranya memohon, namun Ansel tetap kukuh.

“Kamu berani membantah apa yang Mona katakan? Kamu mau mati, ya!” teriak Lidia, matanya membara, suaranya bergetar karena kemarahan.

Ansel tetap bergeming, tidak ada seorang pun yang bisa mengintimidasinya. Sebagai Sang Dewa Perang, ia telah menghadapi situasi yang lebih menakutkan dari ini.

Di titik ini, Riko tertawa terbahak-bahak, suaranya penuh ejekan. “Aku tahu, kamu bersikap seperti ini karena kamu iri, kan? Kamu iri, karena hanya aku yang bisa membantu Mona, sedangkan kamu tidak? Begitu, kan?” katanya, matanya menyala penuh kesombongan.

Ansel mengangkat sebelah alisnya, menatap Riko dengan pandangan meremehkan. Bagaimana mungkin pria ini berani meremehkannya? Sebagai Sang Dewa Perang, dia memiliki kekayaan dan kekuasaan yang tak bisa dibandingkan dengan Riko. Riko, tak ada apa-apanya dibanding Ansel. Tak seujung kuku pun.

“Orang dengan level rendahan seperti kamu ini nggak akan bisa bantu Mona. Jadi, mending sekarang kamu ceraikan Mona, biar aku yang jadi suaminya. Aku bisa membuat dia hidup enak, tidak seperti kamu. Dasar tentara rendahan!” serang Riko, penuh penghinaan.

Tangan Ansel terkepal kuat, menahan amarah yang mendidih. Dia tidak bisa menerima penghinaan ini lebih lama lagi. “Sikapmu sungguh keterlaluan! Sangat tidak beretika sama sekali!” bentak Ansel, suaranya menggelegar, membuat Mona merinding.

Namun Riko justru semakin bersemangat untuk menantang Ansel. “Bukankah memang begitu? Kamu ini hanya seekor anjing yang dicampakkan dan kebetulan bisa jadi tentara. Itu pun tentara rendahan!” katanya, puas melihat reaksi Ansel yang semakin marah.

Emosi Ansel semakin tak tertahan. Dia maju, menarik kerah baju Riko, menatapnya dengan mata penuh kemarahan. “Jangan sekali-kali menghina profesiku!” suaranya berat dan mengintimidasi, seolah-olah siap untuk meledak kapan saja.

Lidia, menyadari situasi semakin memanas, berteriak panik, “Heh, apa yang mau kamu lakukan?! Jangan sentuh dia!”

Namun terlambat. Ansel sudah kadung melayangkan pukulan keras dengan tangan kanannya, melepaskan amarah yang tertahan. Riko terjatuh, memegangi rahangnya yang terasa nyeri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status