Share

Bab 2

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2024-06-03 22:21:10

“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam.

Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya.

“Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.

Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan.

Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa sejak awal Lidia tidak pernah menyukainya, menentang pernikahannya dengan Mona empat tahun lalu. Tapi mengapa sekarang Lidia sekejam ini? Ansel memandang Mona, berharap mendapatkan dukungan, namun Mona hanya menunduk, menghindari tatapannya.

“Apa?! Sekarang malah bengong! Apa jadi tentara bikin kamu bego? Ya ampun, kasihan banget Mona punya suami kayak kamu! Untung aja selama empat tahun ini kamu nggak ada di rumah ini! Memang sebaiknya kamu tetap di medan perang saja! Mati saja sekalian sana!” Lidia melanjutkan, menambah luka di hati Ansel dengan kata-kata tajamnya.

“Ma, sudah! Nggak perlu sampai segitunya!” protes Mona akhirnya, meskipun suaranya terdengar bergetar, menunjukkan ketidakpastian di dalam hatinya.

Lidia dan Ansel langsung menatap Mona, terkejut oleh keberaniannya. Lidia tidak senang melihat putrinya membela Ansel, sementara Ansel merasa terkejut dan sedikit lega karena istrinya, meski ragu-ragu, tetap berusaha membelanya.

Lidia tak suka mendapati Mona membela suaminya. Baginya, ini adalah penghinaan yang tak bisa diterima. “Apa maksudmu, Mona? Kamu berpihak pada Ansel? Setelah semua yang dia lakukan?” bentaknya, matanya bersinar marah.

Mona menunduk, air mata menggenang di matanya. “Ma, aku...”

Sebelum Mona bisa menyelesaikan kalimatnya, Ansel memotong, “Maaf, Ma, tapi aku tidak akan pernah menceraikan Mona,” tegas Ansel, sorot matanya mantap, penuh keyakinan.

Kali ini, Mona dan Lidia menatap Ansel serentak, raut wajah mereka memperlihatkan campuran antara ketidakpuasan dan kemarahan yang mendalam. Ansel tahu, ucapannya barusan adalah tantangan langsung kepada Lidia, dan dia siap menghadapi konsekuensinya.

“Harus! Kamu harus menceraikan Mona! Kamu nggak pantas jadi suami anakku!” ucap Lidia berapi-api, suaranya meninggi, mencerminkan kebenciannya yang mendalam. “Kamu hanya tentara rendahan! Apa yang bisa kamu berikan pada Mona? Hanya penderitaan!”

“Lagipula, siapa yang bilang kamu punya hak menolak, hah?! Nggak ada! Kamu nggak punya hak buat menolak! Pokoknya kalian harus bercerai, dan setelah itu Mona akan menikah dengan Riko!” lanjut Lidia, nadanya semakin tajam, seolah ingin memotong setiap pertahanan yang dimiliki Ansel.

Mendapati ibu mertuanya blak-blakan seperti itu, Ansel mulai menunjukkan ketidaksukaannya.

Dia tak punya hak untuk untuk menolak? Yang benar saja! Dia Sang Dewa Perang!

Dan ketika mendengar nama Riko disebut, Ansel mengepalkan tangan. Dia menoleh ke arah pria yang berdiri di sudut ruangan, Riko, yang selama ini diam, menyaksikan drama keluarga ini dengan senyum sinis di wajahnya.

“Perusahaan Mona butuh dana tiga miliar supaya tidak bangkrut. Dan hanya aku yang bisa membantunya sekarang. Jadi, kamu, si anjing yang jadi tentara nggak berguna, lebih baik ceraikan Mona sekarang juga!” kata Riko, nadanya mengejek, penuh kesombongan.

Ansel menatap Riko tajam, matanya menyiratkan kemarahan yang sudah di ambang batas. Dia tidak bisa membiarkan orang asing ini meremehkannya, menghina profesinya, dan mengancam pernikahannya.

“Aku bukan anjing! Jaga ucapanmu! Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang!” usir Ansel, suaranya penuh wibawa, menunjukkan otoritasnya sebagai pemimpin yang terlatih.

Riko sedikit terkejut dan ciut, apalagi suara Ansel terdengar berat dan bergetar layaknya seorang bos yang memberi perintah.

Ia mundur sejenak, tetapi kemudian kembali dengan senyum mengejek. “Beraninya kamu mengusirku! Kamu bukan siapa-siapa di sini! Kamu hanya anjing tak berguna. Aku yang bantu Mona, bukan kamu!”

Lidia segera menimpali, “Heh! Beraninya kamu mengusir Riko! Memangnya kamu pikir kamu siapa? Riko ini orang yang banyak membantu Mona selama ini! Nggak kayak kamu! Memangnya kamu bisa apa?! Nggak bisa apa-apa! Kamu bahkan nggak tahu kalau Mona saat ini butuh duit buat menyelamatkan perusahaan, kan? Dasar nggak berguna! Kamu nggak punya hak buat bicara di sini!” cecarnya dengan nada menghina.

“Ansel, cepat minta maaf pada Riko sekarang!” desak Mona, suaranya terdengar panik. Ia menatap Ansel dengan mata memohon, takut kehilangan dukungan Riko yang dianggapnya sangat penting untuk menyelamatkan perusahaan keluarganya.

Namun Ansel bergeming, wajahnya tetap tenang meskipun hatinya bergolak. “Aku tidak salah. Untuk apa aku minta maaf?” protesnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Mona.

Mona tercengang, tidak menyangka Ansel menentangnya di depan umum, di depan ibunya dan Riko. “Ansel, tolong! Demi perusahaan!” suaranya memohon, namun Ansel tetap kukuh.

“Kamu berani membantah apa yang Mona katakan? Kamu mau mati, ya!” teriak Lidia, matanya membara, suaranya bergetar karena kemarahan.

Ansel tetap bergeming, tidak ada seorang pun yang bisa mengintimidasinya. Sebagai Sang Dewa Perang, ia telah menghadapi situasi yang lebih menakutkan dari ini.

Di titik ini, Riko tertawa terbahak-bahak, suaranya penuh ejekan. “Aku tahu, kamu bersikap seperti ini karena kamu iri, kan? Kamu iri, karena hanya aku yang bisa membantu Mona, sedangkan kamu tidak? Begitu, kan?” katanya, matanya menyala penuh kesombongan.

Ansel mengangkat sebelah alisnya, menatap Riko dengan pandangan meremehkan. Bagaimana mungkin pria ini berani meremehkannya? Sebagai Sang Dewa Perang, dia memiliki kekayaan dan kekuasaan yang tak bisa dibandingkan dengan Riko. Riko, tak ada apa-apanya dibanding Ansel. Tak seujung kuku pun.

“Orang dengan level rendahan seperti kamu ini nggak akan bisa bantu Mona. Jadi, mending sekarang kamu ceraikan Mona, biar aku yang jadi suaminya. Aku bisa membuat dia hidup enak, tidak seperti kamu. Dasar tentara rendahan!” serang Riko, penuh penghinaan.

Tangan Ansel terkepal kuat, menahan amarah yang mendidih. Dia tidak bisa menerima penghinaan ini lebih lama lagi. “Sikapmu sungguh keterlaluan! Sangat tidak beretika sama sekali!” bentak Ansel, suaranya menggelegar, membuat Mona merinding.

Namun Riko justru semakin bersemangat untuk menantang Ansel. “Bukankah memang begitu? Kamu ini hanya seekor anjing yang dicampakkan dan kebetulan bisa jadi tentara. Itu pun tentara rendahan!” katanya, puas melihat reaksi Ansel yang semakin marah.

Emosi Ansel semakin tak tertahan. Dia maju, menarik kerah baju Riko, menatapnya dengan mata penuh kemarahan. “Jangan sekali-kali menghina profesiku!” suaranya berat dan mengintimidasi, seolah-olah siap untuk meledak kapan saja.

Lidia, menyadari situasi semakin memanas, berteriak panik, “Heh, apa yang mau kamu lakukan?! Jangan sentuh dia!”

Namun terlambat. Ansel sudah kadung melayangkan pukulan keras dengan tangan kanannya, melepaskan amarah yang tertahan. Riko terjatuh, memegangi rahangnya yang terasa nyeri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bertus Zoeckutius Ruanus
Sama aja dgn cerita² novel jiplakan dari cina yg judulnya luar biasa tp tokohnya goblok dgn istri dan keluarganya yg sinting. Pengarangnya /penjiplak mengidap pneumo cronial
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 3

    BUK! Riko terpental ke belakang, wajahnya penuh darah. Pukulan keras dari Ansel mengenai tepat sasaran, membuat hidung Riko patah dan mengeluarkan darah segar. “ANSEL!!” Mona dan Lidia menjerit panik melihat apa yang dilakukan Ansel. Di sudut ruangan, Defi menutup mulutnya, tak percaya pria yang selama ini dianggap rendah bisa bertindak seberani ini. Nasib perusahaan Keluarga Hartono kini benar-benar di ujung tanduk. Riko, berusaha bangkit, menatap Ansel dengan penuh kebencian. “Berani-beraninya kamu memukulku dengan tangan kotormu itu!” bentaknya, sambil menahan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Ansel, dengan sorot mata dingin, menatap balik. “Kenapa aku harus takut pada orang seperti dirimu?” balasnya dengan suara yang tak bergetar sedikit pun, seolah Riko tak lebih dari seekor lalat baginya. Mona, panik, segera mengambil tisu dan memberikannya kepada Riko. “Pak Riko, maafkan suami saya. Dia tak seharusnya melakukan ini,” katanya, mencoba menenangkan situasi. A

    Last Updated : 2024-06-03
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 4

    qAnsel menatap layar ponselnya dengan serius saat panggilan masuk. Suaranya tenang saat diangkat. "Halo?" katanya. "Ada apa, Tuan Salim?" Tuan Salim, seorang tokoh berpengaruh yang pernah menyelamatkannya dari kehancuran, adalah pamannya yang baru dia kenal setelah bertahun-tahun. Dulu, Ansel hampir mati kelaparan di hutan setelah pemakaman ibunya. Namun, Tuan Salim melihat potensi besar dalam dirinya dan membawanya masuk ke dunia militer. “Aku ingin membicarakan sesuatu penting denganmu. Apakah kamu di rumah bersama istrimu?” Tanya Tuan Salim, suaranya tenang tetapi penuh makna. “Ya, ada masalah apa?” Ansel bertanya dengan hormat. Dia selalu menghormati Tuan Salim, seorang pria yang telah memberinya kesempatan kedua. Setelah bertahun-tahun tidak tahu, Ansel akhirnya mengetahui bahwa Tuan Salim adalah kakak dari ibunya yang telah lama pergi meninggalkan keluarga untuk menikahi ayahnya. Ini adalah rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. “Seseorang akan data

    Last Updated : 2024-06-03
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 5

    Di Shycon Group, saat ini Mona sedang merasakan pening yang luar biasa. Kalau bukan karena Ansel, dia sudah mendapatkan dana untuk perusahaannya dari Riko saat ini. Saat hampir waktu pulang kerja, Defi, sang sekretaris Mona masuk kedalam ruangannya. Dia kemudian meletakkan sebuah amplop diatas meja Mona. “Apa ini?” tanya Mona. Keningnya berkerut membuka amplop tersebut. “Surat ini dikirimkan oleh seseorang bernama Wina. Katanya, bossnya meminta dia untuk memberikannya kepada Anda,” jawab Defi. “Bossnya?” Mona mengerutkan kening. Siapa orang yang mengirimkan surat ini? Perusahaannya saat ini sedang bermasalah, jadi tidak mungkin ada perusahaan yang mau bekerja sama dengannya. “Oke, kamu boleh keluar!” Setelah Defi keluar, Mona segera membuka surat itu. Dan matanya melihat ada sebuah cek, membuat jantungnya berdebar keras tak karuan. 3 miliar! Tulisan di atas cek itu adalah 3 miliar! Mona sangat terkejut, tapi dengan cek ini, dia bisa menyelesaikan masalah perusahaannya

    Last Updated : 2024-06-03
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 6

    “Rio! Apa maksudmu?!” teriak Mona marah. “Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan apa—“ Belum sempat Rio melanjutkan perkataannya, sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipinya. “Kurang ajar! Beraninya kamu menamparku!!” teriak Rio marah memegang wajahnya, dia menatap Ansel tak percaya, karena tak menyangka pria yang dia anggap sampah itu berani menamparnya. Ansel acuh, dia bahkan mengangkat lengannya lagi, dan melayangkan pukalan untuk yang kedua kalinya. Rio berteriak kesakitan, melayangkan tangannya kepada Ansel. Tapi Ansel menahannya dan malah memelintir tangan Rio, hingga pekikan kesakitan semakin menggema keras. Rio berteriak kepada penjaga. “Apa yang kalian lihat! Cepat bantu aku! Hajar sampah ini!” Ansel kemudian menoleh kearah penjaga itu, menatap keduanya dengan tajam. Tubuh mereka bergetar ketakutan saat melihat tatapan Ansel, hingga terjatuh ke lantai. Mona terdiam melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Perasaan hangat muncul di hatinya. Kemudi

    Last Updated : 2024-06-21
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 7

    Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona. "Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas. Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan! Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya. Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu

    Last Updated : 2024-06-22
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 8

    Besok paginya, Ansel hendak pergi ke Candarana Group. Tapi dia tidak memiliki jas yang layak dipakai oleh seorang direktur seperti direktur kebanyakan. Karena itu dia menelepon Wina dan menyuruhnya menyiapkan sebuah jas. Tapi karena terlalu mendadak, akhirnya Wina mengusulkan Ansel untuk datang ke butik yang sudah Wina pilihkan. Dan Ansel juga setuju. Lagi pula, butik itu disponsori langsung oleh Candarana group. Ansel tiba di butik yang Wina maksud. Butik tersebut terlihat sangat besar dan juga mewah. Ansel tahu, kalau harga pakaian di butik ini sangat mahal, dan itu sesuai juga dengan kualitasnya. Tapi saat dia baru menginjakkan kakinya masuk ke dalam butik itu, dia mendengar seseorang memanggilnya. Ansel menoleh dan keningnya berkerut. Yang memanggilnya itu adalah seorang gadis cantik dengan tinggi semampai, mamakai heels yang cukup tinggi, sedang berjalan ke arahnya. Ansel butuh waktu beberapa detik untuk mengenali siapa gadis tersebut. Namanya Jelita, teman SMA-nya A

    Last Updated : 2024-06-24
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 9

    Setelah mengatakan kalimat itu, Ansel langsung berjalan keluar menuju mobilnya, ia tak berminat sedikitpun memikirkan tentang apa yang akan dialami oleh pelayan arogan itu setelah ini.Seperti kucing bertemu anjing. Pelayan arogan tersebut menjadi ciut seketika. Namun sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya, samar-samar, Ansel mendengar suara tamparan, dan juga suara rintih meminta maaf dari pelayan tadi.Ansel meletakkan paper bag yang berisi setelan jasnya tadi di jok samping kemudi. Kemudian ia menuju ke kantor pusat Candarana group, dengan mobil rongsok yang diberikan oleh Mona, untuk mencari pekerjaan.Kantor pusat Candarana group terletak di tengah kota. Dan itu adalah kawasan bisnis terbaik di seluruh kota. Gedungnya bertingkat hingga puluhan meter, membuatnya jadi tampak mengagumkan.Mobil Ansel yang sekilas tampak seperti mobil rongsokan itu diminta berhenti saat dia tiba di gerbang. Dua orang satpam yang berjaga langsung menghampirinya. Kedua satpam itu merasa kalau mob

    Last Updated : 2024-06-25
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 10~

    "Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam. Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu. Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna. "Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!" Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu. Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana. Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat

    Last Updated : 2024-06-27

Latest chapter

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 106 Tamat

    Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 105

    Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 104

    Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon

  • Pembalasan Dewa Perang    103

    Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 102

    Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 101

    Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 100

    Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 99

    Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 98

    Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status