Di Shycon Group, saat ini Mona sedang merasakan pening yang luar biasa. Kalau bukan karena Ansel, dia sudah mendapatkan dana untuk perusahaannya dari Riko saat ini.
Saat hampir waktu pulang kerja, Defi, sang sekretaris Mona masuk kedalam ruangannya. Dia kemudian meletakkan sebuah amplop diatas meja Mona. “Apa ini?” tanya Mona. Keningnya berkerut membuka amplop tersebut. “Surat ini dikirimkan oleh seseorang bernama Wina. Katanya, bossnya meminta dia untuk memberikannya kepada Anda,” jawab Defi. “Bossnya?” Mona mengerutkan kening. Siapa orang yang mengirimkan surat ini? Perusahaannya saat ini sedang bermasalah, jadi tidak mungkin ada perusahaan yang mau bekerja sama dengannya. “Oke, kamu boleh keluar!” Setelah Defi keluar, Mona segera membuka surat itu. Dan matanya melihat ada sebuah cek, membuat jantungnya berdebar keras tak karuan. 3 miliar! Tulisan di atas cek itu adalah 3 miliar! Mona sangat terkejut, tapi dengan cek ini, dia bisa menyelesaikan masalah perusahaannya. Mona seperti mendapatkan bintang jatuh, kalau tidak ada cek ini, apa yang harus dia katakan pada dewan direksi nanti. Mona kemeudian melihat nama di atas cek tersebut. Wina. Siapa dia? Mona tak mengenalnya. Dan sepertinya Wina ini adalah seorang asisten. Lalu siapa bossnya? Saat memikirkan itu, Mona teringat dengan Riko. Satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini adalah Riko. Jadi, pasti Riko yang memberikan cek ini. Memikirkannya membuat hati Mona serasa hangat. Tak menyangka kalau orang yang membantunya disaat-saat terakhir adalah Riko. Padahal tadi dia sudah pesimis karena halangan dari Ansel, suaminya. “Padahal resikonya sangat tinggi, tapi kamu melakukannya untukku?” Mona tersenyum lembut. Sebelumnya ia tak memiliki rasa apapun pada Riko, tapi kali ini perasaannya jadi tersentuh. Tok-tok. Pintu ruangan Mona diketuk dari luar. Defi masuk dengan terburu-buru. “Ada apa?” tanya Mona. “Saya barusan mendapat telepon dari perusahaan pusat, katanya Kak Mona disuruh untuk menemui ketua dewan,” jelas Defi. “Bukankah rapatnya dimulai jam sembilan malam nanti? Sekarang bahkan belum jam tujuh,” ujar Mona heran. Tapi dia segera paham, pasti ini tentang masalah pendanaan. Shycon group dan Sheazi Group yang Mona dan juga sepupunya pimpin, adalah perusahaan terbaik dalam keluarga Hartono. Dan Kakeknya sebagai ketua akan mengundurkan diri, sebab ingin beristirahat di waktu tuanya. Dan dia akan mencari ketua pengganti. Walaupun Shycon lebih unggul dari Sheazi, tapi Kakek sangat menyukai sepupu laki-lakinya. “Oke, aku akan bersiap-siap,” ujar Mona. Dia tahu, dengan adanya masalah keuangan di perusahaan yang dipimpinnya saat ini, Kakeknya pasti ingin mempermalukan dia. “Tapi, Kak. Katanya, ketua juga menyuruhmu untuk membawa tentara itu ke sana,” kata Defi, sedikit enggan menyampaikannya. “Apa? Untuk apa menyuruh dia kesana?” Mona jadi semakin yakin, kalau kali ini rencana mereka adalah untuk mempermalukan dirinya. *** Sebuah mobil hitam melaju di tengah jalan. Dan mobil yang biasa-biasa saja itu dikemudikan oleh Ansel. Mona meneleponnya dan meminta Ansel untuk menjemput Lidia untuk pergi rapat bertemu dengan Kakek, karena ini adalah perintah Kakek ketua. Lidia menggantikan Dante Hartono untuk ikut kali ini. Pakaiannya serba mewah dan juga glamor. Bahkan didalam mobil ia juga sibuk menata penampilannya, mengabaikan Ansel yang mengemudi. Bagi Lidia, Ansel hanyalah seorang menantu tak berguna. Kalau bukan karena kepepet dan sulit mencari taksi, Lidia tidak akan mau satu mobil dengan Ansel. Setelah menata riasannya, Lidia kemudian melirik Ansel yang duduk di depan. Penampilan menantunya ini sangat sederhana, dan juga baju yang dipakainya hanya kemeja biasa. Dan itu kembali memancing emosi Lidia. “Heh, Ansel! Kamu ini gak punya uang ya, buat beli jas? Lihat pakaianmu! Tukang kebun saja lebih tahu cara berpakaian daripada kamu!” hina Lidia dengan mata melotot kesal. Lidia terus menghina Ansel, tapi Ansel tetap diam, karena dia tahu sifat mertuanya seperti apa. Ansel yang terus diam, dan fokus dengan kemudinya, membuat Lidia lebih kesal. “Apa kamu gak bisa mengemudi? Kenapa jalannya kayak gerobak gini? Jangan sampai terlambat dan merusak citra anakku, lebih cepat lagi!!” kata Lidia berteriak, sembari menepuk kursi. Ansel tersenyum kecil. “Oke, Ma,” jawabnya. Lalu ia mengganti gigi mobil, dan menginjak gas sekencang mungkin, membuat Lidia terhuyung ke belakang. Bahkan berkata pun ia tak punya kesempatan. Saat mereka tiba ditempat acara, Lidia langsung keluar dari mobil, dan muntah-muntah. Mona yang baru tiba terkejut melihat mamanya muntah seperti itu. “Mama kenapa?” tanyanya khawatir. Lidia tak sempat memjawab karena kembali muntah. Mona menatap Ansel sangat marah. “Apa yang kamu lakukan pada mamaku?” teriak Mona dengan mata yang melotot. “Mungkin mabuk perjalanan, sebentar lagi juga sembuh,” jawab Ansel acuh tak acuh. Mendengar jawaban Ansel, amarah Mona sedikit surut. Lidia menahan rasa mualnya, menatap Ansel sangat marah. Tapi rapat akan segera dimulai, dan ia tak ingin buang-buang waktu. Mereka terus berjalan, tapi saat di pintu masuk, Ansel ditahan oleh penjaga. “Yang boleh masuk ke dalam hanya para pemegang saham. Orang asing dilarang masuk!” kata penjaga tersebut dengan tegas. “Dia suamiku,” kata Mona, terdengar sangat terpaksa. “Oh, si tentara itu sudah kembali? Apa dia sudah jadi veteran, atau ganti pekerjaan?” suara seorang laki-laki yang baru turun dari dalam mobil, dengan ekspresi bercanda dan juga meledek terdengar. “Rapat malam ini hanya untuk keluarga Hartono, kenapa orang luar bisa datang kemari?” sambungnya bertanya. Ansel mengerutkan keningnya. Dia mengenali pria yang berdiri didepannya ini. Dia adalah Rionaldo Hartono. Cucu pertama keluarga Hartono. Mereka pernah bertemu di pernikahan Ansel dulu. “Bukan urusanmu, lagipula kakek yang menyuruhnya untuk datang,” kata Mona tak senang. Bagaimanapun juga, Ansel adalah suaminya “Kamu yakin kakek yang menyuruhnya datang?” tanya Rio tak percaya. Dia memperhatikan penampilan Ansel dari atas sampai bawah. “Apa karena perusahaanmu sudah mau bangkrut, jadi kamu tidak bisa memberikan orang gak berguna ini jas, supaya dia terlihat sedikit baik?” tanya Rio mengejek. Melihat kemeja yang Ansel pakai, membuat Mona langsung tertunduk menahan amarah. Kenapa pria ini tak membeli jas sebelum datang kemari? Memang berniat untuk mempermalukannya, ya? Bagaimana mau membantu perusahaannya, kalau membeli jas saja tak bisa. Mengingat omong kosong Ansel tadi siang, membuat Mona jadi semakin kesal. “Kamu tenang saja, perusahaan istriku tidak akan bangkrut,” jawab Ansel santai Mendengar perkataan Ansel, Rio tertawa. “Yakin sekali, kau, tentara rendahan,” hinanya. Uang 3 miliar sangatlah besar, dan tak ada satupun orang yang mau membantu Mona, jadi Rio sangat yakin kalau perusahaan Mona akan hancur, dan dia yang akan menjadi ketua perusahaan menggantikan kakek. “Ya, masalah perusahaan sudah diselesaikan,” ujar Ansel ringan. “Sudah diselesaikan?” tanya Rio tak percaya. Sedangkan Mona hanya diam saja. Bagaimana Ansel tahu, kalau perusahaannya telah diselamatkan? Sedangkan uang 3 miliar itu bukan darinya. Awalnya Rio sangat percaya diri kalau dipertemuan kali ini, ia bisa mempermalukan sepupunya. Tapi sepertinya rencana tersebut akan gagal. “Ternyata enak juga jadi wanita,” ujar Rio. Dia melirik tubuh Mona. “Tinggal berbaring dengan boss besar, uang masuk ke rekeningmu,” sambungnya yang membakar emosi Ansel.“Rio! Apa maksudmu?!” teriak Mona marah. “Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan apa—“ Belum sempat Rio melanjutkan perkataannya, sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipinya. “Kurang ajar! Beraninya kamu menamparku!!” teriak Rio marah memegang wajahnya, dia menatap Ansel tak percaya, karena tak menyangka pria yang dia anggap sampah itu berani menamparnya. Ansel acuh, dia bahkan mengangkat lengannya lagi, dan melayangkan pukalan untuk yang kedua kalinya. Rio berteriak kesakitan, melayangkan tangannya kepada Ansel. Tapi Ansel menahannya dan malah memelintir tangan Rio, hingga pekikan kesakitan semakin menggema keras. Rio berteriak kepada penjaga. “Apa yang kalian lihat! Cepat bantu aku! Hajar sampah ini!” Ansel kemudian menoleh kearah penjaga itu, menatap keduanya dengan tajam. Tubuh mereka bergetar ketakutan saat melihat tatapan Ansel, hingga terjatuh ke lantai. Mona terdiam melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Perasaan hangat muncul di hatinya. Kemudi
Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona. "Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas. Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan! Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya. Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu
Besok paginya, Ansel hendak pergi ke Candarana Group. Tapi dia tidak memiliki jas yang layak dipakai oleh seorang direktur seperti direktur kebanyakan. Karena itu dia menelepon Wina dan menyuruhnya menyiapkan sebuah jas. Tapi karena terlalu mendadak, akhirnya Wina mengusulkan Ansel untuk datang ke butik yang sudah Wina pilihkan. Dan Ansel juga setuju. Lagi pula, butik itu disponsori langsung oleh Candarana group. Ansel tiba di butik yang Wina maksud. Butik tersebut terlihat sangat besar dan juga mewah. Ansel tahu, kalau harga pakaian di butik ini sangat mahal, dan itu sesuai juga dengan kualitasnya. Tapi saat dia baru menginjakkan kakinya masuk ke dalam butik itu, dia mendengar seseorang memanggilnya. Ansel menoleh dan keningnya berkerut. Yang memanggilnya itu adalah seorang gadis cantik dengan tinggi semampai, mamakai heels yang cukup tinggi, sedang berjalan ke arahnya. Ansel butuh waktu beberapa detik untuk mengenali siapa gadis tersebut. Namanya Jelita, teman SMA-nya A
Setelah mengatakan kalimat itu, Ansel langsung berjalan keluar menuju mobilnya, ia tak berminat sedikitpun memikirkan tentang apa yang akan dialami oleh pelayan arogan itu setelah ini.Seperti kucing bertemu anjing. Pelayan arogan tersebut menjadi ciut seketika. Namun sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya, samar-samar, Ansel mendengar suara tamparan, dan juga suara rintih meminta maaf dari pelayan tadi.Ansel meletakkan paper bag yang berisi setelan jasnya tadi di jok samping kemudi. Kemudian ia menuju ke kantor pusat Candarana group, dengan mobil rongsok yang diberikan oleh Mona, untuk mencari pekerjaan.Kantor pusat Candarana group terletak di tengah kota. Dan itu adalah kawasan bisnis terbaik di seluruh kota. Gedungnya bertingkat hingga puluhan meter, membuatnya jadi tampak mengagumkan.Mobil Ansel yang sekilas tampak seperti mobil rongsokan itu diminta berhenti saat dia tiba di gerbang. Dua orang satpam yang berjaga langsung menghampirinya. Kedua satpam itu merasa kalau mob
"Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam. Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu. Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna. "Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!" Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu. Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana. Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat
“Kamu harus berlutut di hadapanku dan mengatakan dengan lantang kalau kamu menyesal karena dulu pernah menolakku. Itu syaratnya.” “Apa?!” “Ya, itu syaratnya. Dan kamu harus melakukannya di hadapan pacarku itu. Kalau kamu menolak, aku akan meminta pacarku itu untuk tak menerimamu. Hahaha…” Tawa Jelita terdengar jahat seperti tawa tokoh antagonis di film-film sinetron. Ansel mulai muak melihatnya. Rasanya menjijikkan karena berada di ruang yang sama dengan wanita ini. Ting! Pintu lift terbuka. Ansel dan Jelita keluar. Di depan mereka rupanya sudah ada seorang laki-laki muda yang berdiri dan menyambut Jelita. Ansel membuang muka saat melihat kedua orang itu berciuman dengan santainya, bahkan tak lekas berhenti tapi lanjut berciuman dan semakin lama semakin panas. Ansel mendengus. Dua orang ini benar-benar cari gara-gara dengannya! "Kenapa kamu lama banget? Pak direktur yang baru katanya sebentar lagi akan sampai. Jadi, aku nggak bisa mengawasi wawancara. Dan kamu harus mengikuti w
Ansel menatap Thomas dengan tajam. “Bukankah tadi kamu ingin mengatakan sesuatu padaku? Coba katakan sekarang!” Nadanya mengintimidasi, seolah-olah singa siap menerkam mangsanya. Thomas merasa seperti terjatuh ke jurang tanpa dasar, jantungnya berdebar keras.Teringat akan kata-katanya yang merendahkan Ansel, Thomas hanya bisa berharap Ansel tidak mendengar ancamannya tadi. Orang-orang di ruangan merasa heran mengapa Thomas terlihat begitu ketakutan melihat presiden direktur baru mereka. Mereka tidak tahu kejadian di depan lift yang baru saja terjadi.“Aku akan memberimu waktu untuk mengakui kesalahanmu,” ujar Ansel sambil tersenyum dingin, namun mengintimidasi. Thomas berkeringat dingin, kakinya gemetar seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.“Maafkan saya, Pak Direktur. Tadi... saya sudah lancang,” kata Thomas dengan suara gemetar, tak berani menatap mata Ansel. Dia merasa harga dirinya runtuh di hadapan semua orang.“Bukan itu yang kumaksud! Yang lain!” sanggah Ansel tega
Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, Ansel bergegas menemui Mona. Ia tahu bahwa istrinya itu sedang gelisah mengenai perebutan proyek Candarana Group yang sangat penting. Di ruang kerjanya, Mona terlihat bingung. Meskipun perusahaannya berhasil selamat dari kebangkrutan berkat dana misterius, jumlah itu belum cukup untuk bersaing dalam tender. Pandangannya kosong, penuh pertanyaan yang tidak terjawab. “Apa yang harus kulakukan? Bagaimana bisa memenangkan tender ini?” keluhnya. Shycon Group, perusahaan yang telah ia bangun dengan susah payah, menghadapi rintangan besar. Sementara itu, Rio duduk santai di ruangannya. Setelah pertemuan malam itu, dia mendapatkan dukungan penuh dari kakeknya. Dukungan yang dilengkapi dengan aliran dana besar yang siap digunakan. Rio tahu, kakeknya ingin Mona kalah agar kepemimpinan perusahaan beralih kepadanya. "Mona, lebih baik kamu menyerah. Kamu tidak akan bisa memenangkan proyek ini," ejek Rio, datang dengan penuh kesombongan, mendekati M