Di Shycon Group, saat ini Mona sedang merasakan pening yang luar biasa. Kalau bukan karena Ansel, dia sudah mendapatkan dana untuk perusahaannya dari Riko saat ini.
Saat hampir waktu pulang kerja, Defi, sang sekretaris Mona masuk kedalam ruangannya. Dia kemudian meletakkan sebuah amplop diatas meja Mona. “Apa ini?” tanya Mona. Keningnya berkerut membuka amplop tersebut. “Surat ini dikirimkan oleh seseorang bernama Wina. Katanya, bossnya meminta dia untuk memberikannya kepada Anda,” jawab Defi. “Bossnya?” Mona mengerutkan kening. Siapa orang yang mengirimkan surat ini? Perusahaannya saat ini sedang bermasalah, jadi tidak mungkin ada perusahaan yang mau bekerja sama dengannya. “Oke, kamu boleh keluar!” Setelah Defi keluar, Mona segera membuka surat itu. Dan matanya melihat ada sebuah cek, membuat jantungnya berdebar keras tak karuan. 3 miliar! Tulisan di atas cek itu adalah 3 miliar! Mona sangat terkejut, tapi dengan cek ini, dia bisa menyelesaikan masalah perusahaannya. Mona seperti mendapatkan bintang jatuh, kalau tidak ada cek ini, apa yang harus dia katakan pada dewan direksi nanti. Mona kemeudian melihat nama di atas cek tersebut. Wina. Siapa dia? Mona tak mengenalnya. Dan sepertinya Wina ini adalah seorang asisten. Lalu siapa bossnya? Saat memikirkan itu, Mona teringat dengan Riko. Satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini adalah Riko. Jadi, pasti Riko yang memberikan cek ini. Memikirkannya membuat hati Mona serasa hangat. Tak menyangka kalau orang yang membantunya disaat-saat terakhir adalah Riko. Padahal tadi dia sudah pesimis karena halangan dari Ansel, suaminya. “Padahal resikonya sangat tinggi, tapi kamu melakukannya untukku?” Mona tersenyum lembut. Sebelumnya ia tak memiliki rasa apapun pada Riko, tapi kali ini perasaannya jadi tersentuh. Tok-tok. Pintu ruangan Mona diketuk dari luar. Defi masuk dengan terburu-buru. “Ada apa?” tanya Mona. “Saya barusan mendapat telepon dari perusahaan pusat, katanya Kak Mona disuruh untuk menemui ketua dewan,” jelas Defi. “Bukankah rapatnya dimulai jam sembilan malam nanti? Sekarang bahkan belum jam tujuh,” ujar Mona heran. Tapi dia segera paham, pasti ini tentang masalah pendanaan. Shycon group dan Sheazi Group yang Mona dan juga sepupunya pimpin, adalah perusahaan terbaik dalam keluarga Hartono. Dan Kakeknya sebagai ketua akan mengundurkan diri, sebab ingin beristirahat di waktu tuanya. Dan dia akan mencari ketua pengganti. Walaupun Shycon lebih unggul dari Sheazi, tapi Kakek sangat menyukai sepupu laki-lakinya. “Oke, aku akan bersiap-siap,” ujar Mona. Dia tahu, dengan adanya masalah keuangan di perusahaan yang dipimpinnya saat ini, Kakeknya pasti ingin mempermalukan dia. “Tapi, Kak. Katanya, ketua juga menyuruhmu untuk membawa tentara itu ke sana,” kata Defi, sedikit enggan menyampaikannya. “Apa? Untuk apa menyuruh dia kesana?” Mona jadi semakin yakin, kalau kali ini rencana mereka adalah untuk mempermalukan dirinya. *** Sebuah mobil hitam melaju di tengah jalan. Dan mobil yang biasa-biasa saja itu dikemudikan oleh Ansel. Mona meneleponnya dan meminta Ansel untuk menjemput Lidia untuk pergi rapat bertemu dengan Kakek, karena ini adalah perintah Kakek ketua. Lidia menggantikan Dante Hartono untuk ikut kali ini. Pakaiannya serba mewah dan juga glamor. Bahkan didalam mobil ia juga sibuk menata penampilannya, mengabaikan Ansel yang mengemudi. Bagi Lidia, Ansel hanyalah seorang menantu tak berguna. Kalau bukan karena kepepet dan sulit mencari taksi, Lidia tidak akan mau satu mobil dengan Ansel. Setelah menata riasannya, Lidia kemudian melirik Ansel yang duduk di depan. Penampilan menantunya ini sangat sederhana, dan juga baju yang dipakainya hanya kemeja biasa. Dan itu kembali memancing emosi Lidia. “Heh, Ansel! Kamu ini gak punya uang ya, buat beli jas? Lihat pakaianmu! Tukang kebun saja lebih tahu cara berpakaian daripada kamu!” hina Lidia dengan mata melotot kesal. Lidia terus menghina Ansel, tapi Ansel tetap diam, karena dia tahu sifat mertuanya seperti apa. Ansel yang terus diam, dan fokus dengan kemudinya, membuat Lidia lebih kesal. “Apa kamu gak bisa mengemudi? Kenapa jalannya kayak gerobak gini? Jangan sampai terlambat dan merusak citra anakku, lebih cepat lagi!!” kata Lidia berteriak, sembari menepuk kursi. Ansel tersenyum kecil. “Oke, Ma,” jawabnya. Lalu ia mengganti gigi mobil, dan menginjak gas sekencang mungkin, membuat Lidia terhuyung ke belakang. Bahkan berkata pun ia tak punya kesempatan. Saat mereka tiba ditempat acara, Lidia langsung keluar dari mobil, dan muntah-muntah. Mona yang baru tiba terkejut melihat mamanya muntah seperti itu. “Mama kenapa?” tanyanya khawatir. Lidia tak sempat memjawab karena kembali muntah. Mona menatap Ansel sangat marah. “Apa yang kamu lakukan pada mamaku?” teriak Mona dengan mata yang melotot. “Mungkin mabuk perjalanan, sebentar lagi juga sembuh,” jawab Ansel acuh tak acuh. Mendengar jawaban Ansel, amarah Mona sedikit surut. Lidia menahan rasa mualnya, menatap Ansel sangat marah. Tapi rapat akan segera dimulai, dan ia tak ingin buang-buang waktu. Mereka terus berjalan, tapi saat di pintu masuk, Ansel ditahan oleh penjaga. “Yang boleh masuk ke dalam hanya para pemegang saham. Orang asing dilarang masuk!” kata penjaga tersebut dengan tegas. “Dia suamiku,” kata Mona, terdengar sangat terpaksa. “Oh, si tentara itu sudah kembali? Apa dia sudah jadi veteran, atau ganti pekerjaan?” suara seorang laki-laki yang baru turun dari dalam mobil, dengan ekspresi bercanda dan juga meledek terdengar. “Rapat malam ini hanya untuk keluarga Hartono, kenapa orang luar bisa datang kemari?” sambungnya bertanya. Ansel mengerutkan keningnya. Dia mengenali pria yang berdiri didepannya ini. Dia adalah Rionaldo Hartono. Cucu pertama keluarga Hartono. Mereka pernah bertemu di pernikahan Ansel dulu. “Bukan urusanmu, lagipula kakek yang menyuruhnya untuk datang,” kata Mona tak senang. Bagaimanapun juga, Ansel adalah suaminya “Kamu yakin kakek yang menyuruhnya datang?” tanya Rio tak percaya. Dia memperhatikan penampilan Ansel dari atas sampai bawah. “Apa karena perusahaanmu sudah mau bangkrut, jadi kamu tidak bisa memberikan orang gak berguna ini jas, supaya dia terlihat sedikit baik?” tanya Rio mengejek. Melihat kemeja yang Ansel pakai, membuat Mona langsung tertunduk menahan amarah. Kenapa pria ini tak membeli jas sebelum datang kemari? Memang berniat untuk mempermalukannya, ya? Bagaimana mau membantu perusahaannya, kalau membeli jas saja tak bisa. Mengingat omong kosong Ansel tadi siang, membuat Mona jadi semakin kesal. “Kamu tenang saja, perusahaan istriku tidak akan bangkrut,” jawab Ansel santai Mendengar perkataan Ansel, Rio tertawa. “Yakin sekali, kau, tentara rendahan,” hinanya. Uang 3 miliar sangatlah besar, dan tak ada satupun orang yang mau membantu Mona, jadi Rio sangat yakin kalau perusahaan Mona akan hancur, dan dia yang akan menjadi ketua perusahaan menggantikan kakek. “Ya, masalah perusahaan sudah diselesaikan,” ujar Ansel ringan. “Sudah diselesaikan?” tanya Rio tak percaya. Sedangkan Mona hanya diam saja. Bagaimana Ansel tahu, kalau perusahaannya telah diselamatkan? Sedangkan uang 3 miliar itu bukan darinya. Awalnya Rio sangat percaya diri kalau dipertemuan kali ini, ia bisa mempermalukan sepupunya. Tapi sepertinya rencana tersebut akan gagal. “Ternyata enak juga jadi wanita,” ujar Rio. Dia melirik tubuh Mona. “Tinggal berbaring dengan boss besar, uang masuk ke rekeningmu,” sambungnya yang membakar emosi Ansel.“Rio! Apa maksudmu?!” teriak Mona marah. “Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan apa—“ Belum sempat Rio melanjutkan perkataannya, sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipinya. “Kurang ajar! Beraninya kamu menamparku!!” teriak Rio marah memegang wajahnya, dia menatap Ansel tak percaya, karena tak menyangka pria yang dia anggap sampah itu berani menamparnya. Ansel acuh, dia bahkan mengangkat lengannya lagi, dan melayangkan pukalan untuk yang kedua kalinya. Rio berteriak kesakitan, melayangkan tangannya kepada Ansel. Tapi Ansel menahannya dan malah memelintir tangan Rio, hingga pekikan kesakitan semakin menggema keras. Rio berteriak kepada penjaga. “Apa yang kalian lihat! Cepat bantu aku! Hajar sampah ini!” Ansel kemudian menoleh kearah penjaga itu, menatap keduanya dengan tajam. Tubuh mereka bergetar ketakutan saat melihat tatapan Ansel, hingga terjatuh ke lantai. Mona terdiam melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Perasaan hangat muncul di hatinya. Kemudi
Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona. "Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas. Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan! Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya. Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu
Besok paginya, Ansel hendak pergi ke Candarana Group. Tapi dia tidak memiliki jas yang layak dipakai oleh seorang direktur seperti direktur kebanyakan. Karena itu dia menelepon Wina dan menyuruhnya menyiapkan sebuah jas. Tapi karena terlalu mendadak, akhirnya Wina mengusulkan Ansel untuk datang ke butik yang sudah Wina pilihkan. Dan Ansel juga setuju. Lagi pula, butik itu disponsori langsung oleh Candarana group. Ansel tiba di butik yang Wina maksud. Butik tersebut terlihat sangat besar dan juga mewah. Ansel tahu, kalau harga pakaian di butik ini sangat mahal, dan itu sesuai juga dengan kualitasnya. Tapi saat dia baru menginjakkan kakinya masuk ke dalam butik itu, dia mendengar seseorang memanggilnya. Ansel menoleh dan keningnya berkerut. Yang memanggilnya itu adalah seorang gadis cantik dengan tinggi semampai, mamakai heels yang cukup tinggi, sedang berjalan ke arahnya. Ansel butuh waktu beberapa detik untuk mengenali siapa gadis tersebut. Namanya Jelita, teman SMA-nya A
Setelah mengatakan kalimat itu, Ansel langsung berjalan keluar menuju mobilnya, ia tak berminat sedikitpun memikirkan tentang apa yang akan dialami oleh pelayan arogan itu setelah ini.Seperti kucing bertemu anjing. Pelayan arogan tersebut menjadi ciut seketika. Namun sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya, samar-samar, Ansel mendengar suara tamparan, dan juga suara rintih meminta maaf dari pelayan tadi.Ansel meletakkan paper bag yang berisi setelan jasnya tadi di jok samping kemudi. Kemudian ia menuju ke kantor pusat Candarana group, dengan mobil rongsok yang diberikan oleh Mona, untuk mencari pekerjaan.Kantor pusat Candarana group terletak di tengah kota. Dan itu adalah kawasan bisnis terbaik di seluruh kota. Gedungnya bertingkat hingga puluhan meter, membuatnya jadi tampak mengagumkan.Mobil Ansel yang sekilas tampak seperti mobil rongsokan itu diminta berhenti saat dia tiba di gerbang. Dua orang satpam yang berjaga langsung menghampirinya. Kedua satpam itu merasa kalau mob
"Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam. Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu. Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna. "Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!" Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu. Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana. Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat
“Kamu harus berlutut di hadapanku dan mengatakan dengan lantang kalau kamu menyesal karena dulu pernah menolakku. Itu syaratnya.” “Apa?!” “Ya, itu syaratnya. Dan kamu harus melakukannya di hadapan pacarku itu. Kalau kamu menolak, aku akan meminta pacarku itu untuk tak menerimamu. Hahaha…” Tawa Jelita terdengar jahat seperti tawa tokoh antagonis di film-film sinetron. Ansel mulai muak melihatnya. Rasanya menjijikkan karena berada di ruang yang sama dengan wanita ini. Ting! Pintu lift terbuka. Ansel dan Jelita keluar. Di depan mereka rupanya sudah ada seorang laki-laki muda yang berdiri dan menyambut Jelita. Ansel membuang muka saat melihat kedua orang itu berciuman dengan santainya, bahkan tak lekas berhenti tapi lanjut berciuman dan semakin lama semakin panas. Ansel mendengus. Dua orang ini benar-benar cari gara-gara dengannya! "Kenapa kamu lama banget? Pak direktur yang baru katanya sebentar lagi akan sampai. Jadi, aku nggak bisa mengawasi wawancara. Dan kamu harus mengikuti w
Ansel menatap Thomas dengan tajam. “Bukankah tadi kamu ingin mengatakan sesuatu padaku? Coba katakan sekarang!” Nadanya mengintimidasi, seolah-olah singa siap menerkam mangsanya. Thomas merasa seperti terjatuh ke jurang tanpa dasar, jantungnya berdebar keras.Teringat akan kata-katanya yang merendahkan Ansel, Thomas hanya bisa berharap Ansel tidak mendengar ancamannya tadi. Orang-orang di ruangan merasa heran mengapa Thomas terlihat begitu ketakutan melihat presiden direktur baru mereka. Mereka tidak tahu kejadian di depan lift yang baru saja terjadi.“Aku akan memberimu waktu untuk mengakui kesalahanmu,” ujar Ansel sambil tersenyum dingin, namun mengintimidasi. Thomas berkeringat dingin, kakinya gemetar seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.“Maafkan saya, Pak Direktur. Tadi... saya sudah lancang,” kata Thomas dengan suara gemetar, tak berani menatap mata Ansel. Dia merasa harga dirinya runtuh di hadapan semua orang.“Bukan itu yang kumaksud! Yang lain!” sanggah Ansel tega
Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, Ansel bergegas menemui Mona. Ia tahu bahwa istrinya itu sedang gelisah mengenai perebutan proyek Candarana Group yang sangat penting. Di ruang kerjanya, Mona terlihat bingung. Meskipun perusahaannya berhasil selamat dari kebangkrutan berkat dana misterius, jumlah itu belum cukup untuk bersaing dalam tender. Pandangannya kosong, penuh pertanyaan yang tidak terjawab. “Apa yang harus kulakukan? Bagaimana bisa memenangkan tender ini?” keluhnya. Shycon Group, perusahaan yang telah ia bangun dengan susah payah, menghadapi rintangan besar. Sementara itu, Rio duduk santai di ruangannya. Setelah pertemuan malam itu, dia mendapatkan dukungan penuh dari kakeknya. Dukungan yang dilengkapi dengan aliran dana besar yang siap digunakan. Rio tahu, kakeknya ingin Mona kalah agar kepemimpinan perusahaan beralih kepadanya. "Mona, lebih baik kamu menyerah. Kamu tidak akan bisa memenangkan proyek ini," ejek Rio, datang dengan penuh kesombongan, mendekati M
Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa
Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar
Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon
Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat
Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A
Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d
Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,