qAnsel menatap layar ponselnya dengan serius saat panggilan masuk. Suaranya tenang saat diangkat. "Halo?" katanya. "Ada apa, Tuan Salim?"
Tuan Salim, seorang tokoh berpengaruh yang pernah menyelamatkannya dari kehancuran, adalah pamannya yang baru dia kenal setelah bertahun-tahun. Dulu, Ansel hampir mati kelaparan di hutan setelah pemakaman ibunya. Namun, Tuan Salim melihat potensi besar dalam dirinya dan membawanya masuk ke dunia militer. “Aku ingin membicarakan sesuatu penting denganmu. Apakah kamu di rumah bersama istrimu?” Tanya Tuan Salim, suaranya tenang tetapi penuh makna. “Ya, ada masalah apa?” Ansel bertanya dengan hormat. Dia selalu menghormati Tuan Salim, seorang pria yang telah memberinya kesempatan kedua. Setelah bertahun-tahun tidak tahu, Ansel akhirnya mengetahui bahwa Tuan Salim adalah kakak dari ibunya yang telah lama pergi meninggalkan keluarga untuk menikahi ayahnya. Ini adalah rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. “Seseorang akan datang menemuimu. Dia akan menjelaskan semuanya,” kata Tuan Salim, mengakhiri lamunan Ansel. “Tidak bisa kita bicarakan sekarang?” Ansel bertanya lagi, khawatir situasinya dengan Mona bisa mempersulit pertemuan tersebut. “Sayangnya tidak bisa. Aku punya rapat penting. Dia akan membantumu di sana,” kata Tuan Salim, nada suaranya mengisyaratkan bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membahas lebih lanjut. Ansel mengangguk meskipun dia masih merasa khawatir. Setelah menutup panggilan, dia memutar langkahnya menuju ke arah mertuanya dan Mona. “Jangan merasa kamu begitu penting! Kamu hanyalah tentara rendahan!” Lidia meludahinya dengan nada sinis saat Ansel mendekatinya. Ansel memilih untuk diam. Dia tidak ingin memperburuk situasi yang sudah buruk. Dia tahu bahwa kehadirannya selalu menjadi batu sandungan bagi Lidia, yang merasa bahwa Ansel adalah penyebab dari segala masalah dalam keluarga mereka. “Sudahlah, kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Pergilah sekarang. Aku akan segera mengurus perceraianmu dengan Mona!” Lidia semakin meluapkan kemarahannya, wajahnya memerah karena emosi yang tak terkendali. Ansel menatapnya dingin, menahan diri untuk tidak ikut terbawa emosi Lidia. Dia tahu bahwa setiap kata yang diucapkannya saat ini akan menjadi bumerang, tapi ada momen ketika dia harus bersikap tegas. “Maafkan saya, tapi saya tidak akan menceraikan Mona,” Ansel berkata dengan suara yang tenang tetapi tegas, mencoba meneguhkan posisinya. “Berani sekali kamu bicara seperti itu! Pergi dari sini sekarang juga!” Lidia menyerang balik dengan kata-kata yang menusuk hati. Di sisi lain, Riko, yang sebelumnya angkuh, sekarang terdiam. Dia mencoba untuk mempertahankan pendirian bahwa Ansel hanyalah seorang tentara rendahan yang tidak pantas mendapatkan tempat di keluarga mereka. Namun, ketegasan Ansel membuatnya merasa ragu. Mona merasa kepala dan hatinya penuh dengan masalah yang semakin memburuk. Ponselnya berdering, menandakan kedatangan pesan atau panggilan penting. Setelah memeriksanya, ekspresi wajahnya berubah panik. “Baik, saya akan mencoba untuk mendapatkannya hari ini,” ujarnya dengan nada cemas sebelum menutup telepon. Dia membutuhkan dana sebesar tiga miliar dengan segera. “Riko, aku sangat membutuhkan uang itu sekarang. Tolonglah,” pintanya dengan suara memelas, matanya penuh dengan harapan yang hampir padam. Riko melihat ini sebagai kesempatan. “Aku akan membantumu jika kamu menceraikannya,” tawarnya, menunjuk Ansel. Mona menatap Ansel dengan pandangan penuh ketidakpercayaan. “Apakah kamu tidak bisa memikirkan situasi yang aku hadapi?” “Seharusnya aku yang menanyakan hal yang sama padamu. Aku adalah suamimu. Kenapa kamu malah meminta bantuan orang lain?” Ansel membalas, suaranya masih tenang tetapi berisi kekecewaan yang mendalam. “Karena aku tahu bahwa kamu tidak akan bisa membantuku!” teriak Mona, emosinya mencapai puncaknya karena tekanan yang begitu besar. “Dasar tidak tahu malu! Aku tidak tahu mengapa suamiku dulu membiarkan kamu menikahi anakku. Tapi kamu telah membawa kutukan bagi kami semua!” Lidia menyerang Ansel dengan kata-kata yang penuh kebencian, bahkan mencoba untuk mendorongnya, meskipun usahanya tidak membuat Ansel terguncang. “Maaf, tapi saya tidak akan menceraikan Mona. Saya akan membantu dia, apapun yang terjadi,” Ansel berkata tegas, tatapannya menantang Lidia untuk meredam amarahnya. Ansel melirik Riko yang masih berdiri di sana, menunggu dengan cemas. “Maaf, tetapi mengapa kamu masih di sini?” dia menegur dengan nada sarkas. Lidia meledak dalam kemarahannya. “Kamu tidak berhak mengusirnya! Seharusnya kamu yang pergi dari sini!” Ansel mengabaikan kata-kata mertuanya yang dipenuhi kemarahan. Dia menatap Riko dengan tajam, memaksanya untuk menyerah. “Maaf, tetapi saya memiliki janji dengan Candarana Group setelah ini. Saya harus pergi sekarang, Tante,” Riko akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Mona yang merasa gagal dalam usahanya mencari dana untuk perusahaannya. Ia tak sanggup menghadapi tekanan dari Ansel. “Jangan khawatir, aku yang akan memberikan dana untuk perusahaanmu,” Ansel berkata pada Mona, suaranya penuh dengan keyakinan dan tekad yang kuat. Aura dominannya membuat Mona sejenak terpana, meskipun dia akhirnya kembali meragukan kemampuannya. “Jangan bicara kosong! Jika kamu bisa membantu, lakukanlah!” Mona berkata dengan suara yang penuh dengan emosi, sebelum berbalik dan pergi, diikuti oleh Defi yang juga merasa kesal melihat Ansel. Ansel teringat dengan pesan dari Tuan Salim. Dia meninggalkan rumah dengan langkah mantap, berdiri menunggu di depan gerbang. Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depannya. “Tuan Ansel?” sapa seorang wanita muda dari dalam mobil, siap untuk membukakan pintu. Namun, Ansel mengangkat tangannya untuk menunjukkan bahwa tidak perlu. “Apa yang bisa saya bantu?” tanya Ansel dengan suara yang serius, duduk di kursi belakang mobil dengan sikap yang mantap. Wanita itu memberikan sebuah map coklat padanya. “Saya Wina, asisten Tuan Salim. Ini untuk Anda. Harap dibaca dengan seksama, Tuan,” ucapnya sambil menyerahkan map tersebut dengan pandangan hormat. Ansel mengernyitkan kening saat membaca isi surat itu dengan teliti. “Apakah ini benar? Candarana Group dialihkan padaku?” ucapnya dengan nada terkejut. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Tuan Salim akan memberinya sesuatu sebesar ini. “Benar, Tuan. Dan sekarang saya adalah asisten Anda. Saya siap melayani semua perintah Anda,” jawab Wina dengan penuh penghormatan. Ansel terdiam sejenak, memikirkan kondisi perusahaan Mona saat ini. “Kirimkan cek sebesar tiga miliar kepada istriku sekarang juga,” perintah Ansel dengan tegas. Apapun yang terjadi, Ansel tak akan pernah membiarkan orang lain membantu istrinya. Ia adalah seorang Dewa Perang paling terkemuka. Kalaupun tanpa Candarana group, dia akan tetap bisa membantu istrinya. Ia tak kekurangan apapun. “Baik, Tuan,” jawab Wina tegas. “Apakah Candarana Group akan menandatangani kontrak dengan perusahaan yang diurus Riko?” tanya Ansel saat ia teringat dengan keangkuhan Riko ketika dia mengatakan akan melakukan tanda tangan kontrak dengan Candarana group. Wina mengangguk. “Benar, Tuan. Besok mereka akan menandatangani kontrak.” “Batalkan! Jangan buat perjanjian apa pun dengan mereka. Beri pelajaran pada Riko karena sudah berani menantangku!” ujar Ansel, matanya berkilat tajam. Dia adalah pria yang berkuasa, dan tidak ada yang bisa menghalanginya.Di Shycon Group, saat ini Mona sedang merasakan pening yang luar biasa. Kalau bukan karena Ansel, dia sudah mendapatkan dana untuk perusahaannya dari Riko saat ini. Saat hampir waktu pulang kerja, Defi, sang sekretaris Mona masuk kedalam ruangannya. Dia kemudian meletakkan sebuah amplop diatas meja Mona. “Apa ini?” tanya Mona. Keningnya berkerut membuka amplop tersebut. “Surat ini dikirimkan oleh seseorang bernama Wina. Katanya, bossnya meminta dia untuk memberikannya kepada Anda,” jawab Defi. “Bossnya?” Mona mengerutkan kening. Siapa orang yang mengirimkan surat ini? Perusahaannya saat ini sedang bermasalah, jadi tidak mungkin ada perusahaan yang mau bekerja sama dengannya. “Oke, kamu boleh keluar!” Setelah Defi keluar, Mona segera membuka surat itu. Dan matanya melihat ada sebuah cek, membuat jantungnya berdebar keras tak karuan. 3 miliar! Tulisan di atas cek itu adalah 3 miliar! Mona sangat terkejut, tapi dengan cek ini, dia bisa menyelesaikan masalah perusahaannya
“Rio! Apa maksudmu?!” teriak Mona marah. “Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan apa—“ Belum sempat Rio melanjutkan perkataannya, sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipinya. “Kurang ajar! Beraninya kamu menamparku!!” teriak Rio marah memegang wajahnya, dia menatap Ansel tak percaya, karena tak menyangka pria yang dia anggap sampah itu berani menamparnya. Ansel acuh, dia bahkan mengangkat lengannya lagi, dan melayangkan pukalan untuk yang kedua kalinya. Rio berteriak kesakitan, melayangkan tangannya kepada Ansel. Tapi Ansel menahannya dan malah memelintir tangan Rio, hingga pekikan kesakitan semakin menggema keras. Rio berteriak kepada penjaga. “Apa yang kalian lihat! Cepat bantu aku! Hajar sampah ini!” Ansel kemudian menoleh kearah penjaga itu, menatap keduanya dengan tajam. Tubuh mereka bergetar ketakutan saat melihat tatapan Ansel, hingga terjatuh ke lantai. Mona terdiam melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Perasaan hangat muncul di hatinya. Kemudi
Semuanya tak tahan melihat Ansel yang begitu percaya diri berkata seperti itu pada Kakek. Padahal dia hanya tentara rendahan yang beruntung bisa masuk dalam keluarga Hartono sebagai suaminya Mona. "Heh tentara rendahan! Kamu punya rasa percaya diri yang berlebihan! Perusahaan Mona baru saja mengalami masalah pendanaan yang rumit, jadi pasti sangat sulit baginya untuk bisa ikut pada tender kali ini!" Rio yang masih memiliki dendam menyahuti dengan kalimat sarkas. Lidia dan Mona tercengang, menatap Ansel tak percaya. Kenapa Ansel harus mengatakan hal seperti itu di saat seperti ini? Apakah dia bermaksud membuat mereka malu? Jika iya, bagi mereka itu keterlaluan! Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Mona sangat berharap kalau ucapan Ansel akan terwujud. Hanya saja, menurutnya, harapan semacam itu seperti buih di lautan. Terlihat banyak tapi tak mampu diraihnya. Selama ini Kakek lebih menyayangi Rio sebagai cucu laki-lakinya. Kali ini pun, bukan tak mungkin, laki-laki tua itu
Besok paginya, Ansel hendak pergi ke Candarana Group. Tapi dia tidak memiliki jas yang layak dipakai oleh seorang direktur seperti direktur kebanyakan. Karena itu dia menelepon Wina dan menyuruhnya menyiapkan sebuah jas. Tapi karena terlalu mendadak, akhirnya Wina mengusulkan Ansel untuk datang ke butik yang sudah Wina pilihkan. Dan Ansel juga setuju. Lagi pula, butik itu disponsori langsung oleh Candarana group. Ansel tiba di butik yang Wina maksud. Butik tersebut terlihat sangat besar dan juga mewah. Ansel tahu, kalau harga pakaian di butik ini sangat mahal, dan itu sesuai juga dengan kualitasnya. Tapi saat dia baru menginjakkan kakinya masuk ke dalam butik itu, dia mendengar seseorang memanggilnya. Ansel menoleh dan keningnya berkerut. Yang memanggilnya itu adalah seorang gadis cantik dengan tinggi semampai, mamakai heels yang cukup tinggi, sedang berjalan ke arahnya. Ansel butuh waktu beberapa detik untuk mengenali siapa gadis tersebut. Namanya Jelita, teman SMA-nya A
Setelah mengatakan kalimat itu, Ansel langsung berjalan keluar menuju mobilnya, ia tak berminat sedikitpun memikirkan tentang apa yang akan dialami oleh pelayan arogan itu setelah ini.Seperti kucing bertemu anjing. Pelayan arogan tersebut menjadi ciut seketika. Namun sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya, samar-samar, Ansel mendengar suara tamparan, dan juga suara rintih meminta maaf dari pelayan tadi.Ansel meletakkan paper bag yang berisi setelan jasnya tadi di jok samping kemudi. Kemudian ia menuju ke kantor pusat Candarana group, dengan mobil rongsok yang diberikan oleh Mona, untuk mencari pekerjaan.Kantor pusat Candarana group terletak di tengah kota. Dan itu adalah kawasan bisnis terbaik di seluruh kota. Gedungnya bertingkat hingga puluhan meter, membuatnya jadi tampak mengagumkan.Mobil Ansel yang sekilas tampak seperti mobil rongsokan itu diminta berhenti saat dia tiba di gerbang. Dua orang satpam yang berjaga langsung menghampirinya. Kedua satpam itu merasa kalau mob
"Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam. Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu. Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna. "Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!" Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu. Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana. Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat
“Kamu harus berlutut di hadapanku dan mengatakan dengan lantang kalau kamu menyesal karena dulu pernah menolakku. Itu syaratnya.” “Apa?!” “Ya, itu syaratnya. Dan kamu harus melakukannya di hadapan pacarku itu. Kalau kamu menolak, aku akan meminta pacarku itu untuk tak menerimamu. Hahaha…” Tawa Jelita terdengar jahat seperti tawa tokoh antagonis di film-film sinetron. Ansel mulai muak melihatnya. Rasanya menjijikkan karena berada di ruang yang sama dengan wanita ini. Ting! Pintu lift terbuka. Ansel dan Jelita keluar. Di depan mereka rupanya sudah ada seorang laki-laki muda yang berdiri dan menyambut Jelita. Ansel membuang muka saat melihat kedua orang itu berciuman dengan santainya, bahkan tak lekas berhenti tapi lanjut berciuman dan semakin lama semakin panas. Ansel mendengus. Dua orang ini benar-benar cari gara-gara dengannya! "Kenapa kamu lama banget? Pak direktur yang baru katanya sebentar lagi akan sampai. Jadi, aku nggak bisa mengawasi wawancara. Dan kamu harus mengikuti w
Ansel menatap Thomas dengan tajam. “Bukankah tadi kamu ingin mengatakan sesuatu padaku? Coba katakan sekarang!” Nadanya mengintimidasi, seolah-olah singa siap menerkam mangsanya. Thomas merasa seperti terjatuh ke jurang tanpa dasar, jantungnya berdebar keras.Teringat akan kata-katanya yang merendahkan Ansel, Thomas hanya bisa berharap Ansel tidak mendengar ancamannya tadi. Orang-orang di ruangan merasa heran mengapa Thomas terlihat begitu ketakutan melihat presiden direktur baru mereka. Mereka tidak tahu kejadian di depan lift yang baru saja terjadi.“Aku akan memberimu waktu untuk mengakui kesalahanmu,” ujar Ansel sambil tersenyum dingin, namun mengintimidasi. Thomas berkeringat dingin, kakinya gemetar seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.“Maafkan saya, Pak Direktur. Tadi... saya sudah lancang,” kata Thomas dengan suara gemetar, tak berani menatap mata Ansel. Dia merasa harga dirinya runtuh di hadapan semua orang.“Bukan itu yang kumaksud! Yang lain!” sanggah Ansel tega