Share

Bab 4

qAnsel menatap layar ponselnya dengan serius saat panggilan masuk. Suaranya tenang saat diangkat. "Halo?" katanya. "Ada apa, Tuan Salim?"

Tuan Salim, seorang tokoh berpengaruh yang pernah menyelamatkannya dari kehancuran, adalah pamannya yang baru dia kenal setelah bertahun-tahun. Dulu, Ansel hampir mati kelaparan di hutan setelah pemakaman ibunya. Namun, Tuan Salim melihat potensi besar dalam dirinya dan membawanya masuk ke dunia militer.

“Aku ingin membicarakan sesuatu penting denganmu. Apakah kamu di rumah bersama istrimu?” Tanya Tuan Salim, suaranya tenang tetapi penuh makna.

“Ya, ada masalah apa?” Ansel bertanya dengan hormat. Dia selalu menghormati Tuan Salim, seorang pria yang telah memberinya kesempatan kedua.

Setelah bertahun-tahun tidak tahu, Ansel akhirnya mengetahui bahwa Tuan Salim adalah kakak dari ibunya yang telah lama pergi meninggalkan keluarga untuk menikahi ayahnya. Ini adalah rahasia keluarga yang selama ini disembunyikan oleh ibunya.

“Seseorang akan datang menemuimu. Dia akan menjelaskan semuanya,” kata Tuan Salim, mengakhiri lamunan Ansel.

“Tidak bisa kita bicarakan sekarang?” Ansel bertanya lagi, khawatir situasinya dengan Mona bisa mempersulit pertemuan tersebut.

“Sayangnya tidak bisa. Aku punya rapat penting. Dia akan membantumu di sana,” kata Tuan Salim, nada suaranya mengisyaratkan bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membahas lebih lanjut.

Ansel mengangguk meskipun dia masih merasa khawatir. Setelah menutup panggilan, dia memutar langkahnya menuju ke arah mertuanya dan Mona.

“Jangan merasa kamu begitu penting! Kamu hanyalah tentara rendahan!” Lidia meludahinya dengan nada sinis saat Ansel mendekatinya.

Ansel memilih untuk diam. Dia tidak ingin memperburuk situasi yang sudah buruk. Dia tahu bahwa kehadirannya selalu menjadi batu sandungan bagi Lidia, yang merasa bahwa Ansel adalah penyebab dari segala masalah dalam keluarga mereka.

“Sudahlah, kehadiranmu di sini tidak diinginkan. Pergilah sekarang. Aku akan segera mengurus perceraianmu dengan Mona!” Lidia semakin meluapkan kemarahannya, wajahnya memerah karena emosi yang tak terkendali.

Ansel menatapnya dingin, menahan diri untuk tidak ikut terbawa emosi Lidia. Dia tahu bahwa setiap kata yang diucapkannya saat ini akan menjadi bumerang, tapi ada momen ketika dia harus bersikap tegas.

“Maafkan saya, tapi saya tidak akan menceraikan Mona,” Ansel berkata dengan suara yang tenang tetapi tegas, mencoba meneguhkan posisinya.

“Berani sekali kamu bicara seperti itu! Pergi dari sini sekarang juga!” Lidia menyerang balik dengan kata-kata yang menusuk hati.

Di sisi lain, Riko, yang sebelumnya angkuh, sekarang terdiam. Dia mencoba untuk mempertahankan pendirian bahwa Ansel hanyalah seorang tentara rendahan yang tidak pantas mendapatkan tempat di keluarga mereka. Namun, ketegasan Ansel membuatnya merasa ragu.

Mona merasa kepala dan hatinya penuh dengan masalah yang semakin memburuk. Ponselnya berdering, menandakan kedatangan pesan atau panggilan penting. Setelah memeriksanya, ekspresi wajahnya berubah panik.

“Baik, saya akan mencoba untuk mendapatkannya hari ini,” ujarnya dengan nada cemas sebelum menutup telepon.

Dia membutuhkan dana sebesar tiga miliar dengan segera. “Riko, aku sangat membutuhkan uang itu sekarang. Tolonglah,” pintanya dengan suara memelas, matanya penuh dengan harapan yang hampir padam.

Riko melihat ini sebagai kesempatan. “Aku akan membantumu jika kamu menceraikannya,” tawarnya, menunjuk Ansel.

Mona menatap Ansel dengan pandangan penuh ketidakpercayaan. “Apakah kamu tidak bisa memikirkan situasi yang aku hadapi?”

“Seharusnya aku yang menanyakan hal yang sama padamu. Aku adalah suamimu. Kenapa kamu malah meminta bantuan orang lain?” Ansel membalas, suaranya masih tenang tetapi berisi kekecewaan yang mendalam.

“Karena aku tahu bahwa kamu tidak akan bisa membantuku!” teriak Mona, emosinya mencapai puncaknya karena tekanan yang begitu besar.

“Dasar tidak tahu malu! Aku tidak tahu mengapa suamiku dulu membiarkan kamu menikahi anakku. Tapi kamu telah membawa kutukan bagi kami semua!” Lidia menyerang Ansel dengan kata-kata yang penuh kebencian, bahkan mencoba untuk mendorongnya, meskipun usahanya tidak membuat Ansel terguncang.

“Maaf, tapi saya tidak akan menceraikan Mona. Saya akan membantu dia, apapun yang terjadi,” Ansel berkata tegas, tatapannya menantang Lidia untuk meredam amarahnya.

Ansel melirik Riko yang masih berdiri di sana, menunggu dengan cemas. “Maaf, tetapi mengapa kamu masih di sini?” dia menegur dengan nada sarkas.

Lidia meledak dalam kemarahannya. “Kamu tidak berhak mengusirnya! Seharusnya kamu yang pergi dari sini!”

Ansel mengabaikan kata-kata mertuanya yang dipenuhi kemarahan. Dia menatap Riko dengan tajam, memaksanya untuk menyerah.

“Maaf, tetapi saya memiliki janji dengan Candarana Group setelah ini. Saya harus pergi sekarang, Tante,” Riko akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Mona yang merasa gagal dalam usahanya mencari dana untuk perusahaannya. Ia tak sanggup menghadapi tekanan dari Ansel.

“Jangan khawatir, aku yang akan memberikan dana untuk perusahaanmu,” Ansel berkata pada Mona, suaranya penuh dengan keyakinan dan tekad yang kuat. Aura dominannya membuat Mona sejenak terpana, meskipun dia akhirnya kembali meragukan kemampuannya.

“Jangan bicara kosong! Jika kamu bisa membantu, lakukanlah!” Mona berkata dengan suara yang penuh dengan emosi, sebelum berbalik dan pergi, diikuti oleh Defi yang juga merasa kesal melihat Ansel.

Ansel teringat dengan pesan dari Tuan Salim. Dia meninggalkan rumah dengan langkah mantap, berdiri menunggu di depan gerbang. Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depannya.

“Tuan Ansel?” sapa seorang wanita muda dari dalam mobil, siap untuk membukakan pintu. Namun, Ansel mengangkat tangannya untuk menunjukkan bahwa tidak perlu.

“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Ansel dengan suara yang serius, duduk di kursi belakang mobil dengan sikap yang mantap.

Wanita itu memberikan sebuah map coklat padanya. “Saya Wina, asisten Tuan Salim. Ini untuk Anda. Harap dibaca dengan seksama, Tuan,” ucapnya sambil menyerahkan map tersebut dengan pandangan hormat.

Ansel mengernyitkan kening saat membaca isi surat itu dengan teliti. “Apakah ini benar? Candarana Group dialihkan padaku?” ucapnya dengan nada terkejut. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Tuan Salim akan memberinya sesuatu sebesar ini.

“Benar, Tuan. Dan sekarang saya adalah asisten Anda. Saya siap melayani semua perintah Anda,” jawab Wina dengan penuh penghormatan.

Ansel terdiam sejenak, memikirkan kondisi perusahaan Mona saat ini. “Kirimkan cek sebesar tiga miliar kepada istriku sekarang juga,” perintah Ansel dengan tegas.

Apapun yang terjadi, Ansel tak akan pernah membiarkan orang lain membantu istrinya. Ia adalah seorang Dewa Perang paling terkemuka. Kalaupun tanpa Candarana group, dia akan tetap bisa membantu istrinya. Ia tak kekurangan apapun.

“Baik, Tuan,” jawab Wina tegas.

“Apakah Candarana Group akan menandatangani kontrak dengan perusahaan yang diurus Riko?” tanya Ansel saat ia teringat dengan keangkuhan Riko ketika dia mengatakan akan melakukan tanda tangan kontrak dengan Candarana group.

Wina mengangguk. “Benar, Tuan. Besok mereka akan menandatangani kontrak.”

“Batalkan! Jangan buat perjanjian apa pun dengan mereka. Beri pelajaran pada Riko karena sudah berani menantangku!” ujar Ansel, matanya berkilat tajam. Dia adalah pria yang berkuasa, dan tidak ada yang bisa menghalanginya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status