Share

Bab 10~

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2024-06-27 00:08:02

"Presdir? Jadi dia… Pak Direktur?" gumam salah satu satpam.

Saat tersadar kembali dengan situasi saat ini, langsung saja kaki kedua satpam tersebut terasa lemas. Keduanya sampai bersimpuh di atas aspal itu.

Tak mereka hiraukan rasa sakit yang menyiksa. Membayangkan kalau mereka akan kehilangan pekerjaan jika tak berlutut, membuat rasa sakit itu langsung sirna.

"Presdir ... Presdir! Ma-maafkan kami. Kami benar-benar kurang ajar dan bersalah. Kami benar-benar tidak tahu jika Anda adalah direktur baru perusahaan ini! Mohon maafkan kami, Presdir!"

Ansel melihat mereka dengan raut wajah datar. Tak ia hiraukan ocehan kedua pria itu.

Melihat raut wajah Ansel yang tak dapat dibaca, kedua satpam itu semakin ketakutan. Entah kenapa, raut wajah direktur baru tersebut mampu membuat keduanya gemetar. Jika tak takut akan membuat malu, keduanya mungkin sudah buang air kecil didalam celana.

Ansel melihat ke arah kedua satpam yang gemetar itu. Ia ingin menghukum keduanya, tapi saat dia ingat
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 11

    “Kamu harus berlutut di hadapanku dan mengatakan dengan lantang kalau kamu menyesal karena dulu pernah menolakku. Itu syaratnya.” “Apa?!” “Ya, itu syaratnya. Dan kamu harus melakukannya di hadapan pacarku itu. Kalau kamu menolak, aku akan meminta pacarku itu untuk tak menerimamu. Hahaha…” Tawa Jelita terdengar jahat seperti tawa tokoh antagonis di film-film sinetron. Ansel mulai muak melihatnya. Rasanya menjijikkan karena berada di ruang yang sama dengan wanita ini. Ting! Pintu lift terbuka. Ansel dan Jelita keluar. Di depan mereka rupanya sudah ada seorang laki-laki muda yang berdiri dan menyambut Jelita. Ansel membuang muka saat melihat kedua orang itu berciuman dengan santainya, bahkan tak lekas berhenti tapi lanjut berciuman dan semakin lama semakin panas. Ansel mendengus. Dua orang ini benar-benar cari gara-gara dengannya! "Kenapa kamu lama banget? Pak direktur yang baru katanya sebentar lagi akan sampai. Jadi, aku nggak bisa mengawasi wawancara. Dan kamu harus mengikuti w

    Last Updated : 2024-06-28
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 12

    Ansel menatap Thomas dengan tajam. “Bukankah tadi kamu ingin mengatakan sesuatu padaku? Coba katakan sekarang!” Nadanya mengintimidasi, seolah-olah singa siap menerkam mangsanya. Thomas merasa seperti terjatuh ke jurang tanpa dasar, jantungnya berdebar keras.Teringat akan kata-katanya yang merendahkan Ansel, Thomas hanya bisa berharap Ansel tidak mendengar ancamannya tadi. Orang-orang di ruangan merasa heran mengapa Thomas terlihat begitu ketakutan melihat presiden direktur baru mereka. Mereka tidak tahu kejadian di depan lift yang baru saja terjadi.“Aku akan memberimu waktu untuk mengakui kesalahanmu,” ujar Ansel sambil tersenyum dingin, namun mengintimidasi. Thomas berkeringat dingin, kakinya gemetar seperti tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.“Maafkan saya, Pak Direktur. Tadi... saya sudah lancang,” kata Thomas dengan suara gemetar, tak berani menatap mata Ansel. Dia merasa harga dirinya runtuh di hadapan semua orang.“Bukan itu yang kumaksud! Yang lain!” sanggah Ansel tega

    Last Updated : 2024-06-29
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 13

    Setelah menyelesaikan urusannya di kantor, Ansel bergegas menemui Mona. Ia tahu bahwa istrinya itu sedang gelisah mengenai perebutan proyek Candarana Group yang sangat penting. Di ruang kerjanya, Mona terlihat bingung. Meskipun perusahaannya berhasil selamat dari kebangkrutan berkat dana misterius, jumlah itu belum cukup untuk bersaing dalam tender. Pandangannya kosong, penuh pertanyaan yang tidak terjawab. “Apa yang harus kulakukan? Bagaimana bisa memenangkan tender ini?” keluhnya. Shycon Group, perusahaan yang telah ia bangun dengan susah payah, menghadapi rintangan besar. Sementara itu, Rio duduk santai di ruangannya. Setelah pertemuan malam itu, dia mendapatkan dukungan penuh dari kakeknya. Dukungan yang dilengkapi dengan aliran dana besar yang siap digunakan. Rio tahu, kakeknya ingin Mona kalah agar kepemimpinan perusahaan beralih kepadanya. "Mona, lebih baik kamu menyerah. Kamu tidak akan bisa memenangkan proyek ini," ejek Rio, datang dengan penuh kesombongan, mendekati M

    Last Updated : 2024-06-30
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 14

    Awalnya Mona kira Rio sudah menyerah. Tapi ternyata tidak. Sepupunya itu malah menunggu di luar gedung untuk melampiaskan kekesalannya pada Mona. “Heh!” Dengan cepat dan sedikit kasar, Rio menarik bahu Mona, hingga wanita cantik itu berbalik badan ke belakang. Ansel melihat itu dengan sorot mata tajam, berlari cepat menuju Mona, napasnya berat karena marah. Dia mencengkram tangan Rio dan menghempaskannya ke samping. "Kurang ajar! Beraninya kamu!" Rio yang sudah kesal, jadi semakin kesal saat melihat kedatangan Ansel. "Kamu berani berbuat kasar pada istriku, jangan salahkan aku jika ku patahkan tanganmu!" sentak Ansel berang. Mona yang mendengar itu ingin angkat bicara, tapi ketika dia melihat wajah Rio yang masam, Mona langsung tersenyum sinis, mengabaikan perlakuan sepupunya yang kasar. Ia sudah bahagia saat ini bisa mengalahkan Rio, walaupun ia tidak tahu kenapa dirinya bisa memenangkan tender proyek dari Candarana Group. “Kenapa?” tanya Mona santai. Melihat Mona yang berl

    Last Updated : 2024-07-01
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 15

    Baru saja dia diangkat tinggi oleh perkataan kakeknya, namun kini dia sudah dijatuhkan lagi hingga tidak mempunyai muka sama sekali. Mengurus perusahaan timur dan menjadi wakil direktur memang terdengar menggiurkan. Namun semua orang yang hadir di sana tahu kalau wakil direktur hanya kacung seorang direktur. Semua keputusan ada di tangan direktur. “Kamu akan menjadi orang penting dan disegani Mona. Karena itu, berikan proyek tersebut pada Rio, biarkan dia yang mengurusnya, supaya kamu bisa fokus pada perusahaan timur,” kata kakek dengan nada yang tidak bisa ditentang. Mona menatap nyalang mata sang kakek, kemudian tertawa sinis, menunjukkan ketidakpercayaannya. “Jadi, ini tujuan sebenarnya dari semua sandiwara tadi?” tanya Mona dengan tawa miris, merasakan penghianatan dalam setiap kata-kata kakek. “Apa maksud kamu, Mona? Jangan lancang kamu!” “Karena proyek besar itu tidak bisa dimenangkan oleh cucu kesayangan kakek dan malah dimenangkan olehku, kakek menyuruhku untuk memberika

    Last Updated : 2024-07-01
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 16

    Lidia terdiam mendengar teriakan Mona. Kilasan ingatan perlakuan buruk keluarga Hartono pada dirinya dan Mona terbayang olehnya. Tak pernah sekalipun Kakek menganggap mereka. Selalu bersikap pilih kasih. Dan itu semakin menjadi-jadi setelah Dante, suami Lidia, membawa Ansel ke rumah mereka sebagai menantu. Ketika teringat semua kerumitan yang semakin membesar setelah kedatangan Ansel, amarah Lidia membeludak. Lidia menatap tajam ke arah Ansel. Tangannya gatal ingin melayangkan pukulan. Namun, ketika teringat perlawanan Ansel terhadap Kakek, Lidia sedikit gemetar. "Dasar pembawa sial! Menantu gak guna! Kenapa suamiku harus membawa kamu ke sini! Kenapa dia membawa kutukan ke rumah ini!" Lidia berteriak. Suaranya memenuhi ruangan dengan kebencian yang tak terbendung. Emosi Lidia meledak-ledak. Dan baginya, Ansel adalah sasaran empuk untuk melepaskan semua emosinya. "Mama, jangan terlalu emosi. Hati-hati dengan jantungmu!" balas Ansel dengan nada sedikit khawatir. "Sialan!

    Last Updated : 2024-07-02
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 17

    Ansel bergerak cepat setelah mendengar laporan dari bibi pelayan di rumah peninggalan Dante. Tatapan matanya tajam, penuh kewaspadaan dan tekad. Ia penasaran dengan berita tentang Riko yang mengamuk di depan rumah. Saat baru sampai di depan, Ansel mendengar langkah kaki mendekat. Ia berbalik dengan sigap dan melihat Mona yang datang setelah mendapat laporan serupa dari bibi pelayan. Tatapan Mona cemas, namun ada kelegaan melihat Ansel di sana. "Ada apa? Kenapa Riko mengamuk?" tanya Mona heran, matanya mencari jawaban dalam tatapan Ansel. Ansel hanya menggeleng, meskipun dia tahu penyebab sebenarnya. Ia memilih untuk melindungi Mona dari kenyataan yang mungkin terlalu berat. "Mona?!" Mona terkejut melihat penampilan Riko yang kacau. Jasnya berantakan dan kotor, rambutnya tampak lebih panjang dan tidak terawat, dengan jambang yang lebat. Kehancuran Riko begitu kontras dengan keanggunan Mona. "Mona?" Riko melihat Mona datang. Tapi ketika ia melihat Ansel juga di sana, amarah Ri

    Last Updated : 2024-07-02
  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 18

    "Ka—kamu? Kamu seorang iblis!!" Riko berteriak dengan suara parau dan penuh kebencian. Ansel hanya diam. Dengan satu gerakan cepat, ia menghantam lutut Riko, membuat pria itu jatuh tersungkur di tanah. Riko mengerang kesakitan, tetapi amarahnya belum padam. Ia meraih pecahan kaca yang dibalut tisu di dalam sakunya, lalu dengan putus asa mencoba menyerang lagi. Ansel bergerak cepat, namun tidak cukup cepat untuk menghindari seluruh serangan. Pecahan kaca itu menorehkan luka panjang di lengannya, dan darah segera mengucur deras. Meski terluka, Ansel tidak mundur. Sebaliknya, ia semakin mendekati Riko dengan tatapan penuh determinasi. "Kau sudah cukup membuat kekacauan," desis Ansel dengan suara rendah namun penuh ancaman. Ia meraih Riko dengan tangan yang tidak terluka dan menyeretnya ke arah pintu gerbang. Di luar, suara sirene polisi semakin mendekat, dihubungi oleh Mona. Beberapa tetangga yang penasaran mulai berkumpul, menyaksikan kejadian itu. Mona, yang sejak tadi terpaku, a

    Last Updated : 2024-07-03

Latest chapter

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 106 Tamat

    Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 105

    Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 104

    Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon

  • Pembalasan Dewa Perang    103

    Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 102

    Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 101

    Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 100

    Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 99

    Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri

  • Pembalasan Dewa Perang    Bab 98

    Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status