Saat menunggu antrian pengambilan obat, Ansel menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Foto yang baru saja diterimanya memancing berbagai emosi. Senyum sumringah dari wajah-wajah yang terpampang di foto itu menghancurkan ketenangan Ansel.Dengan kekuatan yang tersisa, Ansel mencengkram erat ponselnya, menyalurkan emosinya yang tiba-tiba memuncak. "Sialan!" desis Ansel dengan suara parau.Foto tersebut memperlihatkan kedatangan paman dan sepupunya di bandara. Mereka tampak sangat bahagia, mungkin baru saja mendapatkan proyek besar.Hati Ansel berdenyut sakit melihat orang-orang yang berperan penting dalam menghancurkannya hidup dengan bahagia, tertawa di atas penderitaannya, dan bergelimang harta dari jerih payah ayahnya. Jantung Ansel berdebar kencang, merasakan dendam yang membara. Kobaran dendam itu semakin membesar, meluluhlantakkan pertahanan Ansel.Akhirnya, ponsel yang semula tampak kokoh, kini hancur di tangannya. Layar yang tadinya menyala kini menjadi redup."Akhhh!!" S
Ansel sedang menikmati makanannya saat seorang pria dengan setelan jas rapi berjalan mendekat ke arah mejanya. Pria itu berdiri tegak di samping Ansel. "Boss ...." "Bagaimana?" Ansel bertanya tanpa menoleh ke arah pria tersebut. Ia tetap fokus pada makanannya. Segera pria itu mendekat dan berbisik di telinga Ansel. Mendengar laporan dari Richard, Ansel langsung menaikkan alisnya tinggi. Ia kemudian langsung berdiri dari kursi. Raut wajahnya berubah tegang dan penuh amarah. Tulang Richard serasa bergetar saat melihat kemarahan bossnya. Orang yang paling Richard takutkan adalah Ansel. Ia rela menjadi apapun sesuai keinginan bossnya tersebut. Bahkan, jika Ansel ingin nyawanya, Richard rela memberikannya. Itu semua karena hutang budi yang Richard bawa seumur hidupnya pada Ansel. "Kita ke perusahaan Mona sekarang!" tegas Ansel dengan mata berkabut dan penuh amarah. Langkah Ansel yang tegas, dan auranya yang dominan, membuat siapa saja yang berada didekatnya la
"Kamu benar-benar sudah menyinggung batas kesabaranku!"Rio menjerit kesakitan. Tak tahan dengan rasa sakit yang bertubi-tubi menyiksanya. Hingga kemudian, suara sirine mobil polisi terdengar memekakkan telinga.Beberapa pria berseragam keluar dari mobil patroli itu, dengan senjata api yang siap ditembakkan kapan saja. Ansel menatap tajam seluruh polisi itu, tatapannya membuat mereka langsung berdiri gemetar, serasa tulang kering langsung luruh.Ansel semakin menyipitkan matanya ketika melihat seseorang keluar dari kelompok polisi itu."Kakek?" Mona menatap takut pada kakeknya yang datang dengan sorot mata tajam.Lalu pandangan pria tua itu langsung beralih pada Rio yang sudah tergeletak tak berdaya. Kini pria malang itu sudah memejamkan matanya, pingsan."Beraninya kamu, tentara sialan, menyakiti cucuku!" Kakek berteriak dengan suara nyaring. Ia berjalan cepat, dan melayangkan tongkat yang dibawanya ke arah Ansel.Tapi, Ansel bukanlah pria lemah. Ia tak takut dengan apapun, bahkan de
"Kurang ajar! Beraninya kamu mengancamku!" Hendrik berteriak, suaranya menggelegar penuh kemarahan.Ansel tersenyum remeh. Dia sudah mencari tahu tentang kejadian empat tahun lalu, dan dia menemukan satu fakta mengejutkan."Benar-benar bukan manusia!" Ansel meludah jijik melihat Hendrik. Dia dan Mona benar-benar tidak beruntung memiliki paman seperti jelmaan iblis.Emosi Hendrik semakin memuncak saat melihat Ansel meludah. "Apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian benar-benar polisi? Kenapa kalian tidak berani bergerak menangkapnya?" Hendrik berteriak menggebu-gebu. Suaranya serak dengan napas terengah. Matanya menatap tajam pada polisi yang hanya diam sambil menggigil.Melihat kemarahan Hendrik, Ansel tersenyum puas. Ia tak yakin bagaimana pria licik seperti Hendrik bisa memiliki anak idiot seperti Rio. Apakah Rio benar-benar anaknya?Para polisi yang terpojok langsung tersentak. Mereka memegang erat-erat senjata api yang siap ditembakkan. Tapi entah kenapa, dari beberapa titi
Ansel meraih ponselnya yang terlempar ke lantai, matanya tajam memandang ke arah Hendrik yang kini panik.Hendrik kalang kabut. Dia mengangkat tubuh ayahnya yang pingsan ke mobil polisi, wajahnya penuh kecemasan."Kalau tidak bisa menangkapnya, sebaiknya kalian cepat antar aku ke rumah sakit!" Hendrik berteriak penuh amarah, suaranya menggelegar, memecah keheningan di lobby. Polisi yang tadinya diperintah Rio untuk menangkap Ansel, kini beralih tugas mengantar orang ke rumah sakit.Karyawan Mona menatap kepergian Hendrik dan kepala keluarga Hartono dengan tatapan aneh, ketegangan terasa di udara.Ansel mengabaikan tatapan itu, berjalan mantap menuju lift. Dia harus menemui istrinya."Ansel?" Mona berlari menghampiri Ansel saat melihat suaminya datang, matanya melebar melihat darah segar di luka yang berlapis perban di lengan Ansel."Kamu baik-baik saja?" Ansel bertanya, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Matanya menyapu tubuh Mona dari atas sampai bawah, memastikan istrinya ba
Di Bandara Internasional Kota A, sebuah pesawat milik kemiliteran yang di jaga oleh pesawat tempur baru saja mendarat. Bandara sudah ditutup sejak pagi untuk menyambut kedatangan orang super penting yang ada di pesawat tersebut. Di pintu masuk, ada banyak pria dengan tubuh tegap dan jas yang rapi sesekali mengecek jam di pergelangan tangan mereka. Setelah sekian lama, orang yang mereka tunggu-tunggu itu muncul. “Jenderal!!” Mereka semua yang ada di sana memberikan hormat pada sosok Jenderal tersebut, seorang pria yang usianya masih terbilang muda. Dialah Ansel. Ansel yang kini tampak gagah dan memesona, sangat berbeda dengan keadaannya yang nahas lima tahun lalu. Dulu, Ansel hanyalah seorang pecundang yang dihina dan juga diolok-olok oleh seluruh orang di Ibu Kota. Itu semua karena status sosial Ansel yang langsung merosot jatuh setelah ayahnya meninggal sebab terkena serangan jantung. Perusahaan milik ayah Ansel mengalami kebangkrutan karena ada sabotase dari pamannya sendir
“Iya, tapi tenang saja. Sebentar lagi mereka akan cerai, kok!” jawab ibu Mona, Lidia, dengan nada penuh kepuasan. Senyumnya menyiratkan kebencian yang terpendam. Ansel, yang sedang duduk di ruang tamu, langsung mengangkat sebelah alisnya. Perkataannya terngiang di telinganya, membuat darahnya mendidih. Apa maksud Lidia dengan bercerai? Ia menatap istrinya, Mona, yang hanya terdiam, matanya tak berani menatapnya kembali. Ansel merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. “Siapa yang akan cerai, Ma?” tanyanya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Lidia, tanpa segan, menatap Ansel dengan pandangan penuh kebencian, seolah ingin menusuknya. “Siapa lagi kalau bukan kamu dan Mona? Belagak bego kamu, ya! Ngapain sih kamu pulang? Harusnya kamu nggak usah pulang! Terus saja di medan perang sana! Kalau perlu mati sekalian!” cercanya dengan nada penuh kemarahan, suaranya menggema di ruangan. Ansel terhenyak, perasaan kecewa bercampur marah menyelimuti dirinya. Dia tahu ba
BUK! Riko terpental ke belakang, wajahnya penuh darah. Pukulan keras dari Ansel mengenai tepat sasaran, membuat hidung Riko patah dan mengeluarkan darah segar. “ANSEL!!” Mona dan Lidia menjerit panik melihat apa yang dilakukan Ansel. Di sudut ruangan, Defi menutup mulutnya, tak percaya pria yang selama ini dianggap rendah bisa bertindak seberani ini. Nasib perusahaan Keluarga Hartono kini benar-benar di ujung tanduk. Riko, berusaha bangkit, menatap Ansel dengan penuh kebencian. “Berani-beraninya kamu memukulku dengan tangan kotormu itu!” bentaknya, sambil menahan darah yang terus mengalir dari hidungnya. Ansel, dengan sorot mata dingin, menatap balik. “Kenapa aku harus takut pada orang seperti dirimu?” balasnya dengan suara yang tak bergetar sedikit pun, seolah Riko tak lebih dari seekor lalat baginya. Mona, panik, segera mengambil tisu dan memberikannya kepada Riko. “Pak Riko, maafkan suami saya. Dia tak seharusnya melakukan ini,” katanya, mencoba menenangkan situasi. A