Ayo, siapa yang sudah baca sampai sini, yuk tinggalkan jejaknya! Selamat membaca!
Ansel menatap mereka satu per satu. Di matanya terpancar kesedihan. Perlakuan kasar kedua wanita ini benar-benar membuatnya sakit hati. Ketika Ansel masih kaya-raya, hubungan Ansel dan Jenny sangat baik. Tapi saat berita tentang kebangkrutan keluarganya menyebar, sikap mereka langsung berubah 180 derajat. Rupanya Jenny dan Clara hanya peduli pada harta! Ansel sendiri sebenarnya tidak ingin meminta lagi uang yang dulu pernah dia pinjamkan pada Clara. Dia pun tahu itu memalukan. Terlebih lagi ketika meminjamkan uang itu dia tak berharap Clara akan mengembalikannya. Tetapi, keadaan kini memaksanya. Nyawa ibunya di atas segalanya! Sebelumnya Ansel sudah mendatangi rumah Danu, pamannya, untuk meminjam uang, tapi balasan yang dia dapatkan sangat menyakitkan. Bukan saja tak diberi pinjaman, dia juga dikatai sampah dan ditendang hingga tersungkur ke genangan air. Itulah kenapa bajunya sampai kotor begini. Sekarang, itu sudah tak penting lagi. Yang penting dia bisa mendapatkan
Gelak tawa terdengar membahana. Ini tak ubahnya puncak hiburan pesta yang dinanti-nantikan para tamu undangan! Setelah Ansel mengatakannya, Adrian melemparkan kartu yang dipegangnya dan menyebutkan PIN kartu tersebut. Ansel langsung mengambilnya. Segera dia pun pergi meninggalkan pesta. Tanpa membuang waktu, Ansel bergegas ke rumah sakit. Di benaknya terus terbayang sosok ibunya. ‘Semoga masih sempat!’ pikirnya. Namun, saat Ansel tiba di depan ruang rawat ibunya, dia terkejut melihat beberapa dokter bergerombol masuk ke ruangan itu. Dari sorot mata mereka, terlihat sekali ada masalah serius. “Cepat siapkan alat picu jantung!” Ansel mendengar jelas apa yang dokter itu katakan. “Tambahkan jadi 300 joule! Lakukan dengan cepat!” Lalu bunyi elektrodiogram yang menunjukkan garis lurus membuat para dokter itu menghela napas. Ansel yang juga mendengar hal itu langsung merasa kakinya melemah seketika. Ansel kini terduduk di lantai, memandangi kartu yang ada di tangannya. Dokter ke
Ansel memandang tajam foto Adrian. Tangannya kemudian meremas foto itu dan membuangnya ke sudut ruangan. Richard menyerahkan sebuah tablet pada Ansel. Mata Ansel menyipit saat melihatnya."Sudah kuduga!" Ansel menghempas kasar tablet tersebut. Benar-benar bukan manusia. Jika saja Ansel tak mengalami hal serupa dengan pamannya, pasti ia tak akan percaya jika hal semacam ini nyata."Kamu masih mengendalikan berita tentang Rio?" tanya Ansel. "Ya. Sampai sekarang, nama keluarga Hartono berada di pencarian teratas media sosial. Harga saham Grup Hartono anjlok parah, dan sepertinya perusahaan nyonya juga ikut kena imbasnya."Ansel diam sebentar memikirkan semua kemungkinan, kemudian sorot matanya berubah tajam."Tetap kendalikan beritanya. Biarkan Hartono Grup hancur sampai titik terendah. Saat mereka sudah hampir mati, datang dan beli sahamnya dengan harga paling murah! Aku malas bermain lama-lama, karena mereka bukan lawan yang sepadan!"Sorot mata Ansel tajam penuh dendam. Ia datang ke
Ansel mengabaikan Clara lalu melanjutkan langkahnya, membuat Clara marah karena tidak terbiasa diabaikan. Saat bersama Ansel dulu, Clara selalu menjadi nomor satu, dan apapun yang dimintanya pasti dipenuhi. Namun, saat Clara mendengar dari Adrian bahwa Ansel bangkrut, ia melupakan semua kebaikan Ansel dan terperdaya oleh pesona Adrian, hingga saat Clara menghina Ansel seperti binatang, itulah saat dimana hubungan mereka benar-benar berakhir.Sekarang, salah satu tujuan hidup Ansel adalah menghancurkan Clara dan keluarga Hendrawan, sama seperti kehancuran keluarga pamannya."Kamu mengabaikan aku?" Clara kesal dan hendak menarik tangan Ansel, tapi gerakannya kalah cepat. Sebagai Jenderal bintang sembilan yang dijuluki Dewa Perang, Ansel sangat peka terhadap sekitarnya dan bisa menebak dengan mudah gerakan Clara. Clara jatuh tersungkur, lututnya lecet. Wajahnya memerah karena malu, Clara bangkit dengan amarah menggebu. Beberapa karyawan Candarana Group memperhatikan dengan tatapan m
Lima orang pria berbadan besar itu langsung maju bersama-sama. Tatapan meremehkan terlihat jelas saat mereka menatap Ansel, tapi Ansel tak merasa gentar sedikitpun.Ansel mendorong Adrian hingga terpental jatuh. Beberapa orang yang tadi berjalan bersamanya cepat-cepat membantu."Sial!" Adrian mendesis marah. Harga dirinya hancur. Walaupun lantai marmer itu tak kotor, tapi tetap saja membuat jas mahal milik Adrian tampak lusuh.Lima pria bertato itu mengayunkan tangan dan kaki mereka. Tapi belum sempat mereka berkedip, semuanya sudah jatuh dengan keras ke lantai. Mereka mengaduh kesakitan. Tak dapat berpikir, kapan Ansel menyerang mereka, dan apa yang diserangnya? Tubuh kekar mereka serasa hancur. Sakitnya tak tertahankan. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak kesakitan saat ia menyadari tulang betisnya patah.Semuanya seperti angin. Kecepatan Ansel seperti tak kasat mata. Serangannya kuat dan mematikan. Adrian membelalakkan mata karena terkejut. Tak pernah ia menyangka kalau o
Ansel bergegas pergi dari gedung Candarana Group. Dia baru saja mendapat kabar dari Mona, kalau istrinya itu sedang berada di rumah sakit, karena Rio sudah mulai sadar dan mengamuk.Rio mengamuk karena merasa sangat marah sebab tidak berhasil membawa Ansel ke penjara. Sebelumnya, dia sudah merencanakan semuanya dengan sangat baik. Bahkan dia juga sudah membayar polisi itu untuk menangkap Ansel.Tapi, bukannya melakukan apa yang sudah direncanakan sebelumnya, polisi tersebut malah diam tak bergerak sedikitpun. Dan itu semua terjadi bukan tanpa sebab. Selain karena ketakutan saat merasakan aura Ansel, ketika Ansel sedang dalam perjalanan menuju kantor Mona, dia sudah menghubungi seseorang terlebih dahulu. Dan untuk menekan kepala polisi, bukanlah sesuatu yang sulit bagi Ansel. Dia bisa melakukannya hanya dengan menjentikkan jarinya. Ansel adalah seorang Dewa Perang. Ada banyak orang yang berada dibawah kendalinya.Ansel memacu mobil jelek yang dipinjamkan Mona untuknya dengan sanga
Ansel dan juga Mona hanya diam saat melihat Hendrik yang tampak sangat kacau. Berteriak-teriak seperti orang gila saat menerima telepon. Tanpa menghiraukan Ansel dan Mona, Hendrik masuk ke dalam ruang rawat Rio yang juga dihuni oleh kakek. Ia hanya sebentar di dalam dan sudah keluar dengan setelan jasnya. Mona terduduk diam setelah kepergian Hendrik. Ansel yang melihatnya ikut duduk di samping sang istri. "Kamu baik-baik saja?" Mona menggeleng pelan saat mendengar pertanyaan Ansel, dan ia pun mulai menangis. Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. "Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Aku sudah dengar dari Defi, kalau harga saham Hartono Group anjlok parah saat ini. Dan itu artinya Shycon sedang dalam masalah besar!" Ansel diam mendengarkan. Dia membiarkan Mona mengeluarkan semua yang ada dipikirannya, agar merasa sedikit lebih tenang. "Aku tidak tahu, kenapa Rio bisa semenjijikkan itu! Melakukan hal 'itu' dengan sesama jenis, dan malah merekam perbuat
Melihat situasi yang tidak baik, Mona kemudian mendekati Ansel dan memegang lengannya. "Sudah, ayo kita pulang saja!" Mona kemudian beralih ke arah Lidia. "Mama mau pulang bersama kami?" tanyanya. Mona tak nyaman berada di situasi sekarang. Lidia diam, sembari berpikir. Kemudian dia menganggukkan kepalanya. Tak baik bagi kesehatan jiwa dan pikirannya jika dia berlama-lama di rumah sakit. Apalagi saat ini semua anggota keluarga Hartono sedang sibuk menyelesaikan masalah. Hanya Lidia yang duduk diam sembari terus menjadi sasaran kemarahan orang-orang. "Baiklah, kami tunggu diluar." Mona dan Ansel berjalan keluar, meninggalkan Lidia mengemasi barang-barangnya. Tidak lama setelah itu, Lidia menyusul Ansel dan juga Mona. Raut wajahnya tampak lebih buruk daripada tadi. Mungkin saja ada suatu hal buruk yang diucapkan oleh Mila padanya. Ketika berjalan di koridor rumah sakit, Lidia tak henti-henti menggerutu. "Sudah seperti itu, masih saja menyalahkan anakku!" ujarnya bersun