Melihat situasi yang tidak baik, Mona kemudian mendekati Ansel dan memegang lengannya. "Sudah, ayo kita pulang saja!" Mona kemudian beralih ke arah Lidia. "Mama mau pulang bersama kami?" tanyanya. Mona tak nyaman berada di situasi sekarang. Lidia diam, sembari berpikir. Kemudian dia menganggukkan kepalanya. Tak baik bagi kesehatan jiwa dan pikirannya jika dia berlama-lama di rumah sakit. Apalagi saat ini semua anggota keluarga Hartono sedang sibuk menyelesaikan masalah. Hanya Lidia yang duduk diam sembari terus menjadi sasaran kemarahan orang-orang. "Baiklah, kami tunggu diluar." Mona dan Ansel berjalan keluar, meninggalkan Lidia mengemasi barang-barangnya. Tidak lama setelah itu, Lidia menyusul Ansel dan juga Mona. Raut wajahnya tampak lebih buruk daripada tadi. Mungkin saja ada suatu hal buruk yang diucapkan oleh Mila padanya. Ketika berjalan di koridor rumah sakit, Lidia tak henti-henti menggerutu. "Sudah seperti itu, masih saja menyalahkan anakku!" ujarnya bersun
Felly diam mendengar perkataan Ansel. Dia memang tidak pernah lagi mendengar kabar Jelita semenjak hari itu. Apakah sesuatu terjadi tanpa sepengetahuannya? Saat Felly diam memikirkan ucapannya, Ansel kemudian melangkah cepat menjauh dari sana. Tapi suara teriakan Felly menghentikan langkah Ansel. "Tolong! Tolong, ada pencuri masuk kesini!" Felly berteriak dengan suara yang sangat nyaring, hingga beberapa orang bergegas mendekatinya. "Mana malingnya? Mana?" Dua penjaga keamanan datang dengan tergesa-gesa. Mereka marah dan juga takut. Kalau benar-benar ada maling, habislah mereka! "Itu! Itu dia malingnya! Cepat tangkap dia!" Felly menunjuk ke arah Ansel. Dan langsung saja orang-orang mengikuti arah tunjuknya. Mata Ansel menyipit tajam saat melihat kelakuan Felly. Dia tidak menyangka, kalau Felly bisa melakukan ini hanya karena tidak menyukainya. "Kamu? Kamu malingnya? Dasar tidak tahu malu, beraninya kamu mencuri di sini?" Kedua penjaga keamanan itu mendekati Ansel. Mereka hendak
"Kamu akan menyesal melakukan ini!" Ansel berucap tenang. Dia tak terprovokasi sedikitpun saat mendengar ejekan orang-orang itu. Melihat sikap Ansel yang sangat tenang, Felly mulai merasa tidak enak. Terlebih ketika dia melihat bagaimana kuatnya Ansel, membuat Felly jadi berpikir, 'apakah Ansel benar-benar hanya seorang tentara biasa?' Felly menggigit bibir bawahnya. Rasa penyesalan itu mulai datang. Bagaimana kalau nanti situasinya jadi tidak menguntungkan baginya? Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara deru mesin mobil berhenti tepat di depan toko. Dan seorang pria paruh baya turun dari mobil dengan merek BMW tersebut. Rendi dengan langkah ringan langsung berjalan membukakan pintu. Ia menyambut kedatangan bosnya dengan rasa percaya diri yang tinggi. "Mana? Mana dia, orang yang berniat mencuri obat-obatan mahal milikku itu?" Pria paruh baya itu berkata dengan arogan. Dia melangkah cepat, bersiap-siap untuk memberikan pelajaran.
Ansel berjalan keluar dari ruangan Robin. Dia menuruni anak tangga dengan perlahan. Ternyata, Felly dan Rendi masih ada di sana. Mereka menunggu kedatangan Robin dan Ansel."Masih belum pergi? Kalian berdua mau diseret dari sini?" Robin menatap keduanya dengan nyalang. Amarahnya sudah tertahan dari tadi. Beraninya dua orang hina itu merendahkan Jenderal yg di agungkannya. Robin akan memberikan mereka hukuman yang pantas."Ma-maaf boss ...." Felly segera berlutut saat melihat Robin. Ia tak segan-segan bergelayut di kaki Robin, membuat pria tua itu jadi semakin marah. "Saya benar-benar minta maaf, Bos. Saya tidak tahu, kalau dia adalah teman Bos. Kalau tahu, saya tidak akan berbuat seperti itu ...." Felly terisak dengan air mata yang menggenang. Dia juga menghirup ingusnya dengan kasar. Tingkahnya membuat Ansel dan juga Robin jijik."Sialan! Lepaskan! Beraninya kamu menyentuhku! Mau mati, ya?" Robin menendang Felly tanpa belas kasihan. Membuat wanita itu terpelanting jatuh. Robin tak
"Baik Jenderal! Saya akan langsung mengurus ini!" Richard mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi seseorang. Setelah beberapa saat Richard selesai menelepon."Saya sudah memberi informasinya pada pihak pers. Dan setelah ini saya akan langsung mengirim file kasus ini pada mereka," jelas Richard.Ansel mengangguk mengerti. Jika menunggu Danu dan Adrian masuk perangkap dengan proyek yang dirancang Ansel sebelumnya, maka akan membutuhkan waktu lama. Jadi, baiknya dipercepat dengan kasus besar ini saja."Ayo!" Ansel masuk ke dalam mobil diikuti oleh Richard. Dua jenis mobil yang berbeda itu mulai berjalan meninggalkan area apartemen mewah milik Ansel. Perjalanan kali ini tak terasa lama. Ansel dan Richard tiba di rumah Mona. Setelah selesai memarkirkan mobil, Richard memilih langsung pergi dari sana."Kamu berteman baik dengannya?" Mona tiba-tiba muncul di belakang Ansel."Ya ... kawan seperjuangan di camp tentara," jawab Ansel singkat. "Kamu sedang apa diluar malam-malam begini? Ayo
Ansel menatap dalam ke arah Mona yang tertidur berbantalkan lengannya. Bulir keringat itu sudah tak nampak lagi, tapi tetap saja Ansel seperti masih merasakan hangatnya. Dengan gerakan yang sangat pelan, Ansel perlahan memindahkan kepala Mona ke bantal. Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi dengan membawa ponselnya.Ansel mengetikkan beberapa deretan huruf dan mengirimkannya pada Richard. Setelah membersihkan diri sejenak, Ansel kembali ke ranjang dan membawa Mona kembali ke dalam pelukannya.Keesokan harinya, cahaya matahari yang perlahan mulai masuk melalui celah jendela kaca kamar Ansel dan Mona membuat kedua kelopak mata cantik milik wanita yang diperistri oleh Sang Dewa Perang itu terbuka. Pipi Mona langsung bersemu merah saat di hadapannya kini terpampang jelas wajah tampan suaminya. Jantungnya semakin berdebar kencang saat mengingat kejadian semalam."Bagaimana? Apa kamu masih belum puas?" suara Ansel yang terdengar serak membuat Mona terkejut. Dengan gerakan spont
Tubuh Hendrik gemetar parah. Bukan karena ancaman Ansel, tapi karena kejahatannya diketahui oleh Ansel."D-darimana kamu t-tahu?" Hendrik terbata-bata, dia melirik ke arah Lidia dan Mona yang sepertinya tidak mendengar pembicaraan mereka.Ansel tertawa, ia memperkuat cekikannya pada Hendrik, membuat pria paruh baya itu semakin kesulitan bernapas. Saat Hendrik sudah hampir pingsan, Ansel melepaskan cekikannya.Hendrik mengambil napas dengan rakus, ia menghirup udara seperti akan menghabiskan untuk dirinya sendiri."Bagaimana rasanya berada diantara hidup dan mati?" Ansel bertanya dengan sorot mata tajam. Jika saja dirinya kini berada di medan perang, mungkin saat ini Hendrik hanya tinggal mayatnya saja.Hendrik tak dapat berkata-kata. Ia benar-benar ketakutan. Bahkan dia seperti ingin buang air kecil di celananya.Ansel menarik tubuh Hendrik dengan kasar, lalu membawanya ke depan Mona dan Lidia."Ka-kalian! B-bantu aku dari dia!" Lidia menatap takut ke arah Ansel, lalu beralih ke arah
"Sekali lagi, saya minta maaf karena membuat Anda semua menunggu." Mona duduk di kursi dengan perasaan tidak enak. Dia tak menyangka, kalau orang-orang di Candarana akan datang secepat ini."Santai saja. Kami semua juga baru datang," balas salah seorang yang hadir di sana.Mereka mulai berbincang-bincang mengenai proyek yang sudah mulai berjalan. Dan saat sudah mulai membicarakannya, barulah Mona merasa aman, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau Candarana Group akan membatalkan kerja sama mereka karena kasus Rio."Oh, ya, Bu Mona. Sebenarnya, kami memiliki sebuah hal penting lainnya yang ingin disampaikan kepada Anda." Jantung Mona berdebar keras saat kata-kata itu terdengar. Ia mulai berpikir jauh. Apakah Candarana benar-benar akan menarik lagi proyek yang sedang dikerjakannya? Kalau benar, dapat dipastikan Mona akan tidur di jalanan karena harus menanggung kerugian yang tak sedikit."Silakan saja, Pak. Ada sesuatu apa?" tanya Mona gugup."Mengenai Hartono Group ...." Jant