"Sekali lagi, saya minta maaf karena membuat Anda semua menunggu." Mona duduk di kursi dengan perasaan tidak enak. Dia tak menyangka, kalau orang-orang di Candarana akan datang secepat ini."Santai saja. Kami semua juga baru datang," balas salah seorang yang hadir di sana.Mereka mulai berbincang-bincang mengenai proyek yang sudah mulai berjalan. Dan saat sudah mulai membicarakannya, barulah Mona merasa aman, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau Candarana Group akan membatalkan kerja sama mereka karena kasus Rio."Oh, ya, Bu Mona. Sebenarnya, kami memiliki sebuah hal penting lainnya yang ingin disampaikan kepada Anda." Jantung Mona berdebar keras saat kata-kata itu terdengar. Ia mulai berpikir jauh. Apakah Candarana benar-benar akan menarik lagi proyek yang sedang dikerjakannya? Kalau benar, dapat dipastikan Mona akan tidur di jalanan karena harus menanggung kerugian yang tak sedikit."Silakan saja, Pak. Ada sesuatu apa?" tanya Mona gugup."Mengenai Hartono Group ...." Jant
Ansel membawa Mona kedalam pelukannya. Dada Mona terasa sesak karena menahan rasa sakit. Mona benar-benar tidak pernah menyangka, kalau orang yang selama ini dia anggap sebagai paman, ternyata adalah orang yang mencelakai Dante, Papa Mona. "Aku ... dadaku sakit! Benar-benar sakit!" Mona terisak dengan napas terputus-putus. Ia benar-benar merasa sangat hancur sekarang. Benar-benar sangat menyakitkan mengetahui kebenaran ini. Ansel merasakan hatinya berdenyut sakit saat mendengar isakan tangis istrinya. Dia bisa merasakan, apa yang Mona rasakan. Karena dia juga pernah mengalaminya sendiri. Dan karena rasa sakit itulah, dia berada dititik ini sekarang. "Lepaskan saja semuanya. Ada aku disini! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!" Ansel menepuk pelan punggung Mona. Dia seperti sedang memberikan kekuatan untuk istrinya. Setelah menumpahkan sebagian rasa sakitnya, Mona kemudian mengangkat kepalanya. Dia melihat sekali lagi fakta menyakitkan yang diperlihatkan oleh Ansel padanya. "Ak
Saat sedang membaca tagline berita, ponsel Ansel berdering. Dan itu adalah panggilan dari Richard. "Ada apa?" Ansel bertanya langsung saat menjawab telepon. "Kami sudah mengawasi rumah Danu sesuai perintah Anda, Jenderal. Tapi sepertinya saat ini mereka ingin kabur ke luar negeri!" jelas Richard. Mendengar perkataan bawahannya itu, Ansel tertawa. "Mau kabur? Heh!" Ansel tersenyum meremehkan. "Blokir semua akses mereka, jangan biarkan mereka keluar dari gerbang rumah. Mereka harus tahu diri dengan status yang mereka punya sekarang!" Manik mata Ansel menatap tajam lurus ke depan. Ia tersenyum dengan mengerikan. Mau kabur? Tak akan bisa! Tidak ada yg bisa lolos saat berada dalam genggamannya. "Siap! Sesuai perintah Anda, Jenderal!" Setelahnya panggilan telepon terputus. Dan Ansel berjalan keluar menyusul Mona. "Ada apa?" Ansel bertanya, seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Kemudian dia mendekat ke arah Mona yang menatapnya heran. "Dia pamanmu, kan?" Mona menunjuk ke arah
Ansel berjalan keluar menyusul Mona. Ia melihat istrinya itu sudah berada di luar kantor polisi. Dengan langkah lebar, ia semakin mempercepat langkahnya. "Sudah merasa jauh lebih baik?" Ansel bertanya saat sudah berada di depan istrinya. Mona mengangguk dan tersenyum. "Aku bahagia, karena dia sudah ada di penjara," ujar Mona, senyumannya lega dan tampak puas. Walaupun masih tampak sisa-sisa kesedihan di sana. Ansel diam mendengarkan lalu melangkahkan kaki pergi dari kantor polisi tersebut menuju mobil dengan menggenggam tangan istrinya. "Menurut kamu, kenapa Om Hendrik melakukan itu? Apa ada sesuatu yang tidak kita tahu tentang keluarga ini?" Mona bertanya, memecah keheningan yang terjadi di dalam mobil. Kening Mona berkerut dalam. Mengingat perlakuan seluruh keluarganya, Mona yakin kalau ada sesuatu yang salah dalam keluarga Hartono selama ini. Kenapa hanya kepada Dante saja mereka bersikap seperti itu? "Kita akan mencari tahu itu nanti!" Ansel tak mengatakan kalau sebenarn
Lama Ansel termenung melihat gundukan tanah tempat ibunya dimakamkan. Dia membayangkan masa-masa saat mereka masih bersama. Kenangan-kenangan itu membuat Ansel merasa sedikit emosional. Setelah selesai menaburkan bunga, Ansel kemudian berdiri dan berjalan pergi. Ia menghampiri Tuan Salim yang sudah menunggunya di dalam mobil. "Sudah merasa lebih baik?" Tuan Salim bertanya. Ansel duduk di sampingnya, dan menerima sebuah iPad yang disodorkan oleh tuan Salim. Mata Ansel menyipit saat membaca berita itu, kemudian dia tertawa. "Mencoba membela diri?" Dalam berita itu tertulis kalau Danu membantah semua tuduhan yang mengarah padanya saat turun dari mobil KPK yang menjemputnya. "Kamu menyiapkan bukti yang sangat memberatkannya. Dia tidak akan bisa lolos." Tuan Salim menerima kembali iPad yang diserahkan oleh Ansel padanya. "Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkannya. Jadi ... dia harus hancur dalam serangan kali ini." Meskipun sudah berkecimpung sangat lama di dunia
Mila berteriak-teriak seperti orang gila. Dia mencoba untuk memberontak, tapi usahanya gagal sebab Ansel menahan lengannya dengan kuat. "Simpan tenagamu untuk pulang ke rumah!" tegas Ansel dengan nada yang tak bisa dibantah. Setelah mengatakan itu, Ansel menutup hidungnya, dan memandang Mila dengan jijik. "Bau pesingmu membuatku ingin muntah!" Mila semakin marah mendengar kata-kata Ansel, harga dirinya habis tak bersisa. Ia melihat kembali celananya yang basah karena air kencingnya. Mila tak menyangka, dia bisa setakut itu sampai pipis di celana. Padahal dulu dia termasuk orang yang suka sekali mengolok-olok Ansel. Mila tak kuasa menahan malu karena kejadian ini. Lalu ia mencoba untuk melepaskan cengkraman Ansel dari lengannya. Melihat Mila yang tampak kesulitan, Mona lalu memegang lengan Ansel dan menatap suaminya. Ansel yang paham langsung melepaskan Mila. Pergelangan tangan Mila terasa sakit dan memerah. Kekuatan Ansel tak main-main. Suaminya saja bisa tumbang, apalagi Mil
Ansel terdiam kaget ketika mendengar laporan yang disampaikan oleh Richard. Tak ada dalam bayangannya kalau Hendrik akan berakhir seperti ini. Padahal, Ansel belum melakukan sesuatu yang pantas untuk membalas semua kejahatan paman dari istrinya tersebut."Baiklah, saya akan mengurus masalah ini secepatnya," ujar Ansel. Richard terdiam sebentar saat mendengar jawaban Ansel, lalu ia paham kalau saat ini bossnya itu sedang berada di dekat Mona. Ansel menutup telepon dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan ini. Kenapa Hendrik sampai berani mengakhiri hidupnya sendiri seperti ini? Apakah ada sesuatu yang masih belum terpecahkan?"Ada apa?" Mona bertanya saat melihat Ansel termenung dengan tatapan dalam. Lalu ia memegang tangan suaminya. Ansel membalas pertanyaan Mona dengan senyuman. Ansel lalu membawa istrinya itu untuk duduk di ranjang. "Kamu baik-baik saja?" Mona bertanya lagi ketika melihat Ansel masih belum fokus. Sadar dengan sikapnya b
Mona menepuk-nepuk pelan lengan Lidia. Kini mereka berdua sudah berada di kamar Lidia. Tangis Lidia masih belum surut. Air matanya seperti tak bisa ditahan. "Semuanya akan baik-baik saja, Ma. Selama ini kita sudah hidup tanpa mereka. Kita tidak akan rugi apapun kalau sudah tidak memiliki hubungan dengan mereka!" "Tapi ... tapi mereka keluarga Papa kamu, Mona." Mona masih terus berusaha untuk menenangkan Lidia, sedangkan Ansel kini sudah selesai mandi. Setelahnya dia membuka ponsel mungkin ada pesan dari Richard, dan ternyata benar. "Dokter forensik akan melakukan autopsi pada jasad Hendrik pagi ini." Ansel membaca pesan tersebut, lama dia terdiam hingga menuliskan balasannya. "Pastikan hasilnya jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dan juga, periksa panggilan terakhir Hendrik saat di penjara. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, langsung selidiki!" Setelah menuliskan kalimat itu, Ansel mengirimkan pesannya. Sebenarnya, Ansel sudah terganggu dari tadi malam karena masalah i
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,
Setelah selesai menemani Mona makan, Ansel bergegas membawa istrinya itu untuk pulang. Mereka tak lanjut berbelanja karena Mona yang sudah lelah. Lagipula, Ansel tahu kalau istrinya itu sudah kehilangan minat."Sedih karena tidak jadi belanja?" Ansel bertanya pada Mona. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar. Dan istrinya itu sedang bersandar duduk di sofa.Dengan segera Mona menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum lemah."Hanya sedikit menyayangkan waktu kita yang sudah terbuang sebelumnya. Memang lebih baik kalau aku mendengarkanmu!"Ansel mengusap pelan rambut Mona yang terurai. Dia juga memberikan senyuman yang menenangkan untuk istrinya tersebut."Mau belanja online saja? Atau aku menyuruh pelayan toko untuk membawa semua barang ke rumah, agar kamu bisa memilihnya?"Ansel sangat santai saat mengatakannya. Tak ada keraguan sedikitpun saat dia menyampaikan apa yang dia pikirkan untuk solusi ini. Dan tentu saja perkataan Ansel langsung mendapat gelengan kepala dari Mona."Tidak
Ponsel mahal yang berharga belasan juta itu langsung jatuh menghantam lantai dengan sangat keras. Bahkan layarnya sampai pecah dan kini ponsel tersebut mati total. Ansel diam menikmati reaksi wanita itu. Sedikit pelajaran padanya sudah cukup. Tapi yang sebenarnya terjadi, hal yang Ansel sebut sebagai sedikit itu nyatanya sangat besar bagi orang lain. Tidak hanya membuat para investor menarik dana dari proyek yang sudah dibicarakan sebelumnya, Ansel juga memasukkan perusahaan keluarga Sudrawan ke daftar hitam perusahaannya."Ba-bagaimana mungkin?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan nada bingung dan penuh keraguan. Tubuhnya terasa limbung dan hampir saja ia terjatuh, kalau saja anaknya yang tengah hamil tak menangkapnya segera. "Ada apa, Ma?" Si perempuan hamil bertanya penasaran saat melihat wajah ibunya yang tampak sangat pucat. "Terjadi sesuatu! Pasti terjadi kekeliruan!" Saat si wanita paruh baya berteriak karena keterkejutannya, ponsel anaknya berdering. Dan itu adalah pang
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah saat mendengar perkataan Ansel. Dalam benaknya, kini berputar-putar perkataan Ansel tentang mall ini."Mall ini milikmu?" Wanita paruh baya itu bertanya setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya. Wanita hamil yang datang bersamanya memegangi lengan ibunya itu."Ma ... ayo kita pergi saja!" Si wanita hamil berusaha untuk membawa ibunya pergi dari sana. Dari pengamatannya, dia sedikit percaya dengan apa yang Ansel katakan tadi. Sebab para pegawai toko ini tampak sangat takut terhadap Ansel.Tapi bukannya menuruti perkataan anaknya, si wanita paruh baya itu malah menghempaskan tangan anaknya yang tengah hamil itu."Kamu jangan ikut-ikutan bodoh seperti mereka! Ingat, kita ini adalah keluarga Sudrawan yang terkaya nomor dua di kota ini! Dan mereka ..." Si wanita paruh baya menunjuk ke arah Ansel dan juga Mona. "Mereka itu hanya cucu menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut!"Ansel menghela napas saat melihat wanita keras ke
"Apa maksudnya? Kamu itu cuma menantu keluarga Hartono yang sudah bangkrut! Bahkan hanya seonggok sampah saja, tapi berani mengancamku?"Wanita paruh baya itu menantang Ansel dengan mata yang nyalang. Dia berlagak seperti tak kenal takut meskipun sebenarnya kakinya kini tengah gemetar karena ditatap seperti sebuah mangsa oleh Ansel. Sedangkan perempuan hamil yang bersama dengan wanita wanita paruh baya itu mencengkram lengan ibunya dengan kuat. Dia merasa takut, bahkan untuk sekadar menantang tatapan Ansel. Dan Mona... dia hanya diam melihat suaminya bertindak. Perasaan hangat yang muncul karena perlindungan suaminya, membuat perasaan Mona bertambah kuat setiap harinya. Dia benar-benar sudah jatuh dalam pesona Ansel yang tak terbantahkan."Tante, minta maaf pada istriku sekarang, atau kau benar-benar akan menyesali ini nanti?" Ansel menggandeng tangan Mona dengan jemarinya yang besar. Lengannya yang kokoh dan kuat menjadi tiang untuk Mona agar bisa berdiri dengan baik. Kakinya teras
Ansel dan juga Mona menoleh ke arah asal suara. Seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang perempuan hamil, tengah berdiri menatap mereka dengan pandangan meremehkan.Mona tahu siapa wanita itu. Dia ingat, kalau wanita tersebut adalah anggota keluarga kelas tiga yang berada dibawah level keluarga Hartono.Karena suasana hati Mona sedang baik saat ini, jadi dia mengabaikan wanita tersebut, dan lanjut memilih pakaian bayinya. Dia memilih pakaian bayi laki-laki, sebab dari hasil USG yang sudah dilakukan berkali-kali, bayi yang Mona kandung berjenis kelamin laki-laki.Merasa kesal karena diabaikan, wanita paruh baya itu merebut baju bayi yang Mona pilih. Dengan pandangan mata tajam, wanita itu menghina Mona lewat tatapannya."Keluarga Hartono sudah bangkrut, kamu yakin bisa membeli pakaian bayi di toko besar ini? Bukannya suamimu itu hanya seorang tentara yang sudah dipecat?" Wanita itu kini menoleh ke arah Ansel yang berdiri di samping istrinya. Tapi ketika melihat raut wajah Anse
Ansel berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Dia mengurus perusahaan dengan baik, juga menemani paman Salim untuk berobat ke dokter.Rapat yang membahas tentang kepemimpinan Ansel juga sudah dilakukan. Para direksi perusahaan juga setuju untuk mengangkat Ansel menjadi pemimpin selanjutnya. Tentunya karena pengaruh Salim juga.Dan untuk merayakan hal itu, sebuah pesta yang lumayan tertutup dilakukan. Semua orang datang untuk berbagi kebahagiaan. Dan Ansel memimpin pesta itu dengan baik. Dia juga mengurusi orang-orang yang datang kesana, dan memastikan kalau mereka tidak akan membocorkan informasi tentang identitasnya.Setelah menyelesaikan rangkaian pesta yang terakhir, disinilah Ansel sekarang. Berada di kamar bersama dengan Mona."Istirahatlah, kamu pasti lelah!" Ansel membantu membuka resleting gaun Mona yang dirancang khusus untuknya. Istrinya itu terlihat lelah, tapi walaupun begitu senyuman terbaik masih terpantri jelas di wajahnya.Mona tak menjawab perkataan Ansel, dia
Ansel pulang ke rumah setelah selesai dengan semua urusan pemakaman Danu. Mona menyambutnya dengan membawakan secangkir teh."Terima kasih," ujar Ansel, sembari menerima cangkir teh tersebut. Dia juga bergeser untuk memberikan tempat pada Mona. Mona mengangguk kecil dan diam memperhatikan raut wajah suaminya. Dia tahu kalau sekarang Ansel sedang banyak pikiran. Mona penasaran dan ingin bertanya, tapi dia memilih diam dan membiarkan Ansel merasa lebih nyaman dulu."Kamu melihat beritanya di televisi?" Ansel membuka suara saat perasaannya terasa lebih baik. Dia meletakkan cangkir teh pemberian Mona ke atas meja.Mona mengangguk menjawab pertanyaan Ansel. Dia memang melihat berita tentang kematian Danu di televisi. Bahkan nama Danu juga trending di media sosial."Semua orang menyumpahinya, bahkan setelah kematiannya. Aku tidak tahu, harus bersedih atau bahagia." Ansel menunduk menggenang saat-saat bersama dengan orangtuanya. Bagaimana dia tertawa bahagia saat membahas hal-hal random be