Lama Ansel termenung melihat gundukan tanah tempat ibunya dimakamkan. Dia membayangkan masa-masa saat mereka masih bersama. Kenangan-kenangan itu membuat Ansel merasa sedikit emosional. Setelah selesai menaburkan bunga, Ansel kemudian berdiri dan berjalan pergi. Ia menghampiri Tuan Salim yang sudah menunggunya di dalam mobil. "Sudah merasa lebih baik?" Tuan Salim bertanya. Ansel duduk di sampingnya, dan menerima sebuah iPad yang disodorkan oleh tuan Salim. Mata Ansel menyipit saat membaca berita itu, kemudian dia tertawa. "Mencoba membela diri?" Dalam berita itu tertulis kalau Danu membantah semua tuduhan yang mengarah padanya saat turun dari mobil KPK yang menjemputnya. "Kamu menyiapkan bukti yang sangat memberatkannya. Dia tidak akan bisa lolos." Tuan Salim menerima kembali iPad yang diserahkan oleh Ansel padanya. "Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkannya. Jadi ... dia harus hancur dalam serangan kali ini." Meskipun sudah berkecimpung sangat lama di dunia
Mila berteriak-teriak seperti orang gila. Dia mencoba untuk memberontak, tapi usahanya gagal sebab Ansel menahan lengannya dengan kuat. "Simpan tenagamu untuk pulang ke rumah!" tegas Ansel dengan nada yang tak bisa dibantah. Setelah mengatakan itu, Ansel menutup hidungnya, dan memandang Mila dengan jijik. "Bau pesingmu membuatku ingin muntah!" Mila semakin marah mendengar kata-kata Ansel, harga dirinya habis tak bersisa. Ia melihat kembali celananya yang basah karena air kencingnya. Mila tak menyangka, dia bisa setakut itu sampai pipis di celana. Padahal dulu dia termasuk orang yang suka sekali mengolok-olok Ansel. Mila tak kuasa menahan malu karena kejadian ini. Lalu ia mencoba untuk melepaskan cengkraman Ansel dari lengannya. Melihat Mila yang tampak kesulitan, Mona lalu memegang lengan Ansel dan menatap suaminya. Ansel yang paham langsung melepaskan Mila. Pergelangan tangan Mila terasa sakit dan memerah. Kekuatan Ansel tak main-main. Suaminya saja bisa tumbang, apalagi Mil
Ansel terdiam kaget ketika mendengar laporan yang disampaikan oleh Richard. Tak ada dalam bayangannya kalau Hendrik akan berakhir seperti ini. Padahal, Ansel belum melakukan sesuatu yang pantas untuk membalas semua kejahatan paman dari istrinya tersebut."Baiklah, saya akan mengurus masalah ini secepatnya," ujar Ansel. Richard terdiam sebentar saat mendengar jawaban Ansel, lalu ia paham kalau saat ini bossnya itu sedang berada di dekat Mona. Ansel menutup telepon dengan pikiran yang melayang kemana-mana. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan ini. Kenapa Hendrik sampai berani mengakhiri hidupnya sendiri seperti ini? Apakah ada sesuatu yang masih belum terpecahkan?"Ada apa?" Mona bertanya saat melihat Ansel termenung dengan tatapan dalam. Lalu ia memegang tangan suaminya. Ansel membalas pertanyaan Mona dengan senyuman. Ansel lalu membawa istrinya itu untuk duduk di ranjang. "Kamu baik-baik saja?" Mona bertanya lagi ketika melihat Ansel masih belum fokus. Sadar dengan sikapnya b
Mona menepuk-nepuk pelan lengan Lidia. Kini mereka berdua sudah berada di kamar Lidia. Tangis Lidia masih belum surut. Air matanya seperti tak bisa ditahan. "Semuanya akan baik-baik saja, Ma. Selama ini kita sudah hidup tanpa mereka. Kita tidak akan rugi apapun kalau sudah tidak memiliki hubungan dengan mereka!" "Tapi ... tapi mereka keluarga Papa kamu, Mona." Mona masih terus berusaha untuk menenangkan Lidia, sedangkan Ansel kini sudah selesai mandi. Setelahnya dia membuka ponsel mungkin ada pesan dari Richard, dan ternyata benar. "Dokter forensik akan melakukan autopsi pada jasad Hendrik pagi ini." Ansel membaca pesan tersebut, lama dia terdiam hingga menuliskan balasannya. "Pastikan hasilnya jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi. Dan juga, periksa panggilan terakhir Hendrik saat di penjara. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, langsung selidiki!" Setelah menuliskan kalimat itu, Ansel mengirimkan pesannya. Sebenarnya, Ansel sudah terganggu dari tadi malam karena masalah i
Danu langsung emosi saat mendengar kata-kata Ansel. Dia bingung kenapa keponakannya itu bisa dengan mudah menemuinya. Bahkan penjaga di depan tampak sangat takut pada Ansel. "Kenapa kamu bisa masuk ke sini? Siapa yang mengizinkanmu?" Danu memandang Ansel dengan tatapan kebencian. Ia tidak menyangka kalau orang yang pertama datang menemuinya adalah keponakan yang dia perlakukan dengan jahat semasa dulu. "Siapa peduli pada itu sekarang, Paman! Aku bisa melakukan apapun untuk membuatmu hancur! Datang melihatmu kemari, tidak sulit bagiku!" Mata Danu melotot lebar saat mendengar kata-kata Ansel. Entah kenapa, dia merasa tertekan, terlebih Ansel menatapnya dengan pandangan ingin menghabisinya saat ini juga.Danu merasa sangat terintimidasi. Otaknya berpikir cepat, kalau berlama-lama satu ruangan dengan Ansel, tak baik baginya nanti. "Keluar dari sini sekarang! Aku tidak ingin bicara denganmu!" Danu bangkit dari kursinya dan mengusir Ansel. Dia juga berjalan ke pintu untuk memanggil
Napas Danu tercekat. Rasa sakit di pipinya membuat wajah Danu terasa kebas. Benar-benar sakit sampai Danu kesulitan menggerakkan wajahnya. Ansel sedikit menjauh dari Danu. Ia memandang pamannya itu dengan tatapan menghina. Harga diri Danu benar-benar hancur. Ia merasa tidak terima karena diperlakukan seperti ini oleh Ansel, keponakan yang sudah dia hancurkan sedemikian rupa dulunya. Danu merebut perusahaannya, dia pisahkan Ansel dengan orangtuanya, dan dia hina keponakannya itu seperti seekor anjing. Dan kini anjing tersebut telah menggigit kakinya. "Kenapa kamu bisa percaya diri seperti ini? Aku pasti akan keluar dari penjara. Aku akan mendapatkan pengacara dan keluar dari tempat ini. Ku hancurkan kamu saat keluar dari sini!" Danu bicara dengan susah payah. Tulang rahangnya terasa sakit saat digerakkan. Mendengar kata-kata Danu, Ansel menyeringai. Posisi Danu jadi semakin hina di matanya. Ansel mendekat lagi, dan tubuh Danu bergetar hebat. Ia merasa takut, kalau Ansel a
"Maaf, tapi saya yang memesan kue ini terlebih dahulu!" Ansel menegur wanita itu karena sudah menyerobot.Wanita yang memakai gaun bermodel V neck berwarna merah itu menoleh ke arah Ansel dengan pandangan sinis. Tas mahal yang terpajang di lengannya membuat orang mengetahui kalau dia adalah wanita kaya.Melihat penampilan Ansel yang biasa-biasa saja, wanita itu lalu tertawa. Pandangannya sangat merendahkan. Sekali lihat saja, dia menilai Ansel sebagai laki-laki miskin."Kamu yakin ingin kue ini? Apa kamu tidak tahu diri?" Wanita itu berkata dengan suara keras, hingga orang-orang yang berada di sana menoleh ke arah mereka. Memang perbandingan penampilan Ansel dan wanita itu terlihat sangat jauh, sehingga orang-orang mulai membicarakannya."Apa yang dia lakukan? Kenapa berdebat dengan seorang wanita?""Apa dia tidak sadar, dirinya sedang ada di mana?""Jika dibandingkan dengan wanita itu, dia seperti gembel!"Ansel mendengar suara bisik-bisik yang penuh cemoohan itu. Telinganya agak p
"Sekarang, cepat pergi dari sini, atau kamu terima akibatnya?!" Laki-laki itu mengancam dengan mata melotot, berniat untuk mengintimidasi. Tapi bahkan seujung kuku pun Ansel tak merasa gentar. Ansel malah menyeringai dan berjalan maju. "Akibat apa yang akan aku terima?" Ansel bertanya dengan nada menantang, memandang remeh dengan sentuhan arogansi. Sungguh, auranya tak bisa dibandingkan dengan pria tadi. Sangat jauh berbeda. Si pelayan merasa gentar, ia takut masalah ini akan semakin besar, tapi bingung juga bagaimana harus menyelesaikannya. "T-tuan ... kue ini sudah dipesan terlebih dahulu oleh Mas ini, tolong jangan mempersulit keadaan saya," pelayan berkata dengan kepala tertunduk, sungguh takut jika masalahnya jadi lebih runyam daripada ini. "Sayang ... aku ingin kue itu! Aku sudah pamer sama teman-teman arisan, mau membawakan kue ini untuk di makan sama-sama nanti. Aku bisa malu kalau tidak bisa mendapatnya!" Wanita bergaun merah itu merengek dengan nada menjijikkan. Ansel