"Sekarang, cepat pergi dari sini, atau kamu terima akibatnya?!" Laki-laki itu mengancam dengan mata melotot, berniat untuk mengintimidasi. Tapi bahkan seujung kuku pun Ansel tak merasa gentar. Ansel malah menyeringai dan berjalan maju. "Akibat apa yang akan aku terima?" Ansel bertanya dengan nada menantang, memandang remeh dengan sentuhan arogansi. Sungguh, auranya tak bisa dibandingkan dengan pria tadi. Sangat jauh berbeda. Si pelayan merasa gentar, ia takut masalah ini akan semakin besar, tapi bingung juga bagaimana harus menyelesaikannya. "T-tuan ... kue ini sudah dipesan terlebih dahulu oleh Mas ini, tolong jangan mempersulit keadaan saya," pelayan berkata dengan kepala tertunduk, sungguh takut jika masalahnya jadi lebih runyam daripada ini. "Sayang ... aku ingin kue itu! Aku sudah pamer sama teman-teman arisan, mau membawakan kue ini untuk di makan sama-sama nanti. Aku bisa malu kalau tidak bisa mendapatnya!" Wanita bergaun merah itu merengek dengan nada menjijikkan. Ansel
Ansel berjalan masuk ke dalam rumah dengan membawa sekotak kue yang dia dapatkan dengan penuh drama. Ia langsung berjalan menuju kamar, karena sekarang Mona pasti ada di sana. Ansel membuka pintu dan melihat istrinya itu sedang duduk di atas ranjang sembari membolak-balikkan helaian kertas. Hingga ketika Ansel masuk, Mona menjeda kegiatannya itu. "Kamu baru pulang?" Ansel meletakkan kotak kue itu di atas meja dan berjalan menghampiri istrinya. Setelah itu dia mencium singkat kening Mona, membuat wanita itu tertegun. Setelahnya, Mona langsung mengalihkan pandangan dan tak menatap Ansel sedikitpun. Dia masih belum terbiasa dengan situasi sekarang ini. Dulu, selama empat tahun, Mona dan Ansel bahkan tak bertukar kabar lewat telepon. Sedangkan sekarang? "Kamu menungguku?" Ansel memegang pipi istrinya, dan membawa Mona menatap wajahnya. Pipi putih itu bersemu merah. Mendengar pertanyaan Ansel, Mona menjadi salah tingkah dan langsung mengambil dokumen yang dia letakkan tadi. "Tidak,
Semua orang menatap pada kedua pasangan yang baru tiba itu. Ada yang melihat dengan pandangan aneh, cemooh, dan kasihan. Ansel tetap diam di kursinya, melihat bagaimana kedua orang itu sangat terkejut ketika melihatnya. Ia menikmati setiap detik perubahan emosi dari keduanya. Kondisi ini benar-benar berbeda dengan keangkuhan mereka tadi malam. "A-anda ...." Laki-laki yang merupakan seorang manager itu menunjuk Ansel dengan penuh kebingungan. Tanpa disadarinya, kakinya gemetar hebat dengan keringat yang mengalir deras di pelipisnya. "Senang bertemu kalian lagi," ujar Ansel, seolah memberikan gambaran pada kedua orang itu kalau sebelumnya dia memang pernah bertemu dengan mereka. Langsung saja laki-laki itu tersungkur jatuh, kakinya terasa lemas dan tak kuat untuk menopang dirinya sendiri. "A-apa ini?" Laki-laki itu menutup mulutnya yang sedari tadi menganga. Dia benar-benar terkejut saat mengetahui fakta itu. Teringat akan hinaan yang dia lontarkan pada Ansel malam tadi, membua
Ansel pulang ke apartemennya dengan perasaan yang campur aduk. Dia kira sebelumnya, musuh dia dan istrinya adalah keluarga Hartono. Nyatanya, keluarga Hartono masih tidak ada apa-apa dibandingkan orang itu. "Anda baik-baik saja, Bos?" Richard bertanya saat mereka sedang duduk di sofa. Ansel sibuk memperhatikan ponselnya sedari tadi. "Ya ... aku baik-baik saja. Hanya merasa sedikit terkejut!" Ansel mematikan layar ponselnya dan kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa. Richard diam memperhatikan. Tak ada yang bicara selama beberapa menit hingga suara deringan ponsel milik Richard memecah keheningan. Dengan sigap Richard menjawab panggilan telepon itu. Dia bicara beberapa patah kata hingga kemudian nada bicaranya mulai serius. "Kau yakin? Kalau begitu bawa kemari dengan sangat hati-hati! Aku akan mengatakannya pada jenderal!" Ansel mendongak ketika namanya di sebut. Dia diam menunggu Richard selesai bicara. "Ada apa?" "Orang-orang kita berhasil menemukan satu buah Lentera Lembah
Ansel membawa Mona ke kamar setelah pamit pada Lidia. Dia menuntun istrinya tersebut dengan hati-hati. "Kamu yakin baik-baik saja?" Ansel duduk di samping Mona. Dia mengusap pelan punggung istrinya itu. Sepertinya, Mona sedang banyak pikiran. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan, karena harus mengurus perusahaan besar yang baru keluar dari kekacauan." Mona mengusap keningnya, dia benar-benar terkuras habis. Baik itu tenaga ataupun pikiran. Ansel diam berpikir mendengar kata-kata istrinya. "Apa sebaiknya kita pergi liburan?" Ansel bertanya setelah menimbang beberapa hal. Mona terdiam, kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Aku baru saja menjabat di Hartono Group, mana mungkin langsung ambil cuti." Mona menghela napas lelah. Dia sebenarnya agak tertarik saat mendengar perkataan Ansel. Liburan sepertinya tidak buruk juga. Ansel tersenyum kemudian mengangguk. "Sebaiknya kamu mandi dulu, supaya bisa istirahat. Aku akan membuatkan makan malam yang enak untukmu," uj
Hari-hari Ansel berjalan dengan sangat baik beberapa waktu terakhir. Dia terus memantau pergerakan Danu dan juga Adrian. Keluarga mereka mengupayakan yang terbaik agar keduanya bisa dibebaskan. Tapi sayangnya tak ada seorangpun pengacara yang mau mengurus kasus ini. Orang-orang itu tidak mau mengambil resiko apapun. Menjadi musuh masyarakat saja sudah sulit, apalagi menjadi lawan seseorang yang sangat berpengaruh di dunia. Mendengar namanya saja, mereka sudah gemetar parah hingga mengalami halusinasi saat memikirkannya. Ansel juga sudah berhasil mengakuisisi Sadewa Group. Dia melakukannya dengan sangat mudah. Tak terlalu menghabiskan uang, tapi cukup banyak jika angka nolnya dijabarkan. Lagipula, di penjara Danu dan Adrian juga sudah diurus oleh anak buah Ansel. Mereka tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak selama di dalam sana. Memikirkan tentang bahaya yang mengintai bahkan saat mereka sudah di dalam penjara, membuat mereka tak akan bisa memejamkan mata walau sekejap saja.
"Kamu suka tempatnya?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka baru sampai di kamar hotel. Jenis kamar presiden suit ini terlihat sangat mengagumkan. Kamarnya benar-benar luas dengan tempat tidur King size. Ada televisi besar yang lebarnya hampir menyerupai layar bioskop. Ada mini bar serta ruang makan dan dapur juga di sana. Dan berbagai fasilitas mewah lainnya. "Apa mereka tidak terlalu berlebihan memberikan ini?" Mona memperhatikan sekitarnya. Kamar ini terasa sangat sempurna dan juga luas. "Ada apa?" Ansel bertanya ketika melihat istrinya itu hanya diam saja. "Sepertinya kamar kita tertukar! Tidak mungkin mereka akan memberikan kamar ini! Aku tahu dengan jelas, kalau ini adalah kamar presiden suit dan harga menginap permalam di sini puluhan juta! Ayo keluar dan melapor ke resepsionis!" Mona segera berbalik dan menarik kopernya keluar. Dia sangat yakin kalau mereka sudah salah kamar. Pasti petugas hotel yang mengantar mereka tadi itu salah. Dia sangat yakin! Ansel mengikuti d
Kelopak mata Ansel beberapa kali mengerjap, berusaha untuk bangun dari tidurnya. Malam tadi terasa indah dengan pagi yang menyambut dengan cerah. "Selamat pagi! Kamu tidur nyenyak?" Mona bertanya sembari mendongak memandang wajah suaminya. Ansel menyadari kehadiran sang istri yang nyatanya masih berada di dalam dekapannya. "Selamat pagi! Nyenyak sekali, sampai aku merasa sangat malas untuk bangun!" Ansel mengeratkan dekapannya, berencana untuk memejamkan matanya lagi. Tapi rencana Ansel untuk menyambung lagi tidurnya langsung buyar saat Mona melepas paksa pelukannya. "Bangun! Aku lapar sekali! Tadi malam tidak jadi makan!" Mona mengerucutkan bibirnya. Seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan perman. Alis Ansel meninggi, dia sedikit tidak terbiasa dengan tingkah imut istrinya itu. Biasanya Mona tidak seperti ini. Apa mungkin karena suasana hati istrinya itu sedang baik sekarang, jadi dia bertingkah menggemaskan seperti ini? "Kamu lapar? Kalau begitu, ayo membe
Mona masih terdiam, wajahnya memucat, tubuhnya perlahan gemetar. Informasi yang baru saja ia terima terasa seperti badai—membuat segalanya berputar dan kabur di kepalanya. Namun Ansel belum selesai. “Dan satu lagi,” ucapnya, kini dengan nada lebih tajam, menusuk. “Hendrik Hartono tidak mati bunuh diri di penjara.” Mona menoleh cepat, matanya terbelalak. “Apa maksudmu…?” Ansel menatap pria paruh baya di seberang dengan dingin yang mengancam. “Dia yang mengatur kematian Hendrik. Mengubahnya seolah-olah itu bunuh diri, padahal itu pembunuhan yang disabotase dari dalam.” Pria itu mengangkat alisnya pelan, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. “Hendrik tahu terlalu banyak. Dia mulai panik. Kalau aku biarkan, dia bisa buka suara—dan itu akan merugikan semua pihak.” “Termasuk kau,” potong Ansel tajam. “Karena jika dia bicara, semuanya akan tahu kalau selama ini dalangnya adalah kau. Kau yang menarik tali dari balik bayangan. Meracuni Dante, lalu menyingkirkan siapa pun yang bisa
Beberapa minggu setelah Mona melahirkan Arshaka, Ansel kemudian meminta izin kepada Lidia untuk membawa istrinya itu ke suatu tempat. Dan mertuanya itu senang karena diberi waktu lama untuk bermain dengan cucunya. "Kita akan kemana?" Mona bertanya saat dia dan Ansel berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh suaminya. "Ke suatu tempat. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," jawab Ansel, sembari fokus menatap jalanan di depan sana. Mendengar jawaban Ansel, Mona tak bertanya lagi. Ia hanya menggenggam jemari suaminya yang bebas satu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka sambil menanti kejutan yang akan datang. Mobil yang Ansel kendarai akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang sangat familiar—kantor polisi. Mona mengernyit heran, pandangannya menelusuri papan nama besar di atas gedung itu. “Apa… kita ada urusan di sini?” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, Ansel sudah keluar dari mobil dan mengitar
Beberapa jam setelah persalinan Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan menciptakan bayangan hangat di wajah Mona yang tertidur pulas. Di pelukannya, Arshaka tampak damai, sesekali menggerakkan tangan mungilnya seolah sedang bermimpi. Ansel duduk di samping ranjang, tubuhnya bersandar santai tapi tetap waspada. Di antara jemarinya yang kokoh, ia menggenggam tangan kecil anaknya dengan hati-hati, seolah takut kekuatannya yang luar biasa bisa melukai makhluk sekecil itu. Dia menatap wajah mungil itu dalam diam. Hidung kecil, bibir mungil, dan alis tipis yang entah mengapa membuat hatinya terasa penuh. “Arshaka,” bisiknya pelan, seolah sedang menguji nama itu di lidahnya. “Kau bahkan belum bisa membuka mata, tapi kau sudah mengubah segalanya.” Ada senyum samar di wajah Ansel—bukan senyum sinis, bukan senyum licik, tapi senyum yang lembut, tulus, dan langka. Tangannya yang besar membenarkan selimut bayi itu dengan gerakan sangat hati-hati, lalu berpindah menyentuh pipi Mon
Beberapa jam kemudian Suasana di dalam kamar perawatan semakin tegang. Mona kini terbaring dengan tubuh sedikit miring, keringat membasahi dahinya. Nafasnya semakin berat, tangannya menggenggam erat lengan Ansel setiap kali kontraksi datang. "Ahh…!" Mona meringis kesakitan saat gelombang kontraksi kembali menghantam. Ansel langsung mencondongkan tubuhnya, tangannya mengelus rambut Mona dengan lembut. "Mona, tahan sebentar… Aku di sini." Dokter kembali masuk untuk memeriksa perkembangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangkat wajah dengan ekspresi serius. “Sekarang sudah pembukaan delapan.” Mata Ansel semakin gelap. “Apa dia masih harus menunggu lama?” Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Dari perkembangannya, sepertinya tidak akan lama lagi. Nyonya Mona, Anda harus tetap tenang dan mengatur napas. Jika terus panik, akan lebih sulit nantinya.” Mona mengangguk lemah, meskipun rasa sakit yang terus meningkat hampir membuatnya tidak bisa berpikir. Namun, saat
Dokter memasang sarung tangannya dan mulai memeriksa kondisi Mona dengan teliti. Ansel berdiri di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang menahan napas. Beberapa saat kemudian, dokter mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Seperti yang kami duga, Nyonya sudah memasuki pembukaan satu." Mona menghembuskan napas lega, meskipun di dalam hatinya tetap ada sedikit kegelisahan. Namun, berbeda dengan Ansel. Wajah pria itu sama sekali tidak menunjukkan ketenangan. "Pembukaan satu," ulangnya dengan suara datar, tetapi ada ketegangan yang terasa di baliknya. "Berarti Mona akan semakin kesakitan setelah ini?" Dokter mengangguk. "Kontraksi akan semakin sering dan intens. Tapi ini masih tahap awal, jadi butuh waktu sebelum benar-benar siap untuk melahirkan." Ansel tidak menjawab. Rahangnya semakin mengeras, dan tatapan matanya seakan menyelidik, mencari kepastian. "Aku masih baik-baik saja, Ansel," ujar Mona dengan suara lembut, berusaha menenangkan suaminya. A
Setelah memastikan Mona baik-baik saja, Ansel tetap berada di rumah sakit hingga larut malam. Mona akhirnya tertidur karena kelelahan, sementara Ansel duduk di sofa di dalam kamar VIP, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Richard berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. "Bagaimana situasinya?" tanya Ansel pelan, suaranya terdengar lebih berat di tengah keheningan malam. Richard sedikit menunduk. "XG Group benar-benar runtuh. Sahamnya anjlok hingga level terendah, dewan direksi kacau, dan pemegang saham utama mulai menjual aset mereka. Sepertinya mereka tidak akan bisa bangkit lagi." Ansel tidak bereaksi langsung. Dia hanya memutar cangkir kopinya yang sudah dingin di tangan. Ansel tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap tajam. "Bagus," gumamnya. Suasana ruangan terasa semakin dingin. Richard menatap Ansel dengan sedikit ragu, lalu memberanikan diri untuk bertanya, "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Jenderal?" Ansel meletakkan cangkirnya ke meja d
Ansel tetap diam. Sorot matanya yang gelap menatap Mona tanpa ekspresi, seperti sedang menimbang sesuatu. Sementara itu, Richard mencuri pandang ke arah Ansel, menunggu reaksi atas pertanyaan Mona. Udara di dalam ruang kerja mendadak terasa lebih berat. Namun, bukannya menjawab, Ansel justru berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya. Dengan tenang, dia mengambil cangkir kopinya, lalu menyesapnya perlahan. Dia sedang menyusun kata-kata. Mona mengernyit. Suaminya yang biasanya langsung berbicara, kini justru terlihat seolah sedang menunda jawaban. "Ansel?" Akhirnya, pria itu menaruh cangkirnya kembali ke meja. Dia menatap Mona dengan mata yang tajam, tapi suaranya tetap lembut saat berkata, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Mona menghela napas, mencoba merangkai pikirannya. "Aku tidak tahu," ujarnya pelan, "mungkin karena semuanya terasa... aneh. Perusahaan sebesar XG Group, yang selama ini dikenal begitu kuat, tiba-tiba runtuh begitu saja dalam semalam."
Mona bertanya-tanya tentang berita yang dilihatnya pagi ini. Walaupun sudah beberapa jam berlalu, tapi semua masalah ini masih menjadi buah pikiran untuknya. Mona berjalan keluar kamar untuk menuju ke lantai bawah. Dia melewatkan ruang kerja Ansel dan memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada beberapa orang pelayan yang sedang mengerjakan tugas mereka masing-masing. Dan Mona merasa segan untuk sekadar bertanya. Tapi karena perasaan Mona yang semakin buruk, dia lalu berjalan menghampiri ruang kerja Ansel. Setelah sarapan pagi tadi, suaminya itu berada di sana bersama dengan Richard. Memang Ansel selama beberapa hari terakhir selalu bekerja di rumah. Dan itu semua karena kondisi Mona yang sudah mendekati hari melahirkan. Jadi Ansel tidak ingin meninggalkan Mona untuk pergi jauh-jauh. Mona mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar suara langkah mendekat, dia diam menunggu orang yang berjalan untuk membukakan pintu. Richard sedikit terkejut saat melihat Mona yang tengah berdiri
Ansel membawa Mona ke dalam pelukannya. Dia juga mengusap-usap punggung istrinya itu untuk memberikan ketenangan. "Kamu tidak usah khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengusik hidup kita lagi!" Mata Ansel berkilat penuh tekad. Dia harus segera melayangkan sebuah peringatan keras pada orang itu. Jika tidak, seterusnya pasti Mona akan menjadi sasaran orang-orang itu dan tentu hal tersebut akan sangat menggangu istrinya. "Bagaimana kalau mereka ingin menyingkirkan aku juga?" Mona melepaskan pelukan Ansel dan bertanya dengan wajah yang sudah sembab karena menangis. Segera saja Ansel menggeleng untuk memberikan jawaban pada pertanyaan istrinya itu. "Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menyentuhmu! Tidak selama aku masih hidup!" Mona merasa sangat terharu ketika mendengar perkataan Ansel. Hatinya yang semula gelisah dan juga gundah langsung merasa aman. Mungkin karena dia sangat mempercayai Ansel. Setelah menenangkan Mona,