Semua orang menatap pada kedua pasangan yang baru tiba itu. Ada yang melihat dengan pandangan aneh, cemooh, dan kasihan. Ansel tetap diam di kursinya, melihat bagaimana kedua orang itu sangat terkejut ketika melihatnya. Ia menikmati setiap detik perubahan emosi dari keduanya. Kondisi ini benar-benar berbeda dengan keangkuhan mereka tadi malam. "A-anda ...." Laki-laki yang merupakan seorang manager itu menunjuk Ansel dengan penuh kebingungan. Tanpa disadarinya, kakinya gemetar hebat dengan keringat yang mengalir deras di pelipisnya. "Senang bertemu kalian lagi," ujar Ansel, seolah memberikan gambaran pada kedua orang itu kalau sebelumnya dia memang pernah bertemu dengan mereka. Langsung saja laki-laki itu tersungkur jatuh, kakinya terasa lemas dan tak kuat untuk menopang dirinya sendiri. "A-apa ini?" Laki-laki itu menutup mulutnya yang sedari tadi menganga. Dia benar-benar terkejut saat mengetahui fakta itu. Teringat akan hinaan yang dia lontarkan pada Ansel malam tadi, membua
Ansel pulang ke apartemennya dengan perasaan yang campur aduk. Dia kira sebelumnya, musuh dia dan istrinya adalah keluarga Hartono. Nyatanya, keluarga Hartono masih tidak ada apa-apa dibandingkan orang itu. "Anda baik-baik saja, Bos?" Richard bertanya saat mereka sedang duduk di sofa. Ansel sibuk memperhatikan ponselnya sedari tadi. "Ya ... aku baik-baik saja. Hanya merasa sedikit terkejut!" Ansel mematikan layar ponselnya dan kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa. Richard diam memperhatikan. Tak ada yang bicara selama beberapa menit hingga suara deringan ponsel milik Richard memecah keheningan. Dengan sigap Richard menjawab panggilan telepon itu. Dia bicara beberapa patah kata hingga kemudian nada bicaranya mulai serius. "Kau yakin? Kalau begitu bawa kemari dengan sangat hati-hati! Aku akan mengatakannya pada jenderal!" Ansel mendongak ketika namanya di sebut. Dia diam menunggu Richard selesai bicara. "Ada apa?" "Orang-orang kita berhasil menemukan satu buah Lentera Lembah
Ansel membawa Mona ke kamar setelah pamit pada Lidia. Dia menuntun istrinya tersebut dengan hati-hati. "Kamu yakin baik-baik saja?" Ansel duduk di samping Mona. Dia mengusap pelan punggung istrinya itu. Sepertinya, Mona sedang banyak pikiran. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan, karena harus mengurus perusahaan besar yang baru keluar dari kekacauan." Mona mengusap keningnya, dia benar-benar terkuras habis. Baik itu tenaga ataupun pikiran. Ansel diam berpikir mendengar kata-kata istrinya. "Apa sebaiknya kita pergi liburan?" Ansel bertanya setelah menimbang beberapa hal. Mona terdiam, kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa. Aku baru saja menjabat di Hartono Group, mana mungkin langsung ambil cuti." Mona menghela napas lelah. Dia sebenarnya agak tertarik saat mendengar perkataan Ansel. Liburan sepertinya tidak buruk juga. Ansel tersenyum kemudian mengangguk. "Sebaiknya kamu mandi dulu, supaya bisa istirahat. Aku akan membuatkan makan malam yang enak untukmu," uj
Hari-hari Ansel berjalan dengan sangat baik beberapa waktu terakhir. Dia terus memantau pergerakan Danu dan juga Adrian. Keluarga mereka mengupayakan yang terbaik agar keduanya bisa dibebaskan. Tapi sayangnya tak ada seorangpun pengacara yang mau mengurus kasus ini. Orang-orang itu tidak mau mengambil resiko apapun. Menjadi musuh masyarakat saja sudah sulit, apalagi menjadi lawan seseorang yang sangat berpengaruh di dunia. Mendengar namanya saja, mereka sudah gemetar parah hingga mengalami halusinasi saat memikirkannya. Ansel juga sudah berhasil mengakuisisi Sadewa Group. Dia melakukannya dengan sangat mudah. Tak terlalu menghabiskan uang, tapi cukup banyak jika angka nolnya dijabarkan. Lagipula, di penjara Danu dan Adrian juga sudah diurus oleh anak buah Ansel. Mereka tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak selama di dalam sana. Memikirkan tentang bahaya yang mengintai bahkan saat mereka sudah di dalam penjara, membuat mereka tak akan bisa memejamkan mata walau sekejap saja.
"Kamu suka tempatnya?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka baru sampai di kamar hotel. Jenis kamar presiden suit ini terlihat sangat mengagumkan. Kamarnya benar-benar luas dengan tempat tidur King size. Ada televisi besar yang lebarnya hampir menyerupai layar bioskop. Ada mini bar serta ruang makan dan dapur juga di sana. Dan berbagai fasilitas mewah lainnya. "Apa mereka tidak terlalu berlebihan memberikan ini?" Mona memperhatikan sekitarnya. Kamar ini terasa sangat sempurna dan juga luas. "Ada apa?" Ansel bertanya ketika melihat istrinya itu hanya diam saja. "Sepertinya kamar kita tertukar! Tidak mungkin mereka akan memberikan kamar ini! Aku tahu dengan jelas, kalau ini adalah kamar presiden suit dan harga menginap permalam di sini puluhan juta! Ayo keluar dan melapor ke resepsionis!" Mona segera berbalik dan menarik kopernya keluar. Dia sangat yakin kalau mereka sudah salah kamar. Pasti petugas hotel yang mengantar mereka tadi itu salah. Dia sangat yakin! Ansel mengikuti d
Kelopak mata Ansel beberapa kali mengerjap, berusaha untuk bangun dari tidurnya. Malam tadi terasa indah dengan pagi yang menyambut dengan cerah. "Selamat pagi! Kamu tidur nyenyak?" Mona bertanya sembari mendongak memandang wajah suaminya. Ansel menyadari kehadiran sang istri yang nyatanya masih berada di dalam dekapannya. "Selamat pagi! Nyenyak sekali, sampai aku merasa sangat malas untuk bangun!" Ansel mengeratkan dekapannya, berencana untuk memejamkan matanya lagi. Tapi rencana Ansel untuk menyambung lagi tidurnya langsung buyar saat Mona melepas paksa pelukannya. "Bangun! Aku lapar sekali! Tadi malam tidak jadi makan!" Mona mengerucutkan bibirnya. Seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan perman. Alis Ansel meninggi, dia sedikit tidak terbiasa dengan tingkah imut istrinya itu. Biasanya Mona tidak seperti ini. Apa mungkin karena suasana hati istrinya itu sedang baik sekarang, jadi dia bertingkah menggemaskan seperti ini? "Kamu lapar? Kalau begitu, ayo membe
Beberapa pria berbadan tegap langsung keluar dari tempat persembunyian. Selain berlarian menyusuri seluruh tempat itu, tim Richard juga menyusuri seluruh CCTV yang berada di area sekitar. Ansel terus berteriak memanggil Mona. Menjerit memanggil nama istrinya, berharap kalau Mona bisa mendengarnya. "Sialan!" Ansel semakin panik saat tak terlihat tanda-tanda Mona ada di sekitaran pantai itu. Hingga kemudian suara dering ponsel menyadarkannya. "Boss saya mengirimkan rekaman video CCTV yang ada di sekitaran taman. Saya yakin itu nyonya! Saya sudah menyuruh mereka semua untuk mengejar mobil itu!" Panggilan telepon langsung dimatikan, dan Ansel melihat video yang dikirimkan oleh Richard. Mata Ansel menyipit saat melihat isi video tersebut. Tampak pakaian yang dipakai oleh orang yang ada di dalam video itu jauh berbeda dengan pakaian Mona sebelumnya. Karena disana tubuh orang yang Ansel yakini adalah Mona itu dibalut dengan jas long coat berwarna hitam. Pantas saja anak buahnya tidak
"Kalian pastikan dulu dimana mereka meletakan Mona. Ingat untuk tidak membuat suara!" Ansel memberikan perintah melalui alat komunikasi tim yang dia gunakan saat masih dalam perjalanan tadi. Ansel tidak melihat cahaya apapun dari dalam rumah itu. Mungkin ada bagian lain yang tertutup rapat hingga tak bisa ditembus cahaya. Dengan dibantu cahaya remang bulan sabit, orang-orang dengan keahlian berkali-kali lipat dibandingkan warga biasa itu mengendap untuk berusaha masuk ke dalam rumah tua tersebut. Ansel memilih jalan dari bagian belakang. Dia yakin Mona sedang ditahan di dalam bangunan tua ini, karena sinyal pelacak yang ada di cincin Mona berada di tempat ini. Dengan langkah yang penuh kehati-hatian, Ansel mencari jalan ke pintu belakang. Tubuhnya seringan kapas hingga dia bisa masuk dengan mudah ke dalam sana. Ansel menyusuri setiap lorong dari bangunan tua yang ditumbuhi lumut itu. Bau apek juga terasa jelas di hidungnya. Ansel terus menyusuri setiap sekat dari ruangan yang a