"Kalian pastikan dulu dimana mereka meletakan Mona. Ingat untuk tidak membuat suara!" Ansel memberikan perintah melalui alat komunikasi tim yang dia gunakan saat masih dalam perjalanan tadi. Ansel tidak melihat cahaya apapun dari dalam rumah itu. Mungkin ada bagian lain yang tertutup rapat hingga tak bisa ditembus cahaya. Dengan dibantu cahaya remang bulan sabit, orang-orang dengan keahlian berkali-kali lipat dibandingkan warga biasa itu mengendap untuk berusaha masuk ke dalam rumah tua tersebut. Ansel memilih jalan dari bagian belakang. Dia yakin Mona sedang ditahan di dalam bangunan tua ini, karena sinyal pelacak yang ada di cincin Mona berada di tempat ini. Dengan langkah yang penuh kehati-hatian, Ansel mencari jalan ke pintu belakang. Tubuhnya seringan kapas hingga dia bisa masuk dengan mudah ke dalam sana. Ansel menyusuri setiap lorong dari bangunan tua yang ditumbuhi lumut itu. Bau apek juga terasa jelas di hidungnya. Ansel terus menyusuri setiap sekat dari ruangan yang a
Orang-orang itu saling beradu kemampuan. Bunyi tembakan masih terdengar, juga suara benda jatuh terhantuk lantai.Ansel masih menaruh fokus pada Oman yang sudah terpojok. Tangannya gatal untuk menarik pelatuk senjatanya, tapi dia ingin bermain sebentar dengan pria itu."Apa saja yang sudah kamu lakukan pada istriku?" Ansel terus melangkah maju, sedangkan Oman sudah tidak bisa bergerak sedikitpun. Dia benar-benar terpojok."Apa yang aku lakukan pada istrimu... hanya kami yang tahu!" Oman menarik sudut bibirnya, dia berpikir kalau Ansel hanya menggertak. Tak mungkin Ansel berani menyakitinya, jika dia mau peperangan kembali terjadi. Tapi rasa percaya diri Oman langsung sirna begitu saja saat Ansel menembak lengan tangan kanannya. Manik mata Ansel menatap tajam ke arah Oman. Saat ini dia sedang mendengarkan laporan Richard dari alat komunikasi kecil yang dipakainya."Akhh ...." Oman menjerit dengan sangat keras. Suaranya menyita perhatian orang-orang yang masih saling menembak. Lebih te
Mona sudah dipindahkan ke ruang rawat beberapa jam yang lalu, tapi yang membuat Ansel semakin risau adalah istrinya itu tak kunjung sadarkan diri. Ansel sudah berganti pakaian dengan setelan yang dibawakan oleh Richard. Barang-barangnya yang tertinggal di hotel juga sudah dijemput semua dan dipindahkan ke rumah sakit. Ansel menyewa kamar VVIP rumah sakit ini. Meskipun tak sebesar ruang VVIP di rumah sakit yang ada di kota, tapi setidaknya ini lumayan. Ansel duduk di samping Mona sembari terus menggenggam tangan istrinya itu. Dia terus merapalkan doa agar Mona bisa segera sadar. Tapi istrinya itu belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya. Pintu ruang rawat itu diketuk dari luar, dan setelahnya Richard masuk ke dalam. Dia membawa beberapa kotak makanan untuk Ansel. Karena bossnya itu belum makan sedari siang. Sekarang hari sudah hampir pagi dan itu membuat Richard risau. "Boss ...." Richard meletakkan sekotak makanan yang dibelinya di atas meja nakas. Tapi Ansel bahkan tak
Ansel berdiam diri menunggu di luar ruang rawat VVIP itu. Sejak mengungkapkan tentang dirinya di depan Mona, Ansel diusir keluar dari ruangan tersebut. "Kamu keluar dulu, beri aku waktu untuk berpikir!" Kata-kata Mona masih terbayang-bayang oleh Ansel dibenaknya. Dia berjalan mondar-mandir di depan ruangan itu. Menatap pintu yang tertutup rapat. Bahkan dokter yang memeriksa Mona pun sudah keluar dari tadi, tanpa mengatakan apapun padanya. "Jenderal?" Richard menahan Ansel yang akan menarik kenop pintu. Dia tahu diri untuk tidak memperbolehkan bossnya itu masuk ke dalam. "Tapi ini sudah terlalu lama!" Ansel memijit keningnya yang terasa pening. Bahkan sekarang sudah hampir petang, tapi Mona masih mendiamkannya. Richard kemudian berjalan menuju ruangan perawat yang berjaga tidak jauh dari sana. Setelah berbincang beberapa saat, Richard kembali dengan seorang perawat yang memimpin jalan. "Tunggu sebentar, ya." Perawat itu masuk ke dalam ruangan rawat Mona. Tak lama setelah itu dia
Penjagaan terhadap Mona dan calon bayinya dilakukan dengan ketat. Jika saja anggota Ansel yang lainnya berjaga di depan pintu rumah sakit, maka orang-orang yang datang berobat akan berpikir kalau keluarga presiden sedang dirawat di rumah sakit ini. Pria-pria berbadan gagah itu siap sedia memperhatikan sekitar, dengan sebuah alat komunikasi di telinga mereka. "Kamu yakin bisa jalan sendiri?" Ansel bertanya pada Mona saat mereka kini berjalan keluar dari rumah sakit. Mona memandang Ansel dengan kesal. Semenjak dia mengetahui tentang identitas suaminya, Mona merasa kalau Ansel semakin menunjukkan sisi berbeda dari Ansel yang Mona kenal sebelumnya. "Aku tidak lumpuh! Jangan berlebihan!" Mona melangkah dengan kesal. Selain merasa risih karena perlakukan Ansel, Mona tidak mengeluhkan hal apapun lagi. Sebuah mobil Alphard sudah terparkir indah didepan pintu keluar rumah sakit. Kalau bukan karena Mona adalah pasien VVIP, tak mungkin pihak rumah sakit mengizinkan mobil itu menunggu di
Langkah Ansel membawanya masuk ke ruang kunjungan rutan Sambadi. Dan di dalam ruangan tersebut, ada Danu yang duduk di kursi sembari dipantau ketat oleh salah seorang sipir yang bertugas. Danu menegakkan kepalanya ketika mendengar langkah kaki mendekat. Tubuhnya langsung bereaksi saat melihat kalau ternyata orang itu adalah Ansel, keponakan sendiri. "K-kamu!" Danu menunjuk-nunjuk Ansel sembari berusaha kabur dari sana. Tapi dia tidak bisa bergerak banyak karena tubuhnya ditahan kuat oleh sipir yang merupakan orang suruhan Ansel. "Lepaskan aku! Lepaskan! Aku tidak mau bertemu dengannya! Lepaskan aku sekarang!" Danu memberontak dengan semua tenaganya yang tersisa. Dia benar-benar ketakutan. Siksaan yang Danu dapatkan saat berada dalam rutan menimbulkan trauma yang dalam. Dia tidak tahu apakah itu karena Ansel atau kehidupan di penjara memang keras seperti ini. Tapi kenapa terlalu kejam? Ansel mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Danu. Dia bersidekap tangan denga
Dengan langkah ringan, Ansel berjalan keluar dari ruangan itu meninggalkan Danu yang terdiam kaku. Pamannya itu lalu memegangi dadanya yang terasa sakit. Tanpa berbalik kebelakang untuk sekadar melihat Danu yang meraung-raung kesakitan, Ansel meneruskan langkahnya menuju ruangan lain. Ruangan tempat dimana Adrian sudah menunggunya. Richard sudah menunggu Ansel dan kemudian membukakan pintu ruangan itu. Setelahnya dia menutup pintu tersebut dan berdiri berjaga di sana. Sama seperti sebelumnya, saat dia berjaga di depan pintu tempat Ansel bertemu Danu. Tapi kali ini sipir yang bertugas tidak masuk, dan ikut berdiri di samping Richard. Tubuh Adrian menegang saat dia melihat Ansel masuk ke dalam ruangan itu dan kini sedang melangkah ke arahnya. Awalnya Adrian kira, kalau yang datang berkunjung adalah Clara, kekasihnya yang juga merupakan mantan tunangan Ansel. "Kau ... apa yang kau lakukan disini?" Tubuh Adrian langsung menunjukkan reaksi jujur. Dia ketakutan setengah mati. Ingatan A
Ansel berbalik untuk melihat orang yang memanggilnya. Keningnya berkerut saat melihat orang itu, kenapa dia bisa ada di sini. Tapi akhirnya Ansel mengerti. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Orang itu berjalan mendekat ke arah Ansel. Dia melihat mobil yang akan Ansel naiki. Lalu alisnya terangkat sebelah seakan sedang menilai. "Apa yang aku lakukan bukan urusanmu!" Ansel tak ingin memperdulikan orang itu. Ia membuka pintu mobil, tapi tangannya langsung ditahan. Dan pintu mobil ditutup dengan kasar. "Ini mobilmu?" Orang yang tak lain adalah Clara itu bertanya heran. Tentu saja Clara heran, sebab kali ini Ansel tak membawa mobil rongsok yang diberikan Mona untuknya. Dia datang dengan membawa BMW seri terbaru yang didesain khusus dan juga anti peluru. "Tentu saja. Tidak mungkin aku meminjam punya orang lain!" Ansel mendengus. "Menyingkirlah!" Bukannya menyingkir, Clara malah menantang Ansel dan berdiri di depan pintu mobil. Dia bersidekap tangan menilai Ansel dari atas sampai ba