Langkah Ansel membawanya masuk ke ruang kunjungan rutan Sambadi. Dan di dalam ruangan tersebut, ada Danu yang duduk di kursi sembari dipantau ketat oleh salah seorang sipir yang bertugas. Danu menegakkan kepalanya ketika mendengar langkah kaki mendekat. Tubuhnya langsung bereaksi saat melihat kalau ternyata orang itu adalah Ansel, keponakan sendiri. "K-kamu!" Danu menunjuk-nunjuk Ansel sembari berusaha kabur dari sana. Tapi dia tidak bisa bergerak banyak karena tubuhnya ditahan kuat oleh sipir yang merupakan orang suruhan Ansel. "Lepaskan aku! Lepaskan! Aku tidak mau bertemu dengannya! Lepaskan aku sekarang!" Danu memberontak dengan semua tenaganya yang tersisa. Dia benar-benar ketakutan. Siksaan yang Danu dapatkan saat berada dalam rutan menimbulkan trauma yang dalam. Dia tidak tahu apakah itu karena Ansel atau kehidupan di penjara memang keras seperti ini. Tapi kenapa terlalu kejam? Ansel mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Danu. Dia bersidekap tangan denga
Dengan langkah ringan, Ansel berjalan keluar dari ruangan itu meninggalkan Danu yang terdiam kaku. Pamannya itu lalu memegangi dadanya yang terasa sakit. Tanpa berbalik kebelakang untuk sekadar melihat Danu yang meraung-raung kesakitan, Ansel meneruskan langkahnya menuju ruangan lain. Ruangan tempat dimana Adrian sudah menunggunya. Richard sudah menunggu Ansel dan kemudian membukakan pintu ruangan itu. Setelahnya dia menutup pintu tersebut dan berdiri berjaga di sana. Sama seperti sebelumnya, saat dia berjaga di depan pintu tempat Ansel bertemu Danu. Tapi kali ini sipir yang bertugas tidak masuk, dan ikut berdiri di samping Richard. Tubuh Adrian menegang saat dia melihat Ansel masuk ke dalam ruangan itu dan kini sedang melangkah ke arahnya. Awalnya Adrian kira, kalau yang datang berkunjung adalah Clara, kekasihnya yang juga merupakan mantan tunangan Ansel. "Kau ... apa yang kau lakukan disini?" Tubuh Adrian langsung menunjukkan reaksi jujur. Dia ketakutan setengah mati. Ingatan A
Ansel berbalik untuk melihat orang yang memanggilnya. Keningnya berkerut saat melihat orang itu, kenapa dia bisa ada di sini. Tapi akhirnya Ansel mengerti. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Orang itu berjalan mendekat ke arah Ansel. Dia melihat mobil yang akan Ansel naiki. Lalu alisnya terangkat sebelah seakan sedang menilai. "Apa yang aku lakukan bukan urusanmu!" Ansel tak ingin memperdulikan orang itu. Ia membuka pintu mobil, tapi tangannya langsung ditahan. Dan pintu mobil ditutup dengan kasar. "Ini mobilmu?" Orang yang tak lain adalah Clara itu bertanya heran. Tentu saja Clara heran, sebab kali ini Ansel tak membawa mobil rongsok yang diberikan Mona untuknya. Dia datang dengan membawa BMW seri terbaru yang didesain khusus dan juga anti peluru. "Tentu saja. Tidak mungkin aku meminjam punya orang lain!" Ansel mendengus. "Menyingkirlah!" Bukannya menyingkir, Clara malah menantang Ansel dan berdiri di depan pintu mobil. Dia bersidekap tangan menilai Ansel dari atas sampai ba
Ansel menutup laptop Mona dengan perlahan. Lalu dia memperbaiki posisi tidur istrinya itu dengan sangat lembut. Lagi pula, sofa yang Mona tiduri merupakan sofa dengan kualitas terbaik dengan harga yang tidak main-main. Jadi Mona tidak akan merasa sakit jika tidur di sana. Sebelum mengisi kamar ini, Ansel sudah mempertimbangkan semuanya. Dia ingin Mona merasa nyaman, bahkan saat dia sedang ingin bersantai di sofa sembari menonton film. Setelah memastikan semuanya aman, Ansel berjalan menuju kamar mandi. Sebelumnya dia mengambil handuk terlebih dahulu di dalam walking closet. Ansel memandang dirinya sendiri di depan cermin. Semua bekas luka di tubuhnya akan membuat Ansel selalu mengingat, bagaimana kerasnya kehidupan yang Ansel lalui untuk bisa sampai di titik sekarang. Ansel memusatkan energi tubuhnya sembari mengosongkan pikiran. Sesaat dia merasa tubuhnya sudah sangat baik. Sepertinya cideranya sudah mulai pulih sepenuhnya. Ansel menyelesaikan mandinya dengan cepat. Dia p
Ansel tak melihat adanya pergerakan. Dia berjalan mendekati Oman dan berjongkok di depan pria itu. Bau tak sedap langsung menyeruak di indera penciuman Ansel. "Bangun!" Ansel menendang kaki Oman, hingga pria itu terbangun karena kesakitan. Dengan mata sayu, Oman melihat ke arah Ansel. "K-kau?!" Oman bahkan tak punya tenaga untuk sekadar mengangkat tangannya menunjuk ke arah Ansel. "Kamu suka tempat ini?" Ansel bertanya, sembari melihat-lihat luka di tubuh Oman. Luka tembak itu membusuk dan juga bernanah. Tampak sangat mengerikan. "K-kau si-sialan!" Oman meludah ke samping. Dia sangat membenci Ansel sampai ke tulang. "Owen p-pasti tidak a-akan melepaskanmu!" Oman memejamkan mata menahan sakit. Ini lebih menyakitkan daripada mendapat luka tembak saat di medan perang. Itu karena lukanya dibiarkan infeksi dan membusuk. Terlebih Ansel tidak menembak organ vital Oman, sehingga tak membuatnya langsung mati. Ansel menyeringai. "Dia bahkan tidak bisa masuk ke negara ini. Bagaimana mung
Telinga Ansel berdengung saat mendengar cemoohan yang ditujukan padanya. Tapi dia tidak merasa tersinggung sedikitpun. Lagi pula, Ansel bukanlah pria miskin seperti yang mereka sebutkan. Bahkan tempat ini saja merupakan miliknya.Melihat Ansel mengabaikannya, pria berjas biru dongker itu semakin kesal. "Sialan, benar-benar tidak tahu malu!" Saat pria itu seperti sudah mulai kehilangan kendali, dan berniat untuk memukul Ansel, beberapa orang menahan tangannya."Jangan buat keributan sebelum acara. Nanti saja saat akan pulang, kita permalukan dia!" Seorang wanita bergaun V neck berbisik di telinga pria itu. Dia sudah memikirkan rencana untuk mempermalukan Ansel.Kening pria yang ternyata bernama Rehan itu berkerut. Setelah mendengar garis besar dari rencana wanita tersebut, akhirnya dia tersenyum. "Sudahlah! Buang-buang waktu saja jika aku meladenimu!" Rehan berjalan meninggalkan Ansel. Mereka menikmati acara itu tanpa memperdulikan Ansel yang duduk di pojok ruangan.Ansel tahu kena
Rehan sangat ingin mempermalukan Ansel. Dia harus membalaskan rasa sakit hatinya selama ini. Dan kini lah kesempatannya."Cepat panggil manager hotel ini! Dia harus mengganti rugi anggur yang terbuang itu!" Rehan menyuruh salah seorang dari peserta reuni untuk pergi keluar, melaporkan pada penjaga agar segera memanggil manager hotel.Ansel tidak takut sedikitpun. Lagipula ini bukan salahnya. Dia pasti akan membuat Intan mendapatkan akibat dari perbuatannya. Jadi, Ansel perlu bermain sedikit dalam drama ini.Rehan memandang Ansel dengan remeh. Dia sangat yakin kalau Ansel akan dipermalukan lagi malam ini. Dalam pikiran Rehan, sepertinya hidup Ansel memang untuk dipermalukan terus.Ansel mengeluarkan ponselnya, dan mengirimkan pesan singkat pada Richard. Isinya tak banyak kata, hanya bertuliskan: Tampilkan rekaman video CCTV ballroom hotel ini di layar proyektor. Richard yang memandang dari pintu masuk langsung mengerti maksud tujuan Ansel. Tadi dia bersiaga saat penjaga depan pintu di
Kali ini, mata Intan benar-benar membulat dengan sempurna. Ansel berjongkok di depannya, seperti sedang mengejek dirinya. Dan Intan sangat jengkel karena itu. Terlebih, saat ini jantungnya masih berdebar dengan keras saat mengetahui harga botol berisi anggur yang kini sudah pecah tersebut. Ansel berdiri tegak setelah melihat wajah pias Intan. Dia tak merasa iba sedikitpun. Lagi pula, bukan dirinya yang memulai kekacauan ini, jadi Ansel tak akan bersimpati pada orang yang berniat mempermalukannya. Tubuh Intan berkeringat dingin. Dia menggigit bibirnya, berusaha memikirkan jalan keluar terbaik dari masalahnya. Tapi Intan tidak mendapatkan solusi apapun. Bahkan saat dia ingin meminta tolong Rehan saja, pria itu malah memalingkan wajahnya. "Jadi bagaimana? Apa Anda akan langsung melakukan ganti rugi sekarang?" Manager hotel itu bertanya saat dia tidak melihat tanda-tanda pergerakan dari Intan. Dia tidak bisa menunggu lama, karena ada banyak hal yang harus diurusnya karena masa